Lebih dari dua mobil sedan berwarna hitam nampak melaju kencang membelah jalanan.
Di depan sana, mobil lain turut melaju dengan kecepatan tinggi tanpa mempedulikan jalanan yang malam ini terbilang sepi.
Namun, urung mobil itu menghindar, tidak jauh di belakang, beberapa orang mengeluarkan senjata api dan berhasil menembak ban mobil milik orang tersebut hingga meledak.
Di sisi lain, Daisy yang baru saja pulang dari Prancis terkejut bukan main saat dia hampir menabrak mobil yg sudah terguling-guling dan terseret di atas aspal.
Niat hati untuk segera pergi, dia terbelalak ketika suara tangisan bayi terdengar. Menoleh ke sekeliling, Daisy lantas bergegas menuju mobil yang sudah mengeluarkan kepulan asap itu.
Menelpon polisi dengan wajah tegang, Daisy memeriksa orang-orang yang sudah terkapar tidak bernyawa di dalam mobil, sampai matanya melebar tatkala menangkap objek gumpalan kecil yang bergerak-gerak.
"Ya Tuhan!"
Cepat-cepat mengeluarkan bayi yang berada dalam dekapan erat ibunya yang sudah tiada, Daisy berlari saat kepulan asap semakin mengembang tinggi dan tak banyak berpikir, dia llangsung menancap gas menjauhi tempat peristiwa itu.
Memeluk bayi berusia lima bulan yang masih menangis keras, Daisy melihat ke belakang, di mana mobil yang terguling tadi telah meledak, sedangkan samar-samar dia mendengar tawa dari beberapa orang yang berada sudah berdatangan di sekitar sana.
Menatap bayi yang dipeluknya, Daisy berjanji akan menjaga dan melindunginya. Walau ada setitik ketakutan akan prasangka buruk, Daisy bersumpah untuk melindungi sampai berhasil menemukan keluarga bayi ini.
“Tenang Sayang, kamu aman sekarang,” kata Daisy seraya mengusap lembut kepala bayi yang tidak ia ketahui namanya itu.
Di sisi lain, tepat di dalam gedung firma hukum, Axel melempar ponselnya hingga hancur.
Berjalan penuh amarah meninggalkan ruang kerjanya, wajah merah padam Axel membuat orang-orang yang berlalu-lalang menyingkir memberi jalan.
“Bagaimana bisa?! Bukankah aku sudah mengatakan untuk selalu mengawasi keluargaku?! Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan?!”
Anak buah Axel hanya mampu tertunduk melihat kemarahan sang majikan. Di lobby lantai bawah tempat mereka berada, Axel menendang pintu mobil guna menyalurkan emosi.
Mendengar kabar mengenai keluarganya yang mengalami kecelakaan serta kabar adanya korban tewas, Axel tidak menunggu lama langsung menuju parkiran dan bergegas ke tempat kejadian, akan tetapi saat dia sampai di parkiran, darah Axel sontak mendidih melihat para anak buahnya malah berbincang santai seolah tidak menuruti apa yang telah dia perintahkan.
“Apa aku menggaji kalian untuk melakukan hal bodoh dan tidak berguna?! Jika benar kabar tentang adanya keluargaku yang tewas, aku tidak segan-segan memenggal kepala kalian.”
Setelah mengucapkan itu, Axel melaju dengan kecepatan tinggi. Meremas setir, air mata Axel luruh.
Ketakutan yang membayangi, kini mulai nampak sangat jelas.
Menyalahkan diri sendiri, Axel meratapi kelalaiannya. Berkendara dengan perasaan tidak menentu, Axel mengepalkan tangan saat sampai di tempat yang ia tuju.
Goresan panjang di aspal akibat kecelakaan. Mobil yang hancur serta body-nya yang hangus terbakar, Axel berdiri kaku tanpa mengalihkan tatapannya pada lebih dari satu kantong jenazah yang ditutup kain putih.
Tersimpuh, Axel menangis dalam diam.
“Pak Axel?”
Axel mendongak menatap pria berseragam polisi di depannya.
“Seluruh korban yang tewas ada tiga orang.”
Axel terdiam. Berdiri, lalu membuka semua kain yang menutupi tubuh yang telah terbujur kaku itu.
Tertegun, tangan Axel terkepal. “Sial.”
Tiga jenazah yang terdiri dari kakak serta kakak ipar dan ibunya, Axel tidak mendapati sang keponakan.
“Hubungi Direktur Monro House. Minta mereka memberikan rekaman cctv di bagian ujung jalan ini.”
Polisi tersebut mengangguk. Menuruti perintah Axel, dia bersama jajaran anggotanya berlalu.
Duduk di sebelah jenazah Aarav, mata Axel berkilat merah penuh dendam, “Aku akan membalas mereka serupa dengan apa yang mereka lakukan pada keluarga kita, Kak. Aku janji,” kemudian menggenggam jari ibunya, Axel menangis kembali, “Maafkan Axel Ma, maafkan Axel yang tidak bisa melindungi kalian.”
.........
Tidak langsung pulang, Daisy membelokkan mobilnya menuju rumah sakit terdekat.
Memasuki bangunan milik keluarganya itu, Daisy tidak peduli akan tatapan para Dokter yang mengenalinya.
“Aku minta kalian untuk tutup mulut atas apa yang kalian lihat,” perintah Daisy.
Semua orang mengangguk. Memilih membuang muka, mereka bersikap selayaknya Dokter pada pasiennya.
“Periksa secara menyeluruh anak ini. Apa ada permasalahan darurat atau tidak.”
Menuruti perkataan Daisy, salah satu Dokter itu memeriksa kondisi si bayi yang menangis cukup keras.
“Tidak ada luka sama sekali di tubuhnya. Hanya saja dia menangis karena merasa terkejut.”
Daisy mengangguk. “Apa perlu dirawat di rumah sakit?”
“Tidak perlu. Tidak ada luka yang membutuhkan perawatan intensif.”
“Baiklah,” menghembuskan nafas lega, Daisy mengamati bayi yang dia tolong tengah ditangani Dokter anak-anak tersebut.
Bersambung .....
Axel mengeraskan rahangnya tatkala mendapati rekaman yang membuat hati serta darahnya mendidih.
Kejadian yang menimpa keluarga Haidar benar-benar membangkitkan sisi iblis Axel.
“Perlambat pada menit ke tiga.”
Semua orang di dalam ruangan Direktur Monro House diam mengintai. Menatap serius pada setiap adegan yang tersaji, hingga siluet seorang wanita yang berlari menuju tempat kejadian perkara membuat mereka mengerutkan dahi.
“Wanita itu terlihat tidak asing,” ungkap Polisi yang bersama Axel sejak tadi.
“Bukankah dia Desainer itu? Daisy Kaellova?”
Mata tajam Axel mengikuti setiap gerak-gerik Daisy, sedikitpun tak teralihkan bahkan setelah Daisy membawa keponakannya pergi.
“Apa mungkin dia salah satu pelaku yang terlibat? Tapi tidak masuk akal.”
“Tidak ada yang tidak masuk akal. Sekalipun orang terdekat, bisa juga berkhianat,” Axel bangkit dari tempatnya duduk, melangkah keluar, dia berucap, “Kirim aku alamat Desainer itu, sepuluh menit kemudian bawa beberapa orang mendatangi kami.”
Mereka yang masih belum mengerti hanya mengangguk sembari menatap tubuh Axel yang mulai tidak terlihat lagi.
“Daisy, jika sampai kamu terlibat sebagai pelaku pembunuhan keluargaku, aku tidak akan berpikir dua kali untuk menghabisimu.”
...…...
Daisy mengusap kasar wajahnya. Membelokkan mobilnya ke kantor polisi, dia diliputi kebimbangan saat ini.
Jika dia masuk ke dalam sana dan melapor atas kecelakaan tadi, tentu bisa menimbulkan masalah besar nanti.
Berpikir dua kali untuk turun dari mobil, Daisy benar-benar bingung sekarang.
“Aku harus melaporkannya atau tidak?” gumam Daisy.
Menahan tubuh bayi itu menggunakan satu tangan, Daisy menggigit bibir bawahnya.
“Jika aku melaporkannya, bisa jadi orang-orang itu akan langsung mendatangiku. Apalagi aku bersama satu-satunya korban yang masih hidup … aku harus bagaimana?”
.........
Axel menuju tempat di mana titik lokasi mobil Daisy berada.
Bersama orang-orang yang bekerja untuknya, Axel bersumpah akan membuat kehidupan Daisy menderita bila benar wanita itu terlibat atas kematian keluarganya.
Menghentikan mobilnya di sebelah mobil Daisy yang masih terparkir, Axel menyeringai melihat Daisy yang terbelalak karena kehadirannya.
“Hello Daisy?”
Daisy mematung. Mengeratkan pelukannya pada bayi yang dia gendong, dia meremas setir.
Mendekati Daisy, atensi Axel teralihkan pada sosok mungil yang Daisy dekap.
"Aaron," lirih Axel.
Mengetuk kaca mobil Daisy tidak sabaran, Axel menatap tajam Daisy yang juga memberi tatapan tajam kepadanya.
“Buka pintu mobilmu.”
Daisy mendesis. “Dalam mimpimu.”
Menyalakan mesin, Daisy yang hendak melaju terkejut ketika mobil lain datang dan menghadangnya dari belakang.
“Kau pandai memilih tempat untuk menyerahkan diri,” ingin sekali Axel memecahkan kaca tersebut dan merebut sang keponakan, namun mengingat mereka berada di ruang umum membuat Axel harus menahan keinginannya.
“Suruh orang-orangmu menyingkir dari jalanku.”
Axel tidak bergeming. Memberi tekanan, pandangannya terfokus pada keponakannya.
“Katakan padaku, kenapa kau membunuh keluargaku?”
“Apa?” Daisy mengernyit, “Kau bilang apa barusan?”
“Berikan keponakanku padaku.”
Daisy terkekeh. “Kau pikir aku percaya? Pengacara sepertimu, bisa melakukan apa pun untuk memenangkan sesuatu hal dengan cara yang tidak benar.”
Mengepalkan tangan, Axel menyorot penuh permusuhan pada Daisy. “Aku katakan sekali lagi, berikan anak itu kepadaku.”
“Dan aku katakan lagi, jika aku tidak akan memberikan anak ini padamu,” tekan Daisy.
Menekan kuat kaca mobil Daisy hingga nyaris pecah, Axel menggertakkan gigi.
“Aku bisa menghancurkanmu. Jangan bermain-main denganku, Daisy. Kau tahu seperti apa perangaiku.”
Tidak takut sama sekali, Daisy menatap tepat mata Axel. Membunyikan klakson, dia sudah kesal setengah mati.
“Menyingkir dari hadapanku.”
“Tidak, sebelum kau memberikan keponakanku.”
“Kau–”
“Ada apa ini?”
Perkataan Daisy terhenti saat lebih dari lima pria berseragam Polisi datang, menengahi perseteruan di antara Daisy dan Axel.
Masih menampilkan aura tidak bersahabat yang kentara, Daisy maupun Axel tidak mempedulikan bagaimana publik figur seperti mereka kemungkinan mendapat poin minus dari orang-orang yang berlalu-lalang di parkiran.
“Kenapa kalian membuat keributan di sini?”
Daisy menoleh, mendekap tubuh mungil dalam pelukannya, dia sudah berjanji untuk melindungi anak ini.
“Dia tiba-tiba datang dan memaksaku memberikan anakku.”
Axel berdecih. “Mulutmu tidak pernah berubah dalam kebohongan.”
Tidak menggubris Axel, Daisy memasang wajah melas. “Pak, bisa menyuruh mereka menyingkir dari jalanku. Anakku harus segera tidur. Sejujurnya aku ke sini tadi berniat untuk melaporkan tindakan tidak menyenangkan pria di hadapanku ini.”
Mengerti, anggukan diberikan Polisi itu kepada Daisy. Bersikap profesional meski yang dia hadapi ialah sesosok Pengacara luar biasa seperti Axel, tapi dalam sumpah pengangkatannya sebagai seorang Polisi, melindungi korban dari tersangka adalah tugas utamanya.
“Pak Axel, walau anda seorang Pengacara, bukan berarti anda bisa bertindak semau anda. Beberapa peraturan harus ditaati. Anda tidak boleh melanggarnya.”
“Kau tidak tahu apa pun,” hina Axel.
“Tapi Nyonya ini datang sebagai klien kami. Melihat anda berlaku semaunya, tentu kami tidak akan tinggal diam.”
Axel menahan tinjunya. Berbalik arah, dia bersandar pada mobil miliknya.
“Aku bersumpah kau akan menyesalinya.”
Mengabaikan ancaman Axel, Polisi tadi meminta Daisy untuk segera pergi dan tentu langsung ditanggapi bahagia oleh Daisy.
Meninggalkan ketegangan yang ada, Daisy tersenyum puas mengamati wajah Axel yang dipenuhi amarah melalui spion.
Terkikik, dia senang bukan kepalang. Axel yang begitu arogan, pantas mendapatkan sesuatu hina seperti sekarang.
Bersambung .....
Daisy terburu-buru masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan beberapa pembantunya yang menatap bingung ke arahnya.
“Selamat datang Nona–” Ibu Ji mendelik. Terkejut bukan main melihat Nona-nya membawa seorang bayi.
“Nona?! Anak siapa yang anda bawa?!”
Daisy tidak menjawab. Menarik pelan tangan Ibu Ji, Daisy membawanya ke lantai atas tempat kamarnya berada.
“Ibu Ji, aku tidak tahu harus mengatakan apa, tapi bayi ini membutuhkanku sekarang.”
Menormalkan ekspresi terkejutnya, Ibu Ji mengusap lembut tangan Daisy. “Coba ceritakan apa yang terjadi.”
Daisy mengembuskan napas. Duduk berhadapan dengan Ibu Ji, dia mengamati bayi yang diselamatkannya tadi.
“Dalam perjalanan menuju rumah, aku tidak sengaja terlibat dalam sebuah kecelakaan dan bayi ini korban selamat dari tragedi nahas itu. Kedua orangtuanya meninggal, lalu ada satu wanita tua juga yang turut menjadi korban.”
Melihat mata berkaca-kaca Daisy, Ibu Ji dapat merasakan takut dan gelisah yang dialami Daisy.
“Kemudian setelah aku berhasil menyelamatkan bayi ini, dari arah belakang beberapa mobil mulai berdatangan. Tanpa pikir panjang aku segera pergi dan Ibu Ji tahu? Orang-orang jahat tadi tertawa melihat mobil yang sudah hancur itu meledak.”
“Lalu apa yang akan anda lakukan?”
Menghembuskan nafas panjang, Daisy menggeleng. “Aku tadi hampir melapor ke Polisi, tapi setelah aku pikir kembali, itu bukan jalan keluar yang tepat. Bukannya cepat terselesaikan, justru masalah akan semakin membesar. Apalagi ketika penjahat-penjahat itu tahu ada satu korban yang masih hidup, bisa Ibu bayangkan bagaimana nantinya.”
Memeluk tubuh Daisy yang bergetar, ibu Ji mengusap punggung perempuan yang sudah dia anggap sebagai anak. “Anda sudah mengambil keputusan yang benar.”
Sekuat apa pun Daisy mencoba menghapus bayang mengerikan kecelakaan tersebut, semakin teringat pula Daisy betapa menyeramkannya kejadian itu.
“Ibu Ji, jika aku meminta bantuan Jenderal Ann, apa Ibu baik-baik saja?”
Elusan tangan ibu Ji terhenti selama tiga detik, melanjutkan usapannya, ibu Ji tersenyum. “Tentu, apa pun yang terbaik untukmu, Ibu akan selalu mendukungmu.”
Menunduk, Daisy tahu bahwa ibu Ji pasti merasa tidak nyaman, mengingat bahwa Jenderal Ann dan ibu Ji adalah mantan suami istri.
“Jika Ibu tidak nyaman, aku–”
“Shh … Ibu baik-baik saja, sungguh. Hubungan antara Ibu dan pria itu sudah lama selesai, jika kau ingin meminta bantuannya, tidak masalah, sekarang Ibu sudah tidak merasakan sakit hati lagi. Lupakan tentang Ibu dan pria itu, Ibu penasaran siapa nama anak ini?”
Daisy tersentak. “Aku tidak tahu namanya, tapi bisakah kita memanggilnya Alister?”
“Alister juga nama yang bagus.”
Daisy tersenyum. Menciumi pipi Alister, dia berkata. “Ibu Ji, tolong minta para pembantu membelikan perlengkapan bayi. Semuanya harus segera datang tanpa menunggu besok hari.”
“Siap, Nona.”
Usai kepergian Ibu Ji, Daisy mengamati Alister yang tidur nyenyak dalam pelukannya.
“Nah, Alister Sayang, aku sekarang ibumu. Panggil aku Mommy.”
...…...
Axel menggebrak meja. Sikap lancang Daisy membuat amarahnya tidak terkendali.
“Tidak usah membuang waktu dengan amarah bodoh seperti ini. Pemakaman keluargamu sudah dilangsungkan tanpa adanya media yang meliput, seperti yang kau mau. Daripada marah konyol begini, tangkap wanita itu dan ambil paksa Aaron darinya.”
Mendudukkan dirinya di sofa, Axel melempar gelas yang masih berisi minuman ke dinding ruang tamunya.
Emosinya tidak teratur. Amarahnya meledak-ledak. Kesedihan menggerogoti dan kini rasa muak ikut mendominasi.
“Aku tidak mengerti bagaimana perasaanmu saat ini, tapi kabar yang aku terima, Daisy berada di mall bersama beberapa pelayannya dan Aaron turut ia bawa juga. Kau–”
Tanpa menunggu lanjutan kata Lukas, Axel lebih dulu melangkah pergi, meninggalkan Lukas yang menghembuskan nafas panjang karena maklum atas perilaku Axel barusan.
...…...
Di salah satu Mall terbesar di kotanya, Daisy yang memilih ikut berbelanja mampu menuai banyak kehebohan, sedangkan ibu Ji dan pembantunya yang lain menggeleng tidak heran.
“Woah, bajunya lucu semua. Baiklah, Alister mau Mommy belikan yang mana, hmm?”
Masih dalam gendongan Daisy, Alister mengerjapkan mata lucu.
“Nona, anak berusia sekitar lima bulan akan terlihat lucu dengan pakaian-pakaian yang anda pilihkan.”
Bagaimana tidak, Daisy membeli begitu banyak barang-barang branded untuk Alister, dari kostum berkepala kelinci sampai tutup kepala berbentuk tomat. Juga mainan yang belum bisa digunakan bayi lima bulan turut dibelikan Daisy.
“Tentu. Anakku memang harus mempesona dan lucu seperti Mommy-nya.”
Ibu Ji menahan tawa sambil menepuk-nepuk lengan Emely. “Maklum, Nona belum menikah dan hamil, lalu mendadak menjadi seorang ibu. Wajar saja dia begitu ribut.”
“Astaga!!! Lucu sekali. Emely, tolong bawakan itu juga.”
Emily mengangguk kaku mengambil barang yang ditunjuk Daisy. “B-baik.”
“Nona, tidak sebaiknya kita pulang? Sekarang sudah sangat larut dan anda perlu istirahat.”
Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas malam, Daisy mau tidak mau harus menyetujui saran Ibu Ji.
“Kalau begitu, bayar ini semua. Aku dan Alister akan pulang dulu,” ujar Daisy sambil menyerahkan kartu hitam miliknya pada Ibu Ji.
“Baiklah, Sayang, ayo kita pulang–” namun, belum Daisy berbalik arah, suara bariton seseorang mampu menghentikan langkahnya.
“Kau di sini Istriku?”
Daisy membatu. Axel, datang lagi ke hadapannya. Pria yang dulu pernah dia kejar-kejar semasa SMA, apa yang ingin diperbuat Axel lagi sekarang?
Daisy tidak akan berpikiran buruk jika ucapan Axel tidak terarah kepadanya, tapi melihat pria itu yang terus memandangnya dan Alister membuat Daisy berpikir macam-macam.
Menyembunyikan Alister dalam jaket yang dia kenakan, Daisy menatap sengit Axel yang berjalan mendekatinya.
“Istriku, apa sebegitu marahnya kau sehingga pergi tanpa berpamitan padaku? Kau bahkan membawa anak kita yang harusnya sudah tertidur.”
Daisy berdesis. “Orang gila.”
Tak ingin menanggapi, Daisy yang hendak pergi menciut saat menyadari banyak orang yang memotret dan memvideokan mereka, bahkan bisik-bisik pengunjung Mall mulai terdengar tidak mengenakkan di telinganya.
“Nona Daisy istri Tuan Axel?”
“Kenapa media tidak memberitakanya?”
“Yang benar saja?! Bukankah Pengacara Axel sudah memiliki kekasih?”
Alex tak mengeluarkan suara apa pun. Tidak mempedulikan gunjingan serta kebingungan Ibu Ji, dia menarik Daisy meninggalkan keramaian. Setibanya di parkiran, Axel bersedekap dada menatap datar Daisy yang tengah memandanginya tajam.
“Kau–!”
“Tidak ingin jadi bahan gosip, kan?” Axel membuka pintu mobil, lalu mendorong tubuh wanita itu untuk masuk.
“Apa yang kau lakukan?! Axel?! Buka pintunya!”
Teriakan Daisy justru membangunkan Alister yang sudah terlelap. Menepuk-nepuk pantat si bayi, Daisy bersungut-sungut pada Axel yang duduk santai di kursi pengemudi tepat di sebelahnya.
“Di mana otakmu? Kau gila? Apa kau pikir media tidak akan diam saja melihat apa yang terjadi tadi?”
Axel tak menjawab, mata yang terus tertuju pada Aaron, dia mendadak dilanda perasaan sesak. Mengusap pipi Aaron, Axel menahan air matanya agar tidak menetes.
“Kembalikan Aaron padaku. Dia anak kakakku.”
Bersambung .....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!