NovelToon NovelToon

Membalaskan Dendam Janda

Bab 1

“Kenapa harus lelaki itu? Oma sudah menyiapkan seorang dokter muda sebagai calonmu. Dia mapan, tampan, dan tentunya berasal dari keluarga baik-baik. Masa depanmu lebih terjamin bersamanya.”

Entah sudah berapa kali Amanda membujuk cucunya untuk menikah dengan pilihannya. Namun, selalu saja ditolak.

Evenia Maheswari selalu saja teguh dengan pilihannya untuk bersama dengan lelaki biasa tanpa status sosial, berasal dari keluarga menengah ke bawah dengan pekerjaan yang belum pasti.

Tidak ada yang tahu sesuatu seperti apa yang merasuki otaknya, sehingga dengan mudah menolak semua pria tampan dan mapan pilihan sang oma, Amanda Maheswari.

Eve sendiri sudah terlanjur mencintai seorang lelaki yang memberikannya seulas senyuman manis, ia awalnya tidak percaya adanya cinta pada pandangan pertama. Dan itu semua terpatahkan oleh seorang Andrea Rovalno Harris.

Laki-laki yang memperlakukannya dengan manis, bertutur kata menyenangkan, dan sangat pandai membuat ia tersenyum.

“Eve. Kamu harus sadar, dia tidak akan bisa menghidupimu.”

“Oma, cukup! Oma kira Eve perempuan seperti apa? Eve buka perempuan yang matrealistis dan mengharapkan pangkat seorang lelaki.”

Amanda mendengus, ia terlihat sangat kesal dengan cucu semata wayangnya itu. Namun, Eve tak kalah kesalnya dengan sang oma. Ia tidak terlalu suka dengan sifat omanya yang memaksakan kehendak.

Hidup adalah pilihan. Eve berhak memilih untuk hidup bersama orang yang ia cintai dan mencintainya.

“Baiklah, itu pilihanmu. Maka, silakan angkat kaki dari keluarga Maheswari.” Omanya berucap dingin.

Saat itu juga Eve meninggalkan gelarnya sebagai seorang Maheswari, juga dengan segala kemewahannya.

Apakah ia menyesal? Tentu saja tidak. Kebahagiaan selalu saja tercurahkan pada dirinya. Dan itu semakin bertambah ketika ia menukar janji suci pernikahan bersama Andrea.

Keduanya hidup dalam keadaan sederhana dan seadanya saja, suka dan duka dilalui bersama, jatuh dan bangun menjadi makanan pokok mereka sehari-hari.

Sampai usaha mereka membuahkan hasil, kedua berhasil membangun sebuah perusahaan besar dan bahkan sudah memiliki rumah yang terbilang mewah. Tidak ada masalah berarti yang mereka hadapi, semuanya juga terselesaikan dengan baik.

Ya, sekedarnya tidak ada. Semuanya masih tenang. Namun, ketenangan itu terusik dengan kedatangan ibu mertuanya. Rita Rivalni Harris.

“Duh! Mama gemas banget deh sama Rubby. Pipinya tembem banget, pengen mama cubit.” Rita kembali memutar ulang video di dalam ponselnya yang menampilkan anak perempuan berumur empat tahun tengah berceloteh ria di depan kamera.

Andrea ikut mendekatkan diri pada mamanya untuk mengintip video tersebut, tak terasa bibirnya ikut menyunggingkan senyum. Anak perempuan itu sangat lucu dan menggemaskan. Ia jadi berandai, bagaimana kalau ia memiliki anak, apakah akan selucu itu?

“Anaknya Clarissa ya, Mah?” Andrea kembali pada posisinya, lalu fokus pada layar laptop yang ia pangku. Mereka sedang berada di teras rumah sembari menikmati suasana sore.

“Iya, lucu ‘kan?” tanya Rita menoleh pada anaknya dengan nada memancing, terlihat Andrea mengangguk membenarkan.

“Makanya, kamu cepet punya anak dong. Mama tuh udah nggak sabar pengen punya cucu.” Rita menepuk pelan paha anaknya, bibirnya menyunggingkan senyuman melihat anaknya yang menatap lurus ke depan.

“Mama punya temen, dia punya anak yang masih singg—“

“Mas, tehnya.” Lamunan Andre buyar mendengar suara lembut mengalun di pendengarannya, laki-laki itu tersenyum menatap wanita yang sangat ia cintai.

“Makasih, Sayang.” Andre langsung meraih cangkir teh itu dan menyeruputnya pelan. Rita memalingkan wajahnya dengan bibir yang mencebik, kedatangan Eve menggagalkan rencananya. Memang menantu tidak berguna! Batinnya tidak terucap.

“Sini, Sayang.” Andre menepuk kursi di sebelahnya untuk membiarkan sang istri duduk. Perempuan itu mengangguk dengan mata yang menatap sang ibu mertua.

Eve tentu tahu ibu mertuanya itu tidak menyukainya, dan itu semakin menjadi karena dirinya yang belum bisa memberikan cucu seperti keinginannya.

“Eh, kalian nikah beda beberapa bulan aja ‘kan sama si Clarissa. Tapi dia langsung hamil, terus sekarang lagi hamil anak kembar, subur banget!” katanya, lalu menyeruput teh yang dibawakan Eve. “Sedangkan kalian, satu aja belum punya.”

“Mungkin belum rezeki aku dan Eve aja, Mah. Iya ‘kan, Sayang.” Andre menggenggam tangan Eve.

“Iya, makanya kamu usaha dong. Jadikan itu mungkin. Berapa lama lagi mama harus menunggu, kalian nikah udah hampir lima tahun loh. Mama tunggu sampai kapan lagi? Atau kamu tunggu sampai mama wafat ya!” katanya dengan menekankan akhir kalimat. Ia sudah sangat tidak sabar ingin memiliki cucu, dan pernikahan anaknya dengan Eve tak kunjung dikaruniai anak.

“Ih, mama ngomong apaan sih. Aku dan Eve itu terus berusaha, bahkan kami juga melakukan saran-saran dokter.” Eve mengangguk.

“Aku juga minum kok jamu yang Mama bikin, nggak pernah kelewat.” Jamu yang dibuat oleh Rita untuk membantu kesuburannya selalu ia minum tanpa sedikit pun terlewat pada pagi dan malam. Tak pernah sedikit pun ia mengeluh karena jamu itu yang amat pahit di tenggorokan.

“Percuma juga minum jamu kalau dasarnya memang nggak subur!” dentingan gelas teh dan piring kecil berbunyi nyaring, Rita bangun dari kursinya meninggalkan pasangan suami istri itu.

Jari jemari Andrea yang sedang menari di keyboard laptopnya seketika terhenti, ia sedikit terperanjat oleh kelakuan sang ibu. Lalu matanya beralih pada sang istri yang terlihat terkejut.

Tangan kekar itu mengusap rambut Eve lembut, “Jangan masukin hati ya, Sayang.” Katanya menenangkan. Eve mengangguk kecil, tidak mempermasalahkan. Sedikit tidaknya ia mulai terbiasa dengan sikap ibu dari suaminya.

“Tunggu, ya. Aku nyusul mama dulu.” Andrea menutup laptopnya dan menyusul sang ibu yang tengah mengentakkan kaki ke arah kamar.

“Mah, Mama apa-apaan sih berlaku seperti itu sama Eve.” Kata Andre menghentikan ibunya yang ingin menutup pintu kamar, ia memasuki kamar itu dan berjalan menghampiri ibunya yang tengah duduk dipinggir ranjang.

“Ya memang benar ‘kan istri mu itu tidak subur, atau malah mandul lagi.” Rita bersedekap dada, dagunya terangkan menatap sengit sang anak.

“Mah!” suara Andre meninggi, Rita menatapnya nyalang. “Seharusnya Mama nggak ngomong seperti itu pada Eve, dia juga pengen punya anak, memberikan cucu untuk Mama.” Ia tahu seberapa sakitnya sang istri ketika mamanya membahas soal kesuburan, soal anak. Dan seharusnya sang mama tahu apa yang dialami Eve karena sama-sama perempuan.

“Nyatanya sampai sekarang dia tidak bisa memberikan cucu ‘kan?!” Andre menghela napas. “Sudahlah, mama mau tidur.” Rita menarik selimutnya.

Andre menghela napas tidak mengerti jalan pikiran perempuan yang sudah melahirkannya ini, ia keluar hendak menutup pintu.

“Ndre, tunggu.” Cegat Rita, perempuan paru baya itu meneliti ponselnya dengan seksama. Andre terlihat menunggu diambang pintu.

“Kamu tolong jemput anak teman mama, kasihan dia tidak ada yang jemput di sana.” Kata Rita, Andre menaikkan salah satu alisnya.

“Aku ngg—“

“Jangan nolak, kalau kamu mau mama baik sama Eve.”

“Tapi, Mah—“

“Alamatnya sudah mama kirim di ponselmu.” Kata Rita tidak ingin dibantah. Andrea menghela napas dan pergi dari sana, Rita menaikkan salah satu sudut bibirnya.

***

Bersambung...

Bab 2

Andrea mengernyit ketika mobilnya tiba di sebuah klab malam yang cukup terkenal di Ibu Kota. Matanya kembali memindai layar ponsel yang menyala menampilkan alamat dikirimkan oleh sang ibu.

Benar, alamatnya memang tertuju di sini. Andre mengedarkan pandangan, belum berniat turun dari mobilnya. Atensinya kembali pada layar ponsel tak kalah benda pipi itu berdering. Sebuah pesan dari Rita sang ibu disertai gambar seorang perempuan yang terlihat cantik dengan dres selututnya.

‘Kamu di mana, Ndre? Kasian anak teman mama, dia sendirian. Teman-temannya sudah pergi.’ Pesan dari Rita kembali masuk membuat Andre mau tidak mau turun dari mobilnya dan mulai melangkah kaki menuju pintu utama klab.

Ia mengedarkan pandangannya mencari sosok perempuan seperti yang dikirimkan oleh sang ibu. Dan di ujung sana, seorang perempuan tengah diganggu oleh beberapa lelaki. Andre memicingkan mata, melihat wajah perempuan itu yang sangat mirip dengan foto dalam ponselnya.

“Ah, aku tidak mau. Tolong jangan paksa—“ samar-samar suara perempuan itu terdengar tak kala Andre semakin mendekatinya.

“Aku tidak mau!” teriak perempuan itu yang terlihat mabuk, laki-laki sekelilingnya semakin bersemangat untuk menggoda.

“Permisi.” Andre mencekal tangan pria yang tengah mengelus paha perempuan itu yang terekspos.

“Perempuan ini ...”

“Sayang.” Sekujur tubuh Andre diam membeku, perempuan yang ibunya suruh untuk ia jemput dengan beraninya memeluk lehernya posesif. Tapi bukan itu masalah terbesarnya, perempuan itu dengan kurang ajar menempelkan bibir mereka dan menyesap di tengah Andre yang terdiam.

Para pria yang awalnya berniat menggoda, berdecit dan meninggalkan keduanya.

Di dalam kamar, Eve berjalan mondar-mandir. Ia kembali menempelkan benda pipih di telinganya untuk menghubungi sang suami, tak kala panggilan itu dijawab oleh operator Eve akan kembali menggigit jarinya karena khawatir. Tidak biasanya sang suami seperti ini, Andre tidak pernah tidak mengangkat panggilan darinya.

Hati perempuan itu semakin was-was mengingat suaminya yang tidak memberitahu kepergiannya. Makan malam sudah berlalu sejak tadi, dan sampai saat itu Andre belum kembali.

Eve kembali memencet nomor suaminya, deringan terdengar namun sama sekali tidak dijawab. Perut perempuan berbunyi, meronta minta untuk diisi. Ia tidak bisa menikmati makan malam dengan suaminya yang ia tidak tahu keberadaannya.

Semoga saja Andre dalam keadaan baik, dijauhkan dari segala mara bahaya. Harap perempuan itu mendudukkan dirinya di sofa yang berada di kamar.

Pandangan Eve keluar, menatap langit malam yang dihiasi oleh sedikit bintang. Perasaan perempuan itu benar-benar kacau, takut, cemas, semuanya menjadi satu. Angin malam yang menyibak gorden, sama sekali tidak ia hiraukan.

“Oh, SHIT!” Andre mengusap wajahnya kasar, ia baru saja menurunkan tubuh ramping di atas ranjang yang tengah menggeliat.

“P-panas ....” Perempuan itu meracau tak jelas, menanggalkan pakaiannya sendiri.

“Tolong.” Andre menggeleng kepalanya dengan tatapan yang mengabur, ia akui tubuh perempuan ini sangat cantik dengan beberapa bagian yang menantang.

“Baby, please.” Ucap perempuan itu dengan nada lembut dan rendah, mengalun di telinga Andre. Perempuan itu menggigit bibir bawahnya dengan mata memohon, dan ketika tubuhnya semakin bereaksi panas. Ia menyosor, membabi-buta bibir tebal dan rahang tegas itu. Andre terpaku, tubuhnya pelan tapi pasti sudah berada di atas ranjang bersama wanita itu.

Brak!

Gelas kaca yang digunakan Eve terjatuh dengan serpihan kaca yang berhamburan. Sontak perempuan itu mundur, diikuti oleh perempuan paruh baya yang menabraknya.

“Apa-apaan kamu!” bentak Rita yang membuat Eve terlonjak setelan perempuan itu terdiam beberapa saat.

“Maaf, tapi Mama yang menabrakku.” Eve menatap Rita, lalu kembali menunduk melihat mata merah dari ibu mertuanya.

“Heh! Itu karena kamu yang tidak mau menyingkir dihadapkan saya.” Tunjuk Rita pada wajah Eve. Ia tidak ingin disalahkan. Padahal tadi jelas-jelas terlihat ia yang keasyikan bermain dengan benda pipinya hingga tidak memerhatikan jalan.

Eve tidak ingin berdebat, menguras tenaganya yang memang belum terisi.

“Sekarang bersihkan itu.” Katanya memerintah, Eve langsung saja menunduk mengumpulkan serpihan kaca dari gelas. Rita beranjak dengan dagu terangkan.

“Mah,” panggil Eve menghentikan langkah Rita.

“Apa?!” terlihat sekali nada bicara ibu mertuanya yang tidak bersahabat. Eve menekan segala ego yang mencongol di hatinya.

“Mama tahu Mas Andre di mana?” tanya perempuan itu menatap ibu mertuanya penuh harap.

Rita mengernyit, ia teringat pesan anaknya yang menyuruhnya untuk memberitahu kepergiannya tadi.

“Tidak tahu, emang kenapa? Andre tidak memberitahumu di mana dia pergi?” kata Rita dengan senyum cemoohan yang kentara.

Eve menunduk dengan lemas, ia menggelengkan kepalanya pelan. Dan seketika tawa Rita pecah. “Mungkin dia bosan dengan istri yang tidak bisa memberikannya anak, alias perempuan itu mandul!” Ujarnya lagi sangat menyakitkan di dengar. Eve memandang ibu mertuanya itu yang semakin menjauh, matanya memerah dengan pandangan kabur karena kristal bening menggenang di sana.

“Non.” Seorang pelayan berumur datang menghampiri Eva, ia menawarkan diri membersihkan kekacauan yang telah terjadi. Hatinya ikut teriris mendengar hinaan dari nyonya besar, Rita.

“Lebih baik Nona makan dulu, makanannya sudah bibi hangatnya. Ini biar bibi saja yang bereskan.” Katanya dengan tangan yang sudah sigap dengan sapu dan sekop.

“Baik, Bi. Terima kasih, maaf merepotkan.” Eva berdiri dan berjalan menuju meja makan tak minat.

Makanan di meja makan tampak sangat lezat. Namun, sama sekali tak mengunggah selera perempuan itu. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam dan suaminya belum juga pulang. Entah sudah berapa kali Eva menghubungi dan berapa puluh pesan yang dikirim tak jua diangkat, tak jua dibalas.

Eve menghela napas, memeluk perutnya erat yang terasa melilit. Menghiraukan makanan, kembali membuat lambungnya sakit. Ia pun mulai menyendok makanannya dalam diam. Tatapannya kosong dengan pikiran yang berkecamuk.

Bi Imah yang merupakan pelayan yang membantu Eve, menatap majikannya dengan prihatin. Bukan sekali dua kali ia mendengar hinaan Rita pada menantunya, tapi hinaan malam ini yang paling menyakitkan. Siapa yang tidak sakit jika dikatai mandul? Apalagi seorang ibu mertua yang mengatakan anaknya bosan dengan istrinya.

***

Cup!

Eve menggeliat tak kala mendapatkan hujatan ciuman dari pipinya. Ia perlahan membuka mata dan langsung berhadapan dengan wajah sang suami yang tampak segar.

“Kamu sudah mandi, Mas. Jam berapa?” Eve bangun dan bersandar di ranjang. Andrea mendekat dan membaringkan kepalanya di pangkuan sang istri.

“Iya sudah, kayaknya baru jam tujuh.” Laki-laki itu mengendus perut sang istri yang rata.

“Aduh, aku terlambat. Aku belum masak buat kamu.” Eve gelagapan sendiri, mengambil ikat rambutnya dan mencepolnya asal.

“Nggak usah, para pembantu sudah masak kok.” Andre menenangkan.

“Kalau begitu aku ke kamar mandi dulu.” Kata perempuan itu ingin beranjak. Namun, segera ditahan oleh Andre.

“Mas.”

“Bentar aja, Sayang.” Andre tidur dengan nyamannya di pangkuan Eve sembari menenggelamkan wajahnya di perut perempuan itu.

Eve sebenarnya ingin menghindar, dan memberikan perhitungan pada lelaki ini. Tapi tingkahnya yang manja seperti biasa membuat niatnya urung. Eve terdengar menghela napas.

“Kenapa?” tanya Andre mendongak. Eve terdiam, memang menunggu pertanyaan itu sedari tadi.

“Kamu ke mana, Mas? Kenapa tidak mengabariku? Teleponku tidak di angkat? Pesanku tidak dibalas? Kenapa?” rentetan pertanyaan itu seketika membuat Andre mati kutu.

***

Bersambung...

Bab 3

Andre menjambak rambutnya frustrasi. Bagaimana tidak, ia telah menghabiskan malam bersama wanita asing yang bahkan namanya tidak ia ketahui. Dasar setan memang, ia telah tergoda dengan wanita ini tadi malam.

“Argh!” teriak Andre tanpa sadar membangunkan wanita yang masih tidur dengan nyenyaknya. Perempuan itu melenguh, atensi Andre tertuju padanya. Tepatnya pada punggung polos tanpa sehelai benang pun, menandakan percintaan satu malam memang terjadi pada keduanya.

Kelopak mata perempuan itu perlahan terbuka, manik matanya menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Dan ketika pandangan perempuan itu jelas, ia berjangkit kaget.

“K-kamu siapa?” tanyanya dengan raut takut yang kentara. Satu ranjang, satu selimut dan tanpa mengenakan busana sehelai pun membuat perempuan itu bekerja keras untuk mengingat kejadian kemarin malam.

“Seharusnya saya yang bertanya, kamu siapa?” pertanyaan Andre semakin membuat perempuan itu terdiam. Andre jadi tidak tega sendiri melihatnya, bagaimana pun yang amat salah di sini adalah dirinya.

Ia tergoda. Ah, tepatnya khilaf. Kesadaran dan kewarasannya seolah teraup membuat ia melakukan tindakan tercela itu. Ia seolah menjadi kucing yang tidak bisa menolak ikan segar yang tengah disuguhkan.

“M-maaf, a-aku sepertinya dijebak dengan obat perangsang.” Kata perempuan itu mengeratkan selimutnya, matanya berkaca-kaca dan tinggal menunggu waktu saja beningan itu tumpah. Andre mengusap wajahnya kasar.

“Aku tidak akan meminta pertanggung jawaban, kamu boleh pergi.” Cicit perempuan itu. Andre terdiam cukup lama.

Jujur saja ia tak ingin menduakan sang istri, Eve. Tapi, keadaan ini yang membuatnya melakukan itu. Dan untung saja perempuan ini tidak meminta pertanggung jawaban darinya. Bagaimana pun ini semua adalah kecelakaan, dan tidak mungkin juga benih yang tak sengaja ia lepaskan itu membuahkan hasil.

“Mas,” panggil Eve menyadarkan Andre dari lamunannya. Pria itu terlihat gelagapan dan segera memperbaiki raut wajahnya.

Dari pertanyaan sang istri, Andre tahu ibunya tidak memberitahukan kepergiannya kemari. Tidak masalah, karena itu lebih baik. Ia jadi bisa mencari alasan.

“Maaf, Sayang. Kemarin ada klien yang mendadak ingin melakukan pertemuan. Aku tidak bisa menundanya karena ini merupakan klien penting dan karena itu aku lupa memberitahumu.” Suara Andre semakin merendah di akhir kalimatnya, ia mengedarkan pandangan tidak ingin bertatap dengan sang istri, takut kebohongannya itu terlihat.

Eve mencerna semua jawaban suaminya, ia jadi merasa bersalah karena telah mengganggu suaminya dengan telepon dan pesan yang ia kirim.

“Maaf, aku pasti mengganggu kemarin.” Eve menunduk bersalah, kecemasannya sungguh tidak berarti. Ia telah menyulitkan sang suami.

“Sayang, hei ... kamu sama sekali tidak mengganggu. Pertemuan kami lancar dan semuanya baik-baik saja.” Kini Andre menutup kebohongannya dengan kebohongan yang lain.

Maaf, Eve. Aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya, kejadian kemarin di luar kuasaku. Aku sungguh khilaf dan tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Maaf. Batin Andre tidak terucap.

“Tersenyumlah, aku tidak bisa melihatmu murung seperti ini.” Andre mengusap pipi Eve dengan lembut, Eve menampilkan senyuman manisnya atas perlakuan hangat sang suami.

“Nah, senyum begini lebih cantik.” Puji Andre gemas, senyuman Eve memang tampak manis membuat siapa saja yang melihatnya jadi terpesona oleh perempuan cantik ini.

Dan untung saja Eve adalah perempuan kalem yang tidak gampang memberikan senyuman, membuat Andre tenang karena hanya dia yang bisa menikmati senyum manis nan menawan dari sang istri.

“Sekarang ayo kita sarapan.” Ajak Andre menuruni anak tangga bersama Eve. Di meja makan sudah ada Rita yang duduk bersedekap tangan di sana.

“Akhirnya, Nyonya rumah kita sudah bangun.” Ujar Rita ketus, ia sudah menunggu lama di meja makan untuk menunggu pasutri itu.

“Mah,” tegur Andre, tidak dihiraukan Rita. Perempuan paru baya itu menyantap makanan yang sudah di sediakan.

Eve melayani Andre mengisi piring suaminya dengan nasi dan lauk pauk yang suaminya itu suka.

“Makasih, Sayang.” Ujar Andre dan Eve mulai melakukan hal yang sama pada piringnya.

Andre makan dengan lahapnya seolah sudah bekerja dengan begitu keras, sungguh pemandangan yang baru untuk dua orang lainnya yang berada di meja makan itu. Eve dengan alis tertaut bingung dan Rita yang tersenyum penuh maksud.

Baru beberapa sendok suapan yang Eve masukan, perutnya tiba-tiba bergejolak aneh.

Huek!

Eve menutup mulutnya dengan tangan satunya yang memeluk perut menahan gejolak. Ia bangun dan langsung berlari menuju kamar mandi belakang yang berada di dekat dapur. Di belakangnya diikuti oleh Andre yang tampak khawatir.

Di sana perempuan itu memuntahkan segala makanan yang tak seberapa yang tadi berhasil masuk ke dalam mulutnya. Ulu hatinya terasa nyeri.

Andre memijit pangkal leher sang istri, berharap dapat meredakan mualnya. Eve mencuci mulutnya juga dengan wajahnya yang tampak pucat.

“Sayang, kamu nggak papa?” tanya Andre sangat khawatir. Ia menuntun sang istri untuk keluar dari kamar mandi.

“Nggak, kayanya maag ku kambuh.” Jawab Eve seadanya.

“Kenapa bisa? Kamu lalai lagi makan tepat waktu?” tanya Andre dengan nada tidak sukanya, namun khawatir.

“Kemarin malam aku tunggu kamu agar bisa makan bersama.” Jujur Eve dan langsung membuat suaminya itu semakin merasa bersalah.

“Maaf,” ucapnya yang entah sudah berapa kali, Eve sendiri jadi tidak mengerti permohonan maaf itu untuk apa saja. Ia merasa suaminya tidak melakukan kesalahan.

“Ini kamu cek, hamil atau nggak!” Rita datang dengan membawa beberapa alat tes kehamilan yang berbeda jenis.

Eve dan Andre sontak mengernyit. “Mah,” Andre ingin bertanya. Namun, segera dipotong oleh sang ibu.

“Sudah, nggak ada salahnya untuk cek. Siapa tahu hamil ‘kan.” Kata Rita yang terdengar merendahkan.

“Tapi, Mah—“ Eve tentu saja ragu, apalagi nyeri di ulu hati dan dada bagian bawahnya. Itu sudah jelas membenarkan sakit maag-nya yang kembali kambuh.

“Tidak ada salahnya untuk mencoba ‘kan.” Katanya tersenyum sinis dan tidak bisa di bantah lagi. Eve mengambil alat tes kehamilan itu dengan perasaan ragu dan tangan yang gemetar. Baru tiga minggu kemarin ia mencoba alat tes kehamilan dan masih tidak membuahkan hasil. Dan saat ini, ia kembali merasa pesimis.

“Aku akan mencoba, tapi jangan terlalu berharap.” Cicit Eve di akhir kalimatnya, tidak ingin mereka berharap lebih.

“Sayang.” Andre memegang kedua tangan Eve memberikan kekuatan, seraya mengatakan semuanya akan baik-baik saja, serta tidak masalah apa pun hasilnya nanti.

Eve pun kembali masuk ke dalam kamar mandi dengan perasaan was-was, ia pun mulai melakukan serangkaian tes yang sudah ia hafal di luar kepala.

“Eve. Sayang.” Andre mengetuk pintu beberapa kali, ia semakin khawatir ketika tidak mendapat sahutan dari Eve.

Wanita dalam kamar mandi itu menggigit bibir bawahnya, air matanya luruh begitu saja. Hasilnya sama seperti sesaat ia belum menggunakan alat tes kehamilan itu, tetap satu garis merah.

“Eve, kamu nggak papa ‘kan. Bukan pintunya, apa pun hasilnya aku bisa terima, Sayang.” Andre kembali mengetuk.

Eve menghela napas, menggenggam alas tes kehamilan itu. Ia membuka pintu kamar mandi dan segera Rita menghampirinya.

“Mana?” perempuan paruh baya itu menadah.

Senyum puas terbit di bibirnya. Sudah ia duga perempuan ini memang tidak berguna. Mandul! Tidak bisa memberikannya cucu.

“Sudah mama duga, perempuan yang kamu bawa ini tidak berguna. Sudahlah Ndre, kamu jangan mempertahankan perempuan seperti ini. Apa yang dia bisa berikan kepada kamu selai kekurangannya yang memalukan itu!” kata Rita tanpa mepedulikan perasaan Eve.

Eve menunduk menangis tanpa suara. Sakit, tentu saja. Bahkan ketika memberikan hasil tes kehamilan itu ia seolah sudah memberikan harga dirinya. Andre segera mendekap Eve dalam pelukan.

“Aku bisa seperti ini itu karena Eve, Mah. Dia yang dukung aku, yang bantu aku untuk meraih segala kenyamanan dan kemewahan ini, Mah.” Bahkan itu semua sudah dinikmati oleh Rita sendiri. Evenia sangat berjasa bagi kesuksesan dari seorang Andrea Rovalno Harris.

“Mama tidak mau tahu, kamu itu hanya butuh perempuan subur agar mama bisa mendapatkan cucu yang imut.”

***

Bersambung...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!