NovelToon NovelToon

Ternyata Berjodoh

1. Merasa Familiar

Acara reuni almamater terasa meriah saat Alina baru saja memasuki aula pertemuan. Tidak ada yang berubah menurutnya, karena memang dirinya tidak begitu peduli dengan perkembangan pergaulan teman-temannya. Itulah sebabnya, selama berada di universitas, Alina hanya memiliki satu sahabat sampai sekarang. Sayangnya, sahabatnya tersebut sedang berhalangan hadir saat ini karena sedang berada di luar kota. Alina merasa tidak perlu menghadiri reuni ini, akan tetapi sang ibu memaksanya untuk hadir agar dapat mencari pasangan. Akhirnya Alina setuju untuk menghadiri acara reuni, daripada harus mendengar ocehan sang ibu mengenai pendamping.

Setelah berbasa-basi dengan beberapa kenalan, Alina memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Akan tetapi belum sampai di kamar mandi, Alina bertemu dengan Ega, kakak tingkat yang pernah menyatakan perasaan kepadanya Bersama seorang perempuan cantik.

“Aku kira kamu sudah menikah dengan ustadz pesantren. Tapi ternyata kamu masih belum laku.” Sindir Ega.

“Siapa dia sayang?” tanya perempuan yang Bersama Ega.

“Bukan siapa-siapa sayang, hanya kenalan yang tidak laku-laku karena merasa dirinya sok suci.” Jawab Ega dengan nada sarkasnya.

Alina hanya diam mendengarkan kedua orang tersebut. Dirinya paling malas meladeni orang-orang seperti mereka.

“Mengapa kamu diam saja Alina? Apa kamu benar-benar tidak menyukai laki-laki?”

“Bukan hak kamu untuk menilai apakah aku menyukai laki-laki atau tidak.” Alina akhirnya menjawab perkataan Ega.

“Yang jadi masalah, apakah ada laki-laki yang mau denganmu? Sedangkan kamu berdekatan dengan laki-laki saja tidak mau.”

“Jika Allah berkehendak, maka tidak ada hal mustahil. Saya permisi dulu.” Alina segera menghindar dari kedua orang tersebut, akan tetapi Ega menghentikannya dengan menarik tangannya. Seketika Alina menyentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Ega.

“Aku belum selesai bicara!” bentak Ega, seketika membuat perempuan yang sedang Bersamanya terkejut.

Tanpa mereka sadari, ada sosok yang memperhatikan mereka sedari tadi.

“Maaf saya merasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, jadi saya permisi undur diri.” Jawab Alina dengan nada tenang. Baginya meladeni seseorang seperti Ega tidak perlu sampai menguras emosinya.

“Ada apa ini?” tanya seorang laki-laki bertubuh tegap yang datang menghampiri. Lelaki inilah yang sedari tadi memperhatikan mereka tanpa diketahui.

“Senior, anda datang menghadiri reuni? Hal yang luar biasa.” Sapa Ega yang kemudian berniat menyalami tangan laki-laki tersebut namun tidak dihiraukan. Laki-laki tersebut justru berjalan mendekati Alina.

“Kenapa kamu lama sekali?” tanya laki-laki tersebut seraya menggenggam tangan Alina dan mengetuknya dengan jarinya.

Alina sendiri membatu mendapat perlakuan seperti itu. Dirinya tidak mengenal laki-laki tersebut, jika Ega memanggilnya senior sudah pasti laki-laki ini berada di tingkat yang jauh darinya. Anehnya, ia tidak merasa risih malah merasa nyaman dengan genggaman tangan laki-laki tersebut. Baru kali ini ia merasakan hangat genggaman tangan laki-laki yang bukan mukhrim. Dan ketukan jari laki-laki tersebut seakan mengisyaratkan jika dirinya akan membantu membuat Alina merasa tenang. Alina segera menguasai diri dan menjawab pertanyaan laki-laki tersebut.

“Maaf.” Hanya kata-kata tersebut yang keluar dari mulut Alina.

“Tak apa,mari kita pulang.” Ajak laki-laki tersebut yang ditanggapi anggukan Alina.

“Maaf senior, apakah senior mengenal Alina?” tanya Ega dengan heran. Pasalnya seniornya yang satu ini terkenal tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun dan jarang sekali mengikuti acara berkumpul seperti sekarang ini.

“Ya, apa ada masalah?” tanya balik laki-laki tersebut.

“Tidak, tapi saya hanya heran saja karena Alina bukan seseorang yang dengan mudah menggenggam tangan lawan jenis dan tidak mungkin juga baginya untuk berpacaran.”

“Kamu sepertinya sangat mengenalnya?” tanya laki-laki tersebut dengan seringai licik.

“Tidak senior, hanya tahu beberapa.” Jawab Ega kelabakan. Aura seniornya yang satu ini sangat mendominasi, itu sebabnya ia merasa sungkan di hadapannya sedari dulu.

“Kami bertunangan, apa salahnya kami bergandengan tangan?” kata laki-laki tersebut dengan senyum yang menurut Ega menakutkan. Ega pun segera berpamitan, ia tidak ingin terlibat masalah dengan seniornya yang satu ini.

Setelah kepergian Ega, Alina meminta laki-laki tersebut melepaskan tangannya. Laki-laki tersebut pun melepaskannya dan meminta maaf.

“Maaf, perkenalkan namaku Brian.” Laki-laki tersebut mengulurkan tangannya.

“Alina.” Jawab Alina dengan menangkupkan kedua tangannya didada. “Terima kasih atas bantuan Kak Brian.”

“Tak apa, tapi jika kamu ingin menjadi tunanganku yang sebenarnya aku juga tidak menolak.” Gurau Brian. Melihat Alina hanya diam tidak memberikan respon, Brian merutuki dirinya sendiri. Selama ini dirinya tidak pernah tertarik dengan lawan jenis karena menurutnya mereka adalah manusia paling merepotkan yang hanya bisa

menghabiskan uang.

“Di mana alamat rumah kamu?” pertanyaan Brian tersebut berhasil mengejutkan Alina.

“Untuk apa kakak menanyakan alamat rumahku?” Tanya Alina balik.

“Tidak ada maksud apa pun, aku hanya ingin mengantarkanmu pulang. Karena aku tadi secara tidak sengaja sudah mengucapkan janji untuk mengantarkanmu pulang.” Jelas Brian sambil memperhatikan raut wajah Alina, takut Alina semakin salah paham terhadap dirinya.

“Tidak perlu repot-repot kak, aku bisa pergi dengan taksi.”

“Tidak repot, aku yang berjanji maka aku yang akan menepatinya.” Alina terlihat berpikir sebentar, kemudian mengiyakan perkataan Brian.

Mereka pun berjalan beriringan meninggalkan aula pertemuan menuju tempat parkir. Kemalangan memang berada dimana-mana, di tempat parkir mereka kembali bertemu dengan Ega. Bedanya, Ega terlihat menahan amarah melihat Brian dan tidak berani berkomentar saat melihat Brian membukakan pintu untuk Alina.

Mobil Brian meninggalkan tempat parkir dan melaju menembus padatnya lalu lintas di kota malam itu. Akan tetapi Brian tidak langsung mengantarkan Alina ke apartemennya, melainkan singgah di sebuah restoran untuk makan malam. Selama di perjalanan, mereka sepakat untuk makan terlebih dahulu. Karena baik Alina maupun Brian, keduanya belum ada makan selama acara reuni tadi.

“Pesan menu lengkap untuk 2 orang.” Ucap Brian kepada salah satu pramusaji yang menghampirinya. Sambil menunggu pesanan datang, Alina permisi untuk pergi ke kamar mandi sedangkan Brian melakukan panggilan telepon kepada asistennya untuk membatalkan semua jadwalnya malam ini.

Alina Kembali ke tempat duduk bertepatan dengan pesanan mereka yang disajikan di atas meja. Mereka pun mulai makan malam tanpa ada pembicaraan. Selesai makan, mereka langsung menuju apartemen tempat tinggal Alina. Sesampainya di sana, Alina hendak mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil, namun ada panggilan

telepon masuk di ponselnya.

“Assalamualaikum ibu…” Alinan mengangkat panggilan tersebut dan mendengarkan lawan bicaranya yang tidak lain adalah ibunya.

Brian hanya diam memperhatikan Alina dari kaca spionnya, akan tetapi ia merasa ada yang tidak beres karena raut muka Alina berubah menjadi raut khawatir hingga Alina menyudahi sambungan ponselnya.

“Kak, bisa minta tolong antarkan aku ke rumah sakit? Tapi jika kakak sibuk, aku turun di sini saja.”

“Aku belum menjawab pertanyaanmu, mengapa kamu menyimpulkannya seperti itu?” tanya Brian. “Aku tidak sibuk, aku akan mengantarkanmu berikan alamatnya.” Imbuhnya.

Alina mengucapkan terima kasih, kemudian menyebutkan alamat rumah sakit yang dimaksudkan. Brian segera melajukan mobilnya menuju rumah sakit yang dimaksud Alina. Setelah memarkirkan mobilnya, Brian menawarkan diri untuk menemani Alina masuk ke dalam rumah sakit. Alina tidak menolaknya karena pusat perhatiannya saat ini adalah orang yang berada di rumah sakit, mereka pun berjalan beriringan memasuki Kawasan Unit Gawat Darurat. Setelah bertanya kepada seorang perawat, Alina menuju sebuah brankar di mana adik laki-lakinya terbaring. Brian

pun bertanya kepada salah satu dokter yang ia temui tentang keadaan laki-laki yang menyita perhatian Alina.

Dokter menjelaskan jika laki-laki tersebut merupakan korban tabrak lari setelah pulang dari perpustakaan. Tidak ada luka serius, hanya saja perlu memastikannya dengan melakukan CT-Scan karena korban mengalami benturan dikepala dan belum sadarkan diri. Brian pun menghampiri Alina dan menyampaikan apa yang diberitahukan dokter kepada Alina. Kemudian ada seorang perawat menghampiri mereka mengatakan akan memindahkan pasien ke ruang perawatan dan menyarankan pihak keluarga untuk menyelesaikan administrasi.

Alina meninggalkan Brian untuk pergi ke ruang administrasi, sedangkan Brian duduk dengan tenang di sebelah brankar sambil memperhatikan laki-laki yang ada di hadapannya. Jika diperhatikan secara sekilas ada kemiripan dari wajah laki-laki tersebut dengan Alina, ia menebak jika mereka bersaudara. Sampai akhirnya Alina datang Bersama beberapa perawat yang akan membantu memindahkan pasien ke ruang perawatan.

“Dia adalah adikku.” Kata Alina yang kini tengah duduk di sofa Bersama Brian.

“Ya, kalian mirip.”

“Maaf kak, aku merepotkan kakak.”

“Tak apa, istirahatlah aku akan menjaga kalian.”

“Kakak pulang saja, aku tidak apa-apa sendirian menjaga adikku. Kemungkinan besok pagi ayah dan ibu sudah sampai.”

“Tak baik anak perempuan menunggu sendirian.”

“Tidak baik lagi jika kakak di sini, karena kita bukan mukhrim.”

“Aku tidak akan berbuat macam-macam. Tidurlah, sebentar lagi temanku akan datang membawakan selimut dan beberapa keperluan. Sementara itu, pakai jas ini terlebih dulu.” Brian menyerahkan jasnya, Alina pun menerima jas tersebut tanpa penolakan.

Alina merasakan Lelah di tubuhnya dan kantuknya tidak dapat lagi ditahan, sehingga ia memejamkan matanya. Melihat Alina sudah terlelap, Brian menggelengkan kepalanya. Baru kali ini ia melihat perempuan sepolos Alina yang bisa tertidur di hadapan laki-laki yang baru dikenalnya. Akan tetapi, memang dirinyalah yang menyuruh Alina untuk beristirahat. Brian mengeluarkan ponselnya, dan mulai berselancar di sana. Dirinya tidak dapat tidur karena ada seseorang yang harus ia jaga. Apalagi akan ada kunjungan dokter tengah malam nanti untuk mengecek

keadaan adik Alina.

Tepat pukul 02.00 dini hari, Alina terbangun karena mendengar suara pintu tertutup. Alina memperhatikan sekitar, saat ini tubuhnya telah tertutup selimut. Alina menegakkan tubuhnya, kemudian berdiri ingin ke kamar mandi bertepatan dengan Brian yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Kakak masih di sini?” tanya Alina.

“Apa kamu mau mengusirku?”

“Saya kira kakak sudah pergi karena tidak ada orang tadi.” Jawab Alina sungkan.

“Oh…” jawab Brian singkat, yang kemudian meninggalkan Alina yang masih berdiri di depan kamar mandi.

Melihat Brian berjalan melewatinya, Alina segera masuk ke dalam kamar mandi menyelesaikan urusannya dan keluar dengan keadaan sudah berwudhu. Ia mulai melaksanakan sholat tahajud di sudut ruangan, sedangkan Brian hanya memperhatikan Alina dalam diam. Tak lama kemudian, datang dokter Bersama perawat yang mengecek keadaan adik Alina, dokter menjadwalkan pemeriksaan CT-scan pukul 08.00. Akan ada perawat yang datang untuk menjemput pasien nantinya. Setelah itu dokter pergi meninggalkan ruangan, bertepatan dengan Alina yang telah selesai melaksanakan sholat.

Brian menyampaikan apa yang telah dokter katakan, Alina mengangguk mengerti. Mereka Kembali diam tanpa ada perbincangan dan sibuk dengan ponsel mereka masing-masing.

Alina meletakkan ponselnya di meja dan berniat untuk berdiri untuk melaksanakan sholat subuh, dilihatnya Brian yang duduk terpejam. Mungkin Brian kelelahan menjaganya, ia pun berinisiatif untuk memasangkan jas yang sempat ia pakai dan dengan pelan berjalan menuju kamar mandi dan melaksanakan kewajibannya.

“Tok.. tok.. tok.. “ Terdengar suara ketukan pintu, Alina berjalan menuju ke arah pintu dan membukanya. Terlihat seorang laki-laki dengan tubuh tinggi berdiri di hadapan.

“Dia temanku” kata Brian yang saat ini sudah berada di belakang Alina. Alina pun mundur memberikan ruang untuk Brian. Melihat Brian berbincang, Alina memilih duduk di sofa dan membuka ponselnya.

“Aku harus pergi, ada penerbangan yang tidak bisa aku lewatkan pagi ini.” Kata Brian yang kini ada di hadapan Alina. Belum sempat Alina menjawab, Brian menyerahkan 2 paperbag kepadanya. Alina dengan bingung menerima paperbag tersebut. Brian yang melihat kebingungan Alina menjelaskan, jika paperbag tersebut berisi pakaian

ganti dan sarapan.

“Terima kasih atas bantuan Kakak. Semoga Allah membalas kebaikan kakak.” Alina kehabisan kata-kata atas perhatian dan sikap Brian kepadanya. “Semoga dilancarkan semua urusan kakak.” Imbuhnya.

“Sama-sama, aku juga berterima kasih kepadamu.” Jawab Brian sambil tersenyum. Alina hendak menanyakan terima kasih tentang apa, tetapi Brian sudah berpamitan terlebih dahulu dan mengucapkan salam, sehingga Alina hanya bisa menjawab salam tersebut dan melihat Brian Bersama dengan temannya menjauh.

Alina masih merasa bingung dengan hal yang dialaminya, dalam hati ada ketidakrelaan untuk berpisah. Baru kali

ini aku merasa dekat dengan seseorang yang baru saja aku kenal, apalagi lawan jenis. Selama ini aku menjauhi lawan jenis karena menurutku belum ada sosok yang membuatku tertarik. Meskipun ibu sudah mendesakku untuk mencari pendamping dan ingin menjodohkanku dengan anak teman baiknya. Aku merasa hidupku yang sekarang ini masih baik-baik saja. "Tapi… perasaan apakah ini?” tanyanya dalam hati.

Akan tetapi, ia menepisnya. Mungkin Allah memberikan bantuan melalui Brian sebagai perantara. Alina mulai melantunkan dzikir sebagai rasa terima kasihnya kepada kuasa Allah.

2. Kembali ke Aktivitas Normal

Adik Alina, Bagas sudah dapat meninggalkan rumah sakit hari ini. Dokter hanya menyarankan untuk beristirahat, karena tidak ada masalah serius hanya trauma akibat benturan yang terjadi saat tertabrak.

Alina ikut orang tuanya Kembali ke rumah mereka yang ada di pinggiran kota. Orang tua Alina adalah petani sayur yang memiliki beberapa hektar tanah. Mereka terjun secara langsung dalam prosesnya Bersama beberapa karyawan yang dipekerjakan. Alina sebenarnya suka menanam tanaman seperti orang tuannya, hanya saja ia tidak begitu tertarik untuk ikut Bertani seperti orang tuanya. Sehingga ia memilih untuk membuka bisnisnya sendiri di kota. Orang tuanya tidak mempermasalahkan hal tersebut, justru mereka mendukung keputusan Alina karena mereka juga mengharapkan anak Perempuan mereka tidak berkutat dengan sawah dan kebun. Justru Bagas, adik Alina yang sangat antusias dengan pertanian sampai-sampai masuk ke fakultas agrikultur agar dapat membantu mengembangkan pertanian orang tuanya.

“Apa tidak masalah jika kamu ikut pulang nak?” tanya Ayah Alina, Ahmad.

“Tidak ayah, Alina sudah menyerahkan semua pekerjaan kepada Lili. Ia yang akan menggantikan Alina sementara.” Jawab Alina.

“Bukannya Lili sudah memiliki anak, bagaimana jika anaknya menjadi tidak terurus nanti?” Alina mengerti kekhawatiran ayahnya, ia pun menjawab jika suami Lili, Afnan sedang cuti sehingga bisa membantu Lili mengurus anak mereka yang masih balita.

“Tidak apa yah, sekalian ini liburan untuk Alina. Dia sudah 2 bulan tidak pulang ke rumah.” Kata ibu.

“Maaf bu, 2 bulan kemarin Alina sangat sibuk dengan pesanan seragam wisuda, jadi tidak sempat pulang.” Kata Alina seraya memeluk sang ibu yang ada di sampingnya. Mereka pun mulai berbincang mengenai pertanian yang tidak lama lagi akan musim panen buah melon dan semangka.

Sesampainya di rumah orang tua Alina, mereka disambut beberapa karyawan yang memang mengetahui jika anak dari bos mereka mengalami kecelakaan. Setelah berbincang-bincang sebentar, para karyawan pun pamit untuk

Kembali ke kebun Bersama ayah Ahmad, sedangkan Bagas izin masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Tersisa Alina yang membantu sang ibu membereskan gelas.

"Nak, kapan kamu akan membawa calon menantu ibu datang?" tanya ibu Azizah tiba-tiba seketika membuat Alina terkejut.

"Ibu, apakah tidak ada topik lain?" keluh Alina.

"Bukan tidak ada topik lain nak, ibu hanya ingin kamu segera ada pendamping. Ibu selalu merasa khawatir kamu tinggal sendiri di apartemen." jelas ibu Azizah.

"Jika Allah berkehendak, jodoh Alina pasti datang bu." jawab Alina yang diaminkan oleh ibu Azizah.

Selesai membantu membereskan dapur, Alina berpamitan ke kamar. Ia mulai melakukan videocall bersama Lili, diujung sana Lili sedang menjelaskan beberapa pesanan masuk via e-commerce. Alina hanya mengiyakan, dan meminta Lili memastikan penjahit mereka selalu dalam keadaan prima karena seluruh pesanan dikerjakan by order. Alina menutup sambungan setelah tidak ada lagi pembahasan.

Ia membuka laptopnya, melihat perkembangan usahanya. Awal mula ia membuka butik dengan bermodalkan mesin jahit portable. Ia dan Lili menjahit baju hasil design mereka sendiri kemudian mereka jual di salah satu platform e-commerce yang sedang naik daun. Mulai dari atasan, bawahan, oneset, gamis, kebaya dengan design mereka

sendiri. Satu bulan berjalan, pesanan yang mereka Terima mulai melonjak hingga mengharuskan mereka mencari penjahit tambahan. Dengan bantuan Afnan, suami Lili pencarian tenaga kerja menjadi lebih mudah. Karena di sekitar tempat tinggal orang tua Afnan banyak ibu rumah tangga yang memerlukan pekerjaan tambahan dan lulusan SMA yang menganggur.

Butik mereka buka setengah tahun kemudian, dengan mempertimbangkan tempat yang layak untuk display produk agar pengambilan gambar dapat dilakukan dengan leluasa. Berkah lain yang mereka dapatkan adalah sambutan baik pelanggan yang datang langsung ke butik. Sehingga mereka merasa keputusan untuk membuka butik adalah

keputusan tepat. Sampai sekarang, Alina telah mempunyai 10 penjahit tetap, 5 penjahit paruh waktu, 10 karyawan yang menangani packing serta gudang, 5 karyawan serabutan dan 5 karyawan di butik.

Meskipun butik dirintis berdua dengan Lili, kepemilikan tetap atas nama Alina karena Lili merasa sudah banyak berhutang budi kepada Alina. Sehingga mereka setuju tetap bekerja berdua, tetapi Alina yang mempekerjakan Lili.

Setelah melihat perkembangan usahanya, Alina melihat jam over shift karyawan yang telah terakumulasi. Dengan menggunakan jurnal, memudahkannya untuk menghitung gaji dan upah untuk karyawannya. Sehingga memudahkannya dalam pembayaran gaji karena rata-rata gaji karyawan diserahkan secara cash seminggu sekali. Dengan sistem upah seperti ini, membuat karyawannya semangat bekerja karena mereka tidak perlu menunggu sampai sebulan. Awalnya, upah diberikan per 2 hari, akan tetapi Alina yang mulai kewalahan dengan pesanan menyarankan untuk dibayarkan per minggu. Hal ini memudahkan Alina dalam pengambilan uang tunai satu kali dalam seminggu. Karyawan dengan senang hati menerima usulan Alina. Karena mereka juga mengerti bagaimana Alina merintis usaha tersebut dan tidak segan untuk memberikan mereka bonus setiap ada pesanan besar.

Alina pun mengirimkan rincian gaji kepada Lili, karena besok adalah waktu pembayaran gaji.

Sayup-sayup Alina mendengar lantunan adzan, melihat jam dinding sudah menunjukkan waktu ashar. Alina bergegas untuk melaksanakan kewajibannya, setelah itu ia keluar menuju dapur untuk membantu ibu menyiapkan makan malam.

"Nak, tolong antarkan kopi ini ke kebun." pinta ibu Azizah yang telah menyiapkan satu tas anyaman berisi teko kopi dan beberapa gelas serta gorengan.

"Baik bu." jawab Alina. Tidak lupa Alina menggunakan topi bambu dan mulai berjalan menuju kebun yang tidak jauh dari rumah. Di sepanjang jalan, Alina bertemu dengan beberapa warga desa dan menyapa mereka. Sesampainya di kebun, Alina menuju pondok yang ada di tengah-tengah kebun. Pondok ini berfungsi sebagai tempat singgah juga tempat berjaga jika tanaman sudah masuk masa panen untuk mencegah serangan hewan liar.

"Assalamu'alaikum ayah.. "

"Wa'alaikumsalam.. Pas sekali nak, ayah pengen ngopi." Alina segera mengeluarkan kopi dan gorengan yang dibawakan ibu.

"Kamu langsung balik saja nak, di sini masih panas sekali. Jangan lupa bawa semangka itu untuk di rumah." kata ayah Ahmad.

"Alin tidak apa-apa yah." jawab Alina sambil tersenyum. Tidak banyak yang tahu jika Alina merupakan pemilik usaha di desanya. Mereka hanya tahu jika Alina bekerja di  kota dan sesekali pulang ke rumah untuk berlibur.

Meskipun desa adalah tempat yang nyaman untuk tinggal karena jauh dari polusi perkotaan, tetapi tingkat kerahasiaannya sangatlah tipis. Bagi mereka yang hanya tinggal sebentar di desa mungkin merasa desa merupakan destinasi yang sangat ramah. Tetapi, jika sudah tinggal lama di desa dan merupakan penduduk desa, warga desa bisa diibaratkan sebagai CCTV yang terpasang di mana-mana, jaringan penyebaran beritanya lebih cepat dibandingkan dengan teknologi sekalipun. Sehingga identitas Alina sengaja disembunyikan untuk kenyamanan Alina.

Ayah Ahmad tidak ingin anak gadisnya menjadi bahan omongan warga desa karena memiliki bisnis dan menganggap bisnis tersebut yang menyebabkan anak mereka tidak laku. Meskipun keluarga mereka termasuk terpandang di desa, hati manusia tidak ada yang tahu. Dan di sinilah Alina, membantu ayah Ahmad mengalirkan air untuk menyiram tanaman. Meskipun matahari masih terik, suasana tetap sejuk karena masih banyak pohon rindang di sekitar kebun. Dan terdapat beberapa petak kebun buah kelengkeng dan rambutan. Karena musim kemarau, sawah saat ini ditanami palawijo dan sebagian ditanami melon, timun dan semangka. Beberapa sudah mulai dipanen dan dijual oleh kakak ayah Ahmad, pakdhe Wira. Sama halnya dengan Lili, pakdhe Wira dipekerjakan ayah Ahmad di kebun setelah pensiun dari pabrik. Karena pakdhe Wira tidak berbakat bertani, ayah Ahmad memberikan tanggung jawab penjualan dan pengiriman bersama 3 karyawan lainnya.

"Lin, pakdhe jadi pesan baju sekeluarga yang kamu kirim gambarnya kemarin. Tapi budhe mu maunya warna ungu. Apa pantes pakdhe pakai warna ungu, Lin? " tanya pakdhe Wira.

"Bisa pakdhe, nanti Alin buatkan warna dusty purple biar cocok sama warna kulit pakdhe." jawab Alina.

"Oke, pakdhe percaya sama kamu Lin. Ini pakdhe bayar cash yaa, pakdhe baru saja dapat

bonus dari ayahmu." kata pakdhe Wira sambil tertawa memilih ayah Ahmad.

"Terima kasih pakdhe." Meskipun keluarga, ayah Ahmad selalu mengajarkan Alina untuk tetap memberi batasan. Karena tidak ada yang bisa menebak hati manusia, maka dari itu memberi batasan pada urusan masing-masing merupakan kebijakan yang dapat menghindarkan keruhnya silahturahmi.

"2 minggu acaranya Lin, kamu juga hadir yaa. Dicari mbak mu nanti kalau kamu tidak ada." kata pakdhe Wira mengingatkan Alina acara pertunangan kakak sepupunya.

"Alin gag bisa janji pakdhe, karena 2 hr sebelum acara mbak Ayu Alin menghadiri acara di kota J." sesal Alina.

"Ya tidak apa-apa kalau begitu Lin. Kamu fokus sama acara kamu dulu, kalau sempat ya datang kalau tidak juga tidak apa-apa."

"Apa perlu ayah temani Lin? " tanya Ayah Ahmad.

"Tidak perlu yah, Alin nanti bawa 3 karyawan ke sana. Lagian ayah harus menghadiri acara pakdhe."

"Iya sudah, ayah do'akan semuanya lancar." Alina dan pakdhe Wira mengaminkan doa ayah Ahmad bersamaan.

Waktu sudah mulai senja, mereka pun memutuskan untuk kembali ke rumah.

Selesai mengerjakan sholat magrib, seluruh keluarga berkumpul diruang makan untuk makan malam. Setelah selesai mereka berkumpul diruang keluarga sambil menikmati teh dan menonton televisi.

"Kak, Laki-laki yang menemani kakak di rumah sakit kemarin siapa? " tanya Bagas tiba-tiba yang sontak mengejutkan kedua orang tuanyatak terkecuali Alina.

"Siapa Lin?" tanya ayah dan ibu kompak.

"Bukan siapa-siapa, hanya kakak tingkat yang kebetulan mengantarkan Alina ke rumah sakit. " jawab Alina biasa.

"Kebetulan?" kali ini 3 orang secara serempak meragukan jawaban Alina.

Alina hanya bisa pasrah melihat reaksi keluarganya. ia hanya menceritakan secara garis besar bagaimana mereka bertemu sampai mengantarkannya ke rumah sakit dan menunggunya disana. awalnya mereka tidak percaya begitu saja dengan penjelasan Alina, akan tetapi mereka tidak menekan Alina lebih lanjut mengingat sifat Alina yang tertutup. suatu hari mungkin apa yang mereka pikirkan akan menjadi kenyataan, begitulah doa ketiganya.

3. Bersisian Yang Tidak Terduga

"Niar, tolong segera packing dan serahkan ke kurir baju keluarga yang ini yaa. " kata Alina yang telah menyiapkan baju pesanan paman Wira. Niar mengangguk dan segera melaksanakan tugasnya.

"Kebaya kurung warna putih kamu simpan di mana Al? " tanya Lili.

"Aku kirim ke paman Wira Li, hadiah untuk mbak Ayu. Aku tidak bisa hadir si acara mereka soalnya." jawab Alina tanpa melihat kearah Lili.

Lili yang mendengar jawaban Alina bersungut2, pasalnya harga baju keluarga kemarin sudah diskon 20%. Lebih banyak dari diskon yang seharusnya hanya 10% untuk pemesanan di bawah 10 set. ditambah kebaya yang harganya setengah dari nilai pembayaran baju mereka. Terkadang Lili merasa geram dengan sikap Alina seperti ini, memang tidak rugi tetapi sangat disayangkan. Tetapi ia juga tidak bisa mengubah keputusan Alina, ia pun meninggalkan Alina dengan gerakan kasar mencerminkan kekesalannya.

Alina tahu pemikiran Lili saat ini, tetapi ia memilih untuk mengabaikannya. Karena menurutnya membahagiakan orang-orang di sekitarnya juga termasuk ladang pahala baginya.

"Mbak, semua kebaya dan gamis yang mau dibawa sudah siap semua. Dinda, Ratih, dan Veri juga sudah dapat izin dari keluarga mereka untuk ikut mbak Alin." kata Niar sembari menyerahkan list barang.

"Terima kasih Niar, kita berangkat malam ini karena ada pemotretan yang perlu dilakukan di sana."

"Iya mbak, sudah saya sampaikan. Ini koper mbak Alin saya masukkan ke bagasi sekalian ya? "

"Terima kasih."

"Sama-sama mbak." Niar membawa koper Alina menuju mobil yang terparkir di depan butik. Mobil milik Alina pribadi tetapi jarang digunakannya, karena ia lebih memilih naik taksi dan mobil pemberian ayah Ahmad.

Alina mencari Lili di ruangannya yang sekaligus berfungsi sebagai tempat istirahat, ternyata Lili sedang menyuapi anaknya di sana. Meskipun memiliki pengasuh, Lili tetap menyuapi dan menyusui anaknya sendiri. Pengasuh hanya bertugas menjaga anaknya saat tidur atau saat Lili tinggal bekerja. Karena Alina membebaskan Lili dengan catatan pekerjaan tetap beres.

"Li, aku titip butik sama gudang ya. Bisa sekitar 2 minggu aku di sana, aku kira hanya acara fashion show tapi

ternyata schedulenya padat." kata Alina sambil merapikan laptop ke dalam tas ranselnya.

"Aman Al, yang penting bonusnya ditambah. " jawab Lili sambil terbahak.

"Asal penjualan naik, gampang Li." jawaban Alina sukses membuat manyun mama muda tersebut.

"Al, nanti kalau ketemu designer Sungkar minta tanda tangannya ya?"

"Untuk apa Li?"

"Aku penggemarnya Al, jangan lupa ya? "

"Maksa.. Aku tidak janji, karena aku belum tahu bisa bertemu apa tidak."

"Harus pokoknya."

Perbincangan mereka terhenti karena Kayla, anak Lili menangis merasa diabaikan oleh mamanya. Lili pun sibuk menenangkan anaknya, sedangkan Alina mulai membaca novel yang baru di belinya. Ia tertarik membeli karena ada kesamaan nama di sana dan juga minatnya yang tergelitik saat membaca blurb novel tersebut.

Tak terasa sudah masuk waktu ashar, selesai melaksanakan kewajiban Alina mengecek kembali barang yang akan dibawanya. Setelah merasa semuanya lengkap, Alina mengajak karyawannya untuk segera berangkat agar perjalanan mereka bisa lebih santai. Setelah berpamitan kepada Lili, mereka pun meninggalkan area butik menuju jalur kota J.

Selama perjalanan, karyawan yang sudah lelah pun tertidur. Tersisa Alina yang masih terpaku dengan novelnya dan Veri yang menyetir. Awalnya ia ingin menyewa jasa travel, tetapi Niar menyarankan untuk membawa Veri yang pernah bekerja di kota J. Alina sendiri belum pernah ke kota J, apalagi jaraknya yang lumayan jauh sekitar 8 jam perjalanan, ia hanya bisa mengandalkan Veri. Saat melihat jam ditangan, Alina meminta Veri untuk berhenti di masjid untuk melaksanakan sholat magrib. Mereka pun melaksanakan kewajiban dan setelahnya mencari tempat untuk makan malam. Veri yang memang sudah terbiasa dengan jalur kota J, dengan lihai mengemudikan mobil dan tahu tujuan yang layak untuk mereka makan malam sebelum masuk area jalan tol.

Tepat pukul 03.00 dini hari, mobil mereka memasuki parkiran hotel yang telah dipesan sebelumnya. Veri tidak mau dipesankan kamar dengan alasan bisa tidur di mobil dan akomodasi kamar bisa ia cairkan. Ia sedang membutuhkan banyak uang untuk modal pernikahannya. Tetapi Alina tetap memesan 3 kamar, 1 untuknya, 1 untuk

dua karyawan perempuannya Nani dan Tatik, dan 1 lagi untuk Veri. Setelah masuk ke kamar masing2, mereka pun beristirahat karena besok pagi mereka harus pergi ke tempat pemotretan.

Pukul 06.30, semuanya sudah berkumpul di resto hotel untuk sarapan. Selesai sarapan, Alina memberikan alamat yang harus dituju kepada Veri yang langsung tancap gas. Satu jam kemudian mereka pun sampai di sebuah gedung bertingkat. Alina menuju lobi dan diarahkan untuk naik ke lantai 3. Alina diikuti ketiga karyawannya yang membawa barang masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai 3.

Keluar dari lift, mereka disambut salah satu staf penanggung jawab dan mengarahkan mereka ke ruang pemotretan. Di sana sudah berkumpul beberapa model dan fotografer serta staf penanggung jawab. Sesi pemotretan dijadwalkan untuk setiap peserta fashion week agar tidak bertabrakan dan efisien. Setelah semua model mengenakan baju yang telah dibawa dan make up sesuai tema, Alina mengarahkan gaya agar saat pemotretan dilakukan dapat menonjolkan design baju. Sesi pemotretan selesai sebelum jam makan siang. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Alina berpamitan dan berterima kasih kepada seluruh staf atas kegiatan hari ini. Jadwal selanjutnya adalah menuju gedung pertunjukan, di sana ada both pameran yang perlu disiapkan. Tetapi sebelum itu, mereka akan mampir untuk makan siang.

Ketika sampai dilobi, Alina mengambil foto selfie untuk dikirimkan kepada ibu Azizah sesuai pesan beliau. Sekalian mengabari bahwa proses pemotretan berjalan dengan lancar.

Kini mereka sudah berada di dalam gedung pertunjukan. Setelah konfirmasi dengan pihak penyelenggara, Alina membuat konsep untuk bothnya. Tidak lupa meminta saran dari Lili melalui video call. Nina dan Tarik membantu Alina untuk merapikan meja dan kursi, sedangkan Veri berperan sebagai kameramen dokumentasi. Konsep sudah tersusun, Alina meminta Veri mengantarnya ke toko kain dan perlengkapan untuk menghias both. Mereka pun bergegas berbelanja agar besok mereka segera bisa menyiapkan both.

"Untungnya mbak Alina memilih pakai mobil ini, kalau mobil yang satunya bisa-bisa tidak muat barang-barangnya." seru Tatik yang kedua tangannya penuh dengan barang bawaan.

"Iya, sekalian merasakan mobil baru." Nina menimpali.

"Kalian ini bisanya gosip." cekal Veri yang sontak mendapat ejekan dari keduanya. Sedangkan Alina hanya tersenyum melihat kegaduhan mereka.

Sebenarnya mobil ini bukan keinginannya, Lili yang memaksanya membeli mobil SUV. Karena menurutnya mobil Alina hanya bisa untuk jalan santai. Setelah membelinya pun hanya beberapa kali ia gunakan untuk menghadiri acara di luar kota. Tetapi setelah seperti sekarang, Alina baru merasakan manfaatnya.

Mengabaikan ketiga karyawannya yang masih sibuk menata barang belanjaan, Alina membuka ponselnya. Ibu Azizah membalas pesannya, tetapi fokus yang ibu Azizah bahas bukanlah pemotretan melainkan laki-laki yang ada di belakang Alina. Alina pun memperhatikan kembali fotonya, ternyata memang ada laki-laki lewat di belakangnya. Dan wajah laki-laki tersebut tidak asing, itu adalah Brian. Jantung Alina seketika berdebar, ia tidak menyangka bisa bersisian jalan dengannya. Satu bulan berlalu sejak pertemuan kebetulan mereka, Alina mengira jika dirinya sudah lupa. Ternyata ia salah, hanya melihat dari samping saja ia sudah tahu jika itu adalah Brian. Anehnya kesan Brian begitu mendalam di benaknya. Alina menepis Pikirannya, dan membalas pesan ibu Azizah.

Alina: Hanya orang lewat bu, Alina juga tidak tahu jika ikut terfoto.

Ibu: Ya Allah Alin, orang ganteng seperti kamu lewatkan.

Alina: Ibu mau anak ibu jadi cewek kecentilan?

Ibu: Tidak begitu juga Lin. Maaf ibu hanya pengen nimang cucu.

Alina tidak membalas pesan ibu Azizah, ia memilih untuk memejamkan matanya. Saat membuka mata kembali, mobil sudah memasuki area hotel tempat mereka menginap.

"Mbak Alin baik-baik saja? " tanya Veri.

"Iya Ver baik, mungkin kelelahan. Setelah ini kalian bebas mau apa, mobil kalau mau dibawa jalan juga boleh, asal barang-barangnya aman. Saya mau istirahat dikamar saja." kata Alina. Ketiga karyawannya pun langsung sumringah. Mereka ingin melihat-melihat kota J yang terkenal dengan sebutan kota metropolitan. Tetapi mereka tidak mau menggunakan mobil, mereka memilih untuk jalan kaki karena letaknya hotel tidak terlalu jauh dengan pusat perbelanjaan dan taman kota. Veri menyerahkan kunci mobil kepada Alina dan berpamitan.

Alina berjalan sendiri menuju kamar hotel yang berada di lantai 3. Saat akan masuk kedalam lift, Alina berpapasan dengan beberapa orang berpakaian rapi yang keluar dari lift. Alina menunduk dan memberi mereka ruang, setelahnya barulah Alina masuk ke dalam lift. Ada bau parfum yang mengusik hidungnya, bau yang sama dengan jas Brian yang pernah ia kenakan.

Alina masih tidak mengerti dengan perasaannya, siluet nya, bau parfumnya, ia masih ingat dengan jelas. Padahal pertemuan mereka hanya singkat dan setelahnya mereka tidak ada berhubungan. "Ya Allah, engkau lah Yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Bimbinglah hamba menuju ridho-Mu, jauhkanlah hamba dari murka-Mu." doa Alina didalam hati dan hatinya pun kembali tenang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!