Nama gadis kecil ini Nayla Maharani Wijaya. Papa dan mamanya bercerai saat ia masih sekolah di tingkat dasar, tepatnya kelas satu, pas usianya masih tujuh tahun.
Impian seorang anak pastilah mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya, apalagi saat ulang tahun. Tapi apalah daya Nayla saat itu, bukanlah ucapan selamat dan ciuman sayang dari mama dan papanya, namun kado perceraian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Nayla kecil, tak mengerti apa-apa. Ia hanya bisa menangis mendengar percekcokan kedua orang tua yang ia sayangi hampir tiap hari. Suara keras bentakan Papanya Nayla -Danu-, barang pecah belah yang melayang, serta tangisan Mamanya Nayla -Ranti- sepanjang malam.
Nyanyian selamat ulang tahun, tepukan meriah dari teman-teman, kue tart rasa coklat impiannya hanya menjadi bayangan semu di pelupuk matanya.
Ia hanya bisa diam dan memeluk sang Mama yang masih sesenggukan setelah reda dari pertengkaran hebat dengan Papanya. Mulut mungilnya nggak tega menanyakan banyak hal yang muncul dalam pikirannya. Nayla hanya bisa menatap wajah Mamanya yang sangat disayangi.
Sedang Papanya, hanya bisa membanting pintu sekeras-kerasnya, lalu meninggalkan rumah, tak tahu mau kemana.
"Mama, Nayla takut," jerit lirih suara Nayla sambil memeluk tubuh kurus mamanya yang mulai sakit-sakitan.
"Sini Sayang! Jangan takut ya! Mama akan selalu menemanimu. Nayla nggak boleh sedih, apalagi nangis!" suara lembut Mamanya berusaha menenangkan sambil memeluk erat tubuh kecil Nayla yang meringkuk dalam dekapan.
Titah Ranti bahwa ia tak boleh nangis, tapi wanita yang memeluk Nayla sendiri tak bisa menghentikan buliran air mata yang mengalir deras dari kedua bola matanya.
"Kenapa Mama nangis?" tanya Nayla lugu sembari menatap wajah Ranti dengan penuh kasih sayang.
Buru-buru Ranti mengelap air mata di pipi dengan selimut yang menutup sebagian tubuhnya, nampak sangat lelah.
"Kita bobok ya, Sayang. Besok pagi kamu harus sekolah," demikian ucapan Ranti untuk menenangkan Nayla kala itu.
Begitulah yang terjadi, hari demi hari, bulan demi bulan, sampai hampir berganti tahun. Namun ketabahan mama Nayla tak terbendung lagi, akhirnya perpisahan antara mama dan papa Nayla menjadi keputusan akhir.
Ketok palu hakim menjadi tanpa perpisahan keduanya secara resmi di saat Nayla seharusnya merayakan ulang tahun yang ke tujuh.
Dan yang membuat Nayla lebih sakit lagi, gadis kecil itu harus berpisah dengan mamanya karena keputusan hakim yang dimenangkan oleh papanya, atas hak asuh anak. Apalah daya seorang Ranti yang tak punya penghasilan dan sudah sakit-sakitan karena kanker yang menjalar di tubuhnya makin ganas.
Dan itulah salah satu penyebab, Danu terpikat oleh rayuan wanita lain yang lebih cantik dan bisa menemani Danu sepanjang hari. Sedang Ranti tak bisa melakukannya lagi.
POV NAYLA
"Tapi apakah itu adil buat Mama? Dalam keadaan sakit parah, malah terpaksa berpisah dengan aku yang biasanya menemani dan menghiburnya. Aku nggak tega melihat penderitaan Mama, aku nggak bisa meninggalkannya, hik hik." Protes ku pada papa yang sudah mengemasi barang-barang milik ku malam itu.
"Kamu harus ikut sama Papa, Nayla. Kalau kamu hidup sama Mama, kamu nggak bisa sekolah lagi, tau?? Mama mu bentar lagi juga mati!!" Bentak Papa dengan suara menggelegar bagai petir yang menyambar.
Mendengar perkataan Papa, aku menangis sejadi-jadinya. Sedang Mama berjalan mendekati ku untuk memberi pelukan penenang. Tapi tubuh Mama malah terjerembab ke belakang karena di dorong keras oleh tangan Papa yang kekar.
"Nayla, sini, Sayang. Aduuuh." Jerit Mama menopang kepalanya yang terbentur dasar dinding dan sedikit berdarah.
"Mamaaa." Teriak ku tak tega melihat mama diperlakukan Papa seperti itu.
"Menjauh lah dari Nayla. Jangan mencari masalah dengan ku lagi. Apa kamu lupa apa yang dikatakan hakim tadi siang. Nayla mulai hari ini ikut aku, karena aku lah yang punya hak asuh atasnya. Sudah! Menjauhlah darinya, dasar wanita tak berguna!!" Bentak Papa menghujam hati siapa pun yang mendengarnya.
"Papa... Aku nggak mau pisah sama Mama. Aku akan selalu menemani Mama. Jangan sakiti Mama, Pa!" Tangisku meratapi nasib ku dan Mama yang nampak lemah terduduk sambil bersandar di dinding untuk menopang tubuhnya yang lemah.
Tapi Papa tak pernah menghiraukan rengekan ku malam itu, keegoisannya sudah membutakan mata dan menulikan telinganya. Hatinya pun sudah mati rasa.
"Nayla... Jangan tinggalkan Mama, Sayang! Mama tak bisa hidup tanpa mu. Mama sangat menyayangi mu, Nak. Hik hik hik." Tangisan Mama kembali pecah dan tak bisa di bendung lagi.
"Mama..." Aku terus memanggil mama sepanjang tangan ku di seret dengan paksa oleh tangan kekar Papa.
"Cepat Nayla! Kita segera meninggalkan rumah ini! Kamu akan tinggal di rumah yang lebih besar dan mewah." Ucap Papa sambil mencengkeram dan menyeret tangan kecil ku sepanjang langkah ku meninggalkan Mama sendiri di rumah sederhana yang telah menyimpan banyak kenangan sepanjang masa kecil ku.
"Nayla anak ku, hik hik..." Tangisan Mama menatap sendu ke wajah ku yang semakin lama semakin menjauh meninggalkannya.
Aku berjalan di seret Papa ku, tapi pandangan ku tetap menoleh ke belakang untuk melihat Mama yang merangkak berusaha meraih tanganku. Namun usahanya sia-sia, mobil sedan hitam milik Papa telah membawa ku semakin jauh entah kemana.
Di sepanjang jalan, aku hanya bisa menangis dan memanggil sebuah nama. "Mama... mama... Aku nggak mau meninggalkan mama!! Hentikan mobilnya, Pa. Aku mau menemani mama." Rengek ku sekuat tenaga.
Sopir Papa malah melajukan mobilnya makin cepat dan dengan suara baritonnya Papa menoleh ke belakang sambil berteriak lantang. "Diam!!! Atau kamu aku turunkan di jalan!!!"
"Hik hik hik... Papa kejam!! Aku benci Papa!!!" Umpatan bercampur tangisan ku semakin menjadi. Aku berontak atas tindakan Papa yang sadis dan tak punya hati.
Tapi Papa tak lagi mengeluarkan suara kerasnya, ia sudah tak mempedulikan aku dan asyik memainkan ponselnya yang sejak tadi ada di genggamannya.
"Halo Sayang, aku akan segera sampai," ucap Papa dengan suara lembut. Berbeda jauh dengan perlakuannya pada ku apalagi pada Mama.
"Kita langsung ke rumah ya, Udin!" Perintah Papa pada sopir pribadinya.
Tanpa menjawab, Pak Udin cukup menganggukkan kepalanya tanda setuju dan siap dengan perintah Papa.
...----------------...
BERSAMBUNG
POV AUTHOR
Rumah Nayla yang biasanya terdengar canda tawa saat bersenda gurau dengan mamanya tercinta, kini nampak sepi.
Ranti Septiana, nama mama Nayla. Ia tak henti-hentinya sesenggukan menangisi kepergian anak semata wayangnya dengan cara terpaksa. Tubuhnya yang kuyu bangkit perlahan dari duduknya yang menahan sakit setelah mendapat dorongan keras dari mantan suaminya, Danu.
Tangan kirinya meraba-raba kepala bagian kiri yang terasa perih, setelah terbentur dinding kamar saat ia terjerembab tangan kekar Danu.
"Oh... kepala ku berdarah. Begitu teganya kamu memisahkan aku dengan anak yang ku kandung sembilan bulan dalam rahim ku. Ku susui selama dua tahun. Dan tak lupa ku bacakan dongeng di setiap menjelang tidurnya. Danu, kamu sudah melupakan janji manis mu saat akan menikah dengan ku. Saat aku tak berdaya dan sakit-sakitan, Kini kau tinggalkan dan kau buang begitu saja diri ku yang sudah tak berdaya ini," pekik Ranti meratapi nasibnya yang memilukan.
Sejak setahun silam, kesehatannya semakin menurun. Penyakit yang menggerogoti tubuhnya tak bisa dikendalikan lagi. Sudah banyak usaha yang telah dilakukan olehnya untuk mengurangi rasa sakit yang menyerang rahimnya.
Kanker leher rahim stadium empat, saat ini dideritanya. Milyaran uang sudah ia keluarkan untuk menyembuhkan penyakitnya. Hingga seluruh harta warisan dari orang tuanya telah habis ia jual, demi niat yang satu, sembuh dari keganasan penyakit yang menyerang dirinya setiap waktu.
Ranti yang dulu cantik jelita dengan berbagai penghargaan atas prestasinya. Hingga bisa memikat hati seorang pemuda tampan, anak satu-satunya pemilik pengusaha terkenal di kota tempat ia tinggal. Danuarta Wijaya, biasa dipanggil Danu, adalah salah satu dari sekian banyak pemuda yang berusaha mendapatkan perhatian dan cinta seorang gadis bernama Ranti.
Namun dengan kegigihan dan kesungguhan Danu, akhirnya Ranti tak bisa menolak cinta yang ditawarkannya kala itu. Dan akhirnya setelah lulus kuliah, Ranti memutuskan segera menikah dengan pengusaha muda penerus tahta perusahaan terbesar di kota itu, siapa lagi kalau bukan dengan Danuarta Wijaya.
"Aku mencintai mu Sayang. Aku sangat beruntung memiliki mu." Ucap Danu setelah resmi menjadi suami Ranti delapan tahun silam.
Kebahagiaan menaungi mahligai rumah tangga sepasang sejoli yang tengah di mabuk cinta. Tak ada celah yang bisa memisahkan kebahagiaan mereka, apalagi setahun kemudian lahirlah bayi cantik yang mereka beri nama Nayla Maharani Wijaya.
Namun, setelah beberapa tahun berlalu, badai besar telah menerpa ketenangan dan kebahagiaan istana yang di bangun Danu dan Ranti. Setelah dokter memvonis penyakit kanker leher rahim yang di derita Ranti sudah masuk stadium dua.
Kemoterapi telah ia jalani, namun takdir berkata lain. Kanker ganas sudah tak bisa dikendalikan lagi, sampai ia tak bisa menjalankan tugas sebagai seorang istri. Mulailah percekcokan dan masalah kecil yang muncul, hingga menyulut amarah Danu yang tak lagi bisa terpenuhi hasratnya sebagai seorang laki-laki normal.
"Mas, maafkan aku. Kini aku sudah tak bisa menjalani tugas ku sebagai seorang istri seperti dulu. Sekali lagi, maafkan aku Mas Danu. Hik hik," tangisan Ranti pecah, kala Danu mulai menyentuh tubuhnya yang ingin melampiaskan hasratnya.
Danu pun hanya bisa diam dan tak melanjutkan kegiatan ranjang yang seharusnya ia lakukan bersama Ranti, istri tercintanya.
"Sudahlah, kita tidur saja," jawab Danu untuk menutupi kekecewaannya.
Seiring berjalannya waktu, datanglah seorang wanita cantik jelita dengan pesona yang tak bisa Danu tolak karena sudah sekian lama ia menahan hasrat. Melisa, seorang wanita muda, cantik, badan molek, pintar, yang selalu menemani kegiatan kantornya, sejak ia mengangkatnya sebagai sekretaris di perusahaan tempat ia bekerja.
Ana ing tresno jalaran saka kulino, karena seringnya Danu dan Melisa menghabiskan waktu bersama, baik di kantor maupun kegiatan luar kota. Akhirnya tumbuhlah benih-benih cinta di antara keduanya.
Siapa wanita yang bisa menolak tawaran kasih sayang dari pria tampan, tajir melintir, pemilik perusahaan tersohor, Danuarta Wijaya? Demikian yang dirasakan Melisa sejak pertama kali, Danu berterus terang atas rasa yang ada dalam hatinya.
Hari demi hari, bulan demi bulan, akhirnya keinginan Danu untuk memiliki Melisa seutuhnya sudah tak terbendung lagi. Dengan berterus terang pada Ranti, ia putuskan untuk menikah lagi dengan sekretaris yang sudah ia pacari beberapa bulan terakhir.
"Ranti, seminggu lagi, aku akan menikah dengan Melisa. Aku butuh istri yang bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Kamu harus bisa menerimanya," demikian kalimat yang diucapkan Danu malam itu pada Ranti yang sudah tergolek lemah dengan rambut mulai rontok, efek dari kemoterapi.
"Iya iya... Mas. Aku bisa terima keputusan mu. Kamu juga berhak bahagia. Sedang aku sudah tak bisa memberikannya," jawaban Ranti malam itu dengan menatap sendu wajah Danu yang berdiri di depannya dengan senyumnya yang menawan.
Walau Ranti dengan kerelaannya bersedia berbagi suami dengan wanita madunya, namun dalam lubuk hati yang terdalam, ia tak bisa menerima begitu saja keputusan Danu. Apalagi setelah itu, Danu yang sebelumnya perhatian padanya, menjadi jarang pulang.
Pesona Melisa telah membuatnya terhipnotis dan berpaling pada istri barunya itu. Sedang Ranti tetap tinggal bersama Nayla putri semata wayangnya dengan keceriaan dan tingkah lucunya. Hari-harinya dihabiskan dengan bersenda gurau dan melampiaskan kasih sayang pada putri kecilnya yang semakin hari semakin pintar saja.
Namun, lagi-lagi penyakit kanker yang sudah masuk stadium empat membuatnya semakin menderita. Tubuh Ranti semakin tak terawat, apalagi Danu sudah semakin menjauh dan tak mau membiayai perawatannya lagi.
Rumah megah yang dimiliki Ranti, sebagai warisan dari kedua orang tuanya akhirnya ia jual demi pengobatan untuk dirinya. Lalu ia dan Nayla memilih tinggal di rumah sederhana yang Ranti beli dari sisa penjualan rumah mewahnya.
"Sayang, maafkan mama ya Nak. Mulai sekarang, kita tinggal di rumah ini. Nayla nggak boleh sedih ya!" ucap Ranti sambil memeluk putri kecilnya yang selalu tersenyum dan menghibur dirinya.
"Nggak apa-apa, Ma. Yang penting Nayla bisa terus sama Mama. Nayla sayang Mama," demikian ucapan lembut seorang Nayla kecil yang bisa meluluhkan hati mamanya. Hingga Ranti meneteskan air mata, karena rasa syukurnya telah diberikan seorang anak yang bisa mengurangi rasa sakit pada tubuhnya.
"Kenapa Mama nangis? Apa Mama sedih karena Papa sering marah dan nggak pernah ke sini lagi?" tanya Nayla dengan polosnya.
"Nggak Sayang. Mama nangis karena senang, masih bisa memeluk Nayla dan menemani Nayla sampai hari ini," jawab Ranti sambil memeluk erat tubuh Nayla di pangkuannya.
"Nayla janji, akan selalu menemani Mama. Mama nggak boleh nangis lagi ya." Ucap Nayla sambil menatap teduh wajah mamanya yang semakin keriput digerogoti penyakitnya.
Jari-jemari Nayla menyentuh pipi Ranti, dan mengelap dengan perlahan sisa air mata yang membasahi kedua pipinya.
"Terima kasih, Sayang. Mama sayang Nayla." Ranti tersenyum merasakan sentuhan lembut tangan kecil Nayla.
...----------------...
BERSAMBUNG
Saking lelahnya Nayla menangis, akhirnya ia tertidur di mobil dengan mata sembab. Perjalanan menuju rumah baru sudah hampir sampai. Laju mobil pun menjadi melambat saat masuk di kawasan elit di kota Surabaya.
Pak Udin sopir pribadinya menghentikan mobil sedan hitam yang dikemudikannya di depan bangunan megah berlantai dua. Danu tersenyum puas atas apa yang telah ia lakukan malam ini. Ia menoleh ke belakang dan mendapati Nayla masih meringkuk dalam tidur lelapnya.
"Nayla, bangun! Kita sudah sampai. Nayla!!" Suara Danu mengagetkan Putri semata wayangnya itu.
Nayla terpaksa membuka kedua matanya yang masih ngantuk. Ia tak langsung keluar dari mobil. Pandangannya memindai sekeliling yang masih asing baginya.
'Dimanakah ini?' bisiknya dalam hati.
Gadis kecil ini nampak bingung dengan pemandangan di hadapannya sekarang. Ia masih duduk di mobil, belum beranjak dari sana hingga suara Danu mengejutkannya sekali lagi.
"Cepat turun, Nayla! Apa kamu mau di mobil selamanya, hah?" Bentak Danu dengan suara lantang.
Nayla terjingkat dan buru-buru menurunkan kakinya satu-persatu dengan ragu-ragu. Akhirnya ia keluar dari mobil masih dengan ekspresi bingung.
"Sini Nayla. Ayo ikut masuk ke rumah baru Papa! Kamu pasti suka dengan kamar mu yang luas dan indah."
Tangan Nayla di gandeng Danu dengan erat. Namun Nayla masih saja bingung atas apa yang terjadi pada dirinya saat ini.
"Benarkah ini rumah Papa?" Tiba-tiba suara Nayla menyibak kesunyian malam itu.
"Iya, Sayang. Ini rumah baru Papa. Kamu suka kan?" Jawab Danu bangga dan terus melanjutkan langkahnya yang mulai menapaki tangga rumah mewah bernuansa warna putih itu.
Rumah baru Danu sangat jauh berbeda dengan rumah sederhana yang biasa ditinggali Nayla bersama Ranti, mama kandungnya. Seperti bumi dan langit.
Rumah Ranti hanya beralaskan ubin hitam yang sudah usang dengan ukuran dinding yang sudah mengelupas tembok apalagi catnya. Ukurannya juga sangat kecil, hanya ada satu kamar dan ruang tamu, dapur kecil serta kamar mandi yang seadanya.
Sedangkan bangunan putih yang kini akan ditinggali Nayla, beralaskan marmer mengkilat dengan tembok tinggi nan kokoh. Terdapat kolam renang yang ada di samping bangunan serta taman yang dipenuhi berbagai bunga-bunga indah berwarna-warni.
Setelah memasuki bangunan megah dengan beberapa langkah, Danu melepas pegangan tangannya pada Nayla. Lalu ia menunjukkan tangga yang menghubungkan antara lantai dasar dan lantai dua rumahnya.
"Nah... itu tangga menuju kamar pribadimu, Nayla. Kamu boleh naik ke sana. Kamar mu terletak paling ujung dekat dengan ruang keluarga. Kamu berani kan naik sendiri? Papa mau beres-beres barang yang masih ada di mobil."
"I... iya, Pa." Jawab Nayla singkat.
Dengan sangat hati-hati ia mulai melangkahkan kakinya menapaki tangga yang dilapisi karpet warna merah membuat makin mewah dan elegant.
Tapi tetap saja gadis kecil ini nampak bengong dengan situasi di sekitarnya. Akhirnya ia sampai pada bangunan lantai dua. Di sana terdapat tiga kamar yang berjajar dengan ukuran yang berbeda.
Satu diantaranya berukuran paling luas dibanding dua kamar yang lain.
'Apakah ini kamar ku seperti yang di maksud Papa tadi?' Pikir Nayla, sambil melangkah menuju kamar paling ujung sesuai petunjuk Danu.
Namun belum sampai membuka pintu kamar di depannya, ia dikejutkan dengan suara sapaan wanita di belakangnya.
"Apakah ini Non Nayla? Selamat datang di rumah ini." Ucap seorang wanita paruh baya dengan pakaian sederhana dan tersemat senyum di sudut bibirnya.
Nayla kaget mendengar suara itu, spontan kepalanya menoleh ke belakang karena penasaran.
"Iya, saya Nayla." Jawab gadis kecil itu dengan wajah bingung.
"Saya Bik Ina. Saya yang bersih-bersih rumah dan memasak setiap harinya. Kalau ada apa-apa, silahkan Non Nayla panggil Bik Ina saja ya!" Ucapnya ramah.
"Iya, Bik Ina. Terima kasih." Ucap Nayla sambil memberi senyuman manisnya.
......................
Malam semakin larut, kedua mata Ranti tak bisa terpejam. Ia terus saja membayangkan wajah mungil putri kesayangannya dengan mata sembab karena hampir berjam-jam menangis di kamarnya.
"Kamu sedang apa sekarang, Nak. Semoga Nayla baik-baik saja ya, Sayang. Memang benar apa yang dikatakan Papa mu. Lebih baik Nayla ikut dengannya. Karena kehidupan Nayla akan lebih terjamin dan nggak sengsara lagi seperti akhir-akhir ini bersama mama. Biarlah mama mu ini melanjutkan akhir hidupnya sendiri. Mama rela Sayang, asal kamu bahagia bersama Papa." Ranti bermonolog sambil sesekali menyeka air mata yang lagi-lagi menetes membasahi kedua pipinya yang semakin keriput karena di gerogoti kanker ganas pada tubuhnya.
Ranti tak lagi bisa mengobati penyakitnya saat ini, karena tabungan dan warisan peninggalan orang tuanya sudah habis untuk mengobati kanker yang tak bisa dikendalikan lagi. Hari-harinya dihabiskan dengan melakukan kegiatan di dalam rumahnya sekuat tenaganya yang tersisa.
Makan dan minum kadang di bantu tetangga sebelah yang sangat prihatin atas nasibnya. Untunglah masih ada orang-orang baik yang mau mengulurkan tangan padanya.
Seperti pagi ini, Ranti tak bisa melakukan apa-apa lagi. Ia merintih kesakitan di bilik kamarnya yang sedikit berantakan karena beberapa hari tak dirapikan. Bukan karena ia malas melakukannya, melainkan tubuh lemahnya dan rasa sakit yang mendera tubuhnya membuat ia tak berdaya melakukan apapun sendiri.
"Selamat pagi, Ranti." Sapa Mak Entin tetangga sebelah yang sudah berumur namun masih sehat dan bugar.
"Selamat pagi, Mak." Jawab Ranti yang duduk bersandar di ranjangnya yang sempit.
"ini aku bawakan nasi hangat, sayur sop serta ayam goreng buat sarapan. Ada juga teh hangat biar tenggorokan mu seger ya, Ranti." Ucap Mak Entin sambil meletakkan rantang plastik di atas meja kecil di sudut kamar.
"Makasih, Mak. Aku jadi nggak enak, sering merepotkan Mak Entin seperti ini." Ucap Ranti lirih.
"Nggak apa-apa, Ranti. Emak nggak ngerasa repot kok. Ayo makan dulu, mumpung masih hangat."
Lalu Ranti menepikan badannya dan duduk di tepi ranjang. Mak Entin mengambilkan rantang yang berisi makanan yang disebutkan tadi.
Sesuap demi suap, Ranti menikmati sarapan pagi itu dengan pelan. Hingga ia menghabiskan separuh dari nasi yang diambilkan Mak Entin padanya.
"Kamu sudah kenyang ya, Ranti? Ini sekarang minum teh hangatnya!" Mak Entin mengambilkan teh hangat yang ada dalam termos kecil, lalu ia tuangkan ke dalam gelas.
Lalu Ranti meraihnya dengan rasa haru. Karena ia nggak nyangka dipertemukan dengan orang baik seperti Mak Entin.
"Dari tadi aku nggak lihat Nayla? Hari minggu biasanya Nayla di rumah kan? Masak sih minggu-minggu tetap sekolah.
Dengan tatapan sayu, Ranti menjawab ketidak beradaannya Nayla saat ini. " Semalam Nayla di bawa dengan paksa oleh mantan suami ku. Karena ia yang memenangkan hak asuh atas anak ku itu."
"Oo... jadi mulai semalam, kamu sendiri di rumah ini, Ranti?"
"Iya, Mak. Biarlah anak ku ikut papanya. Biar punya masa depan yang lebih baik" Jawab Ranti dengan senyuman penuh harap.
******
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!