NovelToon NovelToon

Selingkuhan Ayah

KIRAI CHANIA ARIFIN

“Adik…” panggil seorang wanita yang tengah duduk dengan sebuah nampan terbuat dari daun pandan, mereka sering menyebutnya nyiru beras.

"Iya bu, kenapa?” sahut seorang gadis yang berjalan mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.

“Masak ini, ibu sudah membersihkannya, sebentar lagi ba’da dzuhur ayah akan pulang dari sawah, ibu akan memasak makan siang,’’ ujar wanita paruh baya itu yang berjalan tergopoh- gopoh memasak makanan untuk sang suami.

“Bu, hari ini mamak menyuruh ibu untuk ke rumahnya, tadi adik bertemu mamak di warung Etek Lina,’’ sahut gadis itu yang sedikit berteriak karena ia berada di sumur mencuci beras yang akan ia masak.

“Nanti Ibu dan Ayah akan ke rumah mamak,’’ ujar wanita itu yang masih terus memasak.

Gadis itu adalah Kirai Chania Arifin, gadis cantik berumur 23 tahun, anggun dan berbudi pekerti, tutur bahasa yang selalu sopan dan lembut membuat nama orang tuanya di sanjung dan dihormati walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Kirai, gadis berdarah minang. Lahir di daerah yang penuh dengan adat istiadat. Daerah yang terkenal dengan hukum adat yang bersifat tetap berlaku dalam setiap kaum tidak pandang bulu selalu di sandingkan dengan pepatah adat Alam takambang jadi guru.

Wanita paruh baya itu adalah Tan Malaka, wanita yang selalu dipanggil ibu oleh kirai, surga bagi Kirai gadis berdarah minang. Tan Malaka berusia 56 tahun, selalu menggunakan selendang sutra berwarna putih. Sosok yang disegani karena termasuk dari keluarga yang terpandang, pendapat yang selalu di dengarkan dalam kaum, memiliki suami yang selalu di panggil cadiak pandai karena ilmu pengetahuan yang sangat luas dalam satu kaum. Pria itu adalah ariffin, pria yang berusia 60 tahun, tegas dalam berbicara bahkan sering dipanggil dalam menyelesaikan sengketa dalam kaumnya.

“Apa Ibu mempunyai masalah?” tanya Kirai yang berdiri di samping sang ibu dan menatap seorang pria paruh baya yang baru saja masuk melalui pintu yang berada di dapur itu.

“Tidak nak, ambilkan air untuk Ayahmu,” perintah Tan Malaka yang membuat Kirai dengan cepat langsung mengambil air untuk sang ayah.

“Airnya yah,” sahut Kirai sambil memberikan segelas air putih di atas meja tempat dimana sang ayah duduk.

“…” tidak ada jawaban sang ayah hanya diam dan menatap Kirai yang tengah menyiapkan makan siang untuk nya.

“Mamak menyuruh kita untuk pergi ke rumahnya Da,” sahut Tan Malaka sembari duduk di samping sang suami.

“Aku sudah bertemu dengannya,” ujar Arifin sambil melirik Kirai yang sibuk menyiapkan makan siang.

“Apa yang mamak katakan? Apa ada masalah yang serius sampai kita dipanggil untuk ke rumahnya” tanya Tan Malaka yang semakin penasaran.

“Adik,” panggil Arifin yang membuat sang putri langsung menatap ke arahnya dan berjalan mendekati Arifin.

“Ada apa ayah?” tanya Kirai yang selalu dipanggil adik oleh kedua orang tuanya.

“Apa adik kenal dengan anak sahabat ayah yang di surau itu?” tanya Arifin kepada sang putri.

"Sahabat ayah yang di surau?” ulang Kirai menatap sang ibu yang juga menatapnya.

Cukup lama, Kirai mengerutkan dahinya dan berusaha untuk mengingat siapa yang dimaksud oleh sang ayah. Namun, manik hitamnya berhenti tepat di netra sang ayah yang langsung membuatnya mengingat sosok pria paruh baya yang selalu berjalan bersama dengan sang ayah ketika pergi ke surau.

"Ah Kirai ingat Yah, Pak Samsul?" Tanya Kirai dengan tersenyum tipis dan sesekali mengangguk pelan.

"Apa ada masalah dengan Da Samsul Da?" Tanya Tan Malaka yang semakin penasaran.

"Lebih jelasnya ketika kita pergi ke rumah mamak saja, ini tentang Kirai," bisik Arifin ke telinga sang istri.

Mengerti dengan ucapan sang suami Tan Malaka hanya mengangguk pelan dan mulai menyajikan makanan untuk suaminya.

"Apa Pak Samsul baik-baik saja?" Tanya Kirai yang diangguki oleh Arifin.

"Ayo makan, setelah ini ayah akan ke sawah lagi," ajak Arifin yang membuat anak dan istrinya mengangguk dan memakan makanan yang berada di depannya.

****

Sore harinya, seperti biasa Tan Malaka akan selalu membaca beberapa buku yang selalu dibaca ketika menunggu adzan maghrib. Sementara Kirai, duduk di depan pintu menatap kosong ke arah sawah hijau dan beberapa anak laki-laki yang bermain layang-layang.

"Adik," panggil Tan Malaka sembari menutup buku dan menatap ke arah sang putri yang juga.

"Kemari duduklah, tidak baik untuk anak gadis duduk di depan pintu apalagi di sore hari seperti ini," ucap Tan Malaka yang di angguki oleh Kirai. "Baru satu minggu adik wisuda apa yang akan adik lakukan?" Tanya lembut Tan Malaka yang membuat Kirai tersenyum tipis.

"Jika ayah dan ibu mengizinkan adik akan kembali ke Jakarta untuk melamar pekerjaan, adik ingin bekerja Bu," jelas Kirai yang membuat Tan Malaka terdiam.

"Apa itu tidak terlalu jauh untuk Adik pergi merantau, apa di sini tidak bisa Dik?" tanya Tan Malaka yang mencoba untuk melarang Sang Putri agar tidak merantau bagaimanapun Kirai adalah anak satu-satunya.

"Bu, apa Ibu lupa dulu Adik kuliah juga di Jakarta, hanya saja tujuan adik ke Jakarta sedikit berbeda dengan tujuan adik pergi di saat adik menuntut ilmu," jelas Kirai yang mencoba menjelaskan kepada sang Ibu Agar memberi izin untuknya pergi merantau.

"Ibu tidak masalah nak, bagaimana cara ibu berbicara kepada ayahmu apalagi anak perempuan satu-satunya akan pergi merantau, siapa yang akan menjaga ayah dan ibu, siapa yang akan merawat rumah jika adik pergi merantau," ucap Tan Malaka yang sedikit sendu dan memainkan ujung-ujung selendang Sutra yang ia gunakan.

"Apa Ibu tidak mengizinkan adik untuk pergi merantau?" tanya Kirai sedikit menunduk dan menatap wajah sang ibu yang sedikit sendu.

"Ibu tidak melarang, Ibu hanya berpikir cara berbicara dengan ayahmu, apa kau tidak ingin bekerja di sini saja?" tanya Tan Malaka yang menatap lekat ke arah sang putri. "Adik anak satu-satunya, anak perempuan yang menerima semuanya, belum ada di daerah kita, anak gadisnya pergi merantau," sahut Tan Malaka yang kembali membujuk sang putri agar membatalkan rencananya.

"..." Tidak ada jawaban Kirai hanya diam dan tersenyum menyandarkan kepala ke pundak sang Ibu.

***

Suara adzan berkumandang terdengar jelas, beberapa warga langsung berjalan cepat menuju surau tua yang berada di daerah itu. Surau yang dibuat atas bantuan oleh Arifin dan Tan Malaka, setiap Adzan magrib maka surau itu akan penuh mulai dari orang tua, remaja bahkan anak-anak yang belajar mengaji.

Hal yang selalu warga setempat lakukan setelah melakukan sholat magrib berjamaah mereka akan tadarus sampai adzan Isya.

"Adik, ayo pulang, ibu dan ayah akan pergi ke rumah mamak," ajak Tan malaka yang diangguki oleh Kirai.

"Ibu kenapa shaf laki-laki hari ini cukup banyak dari hari biasanya," sahut Kirai sembari berjalan keluar dari surau itu.

"Ada pengusaha dari Jakarta datang untuk membuat proyek di desa kita," jawab Tan Malaka yang membuat Kirai mengangguk.

note:

Etek : Tante.

Da : Abang/ panggilan untuk suami.

Pak : Bapak atau Om.

Mamak : Paman/Kakak kandung ibu.

RUMAH MAMAK

Sesampainya di rumah, Tan Malaka dan Kirai menatap ke arah Arifin yang sedang berdiri menggunakan pakaian yang bersih. Arifin selalu menggunakan celana dasar dan kemeja tak lupa dengan topi putih dan kacamata yang hanya digunakan ketika mengendarai motor saja.

"Ayo kita pergi, takutnya Mamak sudah menunggu," ujar Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.

Dengan cepat Kirai langsung masuk dan mengambil selendang sutra milik sang ibu.

"Ayah dan ibu akan pulang lambat, kunci pintu dan tidur lah lebih awal," sahut Arifin yang diangguki oleh Kirai.

Perlahan motor yang dikendarai Arifin dengan Tan Malaka yang duduk di belakang memegang mesra pinggang sang suami. Sedangkan Kirai berdiri di atas teras rumah kayunya menatap kepergian kedua orang tuanya yang diterangi oleh cahaya lampu jalan berwarna kuning.

"Kirai…" panggil seorang wanita muda yang tengah berjalan ke arahnya.

Suara itu membuat Kirai tersenyum dan berjalan menuruni anak tangga karena rumah kirain adalah rumah panggung sehingga harus menuruni anak tangga.

"Ra…" panggil Kirai menatap gadis yang seusia dengannya.

"Apa kabar Kirai?" ucap gadis itu menatap Kirai yang berada di depannya "Alhamdulillah baik, kau masih ingat denganku Ra," sabut Kirai sembari mengusap lengan gadis itu.

"Hey… bagaimana aku bisa melupakan seorang Kirai, seorang gadis pertama yang berani merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu," kekehan gadis itu yang membuat tirai tertawa kecil.

Dia adalah Rara teman kecil dan teman masa sekolah, Rara gadis yang cerewet, usia yang sebaya dengan Kirai membuat gadis itu merasa paling cantik di desa itu, walaupun sikembang desa jatuh kepada Kirai sang gadis yang lemah lembut.

"Apa kegiatanmu sekarang Ra?" Tanya Kirai sembari duduk di salah satu anak tangga itu.

"Datanglah ke pernikahanku besok di hari Jumat," jawab Rara yang membuat Kirai sedikit terkejut.

"Kau ingin menikah di usia muda?" Ucap Kirai yang mencoba menyakinkan gadis yang duduk di sampingnya.

"Sebentar, ayo masuk tidak enak dipandang orang yang lewat kita berbicara di depan tangga seperti ini," ujar Kirai yang hendak berdiri namun dicegah Rara pertanda ia tidak ingin masuk ke dalam rumah.

"Tidak ada ketentuan dalam menikah Rai, di umur berapa pun kau siap menikah maka kau akan menikah," tukas Rara yang membuat Kirai mengangguk pelan.

"Apa kau tidak ingin bekerja?" Sahut Kirai menata ke arah sang teman.

"Aku di jodohkan," ucap pelan Rara yang membuat Kirai mengerutkan dahinya.

"Apa di zaman seperti ini masih berlaku sistem perjodohan?" Tanya Kirai yang membuat Rara mengangguk pelan. "Aku akan meminta Ayah untuk bicara dengan Ayah dan ibumu, barangkali mereka akan berubah pikiran," sambung Kirai yang langsung dijawab gelengan cepat.

"Ucapan siapapun tidak akan merubah keputusan ayah dan ibu Rai, aku harus pulang," sahut Rara yang langsung meninggalkan Kirai yang masih bingung dengan ucapan Rara.

"Apa dia menikah karena paksaan dari kedua orang tuanya," gumam Kirai yang berjalan masuk ke dalam rumah.

***

Sementara di sebuah rumah yang cukup mewah, terparkir sebuah kendaraan roda dua. Sepasang suami istri berjalan masuk ke dalam rumah itu.

"Assalamualaikum," sahut wanita paruh baya yang langsung disambut hangat oleh tuan rumah.

"Akhirnya kau datang juga, aku sudah lama menunggu kalian," ujar pria paruh baya yang berjalan dan duduk di ruang tamu.

"Kami baru saja pulang dari surau Da, langsung kemari takutnya Uda sudah menunggu kami," kekehan wanita itu yang diangguki oleh sang suami.

Dia adalah Tan Malaka dan Arifin yang baru saja sampai di rumah sang mamak.

Mamak Hanan adalah kakak kandung dari Tan Malaka sering panggil Mamak baik dari kalangan muda bahkan tua. Tan Malaka dan Arifin memanggilnya Uda atau Abang sedangkan istri Hanan adalah Uni atau Kakak.

Istri Hanan bernama Hasna, perempuan yang lemah lembut dan patuh terhadap suaminya.

"Ini minumlah, perjalanan kalian cukup jauh kan," tawar Hasna sembari memberikan segelas air teh untuk Tan Malaka dan kopi untuk sang suami dan adik iparnya Arifin.

"Kenapa kau tidak membawa Kirai Dek?" Tanya Hasna sambil duduk di samping sang suami.

"Bagaimana cara kami membawa kirai uni, kami hanya punya satu motor, bisa-bisa kami tidak sampai ke sini malah sampai ke rumah sakit," ucap Tan Malaka yang membuat semua orang yang berada di sana tertawa kecil.

"Kemarin aku bertemu dengan Samsul, dia datang ke rumah ku," sahut Hanan yang membuat semua orang yang berada di sana terdiam dan menatap ke arah Hanan.

"Apa yang Da Samsul katakan kepada Uda?" Tanya Tan Malaka yang membuat Ariffin sedikit menyenggol siku sang istri karena Hanan belum selesai berbicara Tan Malaka sudah memotongnya.

Hanan hanya tersenyum tipis dan melirik Ariffin yang menatap Tan Malaka.

"Dia bertanya tentang kirai, putrimu," ucap Hanan yang semakin membuat Tan malaka dan Arifin menatap lekat ke arah Hanan. "Kirai adalah putrimu dan juga putri kami, bunga yang kita jaga selama ini sudah mulai di lirik orang," ujar Hanan yang membuat Tan Malaka dan Arifin saling melirik.

Sedangkan Hasna ia hanya diam karena tidak baik untuknya menyela pembicaraan sang suami.

"Siapa yang meliriknya Da," sahut Tan Malaka menatap Hanan.

"Samsul, Dia datang bertanya tentang Kirai untuk putra Fatih," jelas Hanan yang membuat Arifin mengangguk pelan.

"Kirai sudah berumur 23 tahun, sudah cukup umur untuk membangun rumah tangga, dia gadis yang baik, sopan dan Budi pekerti, gadis yang cerdas dan cantik, wajar banyak orang yang melirik putri kita," sambung Hasna yang diangguki oleh Hanan.

"Kami hanya lah orang tua Kirai Uni, bukan berarti kami bisa mengiyakan ucapan Uda sekarang, kami ingin yang terbaik untuk Kirai, tapi yang akan menjalani dan merasakan bahtera rumah tangga itu Kirai Da, ada baiknya kami bertanya kepada Kirai, setuju atau tidak dia dijodohkan dengan putra Da Samsul," ucap Arifin yang diangguki oleh Tan malaka.

"Aku setuju, tanya kepada orang yang akan menjalaninya, tapi kalo bisa bujuk Kirai untuk menikah dengan putra Samsul," sambung Hanan yang diangguki oleh Hasna.

"Jangan terlalu serius, minumlah kopinya," ucap Hasna yang membuat orang yang berada di sana terkekeh.

"Anak Da Samsul, bukannya dia sudah pergi ke Jakarta Uni?" Tanya Tan Malaka menatap Hasna.

"Iya, Mereka juga satu sekolah dan satu universitas saat kuliah, Da Samsul yang bilang begitu, lagi pula juga sama-sama anak satu-satunya, untuk masalah ekonomi jangan di khawatir kan," ujar Hasna yang membuat Tan Malaka tersenyum tipis.

"Aku tau apa yang kalian pikirkan, Aku mencari jodoh untuk anak kemenakan tidak mungkin asal, aku harus tau bibit bobot yang akan menjadi calon untuk Kirai, Anak Samsul, aku rasa semua orang tau dengan adapnya," sahut Hanan yang diangguki Arfin.

PERTENGKARAN

Pagi harinya, suara kicauan burung terdengar sangat jelas, bersahutan dengan suara azan yang berkumandang di surau tua itu. Sebuah rumah kayu yang sederhana terlihat mewah dan begitu bersih, seorang pria baru saja kembali dari surau dan duduk di teras bersama sang istri. Dia adalah Arifin dan Tan Malaka yang selalu duduk di teras rumah setiap pagi menemani sang suami minum kopi dengan beberapa cemilan sebelum berangkat ke sawah.

"Bagaimana cara mengatakannya kepada

Kirai Da?" Tanya Tan Malaka yang membuat Arifin diam sejenak dan menatap ke arah sang istri.

"Tanpa bertanya kita pasti tau apa jawabnya, Kirai adalah gadis yang modern, pola pikirnya sudah berkembang tidak seperti waktu kecil yang bisa kita atur, layaknya seorang bocah kecil yang mengikuti semua ucapan kita, sekarang dia sudah dewasa," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka mengangguk.

"Lalu apa yang akan kita sampaikan kepada Mamak?" Tanya Tan Malaka yang di jawab helaan nafas berat.

"Da Hanan adalah kakakmu, kakak iparku aku tau bagaimana sifatnya, apa yang keluar dari mulutnya tidak dapat dibantah, mau tidak mau, Kirai harus mau," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka terdiam. "Anakmu bukan milikmu, dia punya jalan hidup dan tujuan hidup," sambung Arifin yang membuat Tan Malaka menatap ke arah sang suami.

"Kirai akan pergi merantau Da, dia akan kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan," ucap Tan Malaka.

Tidak ada jawaban Arifin hanya diam dan menatap ke arah sang putri yang baru saja keluar untuk menjemur pakaian.

"Usianya masih muda, apa pantas dan apa dia akan siap menghadapi ujian rumah tangga, putriku masih sangat kecil untuk menikah," sambung Tan Malaka menatap Kirai yang berjalan mendekatinya.

"Apa yang sedang Ayah dan ibu bicarakan," kekehan Kirai yang duduk di depan kedua orang tuanya di kursi kayu yang sudah terlihat kusang.

"Adik, beli sarapan atau ibu yang membuat sarapan?" Tan Malaka menatap ke arah sang putri.

"Tunggu Tek Lina buka saja Bu," jawab Kirai menatap Tan Malaka dan beralih menatap Arifin. "Ayah…"

"Ayah ingin bicara denganmu," potong Arifin yang membuat Kirai langsung menatap Ke arah sang Ibu.

Suasana menjadi sedikit sunyi, hanya Tan Malaka yang sedikit mengangguk membuat Kirai membalas dengan sedikit anggukan juga.

"Semalam Ayah dan Ibu pergi ke rumah Mamak, kau tau itu kan Adik," sambung Arifin yang diangguki oleh Kirai. "Mamak dan Etek Hasna menjodohkan mu dengan putra Pak Samsul yang tinggal di samping surau itu, sahabat Ayah," ujar Arifin yang membuat Kirai terdiam dan menatap ke arah sang Ibu.

"I-ibu…"

"Tidak apa-apa, jawab saja, katakan apa yang kau ingin katakan," potong Tan Malaka yang mengerti dengan tingkah sang putri.

Suasana tiba-tiba kembali menjadi hening hanya suara sepeda motor dan beberapa anak-anak yang bersepeda ke sekolah. Arifin dan Tan Malaka masih diam dan menatap ke arah sang putri yang menunduk seperti sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan sang Ayah.

Helaan nafas terdengar dari bibir ranum gadis itu, ia mulai mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sang ayah dan ibu tatapan sendu dan sangat penuh ketenangan.

"Adik belum siap untuk menikah, aku ingin mengejar karir, Aku ingin membanggakan Ayah Ibu, adik ingin membayar semua keringat Ayah ibu untuk menyekolahkan adik, walau adik tau itu tidak akan cukup tapi izinkan adik untuk melakukan keinginan adik," ujar Kirai menatap ke arah sang Ayah.

"Ayah dan ibu sudah bangga denganmu, Ayah setuju jika kau menikah dengan putra Pak Samsul," sahut Arifin dengan suara yang sedikit keras membuat Kirai menunduk.

"Tapi aku belum siap untuk menikah, Aku tidak ingin menikah di usia muda, ini bukan zaman Siti Nurbaya Ayah, yang bisa menjodohkan putrinya dengan laki-laki yang orang tua mereka mau, izinkan adik untuk bekerja dan adik belum siap untuk menikah, adik bersumpah akan menikah tapi tidak untuk sekarang," sambung Kirai menatap ke arah Arifin.

"Bagi seorang Ayah, mereka ingin anaknya lebih sukses darinya, putra Pak Samsul adalah pria yang tepat untukmu Rai," sahut Arifin yang mulai menyebut nama sang putri membuat Tan Malaka dan Kirai menatap ke arahnya.

Sebuah pertanda bagi Kirai dan Tan Malaka jika Arifin telah memanggil menggunakan nama berarti ia benar-benar serius dengan ucapannya.

"Aku tidak ingin menikah di usia muda, aku ingin bekerja Ayah Ibu," ucap Kirai yang masih tetap ingin menolaknya.

"Apa ini yang kau dapat setelah lulus di universitas ternama?" Tanya Arifin menatap sang putri.

"Ayah, aku benar-benar tidak ingin menikah di usia muda, aku ingin bekerja dan ingin membanggakan kalian," ujar Kirai yang sedikit meninggikan suaranya membuat kedua orang tuanya terkejut karena ini adalah pertama kali Kirai meninggikan suara saat bicara pada mereka.

"Dengar, setelah aku menjual beberapa petak sawah untuk sekolahmu apa ini yang kau dapat? Apa ini yang kau dapat Kirai," bentak sang Ayah yang langsung menatap ke arah sang putrinya karena kecewa dengan tingkah Kirai. "Apa universitas yang ternama mengajarkan untuk bicara dengan nada tinggi kepada orang tuanya, Kau tinggal di daerah Minangkabau, tau dengan kato mandaki, Mandata, Manurun Jo malereang," sahut Arifin menatap tajam ke Arah sang putri.

Sontak membuat Kirai menunduk tidak berani menatap ke arah sang ayah.

"Da…" panggil pelan Tan Malaka yang mencoba untuk menenangkan sang suami.

"Apa kami begitu kolot untuk kau seorang sarjana Rai?" Tanya Arifin yang berhasil membuat Kirai semakin bersalah. "Aku tidak bisa menolak permintaan Mamakmu," ujar Arifin sambil berdiri. "Kau adalah anak perempuan, anak satu-satunya, jika kami tiada siapa yang akan menjagamu,“ sahut Arifin yang membuat Kirai terdiam dan menunduk menatap ke arah sang ayah.

“Adik masuklah ke kamarmu,” perintah Tan malaka yang mengerti dengan situasi tegang itu lebih baik untuk dihentikan.

Kirai hanya diam dan menunduk berjalan masuk ke dalam kamarnya, tak terasa air mata mulai menggenangi manik hitam indah gadis berdarah minang itu.

“Apa yang kau lakukan Da?” Tanya Tan malaka yang mencoba untuk menenangkan sang suaminya. “kirai adalah duplikatmu, kenapa ku memaksa kehendakmu padanya, aku tau itu adalah kekhawatiran mu, aku juga merasakan hal yang sama tapi Da, apa kau lupa dia adalah putrimu sifatnya dan prinsip hidupnya adalah kau,” jelas Tan Malaka yang membuat Arifin terdiam. “Bukankah kau bilang anakmu bukan milikmu, dia juga punya pilihan hidup dan tujuan hidup tapi sekarang kenapa kau bertindak seperti ini Da?” Tanya Tan Malaka yang lagi lagi membuat Arifin terdiam.

“Setiap orang tua ingin putrinya bahagia, sama seperti ku ingin melihat putriku di pinang oleh pria yang ia cintai dan pria yang baik, bobot bibitnya aku harus tau,” jelas Arifin yang membuat Tan malaka terdiam. “Bagaimana jika kita sudah tiada? Bagaimana hidupnya siapa yang menjaganya?” Tanya ariffin yang menghela nafas panjang dan berdiri berjalan meninggalkan Tan Malaka yang diam seribu bahasa.

“Mau kemana Da?” Tanya Tan Malaka menatap sang suami.

“Ke sawah, setelah isya kita akan pergi ke rumah mamak,” jawab Arifin sembari berjalan menuruni anak tangga.

“…” tidak ada jawaban Tan Malaka hanya mengangguk dan menatap kepergian sang suami.

Helaan nafas yang begitu berat membuat Tan Malaka melangkahkan kakinya berjalan masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamar sang putri.

“adik akan pergi ke rumah Rara bu, malam ini adalah malam bainai, aku akan pergi ke sana,” sahut Kirai yang tak berani menatap ke arah sang ibu.

“Hati-hati, makan siang?” tanya Tan Malaka yang mengerti dengan perasaan putrinya.

“Adik akan makan disana saja, adik pergi Bu, assalamualaikum,’’ jawab Kirai sembari mencium tangan sang Ibu dan berjalan keluar dengan sedikit menunduk memakai selendang sutra berwarna putih ke kepalanya.

“Waalaikumsalam,” jawab Tan Malaka menatap kepergian sang putri dari kejauhan. “Kenapa hati ini merasa, aku akan meninggalkanmu begitu jauh nak,” gumam Tan malaka sembari menatap kepergian Kirai yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Sementara Kirai berjalan sembari tersenyum menyapa beberapa orang lewat karena siapa yang tidak tau dengan Kirai, gadis cantik sopan santun dan sangat pintar. Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda.

“Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnya.

Note:

Malam bainai adalah acara menghiasi tangan sebelum pernikahan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!