"Juli, dari tadi gue liatin elu cemberut aja. Kenapa sih?"
Jeni menghampiri sahabatnya, Juliette. Dia langsung duduk di samping wanita itu, sahabatnya yang nampak asik duduk sendirian di bangku taman sambil melamun.
Juliette langsung menolehkan wajahnya ke arah sahabatnya, lalu dia memeluk sahabatnya itu dengan wajah sedih.
"Bokap gue kerja ke luar kota, gue males banget di rumah nggak ada bokap." Juliette menghela napas berat.
Juliette dan juga Jeni kuliah di salah satu universitas yang ada di ibu kota, keduanya berumur dua puluh tahun.
Jeni merupakan anak yatim piatu yang bisa berkuliah karena mendapatkan beasiswa, sedangkan Juliette merupakan anak orang kaya yang sengaja kuliah di universitas biasa.
Wanita itu bahkan berpenampilan layaknya orang biasa, tidak pernah sekalipun dia memakai baju ataupun tas dan sepatu branded. Hal itu dia lakukan karena ingin memiliki sahabat yang benar-benar tulus, bukan karena dia adalah seorang anak konglomerat.
"Kalau elu nggak mau tidur di rumah sendirian, elu nginep aja di rumah gue. Tapi, rumah gue kecil." Jeni tersenyum setelah mengatakan hal itu.
Walaupun rumahnya sangat kecil, tetapi dia merasa bersyukur karena masih memiliki tempat tinggal. Dia juga merasa bersyukur karena bisa bekerja sambil kuliah.
Lebih tepatnya Jeni jualan online, dia menjual baju, tas dan sepatu secara online. Jeni terkadang juga membantu orang lain untuk menjual barang dagangannya, dengan seperti itu nantinya dia akan mendapatkan hasil yang lumayan.
"Jen, bagaimana kalau elu aja yang nginep di rumah gue? Lagian besok kita libur kuliah, nginep di rumah gue aja, ya?" ajak Juliette.
Sudah dua tahun mereka kuliah di universitas yang sama, Juliette benar-benar merasakan ketulusan dari Jeni. Rasanya, ini adalah saatnya untuk Juliette mengatakan tentang dirinya yang sebenarnya.
"Gimana ya? Gue pan harus jualan online," jawab Jeni.
"Gampang, nanti gue bantu." Juliette menatap Jeni dengan tatapan penuh permohonan.
Sebenarnya Jeni merasa keberatan, karena ada saatnya dia harus live saat jualan online. Jika dia berjualan dari rumah Juliette, tidak barang dagangan yang bisa dia pajang. Namun, dia tidak mau mengecewakan sahabatnya.
"Oke," ujar Jeni pada akhirnya.
Setelah selesai mengobrol, keduanya nampak pergi dari taman untuk pergi ke kediaman Juliette. Baru saja keduanya keluar dari gerbang kampus, Jingga--wanita yang terkenal karena cantik dan juga kaya langsung menghampiri keduanya.
"Tunggu sebentar, jangan pergi dulu. Besok malam di rumah gue ada perayaan ulang tahun, kalian berdua wajib datang. Ingat, pakai baju yang bagus. Kadonya juga harus yang mahal," ujar Jingga seraya tersenyum meledek.
Jingga bahkan menatap penampilan Jeni dan juga Juliette dari atas kepala sampai ujung kaki, dia seolah meremehkan keduanya.
Jeni yang memang adalah seorang anak yatim piatu merasa tidak perlu hadir di acara pesta ulang tahun Jingga, takutnya nanti dia akan mempermalukan dirinya sendiri.
"Sorry, kayaknya gue--"
"Kami pasti dateng, jangan khawatir." Juliette langsung ngomong kasih ucapan dari Jeni.
"Juli!" protes Jeni.
"Tenang, ada gue!" ujar Juliette seraya tersenyum.
Jingga tertawa meledek, lalu dia nampak menepuk pundak Jeni dan juga Juliette secara bergantian.
"Semoga kalian ngga bikin malu di pesta gue," ujar Jingga yang langsung pergi meninggalkan keduanya.
Selepas kepergian Jingga, Jeni nampak menatap Juliette dengan tatapan tidak suka. Selama ini dia memang begitu menghindari Jingga, karena dia tidak mau berurusan dengan wanita sok kaya dan sok cantik itu.
"Juli! Bisa mampus gue, gue ngga punya dress cantik. Gue juga nggak punya duit buat ngasih kado sama dia, kenapa elu iyain aja?" protes Jeni.
"Udah ngga usah berisik, ayo ikut ke rumah gue. Jangan khawatir," ujar Juliette seraya menarik lembut tangan Jeni.
Selama ini keduanya memang bersahabat, keduanya sering bertukar cerita. Namun, hanya Jeni yang selalu jujur dengan keadaannya. Juliette tentunya tidak pernah membuka jati dirinya.
"Kita mau ke mana?" tanya Jeni ketika Juliette mengajak Jeni untuk masuk ke dalam taksi yang sudah diberhentikan oleh Juliette.
"Ke rumah gue, udah elu diem aja. Oke?" ujar Juliette.
"Hem!" jawab Jeni yang memang tidak ingin berdebat dengan sahabat tercintanya itu.
Keduanya nampak saling diam saat mereka pergi menuju kediaman William, Jeni masih merasa kesal, sedangkan Juliette diam karena tidak ingin membuat Jeni lebih marah lagi kepada dirinya.
"Yuk, turun!" ajak Juliette ketika mereka tiba di kediaman William.
Jeni menurut, wanita muda itu ikut turun bersama dengan sahabatnya dari taksi tersebut. Saat menyadari mereka kini berada di depan rumah yang begitu besar, mata Jeni langsung membulat dengan sempurna.
Rumah itu tidak terlihat seperti rumah, rumah itu terlihat seperti istana. Jeni sampai merasa tidak percaya jika Juliette mengajak dirinya ke tempat seperti itu.
"Elu ngga salah ngajak gue ke sini?" tanya Jeni.
"Nggak! Rumah ini adalah rumah bokap gue, sorry kalau selama ini gue bohong sama elu. Sebenarnya gue anak orang kaya, tapi gue sengaja kuliah di universitas biasa agar bisa mendapatkan teman yang tulus kaya elu."
"Juliette!" ujar Jeni merasa tidak percaya karena ternyata sahabatnya itu merupakan anak dari orang kaya.
"Sorry, karena selama ini orang yang mau berteman sama gue hanya karena harta bokap gue. Jadi, sengaja gue berpura-pura menjadi orang miskin supaya bisa dapet temen kaya elu," ujar Juliette.
"Hem, gue paham. Tapi, setelah tahu kalau elu anak orang kaya, gue jadi minder," ujar Jeni.
"Jangan minder, mending kita masuk ke dalam. Gue laper, gue juga mau ngasih baju yang bagus buat elu. Kita harus jadi pusat perhatian di ulang tahunnya si Jingga," ujar Juliette.
"Hem," jawab Jeni lesu.
Awalnya Jeni merasa begitu bersemangat ketika pertama kali berteman dengan Juliette, karena dia merasa jika di dunia ini bukan hanya dia orang yang susah.
Namun, setelah mengetahui jika Juliette adalah anak dari orang kaya, dia sungguh merasa malu sekali. Karena rasanya dia benar-benar beda kasta dengan wanita itu.
"Makan dulu ya, abis itu ke kamar gue. Gue bakal nunjukin koleksi baju gue, biar si Jingga malu karena udah berani ngatain kita."
"Iya," jawab Juliette pasrah.
Akhirnya Juliette dan juga Jeni makan siang bersama, setelah itu keduanya nampak masuk ke dalam kamar Juliette.
Jeni nampak melongo dengan tidak percaya, karena kamar dari sahabatnya itu benar-benar terlihat begitu luas dan juga mewah.
Kamar Juliette terlihat lima kali lebih luas dari rumah peninggalan kedua orang tuanya, itu hanya kamarnya saja. Karena luas rumah itu terlihat begitu besar dan sangat megah.
Jeni merasa, jika dia berjalan sendiri di rumah tersebut, rasanya dia pasti akan tersesat. Harusnya di tembok rumah itu ada peta, pikir Jeni. Agar dia bisa tahu ke mana arah menuju pintu utama.
"Kok diem aja? Ngga mau masuk ke kamar gue?" tanya Juliette yang melihat sahabatnya itu hanya diam dengan mata yang membulat dengan sempurna.
"Kok diem aja? Ngga mau masuk ke kamar gue?" tanya Juliette yang melihat sahabatnya itu hanya diam dengan mata yang membulat dengan sempurna.
Jeni menolehkan wajahnya ke arah Juliette, dia tersenyum canggung ke arah wanita itu lalu kembali mengedarkan pandangannya.
"Gila! Kamar elu luas banget, barang-barangnya juga mewah banget. Gue jadi malu deh temenan sama elu," ujar Jeni dengan jujur.
Selama ini dia begitu menghindari orang-orang kaya, karena menurut Jeni, orang kaya itu sangatlah sombong dan selalu berkata dan berbuat semaunya.
Contohnya seperti Jingga, karena merasa menjadi murid yang paling kaya, gadis itu selalu bersikap sombong dan meremehkan orang lain.
"Tapi, gue nggak malu temenan sama elu. Justru gue bangga karena punya temen yang tulus banget kaya elu," ujar Juliette.
Ya, Jeni lebih dari sekedar sahabat bagi Juliette. Karena Jeni terkadang bisa menjadi sahabat bagi dirinya, terkadang bisa menjadi Ibu yang begitu perhatian terhadap anaknya, terkadang juga Jeni sudah seperti teman bergulat bagi dirinya.
"Uuuh! Elu buat gue terharu," ujar Jeni.
"Udah ah, ngga usah lebay. Kita masuk, terus kita coba gaun buat besok malam."
Juliette menuntun Jeni untuk masuk ke dalam kamarnya, lalu dia masuk ke dalam walk in closet dan mengambil banyak gaun untuk dicoba oleh sahabatnya, Jeni.
Beruntung Jeni dan juga Juliette memiliki bentuk tubuh yang sama, tinggi tubuh keduanya juga hampir sama.
"Nih! Gue bawain banyak gaun malam, elu coba aja sendiri. Gue mau ke kamar mandi dulu, perut gue mules," ujar Juliette.
Juliette nampak mengelus perutnya, dia sakit perut dan sepertinya ada yang harus segera dia tuntaskan di dalam kamar mandi.
"Eh? Masa gue ditinggal sendirian!" protes Jeni.
"Ck! Gue mau boker, perut gue sakit ini.''
"Iya, iya. Pergi sana, gue cobain gaunnya, ya?" izin Jeni.
"Iya, buka aja tuh kemeja sama celana jeans yang elu pake. Biar gaunnya cantik pas dipake," ujar Juliette seraya berlari menuju kamar mandi karena perutnya terasa begitu mulas.
"Iya," jawab Jeni.
Jeni memandang banyaknya gaun malam yang ada di atas tempat tidur, dari mulai warna putih hitam sampai warna marun. Begitu banyak pilihan gaun malam yang begitu indah sekali.
"Buset, ini cantik-cantik bener. Gue coba yang ini ah," ujar Jeni seraya mengambil gaun malam berwarna navy.
Jeni membuka kemeja yang dia pakai, dia juga membuka celana jeans yang dia pakai. Wanita itu hanya menyisakan bra dan juga segitiga pengamannya.
"Gaunnya cantik banget, pasti gue juga cantik pake gaun ini," ujar Jeni seraya menatap gaun malam yang dia pegang.
Wanita itu nampak menurunkan resleting gaun tersebut, lalu dia terlihat hendak mencoba gaun itu. Namun, hal itu dia urungkan karena tiba-tiba saja pintu kamar tersebut terbuka.
Jeni begitu kaget karena ada seorang pria yang hendak masuk ke dalam kamar itu, pria yang terlihat tampan dan matang.
"Anda, siapa? Kenapa berani banget masuk ke dalam kamar seorang gadis tanpa ngetuk pintu?!" teriak Jeni.
"Saya adalah--"
Jeni dengan cepat memungkas ucapan dari pria itu, karena pria itu terlihat hendak melangkahkan kakinya untuk menghampiri dirinya.
"Jangan masuk! Diem dulu di situ!" teriak Jeni yang tanpa sadar langsung melemparkan gaun yang sedang dia pegang.
Lalu, wanita itu melompat ke atas tempat tidur dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Pria yang tadinya hendak masuk itu malah berdiri di ambang pintu, pria itu menatap Jeni tanpa berkedip.
"Ck! Tolong anda keluar dulu! Saya mau memakai baju, lagian anda itu siapa sih? Kenapa kurang ajar sekali? Asal masuk-masuk aja ke dalam kamar orang! Pergi sana! Jangan lupa tutup pintunya!" teriak Jeni dengan kesal.
Pria itu masih terdiam seraya menatap wajah Jeni, Jeni yang merasa kesal langsung mengambil bantal dan melemparkannya ke arah pria itu.
Bukan hanya bantal saja, Jeni yang merasa kesal juga melemparkan vas bunga yang ada di atas nakas. Beruntung pria itu dengan sigap menangkap vas bunga tersebut.
"Ah! Iya, maaf. Saya akan pergi," ujar pria itu yang dengan cepat menutup pintu kamar tersebut.
"Huh! Kaget gue, kenapa tuh orang kurang ajar banget ya! Kalau mau masuk tuh harusnya ketok pintu dulu, jadinya kan' ngga kaya gini kejadiannya. Malu kan' gue," ujar Jeni seraya turun dari tempat tidur.
Wanita itu tidak jadi mencoba gaun-gaun cantik yang dibawakan oleh Juliette, tetapi dia kembali mengenakan pakaiannya.
"Jen, elu kenapa tadi teriak-teriak?" tanya Juliette yang sudah selesai menuntaskan hajatnya.
"Itu, Jen. Tadi gue mau cobain baju, malah ada cowok asal masuk aja. Kok bisa sih ada orang kurang ajar kaya gitu? Om, elu ya?" tanya Jeni.
Juliette langsung mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan dari sahabatnya.
"Om? Gue ngga punya om? Yang tinggal di rumah ini cuma ada satu cowok, daddy gue!" jawab Juliette.
"Tapi, Jul. Bokap elu lagi di luar kota, terus tadi siapa yang mau masuk ke kamar ini?" tanya Jeni.
"Entahlah, kalau security ngga bakalan mungkin. Tukang kebun juga ngga mungkin, apa bokap gue ya, ngga jadi pergi?" tebak Jeni.
"Ngga mungkin bokap elu, orang masih muda banget kok. Lebih cocok jadi om elu, Jul."
"Hus! Bokap gue juga masih muda tau, soalnya dulu dia nikah sama mom di usianya yang masih sangat muda," ujar Juliette dengan jujur.
"Maksudnya, bonyok elu nikah karena udah--"
Jeni tidak meneruskan ucapannya, tetapi wanita muda itu malah mengelus-elus perutnya. Jeni seolah mengatakan kalau kedua orang tua Juliette itu menikah karena ibu dari Juliette sudah mengandung terlebih dahulu.
"Iya, mereka itu MBA. Bokap sama nyokap nikah di usia enam belas tahun, jadinya pas nyokap ngelahirin gue, dia yang masih muda dan belum berpengalaman mengalami pendarahan hebat. Nyokap meninggal pas lahiran gue," ujar Juliette dengan jujur.
Jeni merasa begitu iba, dia bahkan langsung memeluk Juliette. Dia mengusap-usap punggung sahabatnya itu, kasihan sekali pikirnya karena tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.
Walaupun Jeni merupakan orang miskin, tetapi dia masih sempat merasakan kasih sayang kedua orang tua yang utuh. Hingga adanya kecelakaan kerja membuat kedua orang tuanya meninggal di saat dia masih sekolah SMA.
"Yang sabar ya, Jul."
"Hem, sekarang mending kita keluar dulu. Gue mau liat keluar, sebenarnya siapa yang mau masuk kamar. Apa beneran bokap gue yang ngga jadi pergi?" ujar Juliette.
Karena rasanya tidak mungkin jika ayahnya yang datang, karena pria itu berkata akan pergi ke luar kota dan akan berada di luar kota dalam beberapa hari.
"Hem, kita keluar dulu aja," ujar Jeni.
Akhirnya Juliette dan juga Jeni nampak keluar dari dalam kamar, keduanya nampak melangkahkan kaki mereka menuju ruang keluarga. Keduanya begitu penasaran dengan sosok pria yang hendak masuk ke dalam kamar Juliette.
Saat tiba di dalam ruang keluarga, ternyata di sana tidak ada siapa pun. Pelayan saja bahkan tidak ada, karena memang mereka biasanya akan berkumpul di belakang jika pekerjaan rumah sudah selesai.
"Kalau bokap gue pulang, harusnya dia ada di sini," ujar Juliette.
Memang sudah menjadi kebiasaan, jika Josua ada di kediamannya, pria itu akan menghabiskan waktu bersama dengan putrinya. Hal itu dia lakukan sebagai bentuk perhatiannya terhadap putri semata wayangnya.
Josua akan sibuk dalam setiap harinya, karena dia harus mengurus kerajaan bisnisnya. Maka dari itu, Josua akan memanjakan putrinya dan menuruti semua keinginan dari putrinya ketika dia sedang memiliki waktu untuk bersama.
Bahkan, Josua tidak jarang menemani putrinya sebelum tidur. Jika Juliette sudah tertidur dengan pulas, barulah pria itu akan kembali ke dalam kamarnya dan mengistirahatkan tubuhnya.
"Coba lihat ke luar, Jul. Kalau ada mobil bokap elu, berarti dia udah pulang," usul Jeni.
"Hem! Elu bener, gue liat ke depan dulu kalau gitu."
Juliette dengan cepat melangkahkan kakinya menuju halaman rumah, benar saja di sana ada mobil ayahnya yang terparkir.
"Mobil bokap gue ada, Jen. Itu artinya dia udah balik," ujar Juliette dengan senang.
Hanya Josua yang dia punya, berdekatan dengan ayahnya itu selalu saja bisa membuat membuat Juliette merasa bahagia.
"Tapi, kenapa dia tidak ada?" tanya Jeni.
"Ayo ke lantai dua, mungkin dia lagi ganti baju."
Juliette menarik tangan sahabatnya dengan lembut, lalu dia mengajak sahabatnya itu untuk naik ke lantai dua. Lantai dua dijadikan tempat pribadi oleh Josua. Dia akan melakukan aktivitas apa pun di lantai dua.
"Daddy!" teriak Juliette ketika dia sudah sampai di lantai dua.
Wanita itu terus saja melangkahkan kakinya menuju kamar utama yang ada di lantai dua, Jeni tidak bisa melakukan apa pun karena wanita itu terus saja menarik tangannya.
"Daddy! Buka pintunya! Juli tau kalau Daddy udah balik, Daddy!" teriak Juliette seraya menggedor pintu kamar utama.
Tidak lama kemudian, pintu kamar utama nampak terbuka. Josua keluar dari dalam kamarnya hanya dengan menggunakan celana bahan saja.
"Ada apa, Sayang?" tanya Josua.
Juliette tidak menjawab pertanyaan dari ayahnya, gadis itu malah memeluk ayahnya tersebut. Wajah gadis itu terlihat begitu riang sekali, karena jika ayahnya ada di rumah, itu artinya pria itu tidak jadi pergi ke manapun.
"Ditanya kok ngga jawab? Ada perlu apa sampai berteriak-teriak?" tanya Josua dengan tatapan matanya yang tertuju kepada Jeni.
Jeni menatap wajah Josua dengan kagum, pria itu benar-benar terlihat masih muda dan sangat tampan. Dia merasa tidak percaya jika pria itu sudah memiliki anak gadis seperti Juliette.
"Daddy ngga jadi pergi?" tanya Juliette seraya mengurai pelukannya.
"Nggak, Daddy khawatir sama kamu. Makanya pekerjaan Daddy langsung dihandle sama Jhon," jawab Josua.
Semenjak ibunda Josua meninggal, pria itu tidak pernah meninggalkan Juliette untuk pergi ke luar kota. Karena dia takut jika putrinya itu tidak akan nyaman tinggal sendirian di rumah besarnya.
Namun, tadi pagi dia nekat ingin pergi ke luar kota. Karena orang kepercayaannya yang mengurus kantor cabang berkata ada kasus yang serius, tetapi dia merasa beruntung karena ternyata asisten pribadinya bisa menghandle perusahaan cabang itu.
"Uuuh! Daddy memang terbaik, kenalin temenku, Dad. Namanya Jeni," ujar Juliette yang langsung menarik lembut tangan Jeni untuk berjabat tangan dengan tangan ayahnya.
Josua langsung membalas uluran tangan Jeni, tidak ada senyum di bibir Joshua. Pria itu hanya terdiam seraya menatap wajah Jeni dengan tatapan yang begitu sulit untuk diartikan.
"Ehm! Saya, Jeni, Om. Maaf karena tadi sudah mengusir Om, habisnya Om asal masuk aja sih." Jeni menunduk setelah mengatakan hal itu.
Jeni terlihat tidak berani menatap wajah Josua, pria itu memang masih terlihat begitu muda dan juga berwibawa. Namun, tatapan mata itu terlihat begitu menyeramkan bagi Jeni.
Selain itu, Josua juga nampak bertelanjang dada. Rasanya Jeni tidak terbiasa melihat akan hal itu, dada pria itu nampak begitu bidang dengan bahunya yang nampak lebar.
Otot tangan pria itu nampak menonjol dan terlihat kuat, belum lagi dengan perutnya yang terlihat membentuk kotak-kotak. Menurut Jeni itu adalah pemandangan yang begitu indah, tetapi dia merasa canggung untuk melihatnya.
"Tidak apa-apa, justru saya yang minta maaf. Karena saya juga salah, saya memang terbiasa asal masuk ke dalam kamar Juli."
Josua terus saja menjabat tangan Jeni, pria itu juga terus saja menatap wajah Jeni. Seperti ada sesuatu yang lain dari wajah gadis itu, melihat akan hal itu Juliette nampak merasa aneh dan langsung berdehem beberapa kali.
"Ehm! Daddy, Jeni. Bisakah kalian melepaskan jabatan tangan kalian? Apa mungkin ada lemnya?" tanya Juliette
Jeni yang mendengar akan hal itu dengan cepat menarik tangannya, tetapi tetap saja wanita itu menunduk tanpa berani menatap wajah Josua.
"Sorry, Om. Jeni ngga maksud apa-apa," ujar Jeni.
"Tidak apa-apa," jawab Josua seraya menolehkan wajahnya ke arah Juliette. "Daddy tadi bawain es krim kesukaan kamu, makanlah dengan Jeni."
"Es krim coklat dengan taburan kacang almond dan juga kacang mede, Dad?" tanya Juliette dengan binar bahagia di wajahnya.
Josua sampai terkekeh dibuatnya, karena hanya dengan dibeliin es krim saja Juliette akan merasa begitu senang. Gadis itu tetap saja selalu terlihat seperti putri kecil baginya, putri kecil yang selalu terlihat begitu lucu dan menggemaskan.
"Hem! Memangnya es krim seperti apalagi yang kamu suka?" jawab Josua dengan pertanyaan.
"Uuuh, Daddy sangat baik. Ayo kita makan sama-sama," ujar Juliette yang langsung menarik lengan ayahnya dengan tidak sabar.
"Tapi, Jeni. Daddy belum pakai--"
"Ck! Nanti saja pakai bajunya," ujar Juliette yang dengan cepat melangkahkan kakinya menuju dapur.
Josua hanya bisa menggelengkan kepalanya mendapatkan perlakuan seperti itu dari putrinya, sedangkan Jeni hanya bisa mengekori langkah keduanya dari belakang.
Sebenarnya Jeni merasa aneh saat melihat wajah Josua, pria itu terlihat begitu tampan dan pastinya sangat kaya. Kenapa hanya itu masih melajang, pikirnya.
Rasanya di luaran sana tidak mungkin ada wanita yang tidak melirik pria seperti Josua, karena dilihat dari sisi manapun pria itu begitu sempurna.
Namun, tanpa Jeni ketahui, Josua begitu mencintai istrinya. Dia juga merasa sangat bersalah karena sudah membuat istrinya hamil di usianya yang masih muda, jika saja Josua bisa bersabar, pasti istrinya itu tidak akan meninggal di usianya yang masih muda, pikir Josua.
"Waah! Daddy! Thanks!" pekik Juliette karena ternyata ayahnya membelikan es krim dalam ukuran yang besar.
Wanita itu dengan lincah mengambil tiga wadah kecil, lalu menyendok es krimnya dan memindahkan es krim tersebut ke dalam tiga wadah yang sudah diambil.
"Ini pasti sangat enak, ayo kita makan." Juliette mengajak ayah dan juga sahabatnya untuk memakan es krim coklat itu.
"Juli, tapi aku---"
"Jangan sungkan, makanlah!" ujar Juliette setengah memaksa.
"Oke," jawab Jeni.
Jeni mengambil sendok kecil, lalu dia memisahkan kacang almond dan juga kacang mede ke pinggiran. Setelah itu, barulah dia menyendok es krim coklatnya dan menyiapkannya ke dalam mulutnya.
Apa yang dilakukan oleh Jeni, tentunya tidak luput dari penglihatan Josua. Karena Juliette begitu asik menikmati es krimnya sampai tidak memperhatikan sekitarnya.
"Kenapa kamu memisahkan es krim dan juga kacangnya?" tanya Josua.
"Ehm! Saya ngga suka kacang almond dan juga kacang mede, Om." Jeni menjawab pertanyaan dari Josua dengan tidak enak.
Pria yang sudah menduda dengan sangat lama itu nampak menatap mata Jeni dengan dalam, pria itu tampak begitu enggan walaupun hanya untuk berkedip.
"Juni," panggil Josua lirih.
"Maaf, Om. Nama saya Jeni, bukan Juni." Jeni tersenyum canggung setelah mengatakan hal itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!