Segerombolan orang nampak berkumpul dan berbincang sesuatu. Suasana sekitar perusahaan nampak begitu sesak, seperti akan terjadi sesuatu.
"Berapa waktu yang kita butuhkan?" tanya si rambut pirang.
"Satu atau dua jam. Tidak pasti!" balas temannya dengan wajah panik.
"Sial! bagaimana---"
"Tuan Al Deventer Stevenson masuk ke dalam ruangan!" teriak seseorang dari luar membuat ruangan tersebut diam seketika dengan hawa yang berbeda.
Pintu bergeser menampilkan seseorang pria berwajah bak yunani dengan pahatan begitu sempurna. Tubuh yang kekar berbalut jas hitam. Aura yang mendominasi keluar dari tubuhnya.
Suara ketukan sepatu terdengar di ruangan memecahkan keheningan yang tercipta di sana.
"Dokumen yang di butuhkan. Berikan padaku,"
Semua orang di dalamnya nampak menelan saliva mendengar suara berat tersebut. Seperti kedatangan malaikat maut yang menyeramkan.
Salah satu dari mereka memberanikan diri untuk memberikan dokumen yang ia pegang dengan gemetaran.
Venter membuka dokumen yang ada di depannya. ia membacanya satu persatu, keningnya mengkerut. Tak lama kemudian.
Brakk'
Semua orang di dalamnya langsung memejamkan mata saat dokumen tersebut di lempar dengan di atas meja. Jantung mereka berdegup dengan kencang.
"Singkirkan dokumen itu! Sampai terlihat di depan mataku. Aku bakar sampai dengan orang yang membuatnya sekalipun,"
Mereka yang mendengar ucapan Venter gemetar ketakutan. Dengan secepat kilat mereka membereskan dokumen yang berserakan.
"Buat ulang! Dua jam tidak selesai. Keluar dari perusahaan ku,"
Venter keluar dari ruangan tersebut dengan hawa membunuh. "Kerjakan sampai tidak selesai saat itu juga. Kalian tau akibatnya!"
...∆∆∆...
Suasana di malam hari sangat penuh dengan kesesakan, dimana para gadis menggoyang kan tubuhnya dengan indah dengan para pria di sekitarnya. Suara musik yang menggema di telinga, jangan lupakan lampu berwarna warni di atas nya.
Seorang pria yang masih lengkap dengan setelan jas mahalnya, duduk di single sofa.
"One champagne!"
"Yes sir!"
Venter menatap satu persatu wajah di hadapannya yang sedang menari memenuhi lantai dansa. Beberapa wanita berpakaian terbuka nampak bersiul memanggilnya dengan menggoda.
Venter mendengus. "Menjijikan!" ucapnya dengan pelan.
"Venter!" pria itu menoleh mendengar namanya terpanggil dengan suara yang begitu kecil karena suara musik yang memekakkan telinga.
Alis Venter mengerut. "Who? Kita kenal?" tanyanya acuh tanpa memperdulikan wanita yang memanggilnya tadi sudah memerah wajahnya.
"Kau lupa? Aku Lina. Teman sekelas mu dulu," ucap Lina. ia menggeram kesal saat Venter menatapnya acuh padahal ia sudah memakai pakaian yang begitu menggoda.
"Oh, Begitu?" Venter meminum minuman di depannya.
"Venter," Lina dengan berani menyentuh pundak Venter dengan cepat pria itu menepis tangan Lina dengan kasar hingga wanita itu terhuyung.
"Jangan kau coba coba menyentuhku dengan tanganmu yang kotor itu!" Venter menatap sinis sambil membersihkan pundaknya dengan sapu tangan.
Venter yang lanjut meminum sampanye miliknya hingga tandas tanpa curiga. Lalu berlalu meninggalkan Lina yang tersenyum penuh kemenangan. Lina menyentuh telinga nya untuk mengaktifkan earphone kecil yang menempel disana.
"Buat dia ada di kamarku! Akan aku pastikan malam ini dia menjadi milikku!"
......∆∆∆......
Venter melepaskan dasinya. Rasanya sedikit aneh. Suasana di sekitarnya mendadak menjadi panas padahal pendingin ruangan dalam kondisi menyala.
Venter mengumpat. Dia di jebak! Pandangannya menjadi buram. Harusnya tadi dia memeriksa dulu apa yang dia minum jika dia memeriksanya, tidak mungkin dia terjebak dengan minuman perangsang itu.
Venter mengambil ponselnya. "Periksa bartender yang memberikan minuman padaku. Pastikan dia mati dengan mengenaskan! Beraninya dia menaruh obat sialan itu kedalam minumanku!" umpatnya sambil mematikan ponselnya.
"Damn!" umpatnya. Saat merasakan tubuhnya semakin tidak bisa di kendalikan. "Mati kau! Sampai aku tau siapa pelakunya,"
Venter menyentuh pintu di sampingnya. Pandangan nya mulai tidak fokus dan buram. Tak lama kemudian beberapa orang asing dari arah depan berjalan mendekati Venter.
"Trik bodoh!" umpat Venter. Ia terpaksa memasuki pintu yang tadi ia sentuh.
Venter bersandar di pintu yang sudah ia tutup, nafasnya tersengal, peluh keringat memenuhi dahinya. Panas semakin terasa di sekitarnya, ia menatap jam di dinding yang masih menunjukkan pukul 9 malam. Sialan! Harusnya tadi ia di temani beberapa bodyguard miliknya. Siapa sangka akan terjadi seperti ini padanya.
Venter terduduk sambil menahan diri nya yang mulai bergejolak.
"Siapa kau?!" Venter menoleh kearah kamar mandi. Teryata kamar ini milik seorang wanita.
Venter memukul kepalanya saat pikiran nakal nya berkeliaran melihat wanita di depannya tampak begitu cantik dengan handuk melilit di tubuhnya.
Harum tubuh wanita di depannya membuatnya semakin menggila. "Shit! Masa bodoh," Venter berjalan mendekati wanita di depannya.
Wanita di depannya mendadak mundur saat melihat Venter tengah menatapnya dengan lapar. "You'r name?" Venter menatap wanita di depannya yang sial nya semakin di tatap wanita itu semakin cantik dan seksi, apa ini efek minuman tadi?
"Vee--"
Brukk'
Wanita itu membulatkan matanya saat Venter mendorong tubuhnya hingga jatuh di atas kasur.
"Help me get rid of this burning sensation!"
......∆∆∆......
...TBC...
Sinar matahari nampak menerobos masuk dan mengusik seorang yang sedang tertidur pulas di atas kasurnya.
Ia membuka kelopak matanya saat merasa sinar matahari mengenai wajahnya. Ia perlahan bangun dari tidurnya dan terduduk sambil menyadarkan tubuhnya di pinggir kasur.
Venter mengusap wajahnya sebentar. Tunggu! Seperti ada yang salah, ia menoleh di samping nya.
Kosong, hanya dirinya yang berada di atas tempat tidur. Dengan bertelanjang dada ia berjalan menuju kamar mandi, siapa tau wanita itu tengah membersihkan tubuhnya tetapi nihil. Tidak ada jejak.
"Dimana wanita itu?" gumamnya.
Venter terduduk di kasur sambil memegang kepalanya, ingatan malam itu masih terasa dan terbayang di pikirannya.
Suara indahnya, wajah cantiknya. Ia akui wajah cantiknya baru kali ini menemukan wajah yang bisa membuat dirinya termenung. Bahkan tubuhnya masih teringat jelas ingatan kemarin saat dirinya menuntaskan malam yang panas.
Bahkan saat wanita itu memanggil namanya dengan begitu indah. Wajahnya yang sayu nampak indah di lampu malam yang tidak begitu terang. Tunggu, siapa namanya? Vee?
"Vee siapa?"
Venter merasa ia di tinggal begitu saja. Biasanya ia yang meninggalkan wanita namun ini malah keterbalikan dari yang selama ini ia lakukan. Tidak ada jejak apapun, bahkan pakaian yang di gunakan wanita itu tidak ada. Hanya ia di dalam kamar seorang diri.
Tanpa sengaja Venter menggeser selimut di sampingnya, ia termenung saat melihat noda berwarna merah yang masih menempel disana. Hanya satu yang bisa ia pastikan.
"Oh damn! Dia masih perawan!"
......∆∆∆......
Brakk'
Seorang pria yang baru saja ingin terlelap di meja kerja nya langsung tersentak kaget dengan wajah yang terbentur meja di depannya.
"Oh shit! Wajah tampanku," umpatnya. "Kau-- oh Venter. Apa kau tidak bisa lembut sedikit membuka pintu? Dan jam berapa ini?" ia menatap melotot melihat jam di dinding.
"The fuc-- Jam 3 sialan!" ia menatap tajam kearah Venter yang acuh. "Apa yang kau lakukan di jam segini astaga! Aku baru ingin bermimpi indah!" omelnya.
"Cari informasi Nick," ucap Venter tanpa memperdulikan ocehan dari pria di depannya ini.
Pria yang bernama Nick tersebut memutar bola matanya dengan malas. "Malas," ucap Nick, saat ia mau memejamkan mata kembali.
Prangg'
Nick menoleh, ia melotot. "Barang pajangan ku sialan!"
Venter menatap tajam. "Kalau kau tidak mau barang pajangan milikmu aku hancurkan semua, pilih. Kau Carikan aku informasi atau aku hancurkan isi ruangan ini sekaligus kau yang aku hancurkan!" ancamnya. Ia benar benar di kejar waktu. Ia harus mencari informasi tentang wanita itu.
Semakin ia diam semakin menjadi gila. Tidak ada yang wanita itu tinggalkan, semua hilang tanpa jejak. Hanya cctv saat ia masuk dan keluar yang ada padanya sisanya tidak ada jejak seperti wanita itu tidak pernah ada.
"Orang gila," desis Nick kesal.
...∆∆∆...
Venter mengacak rambutnya dengan frustasi. Baru kali ini ia merasa seperti orang yang hilang arah.
"Sialan!" umpatnya. Ia belum menemukan titik terangnya. Bahkan ia tidak mendapat informasi apapun dari temannya Nick yang ia ganggu dengan menghebohkan sekelilingnya.
Hanya satu kata yang masih terngiang di telinga nya dengan begitu jelas. "Vee? Vee? banyak Vee disini. Tidak ada satupun seperti wanita malam itu." ucapnya frustasi.
Ia mencoba memejamkan matanya sejenak untuk beristirahat dari apa yang terjadi padanya agar ia bisa berpikiran dengan jernih dan bagaimana langkah selanjutnya itu tergantung otaknya.
"Venter,"
"your voice is very beautiful,"
"Ven-ter!"
"Damn! is crazy!"
"Cukup! Aku--"
Cup'
"Aku tidak akan berhenti di tengah jalan,"
Venter terbangun tiba tiba, ia mengusap wajahnya dengan gusar. lagi lagi kilasan memori malam indah itu terputar bak kaset rusak.
"Haruskah aku memecahkan kepalaku sendiri?!"
Venter bergerak gelisah, ia menyirami wajahnya dengan air yang ada di hadapannya. Agar kilasan memori itu tidak terus terputar ulang.
"Aku sudah gila sepertinya,"
...∆∆∆...
3 tahun berlalu...
Nick membuka pintu ruangan Venter. Ia mendengus lagi lagi ia melihat Venter yang sibuk dengan lukisan di depannya.
"Sampai kapan kau seperti ini? Kau melukis wanita yang menjadi one night stand mu itu. Yang kita tidak tau keberadaan nya dimana," ucap Nick kesal.
"Lebih baik kau diam sebelum pisau di hadapanku ini menembus kepalamu!" ucap Venter datar. Ia kembali sibuk dengan lukisan di depannya.
"Ada proyek yang harus kau lihat," ucap Nick sambil memberikan dokumen kepada Venter.
"Kau saja yang lihat! Aku sibuk," ucap Venter dengan cuek.
Nick menatap tidak percaya. "Kau mau membuatku menjadi orang gila disana bodoh?! Kau direkturnya. Aku hanya tangan kananmu!" geramnya dengan kesal.
"Gantikan aku. sangat mudah bukan?" Venter mengatakannya dengan wajah santai membuat Nick melongo.
"Benar benar menjadi gila. Kita tidak tau wanita itu masih hidup atau ti--"
"Kalau kau masih mau keluar dengan keadaan bernyawa diamlah!" Venter menatap tajam.
Nick mendengus. "Terserah kau saja sialan! Aku lelah!" ucapnya kesal. "Aku tidak peduli kau mau marah atau tidak. Besok kita berangkat! Ke Singapura! Mau tidak mau kau harus ikut" ucapnya. "Kalau perlu aku akan menarikmu dengan paksa bersama dengan lukisan yang kau buat itu!" sambungnya dengan menatap tajam ke arah Venter.
Venter hanya diam dan kembali menatap lukisan yang ia buat di hadapannya. Apa ini cinta? Atau hanya obsesi belaka? Yang pasti sebelum bertemu dengan wanita itu ia harus memastikan nya.
Jika wanita itu tiada, ia akan mencari makamnya bahkan membongkarnya untuk melihat wanita yang membuat dirinya gila.
"Kau seperti pria yang haus akan cinta," Nick mengusap kedua lengannya dengan bulu kuduk yang berdiri.
Venter berdecih. Yah, mungkin saja begitu. Pikirnya.
......∆∆∆......
...TBC...
Venter lagi lagi terbangun tengah malam. ia mengusap wajahnya dengan gusar. "Lagi lagi jam segini," ucapnya dengan pelan.
"Bisa gila jika aku seperti ini. Ini sudah tiga tahun berlalu," ucapnya. "Aku benar benar tidak tau apa yang aku rasakan saat ini," sambungnya.
"apa ini cinta? Atau yang lain?" Venter kembali memejamkan matanya, jika ia tidak kembali tidur. Matanya akan seperti hantu.
Pagi pun datang, Venter terbangun pagi sekali dengan wajah yang kusut. Ia menatap kearah cermin. "I feel like I saw a ghost," ucapnya.
Venter mencuci wajahnya, lalu mulai membersihkan jambang yang sudah memenuhi wajahnya. Ia harus membereskan penampilan dirinya dulu sebelum terjun ke lapangan. Ia tidak mau terlihat begitu berantakan nantinya disana. Apalagi temannya Nick pasti akan mengeluarkan lahar panas untuknya.
Cklek'
"Oh wow? Apa ini Venter yang kita kenal?" Venter mendengus mendengar ucapan dari Nick yang baru saja masuk ke dalam kamarnya.
"Ayo! Banyak pekerjaan menanti disana," ucap Nick. Venter hanya membalas dengan dehaman saja.
"Siapa tau kau tertarik untuk berkencan dengan wanita disana," sambung Nick hanya mendapat tatapan acuh dari Venter.
Nick mendengus. "Oh ayolah, kau sudah umur berapa? Kau harus menikah," ucapnya.
Venter menatap tajam. "Sebelum berbicara, berkacalah dulu!" ucapnya.
"Aku hanya memberi saran," balas Nick. Venter berdecih
Setelah berdebat dengan begitu panjang lebar akhirnya mereka berdua berangkat menggunakan pesawat pribadi menuju Singapura untuk menjalani bisnis yang ada disana.
Nick menatap jengah saat melihat berbagai macam makanan dan hadiah yang di siapkan untuk Venter, tentunya dari wanita yang berharap bisa berkencan dengan Venter.
"Kalian berharap apa? bahkan aku tidak yakin dia normal atau tidak," ucap Nick dalam hati.
"Buang! Jika perlu bakar semua yang di berikan padaku!" ucap Venter ketus.
"Tidakkah sangat di sayangkan kalau kau membuang itu semua?" ucap Nick.
Venter mendengus. "Buang! Aku alergi wanita gatal," ucapnya.
......∆∆∆......
Al Deventer Stevenson, kerap disapa Venter. Pria matang yang sangat menggoda jiwa para wanita. Pewaris tunggal Venson grub yang paling di nantikan oleh orang orang dengan siapa dan kapan dia akan menikah. Tidak ada yang tau, sebab siapapun wanita yang berani mendekatinya akan ia hancurkan seperti wanita yang pernah menjebaknya tiga tahun yang lalu, Lina.
Jika bukan karena Lina, ia tidak akan memerawani wanita asing yang sampai sekarang ia rindukan keberadaannya. Dan sampai ia bertemu kembali wanita yang hanya ia ingat nama Vee saja, Venter akan mengikatnya bahkan tidak memperlihatkan pada dunia. Karena wanita itu adalah miliknya sejak malam itu.
"Istirahat lah, kita masih ada waktu untuk beristirahat sejenak," ucap Nick.
"Tidak ada waktu yang harus terbuang disini dengan sepele," balas Venter ketus.
Nick mendengus. "Oh ayolah. Aku ingin istirahat. biarkan aku merasakan masa masa remaja dulu," ucapnya.
Venter berdecih kesal. "Tidak ada urusannya denganku," ucapnya acuh.
Nick menatap kesal, sudahlah. Uratnya akan tegang jika ia dan Venter berdebat. Temannya yang ini hanya akan membuatnya mendidih di tempat.
"Terserah. Kau mau pergi kemana, atau pun kapan. Intinya hari ini dan besok istirahat. Aku bisa mati muda sebelum menikah gara gara kau!" ucap Nick dengan kesal.
Venter mengacuhkan ucapan Nick dan berlalu keluar dari tempat yang akan di jadikan nya tempat istirahat sementara. Ia menatap sekelilingnya. "Tidak buruk," batinnya berkata.
Tanpa sadar Venter berjalan menyusuri jalan luas yang ada di hadapannya. Banyak orang berlalu lalang disini. Mulai dari anak anak, remaja bahkan orang dewasa hingga lansia. Tak jarang wanita di sekitar nya mengedipkan mata ke arah nya membuatnya muak.
Brukk'
Venter menoleh kearah bunyi yang jatuh. Dua orang anak kecil mungkin berumur dua atau tiga tahun terjatuh tidak jauh dari hadapannya.
Venter yang melihat itu tidak mungkin ia akan diam saja. Ia pun membantu mereka agar bangun dari jatuhnya.
"Terima kasih," ucap mereka berdua dan menatap Venter.
Venter tertegun sejenak. Tunggu sebentar, sepertinya matanya memiliki masalah dalam penglihatan. kenapa ia merasa kedua anak kecil itu mirip dengannya? bisa di bilang sangat mirip. Seperti pinang di belah dua. Ia merasa seperti melihat dirinya waktu kecil.
"Dah paman!" teriak mereka dan belari menjauh dari Venter yang masih tertegun dan terdiam di tempatnya berdiri.
Nick menepuk pundak Venter. "Ada apa?" tanyanya heran saat melihat Venter diam.
"Apa benihku bisa berada jauh disini?" tanya Venter.
Nick melongo. "Apa kau gila? Apa kepalamu habis terbentur?" ucapnya.
Venter menatap Nick datar. "Berapa persen kemungkinan wanita yang bermalam dengan ku berada di tempat yang jauh? bahkan tidak pernah terpikir oleh ku?" ucapnya.
Nick menatap bingung. "Tidak yakin. 50:50 bisa terjadi jika wanita itu bukan warga asli disana melainkan negara jauh dari sana," ucapnya.
Venter menarik kerah baju yang di kenakan oleh Nick. "Periksa cctv di sekitar sini. Cari informasi dua anak kecil yang ada di depanku tadi!" ucapnya.
Nick menatap heran. "Apa kau berpikir. Anak kecil yang ada di depanmu itu anak mu?"
"Iya atau tidak pastikan informasi nya. Jangan banyak bertanya. Jika mereka benar anakku, wanita itu pasti disini juga!"
...∆∆∆...
...TBC...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!