NovelToon NovelToon

Menjadi Ibu Susu Untuk Keponakan Kembar

Prolog

Anindya Gradhita Mukti

Pernah kudengar sepenggal kalimat, "Bahwa manusia diciptakan berbeda jenis dari laki-laki dan perempuan supaya mereka berpasang-pasangan." Tetapi, kemudian aku berpikir, apakah yang aku alami sekarang ini sebenarnya bukan jodoh sejati, tetapi pemaksaan karena kami disatukan karena keadaan yang memaksakan?

Tuhanku begitu Maha Besarnya dan begitu hebatnya menyusun skenario semesta dengan begitu epiknya. Bermula saat aku mengira hidupku telah dihancurkan oleh semesta karena harus menerima kenyataan jika aku akan menjadi calon ibu meskipun belum bersuami.

Di usiaku yang masih muda dan memasang garis keras pada praktik pernikahan dini karena takut untuk memiliki anak dan takut untuk melahirkan. Namun ternyata, Tuhanku malah mendatangkan sesuatu yang aku takutkan, yakni hadir janin yang tidak berdosa yang tumbuh di dalam rahimku tanpa disengaja.

Bukan tanpa ayah, tetapi aku yang tidak mau dinikahi oleh ayah dari janinku ini. Dia, laki-laki yang tidak bertanggung jawab yang mencuri kesempatan di saat aku lemah.

Terlepas dari semua itu, seiring berjalannya waktu aku mulai bisa menerima kondisiku, kubiarkan janin ini berkembang di dalam rahimku karena aku sadar jika semua ini sudah menjadi jalan takdirku bukan karena aku sengaja berniat zina atau apa. Mungkin, memang Tuhan menitipkan dia dengan jalan yang seperti ini.

Setelah berusaha menghadapi halang rintang, cacian, makian, hujatan yang aku terima dari orang-orang sekitar tentang aku yang hamil tanpa melalui pernikahan, kutepis semua ocehan itu. Aku yang kemudian menjadi sangsi pada kata pernikahan dan mulai berpikir, tidak perlu lagi aku menikah karena ini aku sudah mempunyai jabang bayi yang sebentar lagi akan lahir. Sudah punya anak, jadi tidak perlu menikah, pikirku suatu hari lalu.

Namun, lagi-lagi Tuhan berkata lain. Di saat senang menanti buah hatiku lahir, ternyata Dia segera mengambilnya kembali. Anak yang kutunggu sembilan bukan lamanya, menanti kehadirannya di dunia. Namun, hanya bisa kulihat dalam sekejap mata sebelum akhirnya dia dikembalikan lagi pada Sang Maha Kuasa.

Untuk kedua kalinya aku merasa hancur sehancur-hancurnya.

Selalu ada obat di setiap luka, itu yang aku yakini. Kepergiaan anakku, masih ada harapan lain untukku bisa merasakan menimang bayi yakni bayi-bayi kakakku yang dikabarkan kembar identik. Ada sedikit cahaya setelah gelap menerpaku, aku bisa melihat bayi lucu sebagai penghibur lukaku, kelak saat bayi-bayi kakakku terlahir di dunia ini.

Lagi dan lagi Tuhan mempunyai rencananya sendiri. Kedua bayi itu terlahir sehat dan selamat, tetapi kakakku yang kemudian diminta oleh Sang Maha Kuasa. Pasca melahirkan, dia mengalami perdarahan hebat hingga kehilangan nyawanya.

Sejak kepergian kakakku, aku semakin menumpahkan kasih sayangku pada kedua keponakanku. Kutimang-timang setiap saat, kususui mereka dari air susuku sendiri. Sedih melihat mereka yang tidak bisa merasakan kasih sayang ibu kandungnya karena telah ditinggal pergi bahkan sebelum mata mereka dapat melihat jelas malaikat tidak bersayapnya.

Kak Amelia, aku mohon izin untuk merawat mereka semampuku dan sebisaku sampai mereka tumbuh besar dan berakhlaq karimah sepertimu, InshaAllah. Janjiku saat kakakku saat dimakamkan.

Namun, ternyata karena hal itulah mengubah hidupku dan aku merusak prinsip hidupku sendiri untuk tidak menikah. Karena berselang beberapa bulan menjadi ibu susunya, aku dinikahkan dengan ayah dari keponakanku ini.

Sejenak tidak ada yang berubah selain daripada statusku, tetapi entah mau dibawa kemana hubungan ini karena pada dasarnya antara aku dan mantan kakak iparku ini sama-sama tidak saling cinta dan enggan memulai hubungan barui dengan lawan jenis.

Amelia Mukti

Bagiku, hidup yang aku jalani adalah anugerah terindah dari Tuhan untukku. Semua sudah tergariskan harus bagaimana dan seperti apa, sebagai manusia hanya perlu memilah-milih jalan dan membiarkan semua berjalan mengikuti waktu.

Sepertiku yang dihadirkan di dunia ini sebagai anak pertama, tentu ada tanggung jawab besar yang harus aku emban terlebih harus menjadi contoh yang baik untuk adikku, menjadi panutan untuk kesayanganku, Anindya.

Dulu aku sering meminta pada Tuhan, minta supaya ayah dan ibu tidak pernah bertengkar dan jangan sampai mereka berpisah, minta supaya diberikan kesembuhan dari penyakitku yang sering membuatku sakit kepala. Ajaibnya, semua permintaanku itu dikabulkan oleh Allah.

Permintaan paling besar yang pernah aku minta adalah supaya aku diberikan adik kecil dan aku berjanji akan menyayanginya dan tidak akan meminta apapun lagi setelahnya, lalu Allah kembali mengabulkan permintaanku. Maka, hadirlah adik perempuanku satu-satunya yang bernama Anindya.

Sesuai janjiku, aku begitu menyayangi adikku, memberikan semua yang kubisa dan yang kupunya rela kuberikan untukknya.

Sampai akhirnya kami beranjak dewasa, kami mempunyai kehidupan masing-masing. Dengannya yang berkuliah di luar kota, sedangkan aku bekerja untuk membiayai studinya karena semakin hari ayah dan ibu semakin sibuk dengan urusan masing-masing.

Biaya kuliah Anindya seringnya terlambat untuk dibayarkan hingga membuat Anin tidak bisa mengikuti ujian. Aku tidak mau kejadian seperti itu terulang kembali karena aku merasa turut bertanggung jawab pada kehidupan adikku. Mengesampingkan impianku, aku lebih tidak rela jika Anin tidak melanjutkan mimpinya.

Sampai pada akhirnya, Allah kembali memberikan kejutan untukku dengan hadirnya seorang pria tampan yang membuatku jatuh hati untuk pertama kali dan berkali-kali padanya. Kami disatukan karena perjodohan, tentu ayah dan ibu setuju karena calon suamiku dari keluarga terpandang.

Singkatnya, suamiku tidak suka denganku karena kelakuan keluargaku. Sampai tahun berganti tahun, dia belum bisa menerimaku sebagai istrinya. Sikap tak acuhnya kuabaikan dan biarkan aku yang mencintainya sendirian.

Permintaanku yang memaksa untuk mempunyai anak bagaimana pun caranya, akhirnya aku hamil dan masa-masa membesarkan sang buah hati adalah saat-saat yang aku tunggu. Entah seperti apa jadinya nanti, aku menjalani saja kehidupan ini dengan ikhlas dan bahagia walau seringnya kesepian tanpa pernah merasa jika cintaku akan dibalas olehnya.

Arsatya Pramana

Dalam hidupku, belum pernah aku menyesal sedalam ini. Hidup seatap dengan wanita yang aku nikahi tanpa rasa cinta padanya, memang terasa berat, tetapi lebih berat kurasakan saat melihat kepergiaannya. Bukan untuk sementara, melainkan pergi untuk selama-lamanya.

Dia pergi bukan tanpa alasan, tetapi karena pengorbanannya melahirkan buah hati kami. Demi Tuhan, jika waktu bisa diputar, aku akan memberikan segalanya padanya. Semua yang dia minta akan aku penuhi, aku akan mengatakan padanya sejuta cinta seperti yang selalu dia ungkapkan dan ucapkan setiap hari.

Apapun yang aku bisa akan aku pasrahkan segalanya untuknya. Namun, aku telah hilang kesempatan. Waktu tidak bisa terulang dan aku merana dalam penyesalan seumur hidupku.

Kepergiannya membuatku kewalahan mengurus anak-anak yang seringnya aku abaikan dikala mereka menangis, semakin sering melihat dua bayiku yang wajahnya sangat mirip dengan ibunya membuatku terlara untuk melihat mereka lebih lama.

Sendiri kurasakan sakit di dalam hatiku sampai bagian terkecil di dalam sana. Akan kian tumbuh rasa sakit itu dan aku akan kembali menyesali waktu, menyesali diriku yang bersikap tidak acuh padanya, selalu mengesampingkan dia, ibu dari anak-anakku.

Jiwaku, hatiku, cintaku, dan seluruh hidupku seakan ikut mengabur terbawa serta dengan jasad Amelia yang dimakamkan di depan mataku.

Bab 1. Saat Takdir Berbicara

"Si dedek bayi, sehat-sehat ya. Onty gak sabar pengin ikutan rawat kamu juga," Anindya mengelus perut super besar milik kakaknya.

"Sudah siapin nama belum, Kak?"

"Hem, baru terlintas nama Ansha dan Chesa," jawab Amelia.

"Nama yang cantik, memangnya HPL kakak kapan?”

“Kalau kata dokter sih, lusa, Nin,” jawab Amelia. Seorang wanita dengan perut besarnya karena di dalam perutnya ada dua calon bayi yang akan segera terlahir dalam waktu dekat ini.

“Sudah dekat, Kak. Untuk sekarang apa belum ada tanda-tanda, Kak?”

“Ehm, sebenarnya tadi pagi Kakak merasa mulas, Nin, tapi lekas hilang. Bukan mulas kontraksi itu, kan, ya?” tanya Amelia. Dia selalu percaya dengan adiknya yang sekolah di kedokteran.

“Tapi, keluar cairan tidak, Kak? Semacam pipis tapi bukan pipis,” tanya Anindya yang saat tiu langsung bangkit dari kursinya dan mendekat pada sang kakak yang sedang mengupas buah apel.

“Eee, tadi tuh kakak juga sempat ngompol sedikit pas bangun tidur, itu apa?”

“Ah, yang benar, Kak? Dimana?” panik Anindya mengecek keadaan jabang bayi dengan meraba-raba perut kakaknya.

“Tenang, belum, kok.” Namun, tiba-tiba senyum yang cerah itu menyurut seketika saat tubuh Amelia tiba-tiba menegang dan tidak berkutik beberapa saat.

“Nin, aduh, Dik. Ini tiba-tiba perut kakak sakit, Dek, di sebelah sini, ssh, huft,” Amelia tiba-tiba merasa kesakitan di perut bagian bawahnya, wajanya memucat pasi seperti tidak ada pembuluh darah yang mengalir di wajahnya.

Tangannya mencengkeram lengan Anindya yang langsung mendekat pada kakaknya, wanita itu sudah tidak bisa bergerak. Tubuhnya sudah membeku karena menahan rasa sakitnya. Lalu, cairan merah segar mengalir merembes di sepanjang kakinya.

“Tarik napas, Kak. Ambil napas dengan teratur,” saran Anindya. Amelia sudah tidak dapat mendengar dengan jelas, dia sudah terlihat sangat lemas dengan tubuhnya yang sempoyongan, lalu bersandar pada meja makan.

“Kak, darah!” teriak Anindya yang baru menyadari rembesan darah di kaki Amelia.

“Tante, tante tolong kak Amel, Tan!”

“Ada apa, Nin? Hah? Amelia!” Ranti, mertua Amelia pun turut terkejut melihat keadaan menantunya yang sudah nyaris tidak sadarkan diri dengan darah yang mengalir di sepanjang kakinya.

Di atas brangkar yang di dorong ke ruang persalinan. Amelia sudah tidak keruan, tindakan operasi disarankan untuk segera dilakukan, tetapi Amelia memilih untuk menunggu Arsatya, suaminya.

“Ma, dimana Mas Satya, Ma? Amel mau ketemu dia,” tanya dia yang sudah berkeringat dingin menahan rasa sakit yang seakan merambat ke sekujur tubuhnya.

“Dek, tolong bilang Mas Satya, anaknya akan lahir. Bilang dia suruh cepat datang, aku ingin melihat dia di sini sebentar saja,” pinta Amelia menggenggam tangan Anindya.

Di luar ruangan, Anindya yang cemas dengan keadaan kakaknya, dia cepat menghubungi kakak iparnya sesuai permintaan kakaknya. Namun, orang yang dicari malah sulit sekali dihubungi sejak tadi.

“Dimana Mas Satya? Kenapa susah sekali dihubungi?” omel Anindya yang kesal saat menelepon kakak ipar menggunakan ponsel milik kakaknya, tetapi tidak ada jawaban.

Kini dia mengetikkan nomor Arsatya di ponselnya. Saat didial, tidak lama kemudian ada jawaban dari seberang panggilan.

“Mas Satya, kamu dimana? Cepat ke rumah sakit Bersalin Ananda, Kak Amelia mau melahirkan. Dia menunggumu,” ujar Anindya langsung.

“Hah, melahirkan? Tadi pagi belum ada keluhan apapun. Maaf, Nin. Mas ada pasien gawat darurat yang harus segera operasi.”

“Kak Amel menunggumu atau dia tidak mau dioperasi. Tolonglah segera datang, kondisinya gawat!” ucap Anindya memohon.

“Aku tidak bisa, sampaikan padanya untuk tidak menungguku. Dimana dokternya? Biar aku bicara dengan dokter yang menangani,” ucap Arsatya.

Anindya bergegas mencari dokter yang akan melakukan tindakan operasi caesar pada kakaknya, melalui telepon itu, Anindya hanya dapat melihat sang Dokter mengangguk-angguk.

“Apa kata kakak ipar saya, Dok?” tanya Anindya.

“Katanya, segera ambil tindakan operasi,” ujar dokter pria itu.

“Dik, nanti tolong jaga anak-anakku baik-baik, ya,” ucap Amelia sebelum dia masuk ke dalam ruang operasi.

“Pasti, Kak. Kita akan menjaga mereka bersama-sama, kuat-kuat kakak di dalam, ya,” Anindya mengecup dahi kakaknya sebelum pintu itu ditutup dan mereka dipisahkan oleh ruang.

Di sela-sela menunggu opersasi berjalan, Anindya terus mengirimkan Satya pesan supaya pria itu dapat segera datang menyusul istrinya. Semua sudah berkumpul di depan ruangan operasi, hanya Arsatya yang tidak ada.

Dokter keluar, “Dimana suami pasien?”

Semua mata hanya bisa saling memandang tanpa bisa memberikan jawaban, “Masih di tempat kerja, Dok,” jawab Anindya.

“Bayinya kembar dan semua terlahir sehat dan selamat, tetapi kondisi ibunya lemah, dia kehabisan banyak darah sehingga harus dipindahkan ke ICU,” ucap Sang Dokter.

Sang kakak keluar dibantu dengan para perawat, di tubuh Amelia sudah terpasang berbagai alat medis yang membantunya bertahan hidup. Semua orang yang berada di luar ruangan itu menangis melihat Amelia yang terkapar tidak berdaya dengan alat medis yang menancap di tubuhnya seakan alat-alat itu yang menopang hidupnya.

Anindya berlari ke tempat yang jauh, dadanya terasa sesak melihat sang kakak sekarat. Di dalam dadanya hanya ada rasa kesal, marah, dan ingin meledak saat itu juga pada pria yang menjadi suami dari kakaknya itu. Berjam-jam telah berlalu, tetapi Arsatya belum juga memunculkan batang hidungnya.

Ia kembali mencoba menghubungi kakak iparnya, telepon tersambung.

“Mas Satya, kamu dimana?! Kak Amelia membutuhkanmu! Dia masuk ICU, kamu dimana?! Kakakku sekarat, tapi kamu belum juga datang!” kesal Anindya yang marah karena kakak ipar belum juga muncul.

“Baru selesai, Nin. Ini bikin catatan pasien dulu, baru aku ke sana,” jawab Arsatya, meski dia sana dia cukup gugup melakukan pekerjaannya, tapi suaranya masih bisa terdengar tenang.

“Nggak usah ke sini saja, Mas! Urus saja pasien dan pekerjaanmu itu!” bentak Anindya, lalu dia mematikan teleponnya.

Begitu Arsatya tiba di rumah sakit, dia berlari menuju ruang ICU dimana istrinya berada.

“Ma, dimana Amelia?”

Ranti, wanita paruh baya itu terdiam seribu bahasa hanya air mata yang terus mengalir di pipinya.

“Ma, dimana Amelia? Dimana istriku, anak-anakku?” tanya Arsatya sekali lagi mengguncang tubuh ibunya.

Ranti menggeleng. Di sela-sela isak tangis dia menjawab, “Amelia sudah tidak ada, Sat,”

“Apa?!”

Lantas, pria itu berlari ke arah Anindya, “Dimana kakakmu, Nin?”

Bug, bug, bug!

Anindya memukuli tubuh kakak iparnya, dia menarik tangan Arsatya untuk melihat seseorang yang berada di dalam kamar jenazah.

“Itu istrimu! Dia sudah meninggal, bisa lihat sendiri, kan?” bentak Anindya menuding jasad yang sudah tertutup kain putih.

“Nggak, nggak mungkin! Amelia!”

“Bangun, sayang. Bangunlah, maafkan aku. Ayo bangunlah!” teriak Arsatya menepuk pelan pipi istrinya yang sudah membiru.

“Bangunlah, Sayang. Buka matamu, ayo buka matamu. Maafkan aku,” Arsatya meratap di atas tubuh istrinya yang sudah membujur tidak bernyawa.

Sekuat apapun ia mengguncang tubuh itu, sebanyak apapun kata maaf yang terucap, itu hanyalah sia-sia karena sampai kapan pun Amelia tidak akan pernah membuka matanya lagi.

...🦋🦋🦋...

Bab 2. Menyusui Pertama Kali

“Cup, cup, cup. Diamlah, aku harus bagaimana lagi supaya kalian diam, hah?”

Puk, puk, puk.

Arsatya menepuk-nepuk pantat salah satu bayinya yang terbangun di malam hari, sedangkan bayi yang lainnya dibiarkan menangis di atas ranjangnya.

“Hei, diamlah. Aku sudah lelah, besok ayahmu ini harus bekerja. Kenapa kalian tidak bisa diam?” ocehnya sendiri pada dua bayinya yang menangis bersaut-sautan.

Bukannya diam, kedua bayi itu malah menangis semakin kencang setelah mendengar suara keras Arsatya. Bukan hanya kedua bayi itu yang terganggu dengan suara omelannya, tetapi anggota keluarga lainnya pun turut terganggu karena masih dalam suasana berkabung dan mereka masih berkumpul di rumah Arsatya karena pengajian akan terlaksana sampai 40 hari mendatang.

Ranti datang, “Ada apa, Nak? Ansha dan Chesa terbangun?” tanya Ranti pada putranya.

“Tadi Ansha ngompol dan sekarang malah semuanya jadi bangun, sudah diberi susu formula tapi tidak mau diam, Ma,” kata Arsatya mengadu. Pasalnya sejak sore tadi, bayi-bayi itu tenang dan tertidur damai, tetapi ketika tengah malam menjelang mereka akan menangis dan menjerit tidak bisa diprediksi.

“Kepalaku pusing, Ma. Suara tangisan mereka membuat kepalaku nyaris pecah, mereka tidak membiarkanku tertidur barang sejenak,” adunya pria itu pada sang ibu.

“Sini, biar mama yang gendong. Kamu tidurlah kalau begitu,” Ranti mengambil alih bayi yang masih menangis itu.

“Mana bisa tidur kalau mereka terus saja menangis. Bawa saja mereka pergi dari kamar ini, aku lelah mau tidur,” kata ayah dari bayi-bayi itu.

Di luar kamar. Anindya tergopoh-gopoh berlari dari arah tangga menuju sumber suara tangisan bayi di lantai dua.

Dengan napas yang tersengal-sengal dan penampilan yang acak-acakan, matanya pun memerah tanda jika tidurnya terganggu karena suara tangisan bayi yang mengejutkannya, “Tante, ada apa? Aku mendengar suara Ansha dan Chesa menangis keras sampai terdengar sampai bawah,” tanya Anindya yang melihat kedua ponakannya menangis keras di gendongan neneknya.

“Iya, mereka menangis sejak tadi, mungkin karena mereka lapar, Nin. Diberi sufor tidak mau,” kata Ranti menggendong dan menimang dua cucunya yang sesekali masih merengek.

“Biar Anin yang gendong salah satunya, Tante,” pinta Anindya mengambil Chesa dari tangan kanan Rianti.

“Hush, cup cup cup. Ponakan Onty yang cantik, yang kuat, yang cerdas, yang pintar, jangan menangis, sayang, Cup, cup, cup,” kata Anin menimang-nimang Chesa di gendongannya.

Bayi berusia dua hari itu langsung tertidur tenang dan tidak berkutik di gendongan Anindya. Sekarang giliran Ansha yang masih terbangun di gendongan neneknya.

Sebelum menimang Ansha, Anindya ingin menidurkan Chesa di ranjang bayi miliknya yang itu berarti dia harus masuk ke dalam kamar si ayah dari anak bayi itu. Dengan perlahan, Anindya membuka pintu kamar itu dan secara pelan menidurkan bayi itu ke ranjangnya dengan sangat hati-hati.

“Bobo dulu, ya, sayangnya Onty. Nanti Onty bawakan adikmu kemari, ya, janji jangan nangis, oke?” kata Anindya berbicara dengan bayi yang sudah terlelap di dalam ranjangnya.

Samar-samar, Arsatya masih bisa mendengar suara Anindya yang berbicara pada bayinya itu, tetapi dia biarkan saja selama bayinya tidak menangis.

Lewat tangah malam, Anindya masih menimang Ansha dalam gendongannya. Ansha yang sedikit-sedikit terus merengek, sedangkan susu formula yang dibuatkan berulang kali oleh neneknya sama sekali tidak mau masuk ke dalam perutnya.

“Tante, kalau Anin kasih dia ASI nya Anin, boleh nggak, ya?” kata Anindya pada mertua dari mendiang kakaknya.

“Memangnya ASI Anin masih keluar?” tanya Ranti yang kemudian memandang dada Anindya yang terlihat padat dan berisi penuh

“Tidak tahu, tapi seringnya sakit, Tan, mungkin karena tidak dikeluarkan. Boleh tidak Anin berikan ini pada Ansha?” tanya Anindya.

“Coba saja, Nin. Kalau memang keluar berarti itu rezeki Ansha,” ujar Ranti memberi dukungan.

Di hadapan Ranti, Anindya membuka bajunya. Dibantu oleh Ranti, Anindya dituntun untuk memposisikan bayi yang baik dan benar saat akan menyusui.

Anindya mengarahkan mulut bayi Ansha pada posisi yang benar, bayi itu langsung menyesap ASI Anin dengan lahap sesuai nalurinya.

“Aduh, kok, rasanya seperti ini, Tan?” Anindya meringis saat bayi Ansha menyesap kuat-kuat ASI Anindya.

“Kenapa?”

“Sakit, auh. Sakit sekali, Tante. Ssshh… ” Anindya meringis menahan rasa sakit yang tidak tertahankan saat ASI-nya disesap oleh bayi Ansha sekuat tenaga.

“Pelan-pelan, Sayang. Onty kesakitan. Tante sakit, kenapa dia tidak mau berhenti sejenak atau pelan-pelan, Tante?”

Bayi itu memang menjadi tenang, kini gantian Anindya yang menangis sampai mengeluarkan air mata saking tidak nyamannya ketika sang bayi menyesap ASI-nya.

“Sakit, Tante,” ucapnya seraya menarik paksa sumber ASI dari mulut bayi Ansha.

Namun, malah membuat bayi Ansha menangis keras karena terkejut.

“Nin, pelan-pelan, Nak. Jangan ditarik paksa seperti itu. Dia masih bayi, dan punyamu nanti bisa lecet. Memang seperti itulah yang dirasakan oleh semua ibu di awal masa menyusui, terasa sakit itu pasti. Permukaan lidah bayi yang baru lahir memang bertekstur kasar, tapi lama-lama akan terbiasa,” nasihat lembut dari Rianti.

“Sakit, Tan. Anin tidak tahan. Hush, hush, cup-cup. Maafkan Onty, Sayang,” kata Anindya menyesal telah menarik paksa ASI dari mulut bayi Ansha.

Ansha masih menangis, Anindya merasa kasihan tetapi ia harus memberikan ASI itu lagi. Dengan menelan ludah susah payah, dia akan mencoba sekali lagi memberikan ASI untuk bayi Ansha walau permukaan payu-dara itu sudah terasa perih karena lecet.

“Coba gantian sebelah kanan, Nin,” saran Rianti.

Anindya menurut, dia membiarkan ASInya diminum oleh bayi Ansha meskipun tubuhnya terlonjak-lonjak karena sesekali permukaan lidah si bayi terasa menyayat ujung payu-dara Anindya.

Di kamar Ranti, keduanya duduk bersandar di atas ranjang dengan Ansha yang berada di pangkuan Anindya. Membiarkan semalaman ASI Anindya disesap bayi Ansha yang kehausan.

Tidak terasa pagi telah tiba, matahari sudah menyorot terang dari barik celah jendela yang terbuka sebagian.

“Auh!!” kembali pu-ting Anindya terasa sakit karena bayi Ansha kembali menyesap ASI tanpa dilepas sejak semalam hingga bayi itu bangun kembali.

“Kamu sudah bangun, Sayang? Ah, pintarnya tidak menangis, Ansha mau nenen lagi sama Onty? Iya? Ansha lapar, ya?” kata Anindya mengajak bayi Ansha mengobrol.

“Huk, uks,” seakan bayi itu mengerti saat Anindya berbicara dengannya. Si bayi Ansha menjawabnya dengan gulatan tangan dan kaki yang bergerak-gerak diselingi suara bayi yang khas dan menggemaskan.

Kembali Anindya mengarahkan payu-daranya supaya posisinya tepat masuk ke dalam mulut Ansha. Seketika bayi Ansha menyesapnya dengan lahap dan Anindya sadar bahwa rasa sakit dan menegang di daerah sekitar dadanya yang biasanya dirasakan setiap paginya, kini sudah tidak terasa.

“Memang ini rezekimu, Sayang. Mimi cucu yang banyak, ya, biar onty juga tidak merasa sakit lagi. Terima kasih, Sayang,” kata Anindya mengusap kepala bocah yang penuh keringat karena meminum ASI dengan lahapnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!