WARNING!
Cerita mengandung muatan 18+! Yang nggak suka boleh skip. Yang masih mau lanjut, haiyuuukkk!
...****...
...Tragedi Sebelum Tragedi...
Dalam balutan gaun pengantin cantik dan riasan yang selaras, diam-diam Zee merutuki dirinya sendiri, terlebih Zico yang saat ini berada tepat di sampingnya. Setelah mengalami serangkaian hal ini dan itu, Zee dan Zico akhirnya bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Keduanya telah bertukar cincin, saling bersumpah janji sehidup semati, bahkan melakukan sesi ciuman yang disaksikan oleh ratusan tamu undangan yang hadir.
Hahaha!
Zee ingin tertawa saja rasanya. Semudah ini hidupnya berubah? Gara-gara reuni SMA yang diselenggarakan pada malam tahun baru, Zee dan Zico menghabiskan malam berdua di sebuah kamar hotel mewah seolah tengah menikmati bulan madu.
Tak hanya sekali, keduanya bahkan melakukan penyatuan berulang yang sialnya memori malam itu begitu tercetak jelas di kepala Zee.
Zee meringis saat dirinya begitu menikmati ketika setiap inci tubuhnya disentuh lembut oleh Zico. Erangan demi erangan keduanya saling bersahutan dalam kamar hotel tersebut. Dengan cepat Zee menggelengkan kepala untuk mengenyahkan ingatan menjijikkan itu.
"Zico!" Beberapa saat terjadi keheningan di sofa mempelai, Zee menyahut. Sang pemilik nama yang saat ini tengah santai memainkan ponselnya pun melirik. Senyuman menyebalkan terlukis indah di wajah tampannya.
"Kenapa, Sayang?"
Tatapan Zee berganti nyalang. "Sayang, sayang, Bapak lo kayang? Malem itu, lo pasti sengaja 'kan!" Netra Zee memicing. Dadanya tampak naik turun tak beraturan.
Dengan tampang watadosnya, Zico mengernyit sok tidak paham. "Yang mana?"
Zee mendesis. "Zicooo! Lo tahu betul maksud gue ke mana!"
Tawa kelakar memenuhi wajah Zico. Laki-laki itu lantas menaruh ponselnya di tempat asal. Kemudian sedikit mendekatkan diri ke arah Zee yang tengah menatapnya sedemikian rupa.
"Iya, gue sengaja. Tapi 'kan elo nggak nolak. Lo juga nikmatin waktu gue belai-"
"Zico!" Wajah Zee memerah padam. Ucapannya barusan bertujuan agar Zico segera membungkam mulut kotornya. Tak pernah Zee bayangkan, Zico yang semasa SMA begitu lembut dan perhatian memiliki mulut kotor dan otak jorok yang membuat Zee bergidik ngeri.
"Udah, jangan marah-marah. Kasian calon anak kita. Kena mental mulu sama sikap mamanya."
"Berisik! Salah siapa coba gue kayak gini?" Emosi Zee belum juga mereda. Menyurutkan senyuman tengil Zico hingga berganti netral.
"Kalau gue nggak gitu, lo akan kabur kayak waktu itu. Inget, Zee! Sekali lo pernah masuk ke hidup gue, jangan harap lo bisa keluar." Tegas Zico, sebelum akhirnya mengedipkan salah satu matanya dengan penuh kepuasan diri.
Zee bungkam, lalu memilih membuang muka. Zico benar-benar menyebalkan. Jika diingat-ingat dengan seksama, reuni yang diselenggarakan di sebuah hotel mewah tersebut pada awalnya Zee tidak berniat mengikuti. Selain tidak memiliki pakaian yang sesuai, Zee juga bukan asli lulusan SMA Dharma. Saat kelas sebelas, Zee memutuskan keluar dan pindah ke perkampungan. Ia lanjut bersekolah di kampung kelahiran sang ibu hingga lulus.
Masuk masa kuliah, barulah Zee kembali ke kota sebab mendapat beasiswa kuliah. Begitupun seterusnya hingga akhirnya di usia yang menginjak angka 27, Zee telah mendapat predikat sebagai guru tetap dan mengajar di SMP negeri.
Jika bukan karena Raya, temannya semasa di SMA Dharma memaksa Zee, Zee tidak akan pernah mau ikut. Perempuan itu bahkan merelakan satu set pakaian mahalnya untuk Zee kenakan di pesta reuni kemarin.
"Zee, ayoook! Lo ikut, yaaaa, pleaseeee?" Entah untuk yang keberapa puluh kalinya Raya memohon dan memelas. Perempuan yang beberapa bulan lagi akan menyandang status istri orang itu begitu gencar mengusik Zee.
"Gue nggak mau. Nanti yang lain pada natap aneh, lagi. Gue 'kan bukan lulusan sana! Nggak pokoknya!"
Raya merengut. "Tapi 'kan elo pernah sekolah di sana, Zee!"
"Tapi gue nggak lulus di SMA Dharma, Rayaaa!" Zee geram. Libur tahunannya diisi dengan rengekan seorang Raya.
"Ih, nggak pa-pa! Lo perginya sama gue, Zee! Gue pinjemin baju yang paling bagus, deh, buat lo. Ya?"
Zee mendengus. "Tetep nggak mau!"
"Ayo, dong, Zee! Kita 'kan bestie? Kok, lo gitu siiii sama gueee? Zee, pleaseee! Si Dani nggak mau nemenin pergi, dia sibuk, cuman elo satu-satunya harapan gue. Ya, Zee, ya?" Dani adalah tunangan Raya. Laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya.
"Tapi-"
"Zee!" Jurus maut Raya menggoyahkan pendirian Zee. Sehingga pada akhirnya, Zee pasrah dan menyanggupi permintaan Raya sekalipun dirinya enggan.
Dan, di sinilah Zee saat ini. Dengan balutan dress malam yang begitu pas melekat di tubuh rampingnya, berjalan beriringan bersama Raya, keduanya sampai di acara reuni. Semua mata yang pada awalnya sibuk dengan obrolan masing-masing, satu persatu beralih tatap pada beberapa anggota alumni yang baru saja sampai.
Berbagai tatapan sinis yang terkesan mencela mereka layangkan kepada Zee. Zee yang menyadari hal itu hampir saja mundur, jika saja Raya tidak segera menahannya.
"Udah, pura-pura nggak denger aja." Ujarnya. Gampang memang jika hanya sekadar bicara. Berbeda dengan Zee yang mengalami. Rasanya, Zee seperti akan dibabat habis oleh tatapan mereka.
Sampai di meja kosong, seseorang mendatangi meja Zee dan Raya. Dia adalah, Tiara. Perempuan yang sempat mendapat julukan cewek paling populer semasa SMA. Dengan langkah berlenggak-lenggok, Tiara tersenyum manis khususnya pada Zee. Seolah keduanya adalah teman akrab, padahal Tiara adalah sumber berakhirnya hubungan Zee dan Zico.
"Hai, Zee! Lo kok bisa ke sini? Emangnya lo dapet undangannya juga?" Mulut tak terkontrol Tiara hampir saja membuat Raya bertindak. Sayangnya, Zee telah dengan cepat menghentikan perempuan itu.
"Gue nggak dapet undangan. Raya yang maksa gue ikut ke sini." Ujar Zee, seadanya.
"Zee juga alumni SMA Dharma. Kenapa emangnya kalau gue ajak? Masalah?" Raya tidak bisa tinggal diam saat sahabatnya digertak oleh seseorang macam Tiara.
Perhatian Tiara lalu beralih pada Raya. "Ya ampun, Ray! Sejak kapan lo di sini? Kok, gue nggak lihat, ya?"
Raya tertawa anggun. "Sorry, gue nggak tahu kalau mata lo kataraknya separah itu sampai gue yang segede gini aja nggak kelihatan. Harusnya tadi gue nyapa, ya? Ekhem. Gimana setelah sempat menghancurkan hubungan Zee sama Zico dulu? Si Zico jadi pacaran sama lo nggak?" Balasan pedas Raya memancing emosi Tiara. Ekspresinya berganti tegang dan netranya memicing. Terlanjur kesal, Tiara melenggang dari hadapan Raya dan Zee sembari mengibaskan rambut ikalnya.
"Dih, sok cantik." Raya mendumel. Hatinya puas melihat gelagat Tiara yang pergi menjauh.
"Padahal lo nggak usah diperjelas gitu, Ray. Dia udah tunangan sama si Indra,"
"Siapa suruh dia gertak lo? Iih, kok di sini nggak ada kursi, sih? Meja elit, kursi sulit." Raya memberengut, namun bukan melanjutkan kekesalan terhadap Tiara.
Kepala Zee celingukan. "Tuh, ada sofa! Ke sana aja, Ray!" Tunjuk Zee saat netranya menangkap beberapa sofa berukuran sedang di sudut ruangan.
Raya menjatuhkan perhatiannya pada arah tunjukkan Zee. Netranya berbinar lalu menggenggam tangan Zee dan membawanya ke sofa tersebut. "Ah, nikmat! Dari tadi kek nemu sofanya. Btw, ini sofa buatan pabrik mana, ya? Lembut amat."
Zee menggeleng-gelengkan kepala. Sikap Raya yang spontanitas terkadang membuatnya malu sendiri.
"Gue nggak nyaman, Ray. Gue pulang aja, ya?" Kini giliran Zee yang memberengut. Tatapan sekitarnya semakin menjadi-jadi bila diperhatikan.
Sempat terdiam seraya berpikir, Raya akhirnya mengangguk. "Gue juga nggak nyaman. Gara-gara si Tiara, nih. Ya udahlah, kita pulang aja." Raya berancang-ancang bangkit. Senyuman manis melengkung indah di wajah Zee. "Tapi gue pengen ke toilet dulu. Perut gue melilit. Lo tunggu di sini bentar, ya!"
"Hah? Tapi-"
"Udah di ujung, Zee! Bye!"
Zee terkekeh tak percaya. Secepat kilat Raya meninggalkannya seorang diri di tengah keramaian yang menyesakkan. Melirik ke arah jam di layar ponsel, pukul 23.45 WIB tertera di sana.
Selain acara reuni, acara lain seperti menyambut tahun baru juga digelar di jam yang sama. Hanya tinggal menghitung menit dan sebentar lagi akan memasuki tanggal 1 Januari.
Huft ... Memikirkannya saja sudah membuat Zee malas. Seharusnya di malam tahun baru ini, Zee menghabiskan waktu dengan menonton film holywood di bioskop seperti yang telah direncanakan dari jauh-jauh hari.
Bersama pacar?
Zee mana punya pacar! Selain hanya pernah berpacaran dengan Zico yang itu pun telah lewat sepuluh tahun lamanya, Zee tidak pernah berpacaran dengan siapa pun lagi.
Lima menit, sepuluh menit, bahkan lonceng tahun baru telah dibunyikan pun, Raya belum juga kembali. Zee sudah hampir mau meninggalkan tempat jika saja sosok tak terduga tidak tiba-tiba duduk di hadapannya. Membawa dua gelas berisi wine yang salah satunya diserahkan ke hadapan Zee.
Zee melotot tak percaya. Sosok yang telah lama ia coba untuk lupakan, kini berada di hadapannya. Tersenyum tipis dengan sepasang netra tajamnya yang khas menyorot memandangi wajah Zee.
"Happy New Year, Zee!"
"Zi-zico?" Mati-matian Zee mencoba menelan ludah. Tenggorokannya mendadak kering tiba-tiba.
Astaga, apa-apaan ini? Kenapa bisa ketemu sama Zico? Bukannya dia masih di camp militer? Kok di sini? Batin Zee menggila, bahkan meringis. Tanpa sadar Zee meraih segelas wine yang disodorkan Zico beberapa saat lalu dan menenggaknya hingga tandas.
"Uhuk, uhuk!"
"Zee?" Zico bergerak cepat saat Zee tiba-tiba terbatuk setelah menenggak minumannya. Beruntung di meja mereka terdapat beberapa botol air mineral. Dengan segera Zico menyambarnya, membukanya sepersekian detik, lalu diberikan pada Zee yang masih terbatuk.
Tenggorokan terlanjur tak nyaman, Zee memilih pasrah dan mengambil alih air mineral pemberian Zico. Menenggaknya dengan terburu-buru hingga sisa separuh.
"Makanya kalau mau apa-apa tuh lihat dulu. Jadi minum wine kebanyakan, 'kan? Tenggorokannya masih gatel, nggak?" Ucapan serta tatapan lembut Zico menyentak perhatian Zee. Perempuan itu bergerak gelisah disertai perasaan tak nyaman. Dadanya ikut sesak saat mengingat seberapa kejam dirinya pada Zico dulu.
"Zee?"
"Ha-hah?!" Tersadar dengan apa yang baru saja dilamunkan, Zee menoleh.
"Gimana kabar lo selama ini? Baik?"
"Zico, gue ..."
^^^To be continued...^^^
...Zee Anggika Stefani...
...Zico Pratama Regiantara...
Castnya Mas Ehun- ekhem, Oh Sehun maksudnya. Untuk cast Zee itu Han Sohee, ya. Mey ngefans bgtttt sama dia aaakkk!!! Ini cmn bayangan Mey aja ya. Yg gk suka Kpop/Kdrama bisa skip gak usah dilirik:*
Jangan lupa klik tombol Like, Favorit ♡, sama komenannya jangan lupa! Rate 5☆? Boleh entaran kalau dirasa srek ahaa. Btw, cerita ini 18+:v
Edit: Tinggalin jejaknya kakak-kakak sekalian! Like, comment, vote and 5☆:* DILARANG BACA LONCAT-LONCAT BAB!!!
...Perfect Night...
"Gimana kabar lo selama ini? Baik?"
"Zico, gue ..." Zee menjeda ucapannya kala ponselnya berdering. Segera Zee merogoh ponselnya, mengangkat panggilan suara yang ternyata berasal dari Raya.
"Halo, Ray? Kok, lo lama banget, sih? Lo nggak ninggalin gue 'kan?"
"Zee, sorry! Ini gue Dani. Barusan gue nyusulin Raya ke acara reuni. Pas ke toilet dulu, gue ngelihat Raya udah pingsan. Kayaknya dia diare. Sekarang gue sama Raya lagi di mobil ambulans. Raya udah sadar tapi kondisinya lemah. Makanya gue telepon lo buat ngasih tahu biar lo nggak panik. Gitu aja, Zee. Gue tutup dulu. Lo nggak usah cemas, Raya aman sama gue!"
"Ap-apa? Raya diar-" panggilan suara langsung diputus oleh seberang. Rentetan kalimat Dani belum sepenuhnya dicerna oleh Zee, tapi telah lebih dulu dimatikan secara sepihak.
"Haduh, si Raya ada-ada aja, deh."
"Kenapa, Zee?"
Tubuh Zee bergoncang mendengar sahutan familier tersebut. Hampir saja dirinya melupakan kehadiran Zico.
"Nggak, itu ... Raya pulang duluan. Dia sakit. Em, kayaknya gue juga mau langsung pulang aja. Gue duluan, ya, Zic!" Zee beranjak berdiri. Dengan cepat Zico ikut berdiri dan menahan pergelangan tangannya.
Sempat beradu pandang beberapa saat, Zee memutus kontak seraya menepis tangan Zico. Mulutnya berdeham untuk mencairkan suasana.
"Mau minum berdua di tempat lain?"
...****...
Zee mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan bar yang letaknya masih satu gedung dengan tempat reuni. Hanya berbeda lantai. Diliriknya Zico yang tersenyum manis tanpa beban seolah keduanya tidak pernah terikat hubungan mantan.
"Spesial buat lo yang spesial." Zico menyerahkan sebuah minuman bening yang disajikan dalam bentuk gelas pendek.
"Gue nggak bisa minum." Zee mendorong kembali gelas tersebut ke hadapan Zico.
Sesungguhnya, Zee ingin cepat-cepat melarikan diri saat ini. Ia tidak nyaman dengan sikap lembut Zico. Akan lebih baik jika Zico bersikap seperlunya atau tidak sama sekali. Mungkin, Zee tidak akan merasa secanggung ini.
"Oh, ya? Terus yang tadi?"
Zee meringis. Yang tadi tidak sengaja. Sekarang saja Zee merasa pusing. Seberusaha mungkin Zee menahan diri untuk tetap sadar.
"I-itu ..."
"Coba dulu. Kali ini aja." Kata Zico, kembali mendorong minuman tersebut pada Zee.
Zee menoleh cemas. Bibirnya yang mengerucut dibalas anggukan mantap oleh Zico. "Satu aja tapi," Zico kembali mengangguk. Dengan menelan ludah susah payah, Zee menyambar minuman tersebut. Dalam sekali tegukan, Zee telah menghabiskan semuanya. Sempat terbatuk beberapa saat, Zee memegangi kepalanya yang semakin terasa berputar.
"Gimana?"
"Hm. Enak!" Zee menggeleng-gelengkan kepala. Senyuman manis tanpa cela menyungging cantik di wajahnya.
Sempat terkesiap beberapa saat, Zico balas tersenyum sama. Kemudian meminta seorang bartender untuk kembali menyajikan minuman serupa. Tak berapa lama, dua gelas minuman disajikan pada Zee dan Zico.
"Kita belum cheers, Zee." Zico tersenyum senang saat kesadaran Zee sepertinya teralihkan berkat minuman beralkohol dengan kadar yang cukup tinggi itu. Terbukti dari gelagat Zee yang terlihat jauh lebih santai dengan kedua pipinya yang bersemu.
"Jadi, satu lagi, nih?" Zico mengangguk. Tanpa diduga, Zee kembali menyambar gelasnya. Mengangkatnya ke hadapan Zico, menunggu Zico juga mengangkat gelas dan didentingkan satu sama lain.
Seringaian tipis memenuhi wajah Zico. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zico mengangkat gelas minumannya. Didentingkan dengan gelas minuman Zee.
Sebelum benar-benar menenggak, Zico sengaja memerhatikan pergerakan Zee terlebih dahulu. Tepat ketika perempuan itu mulai meminumnya hingga tandas kembali, Zico kian menyunggingkan senyumannya.
"Zicooo ..." Nada suara manja ditambah tatapan sayu menarik perhatian Zico. Tanpa sedikit pun mau menenggak minuman di tangannya, Zico meraih tangan Zee. Menggenggamnya erat lalu mengecupi punggung tangannya.
"Zee, lo ke mana aja? Gue kangen sama lo!" Satu tangan Zico yang lain meraih lembut wajah Zee. Tatapan matanya berganti dalam. Jauh di balik dada bidangnya, jantungnya tengah bergerak liar.
Di luar dugaan, Zee tiba-tiba menangis. Air matanya luruh dengan wajah yang menunduk. Salah satu tangannya yang menganggur mulai menggenggam tangan Zico yang masih berada di wajahnya.
"Maaf, Zico! Gue jahat! Lo harus bahagia tanpa gue. Gue nggak pantes buat ... lo." Gerutuan menyedihkan itu terputus sebab kesadaran Zee yang telah lebih dulu menghilang. Kepalanya hampir terbentur meja bar jika saja Zico tidak segera menahannya.
"Sial! Zee, sadar! Maksud lo apa gue harus bahagia tanpa lo? Apa yang udah lo sembunyiin dari gue?"
...****...
Di tengah kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Zee mengerjap saat merasakan sesuatu yang basah nan hangat menyapu sekitar lehernya. Netranya memicing saat kepala seseorang berada tepat di hadapannya. Tubuhnya bahkan serasa menindih Zee saat ini.
Lenguhan geli menghentikan kegiatan Zico yang sedari ia membaringkan Zee di sebuah tempat tidur hotel, Zico tengah mencoba membangunkan Zee dengan cara yang cukup brutal. Yaitu, menyesap leher Zee hingga meninggalkan jejak biru keunguan.
"Zee," tatapan yang Zico layangkan tampak menggelap. Sesekali jakunnya naik turun saat Zee tanpa sengaja memerhatikannya.
"Zico?" Zee menyahut masih dengan tatapan sayu serta kesadaran yang hanya separuh. Tanpa diduga Zee menyunggingkan senyuman manis diiringi kedua lengannya yang dikalungkan di leher Zico.
Jelas saja hal itu membuat Zico terkejut. Pupilnya melebar apalagi ketika sebuah kecupan singkat mendarat di permukaan bibirnya.
"Zee, lo tahu 'kan apa yang udah lo lakuin?" Mati-matian Zico menahan gejolak gairah dalam dirinya.
Tepat di bawah kungkungannya, Zee lagi-lagi tersenyum. Kepalanya mengangguk beberapa kali seiring dengan netranya yang semakin menyipit. "Hm. Sepuluh tahun berlalu, ternyata gue nggak bisa lupain lo, Zic. Maaf udah bikin lo terluka!"
Zico mengerjap. Fokusnya seolah tak dapat dialihkan dari wajah cantik Zee yang tengah mabuk. "Berarti lo mau?" Pertanyaan ambigu Zico tak membuat Zee paham sejujurnya. Anehnya, perempuan itu malah kembali mengangguk yang sialnya membuat dirinya sendiri dalam bahaya.
Zico tertawa ringan. Tanpa meminta izin lebih lanjut, Zico meraup bibir Zee. Menciumnya menuntut hingga membuat Zee kewalahan. Tak tinggal diam, tangan Zico bergerak turun menanggalkan gaun cantik yang masih melekat di tubuh Zee. Menurunkan resletingnya lalu melepaskannya sedikit demi sedikit.
"Lo cantik, Zee." Tatapan Zico kian menggelap. Dadanya naik turun setelah beberapa saat melepas ciuman keduanya. Zee tidak membalas. Perempuan itu tengah meraup oksigen sebanyak yang dia bisa.
Malam itu, tepat pukul dua dini hari, suara gemericik air hujan terdengar dari arah luar. Sempat menoleh beberapa saat, Zico tersenyum bangga seraya mulai menanggalkan pakaiannya. Tak lupa mematikan lampu sebelum akhirnya kembali mencium bibir Zee untuk yang kedua kalinya.
"Apa pun yang pernah terjadi dulu, malam ini dan seterusnya, lo cuma punya gue, Zee. You're not going anywhere. You will always be by my side." Zico menyeringai. "I'm starting, Zee."
"Eungh!"
...****...
Cahaya terang dari arah kaca di sebuah kamar hotel, membangunkan Zee dalam posisi ternyenyak dalam tidurnya. Perempuan itu menggeliat masih dengan netra yang setengah terpejam.
Namun, sesuatu yang aneh seketika membuat Zee membelalakkan mata. Tepat ketika Zee menyingkap selimut, tubuhnya yang polos tengah dipeluk oleh sebuah lengan kekar dari belakang. Beberapa bekas luka kehitaman bahkan memenuhi tubuh Zee, khususnya di area dada.
Nggak, nggak! Ini pasti mimpi!
Beberapa kali mencoba menepuk sisi kanan dan kiri wajah, Zee semakin melotot kala bayangan mimpi tadi malam begitu panas dan nyata.
Zee tertawa sumbang. "Mungkin gue harus tidur lagi dan setelah itu mimpi ini akan berakhir dan-"
"Pagi, Zee!"
Netra Zee semakin membulat saat panggilan serak dengan nada suara familier terdengar dari arah belakang. Jantungnya meronta-ronta mati-matian menahan diri. Dengan memberanikan diri sebisa mungkin, Zee berbalik menghadap sosok yang Zee harapkan bukan Zico.
Sialnya, jantung Zee rasanya telah lebih dulu copot dari peredaran. Zico dengan tampang polos tanpa mengenakan sehelai pakaian apa pun saat ini tengah tersenyum nakal ke arahnya.
"Tadi malam yang indah, Sayang. The real perfect night."
"ZICOOO! LO APAIN GUEEEE!!!" Terlanjur panik tingkat dewa, Zee menendang Zico hingga terjerembab ke lantai. Laki-laki itu spontan mengaduhkan sakit saat dengan brutal Zee menendangnya hingga demikian. Tubuhnya yang setengah telanjang, hanya mengenakan celana boxer, membuat Zee ketar-ketir.
Tidak, mereka tidak melakukannya semalam!
Iya 'kan?
"Jahat lo, Zee! Kemarin lo minta lebih, tapi sekarang lo nendang gue."
"Berisik! Apa pun yang terjadi tadi malem, gue nggak peduli dan gue anggap nggak ada yang pernah terjadi di antara kita!" Zee menegaskan. Tergesa perempuan itu bangkit dari tempat tidur dengan sebuah selimut menutupi tubuh bagian depannya.
Sayang, belum sempat Zee benar-benar turun, tubuhnya didorong paksa oleh Zico hingga kembali terlentang. Jelas saja Zee semakin ketar-ketir, apalagi ketika tatapan Zico berganti nyalang.
"Zee, lo nggak boleh kayak gitu. Lo harus tanggung jawab. Tadi malem pengalaman pertama gue, Zee."
"Heh, lo pikir yang tadi malem bukan pengalaman pertama gue? Lo tuh, iiihhhh! Lo kalau benci sama gue, jangan kayak gini, Zico!" Di luar prediksi, Zee menangis meraung-raung seraya menutupi wajahnya. Jelas hal itu membuat Zico panik. Tak pernah terbayangkan Zee akan menangis seperti saat ini.
"Zee?"
"Lo jahat Zico! Kalau lo nyari alat buat muasin diri lo, kenapa harus gue? Lo bisa nyari perempuan kotor manapun di luaran sana, tapi kenapa harus gue?" Zee tak lagi menutupi wajahnya. Kedua tangannya kini berganti posisi menjadi memukuli dada bidang Zico dengan membabi buta.
"Gue nggak bisa nyari perempuan lain. Di hati dan pikiran gue cuma ada lo, Zee."
"Lo cuma dendam sama gue!"
"Gue nggak dendam, Zee."
"Terus ini apa? Tadi malem itu apa?"
Zico tertegun. Sedikit mendekatkan diri pada Zee sebelum akhirnya satu ibu jarinya mengusap lembut permukaan bibir Zee yang sedikit terluka berkat tadi malam. "Maaf, Zee! Gue cuma mau agar lo nggak ke mana-mana. Lo hanya akan di sisi gue! Gue nggak akan biarin lo tinggalin gue seperti sepuluh tahun yang lalu."
"Stay by my side, Zee!"
^^^To be continued...^^^
Edit: Tinggalin jejaknya kakak-kakak sekalian! Like, comment, vote and 5☆:* DILARANG BACA LONCAT-LONCAT BAB!!!
...Perdebatan...
"Stay by my side, Zee!"
"Gue nggak bisa." Zee mendorong Zico hingga menjauh. Bertepatan dengan itu, Zee bangun dan memungut kembali pakaiannya yang berserakan di lantai.
"Ruang ganti di mana?" Zee bertanya tanpa sedikit pun berniat menatap Zico.
Ekspresi Zico berganti dingin. "Ngapain nyari ruang ganti? Gue udah lihat bahkan nikmatin semuanya." Katanya, lalu berdiri menghadap Zee. Dengan sekali tarikan, Zico berhasil menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh Zee.
"Aak! Lo gila, ya?" Wajah Zee memerah padam. Apalagi ketika dengan terang-terangan Zico menatapnya dari atas sampai bawah.
"Gue tanya sama lo, lo masih sayang 'kan sama gue?" Perhatian Zico beralih pandang pada sepasang bola mata Zee yang membulat.
Terkesiap beberapa saat, Zee membuang pandangan dari Zico. "Ruang ganti di mana?" Tanya Zee untuk yang kedua kalinya. Sengaja sebenarnya sebab pertanyaan Zico cukup sulit untuk Zee jawab.
Zico berdecih. "Pake di sini aja." Balasan berupa lirikan tajam Zee membuat Zico berdecak pasrah. "Fine! Tuh, ada kamar mandi! Pake sepuasnya!" Zico berjalan meninggalkan Zee. Ekspresinya sendiri cukup sulit untuk dibaca. Namun Zee memilih tidak peduli. Bergegas perempuan itu memasuki kamar mandi. Memakai pakaiannya sekalian membersihkan diri mumpung tersedia handuk dan beberapa alat mandi.
Lima belas menit berkutat di kamar mandi, Zee telah selesai dengan aktivitasnya. Bertepatan dengan Zee yang membuka pintu kamar mandi, Zico tidak berada di tempat. Kamar hotel luas nan mewah itu tampak kosong. Ruangannya sendiri terlihat begitu kacau. Satu persatu ingatan gila malam tadi memasuki kepala Zee.
"Ah, Zico jangan! I-itu geli!" Zee meringis saat ingatan di mana dirinya melenguhkan nama Zico dengan begitu manja. Bulu kuduknya berdiri secara spontan. Tak ingin semakin lama di dalam kamar hotel yang menjadi saksi akan kegilaan Zee dan Zico tadi malam, Zee memutuskan pergi.
Sampai di lobi hotel, tubuh tinggi menjulang dengan sepasang bahu lebar menyentak Zee. Sempat mengira Zico telah pergi, nyatanya laki-laki itu tengah menunggunya di sini.
"Udah? Gue anterin pulang." Zee menepis tangan Zico saat laki-laki itu menarik salah satu pergelangan tangannya. Netranya menyorot tajam menatap wajah Zee.
"Gue bisa sendiri." Zee melenggang terlebih dahulu dengan langkah lebar.
Mendengus, Zico mengikuti langkah Zee hingga keduanya sampai di luar area hotel. Lagi-lagi Zico menarik paksa Zee supaya berhenti dan berdiri menghadapnya.
"Gue akan taggung jawab."
"Nggak perlu. Anggap aja gue lagi sial sampai harus ngelakuin hal itu sama lo!" Tatapan nyalang Zee membuat Zico berdecak tak suka. Dengan cukup kasar Zico menarik paksa Zee menuju parkiran basemant. Zee sempat meronta bahkan berteriak, namun Zico tak mengindahkannya. Berbagai tatapan aneh dari beberapa orang yang lewat di sekeliling mereka tak membuat Zico urung untuk membawa Zee pergi.
"Zico, lepas! Sakit. Lo apa-apaan, sih?"
Sampailah keduanya di parkiran basemant, tepatnya di salah satu badan mobil, Zico melepaskan tangan Zee. Tubuh besarnya mengukung tubuh ramping Zee yang tingginya hanya sampai dagu Zico.
"Zi-zico," Zee kelabakan. Tatapan yang Zico layangkan begitu mengerikan. Zee sampai tidak berani menatap matanya beberapa saat.
"Kenapa, Zee? Barusan lo berani teriak sama gue, kenapa sekarang lo malah diem?" Satu tangan Zico terulur meraih dagu Zee hingga membuat perempuan itu mendongak dan menatapnya. "Lo milik gue Zee, begitupun sebaliknya. Lo dilarang pergi ke manapun tanpa persetujuan gue."
Zee terkekeh sarkas. Reaksinya menimbulkan berbagai pertanyaan dalam diri Zico. "Lo salah, Zic! Gue bukan milik siapa pun. Lo sama gue udah putus. Kita nggak terikat hubungan spesial apa pun. Yang tadi malem? Itu cuma one night stand. Siapa pun bisa ngelakuin itu."
"Zee, jangan pancing amarah gue!" Kedua alis Zico mengerut dalam. Dadanya tampak naik turun bila diperhatikan.
"Kenapa? Itu emang kenyataannya, kok!"
"ZEE!" Zico membentak. Netranya menyorot nyalang hingga membuat Zee refleks memejamkan mata. Tubuhya bergetar merasakan aura mengerikan Zico.
Tawa sarkas memenuhi wajah Zico. Mati-matian Zee memberanikan diri menatap Zico yang posisinya tak sampai berjarak sepuluh sentimeter.
"One night stand? Jadi, lo bisa ngelakuin itu sama siapa pun walaupun bukan sama gue?"
Zee bungkam sepersekian detik. "Kenapa cuma gue? Lo juga bisa ngelakuin itu dengan cewek manapun."
Lagi-lagi Zico tertawa, namun kali itu tawanya terdengar lebih sumbang. "Gue kecewa sama lo, Zee!"
...****...
"Hahaha! Tadi dia bilang apa? Kecewa? Terus gue apa? Kegadisan gue tercoreng gara-gara dia!" Zee menggerutu sebal setelah beberapa saat benar-benar terbebas dari cengkraman Zico.
Di waktu yang hampir memasuki tengah hari, Zee baru mau mulai sarapan di kamar kostannya. Beberapa bagian sudut tubuhnya mengalami pegal dan ngilu. Khususnya di area inti yang terus menerus basah.
"Arghh! Zee, kenapa lo bisa semudah itu siiii, huh? Lo lepasin kegadisan lo buat Zico, mantan pacar yang udah lo campakin! Nggak habis fikri gue sama lo!" Zee meraung-raung penuh penyesalan. Tangannya terulur menyentuh perutnya yang berbunyi. Lapar.
Hembusan napas panjang diiringi tubuhya yang dijatuhkan ke atas tempat tidur menarik kenyamanan tersendiri. Bola mata cantiknya menatap dalam langit-langit kamar kostannya dengan jantung yang bergemuruh. Tanpa sadar ujung jemarinya menyentuh lembut permukaan bibirnya. Teringat akan ciuman lembut nan menuntut dari Zico semalam yang tanpa sadar membuat Zee ingin merasakannya lagi.
"Bego! Ngapain gue mikirin itu? Zee, lo bener-bener nggak ketolong!"
...****...
Hari demi hari terus berjalan tanpa hambatan maupun gangguan dari Zico. Sejujurnya, walaupun Zee merasa bersyukur karena Zico tidak lagi menemuinya, hatinya justru merasa hampa. Liburan tahun baru telah berakhir tanpa adanya kesan indah. Hanya ada memori malam itu yang semakin hari semakin jelas di pikiran Zee.
Anehnya, Zee ingin merasakannya lagi. Saat di mana Zico menenggelamkan wajahnya di antara kedua kakinya dan-
"Bu Zee!" Zee mengerjap saat sahutan lembut dengan nada yang terdengar cukup keras memasuki indera pendengarannya. Tepat ketika Zee menoleh, seorang muridnya tampak menatapnya keheranan.
Astagaaa, apa yang Zee pikirkan di jam-jam pagi begini? Memikirkan hal mesum bersama Zico disaat masih jam mengajar?!
Gila!
Ini bukan dirinya!
"I-iya. Kenapa?"
"Anu, jam belajarnya Ibu udah selesai. Selanjutnya bagian pelajaran olahraga." Terang siswinya. Sontak Zee berdiri dengan terburu-buru dan membereskan meja.
"Maaf, Ibu barusan ngelamun! Hm, kalian mau langsung ke lapangan, ya?" Siswinya mengangguk. "Ya udah, kalian boleh keluar lebih dulu." Ujar Zee. Senyum merekah menghiasi cantik wajah salah satu siswinya.
"Makasih, Bu!" Lalu siswi itu menyalimi tangan Zee, kemudian pamit. Tak hanya siswi itu, siswa dan siswi yang lain turut menghampiri meja Zee. Meminta izin sekaligus menyalimi tangan Zee.
Tibalah ketika ruang kelas kosong, Zee kembali menjatuhkan diri di kursi. Helaan napas panjang diembuskan. Satu tangannya mengurut pangkal hidung yang terasa pening.
"Gila lo, Zee!"
...****...
"Siang, Bu Zee!" Sapaan hangat diselingi senyuman manis itu berasal dari Bu Dara, rekan guru Zee yang mengajar di mata pelajaran fisika. Usianya sendiri telah memasuki kepala tiga, tepatnya tahun ini beliau berusia 34 tahun. Telah menikah dan memiliki satu orang anak berusia 8 tahun.
Zee balas tersenyum ramah. "Siang juga, Bu Dara!"
"Bu Zee udah makan siang?" Tanya Bu Dara. Ponsel yang sempat menjadi fokus utamanya dimatikan sejenak. Ditaruhnya kembali di dalam saku.
Zee menggeleng lemah. Bahkan saat sarapan pagi saja Zee tidak melakukannya dengan benar. Hanya memakan selembar roti tawar dan air putih. Entahlah. Zee tidak punya mood untuk menyentuh nasi.
"Kebetulan Saya juga belum makan siang. Bu Zee mau makan siang bareng Saya di kantin?"
"Makan siang, ya. Em ..."
Bu Dara mengapit lengan Zee. Senyuman menggoda turut diperlihatkan. "Udah, ayo, ikut aja! Ekhem. Ada Pak Gino, lho! Udah stand by dia, nungguin Bu Zee katanya." Pak Gino adalah seorang guru olahraga yang masih single di usia 29 tahun. Memiliki tubuh proporsional dan wajah tampan, tak sedikit membuatnya dikagumi oleh para siswi yang tengah dalam masa pubertas. Bahkan, beberapa guru muda yang juga masih berstatus sama ada yang dengan terang-terangan mendekati Pak Gino.
Sayang, menurut rumor yang beredar, Pak Gino telah menjatuhkan hatinya pada Zee.
Zee selaku pihak yang tidak pernah menerima pernyataan cinta dari Pak Gino pun bingung. Dari mana rumor tersebut berasal hingga menyebar luas, padahal Zee dan Pak Gino saja tidak terlalu dekat apalagi akrab.
Zee menggaruk belakang lehernya yang jelas tidak gatal. "Eungh, nggak dulu, deh. Saya-"
"Duhh, kok, Bu Zee jadi malu-malu gitu, sih? Udah, ayooo!"
"Hah? Malu-malu? Sa-saya nggak malu-malu! Saya cuma-" Lagi-lagi ucapan Zee diharuskan terpotong sebab Bu Dara yang menariknya menuju kantin dengan paksa.
Sampai di kantin sekolah, Bu Dara menyuruh Zee duduk di sampingnya. Dan mau tidak mau Zee pun menurut dengan terpaksa.
"Eh, Bu Zee! Bu Zee udah tahu belum," Bu Dara menjeda obrolannya. Berharap dapat membuat Zee penasaran hingga bertanya.
"Soal apa?" Bu Dara bersorak dalam hati. Zee telah berhasil terpancing perkataannya.
"Gini, Bu Zee. Tahun ini murid-murid yang daftar ke SMP Pertiwi 1 'kan melonjak tuh,"
"Heem."
"Pihak sekolah sekarang ini lagi nyari sponsor buat pembangunan gedung baru. Dan ... dalam waktu kurang dari satu bulan, sekolah kita udah dapat sponsor yang luar biasa lho, Bu Zee!" Bu Dara begitu menggebu saat menerangkan lebih lanjut. Tidak dengan Zee yang masih berekspresi normal.
"Oh, ya? Siapa sponsornya? Presiden Jokowi?"
Raut wajah Bu Dara berganti sebal. "Bukan Bapak Presiden Jokowi juga kali, Bu Zee," helaan napas lelah turut diembuskan.
"Hehe, bercanda. Em, sponsornya dari perusahaan mana emangnya?" Raut wajah Bu Dara kembali ceria. "Bu Zee bakal kaget, sih. Sponsor sekolah kita itu perusahaan IT yang terkenal! Selain membantu pembangunan gedung, mereka juga mau mendonasikan ratusan komputer untuk siswa-siswa sekolah kita. Kebetulan banget komputer di laboratorium udah banyak yang rusak. Jadi merasa, ya ampun, sekolah kita beruntung bangettt gitu,"
"Nama perusahaannya apa?"
"Kalau nggak salah nama perusahaannya- Eh, itu bukannya perwakilan dari sponsor sekolah kita, ya?" Bola mata Bu Dara membola spontan. Jari telunjuknya menunjuk beberapa orang pria yang salah satunya adalah perwakilan dari sponsor, asistennya, bahkan bapak kepala sekolah tercinta.
Zee yang terlanjur kepo pun mengikuti ke arah tunjukkan Bu Dara. Bola matanya memelotot hampir meloncat saat mengetahui siapa sponsor sekolah mereka yang disebut-sebut luar biasa hebat itu.
"Hah?! Itu 'kan ..." Zico?
^^^To be continued...^^^
Edit: Tinggalin jejaknya kakak-kakak sekalian! Like, comment, vote and 5☆:* DILARANG BACA LONCAT-LONCAT BAB!!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!