NovelToon NovelToon

Killer X : Assassins Alliance

Pemangsa Muda

Tequila, Jalisco

“Ikut kami! Tuan Ramos ingin kau segera menemuinya!” Dua pria berbadan tinggi besar, tiba-tiba masuk ke kamar yang ditempati Juliana dan sang adik, Juan Pablo.

“Aku ingin makan malam dulu.” Juliana yang sudah duduk menghadapi menu sederhana bersama adiknya, langsung berdiri.

“Kau sudah tahu bagaimana watak Tuan Ramos! Jika dia ingin sekarang maka artinya sekarang!” tegas salah seorang dari dua pria tinggi besar tadi.

“I-iya, ta-tapi ….” Juliana menoleh kepada Juan Pablo, adik satu-satunya yang masih berusia dua belas tahun. Anak itu duduk bersila, sambil menatap kedua pria yang memaksa sang kakak agar ikut. “Biarkan aku menemani Juan makan terlebih dulu. Hanya sepuluh menit, Tuan,” pinta Juliana setengah mengiba.

Namun, kedua pria tadi tak menggubris permohonan Juliana. Salah satu dari mereka mencekal lengan wanita muda berusia dua puluh satu tahun itu, lalu menyeretnya keluar dari kamar.

“Lepaskan kakakku!” Juan Pablo yang menyaksikan adegan tak elok tadi, segera berdiri gagah. Meski tubuhnya kecil dan kurus bagai tak pernah diberi makan, tapi anak itu menunjukkan sikap seakan hendak menantang kedua pria tinggi besar, yang berusaha membawa sang kakak. Juan Pablo bahkan maju dan berniat mencegah. “Jangan sentuh kakakku!” Dia hendak menggapai tangan Juliana.

Namun, dengan sekali empasan saja dari salah satu pria tinggi besar tadi, tubuh kurus Juan Pablo langsung terpental menabrak lemari kayu.

“Tidak! Jangan sakiti adikku!” pekik Juliana histeris, melihat Juan Pablo yang berusaha bangkit meski tampak sangat kesakitan.

Tak ingin menyerah dengan mudah, Juan Pablo kembali maju karena Juliana sudah berhasil dibawa paksa keluar kamar. Akan tetapi, belum sempat anak itu mencapai pintu, pria yang tadi mengempaskan tubuhnya segera mencegah. Kali ini, satu tendangan mendarat di perut Juan Pablo. Anak berusia dua belas tahun tersebut kembali terpental, dengan rasa sakit yang lebih hebat dibanding sebelumnya.

Sebelum Juan Pablo bangkit dan kembali maju, pria tadi langsung beranjak meninggalkan kamar itu. “Anak ingusan! Cuih! Diam di tempatmu atau kuhabisi kau!” gertak si pria seraya membanting pintu.

Sepeninggal mereka, Juan Pablo berusaha bangkit. Dia mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. Anak itu tak tahu ke mana mereka membawa Juliana. Juan Pablo kecil hanya bisa duduk sambil memeluk kedua lutut, hingga tanpa sadar dirinya tertidur di lantai tanpa makan malam terlebih dulu.

Malam terasa cepat berlalu. Juan Pablo membuka mata, saat mendengar seseorang menggedor pintu kamar yang ditempatinya bersama sang kakak. Dia yang tidur meringkuk di lantai, segera terjaga. Anak kecil berambut gelap tadi bergegas menuju pintu. Juan Pablo mengira, bahwa Juliana telah kembali. Namun, dia harus menelan kekecewaan karena yang datang bukanlah sang kakak.

“Ayo, Juan. Kau harus ikut denganku!” ajak seorang anak seusia Juan Pablo. Tanpa menunggu jawaban, anak kecil tadi langsung menarik tangan Juan Pablo agar mengikutinya.

Mereka berjalan dengan setengah berlari, hingga tiba di halaman belakang bangunan megah milik Ramos Guajardo, sang pemilik perkebunan tequila tempat biasa Juan Pablo bekerja membersihkan kandang kuda.

Seketika, napas Juan Pablo kecil seperti tercekat di tenggorokan. Ada beberapa orang yang berkerumun di sana. Mereka tengah melihat sesosok tubuh yang tergantung di dahan pohon, dengan tali menjerat leher. Sosok yang tak lain adalah Juliana. Gadis itu diperkirakan sudah tewas beberapa jam lalu.

“Julia!” seru Juan Pablo. Tanpa banyak bicara, dia naik ke pohon tadi. Tangkas dan sangat cekatan, Juan Pablo bagai seekor kera. Dia begitu lincah meniti dahan, lalu melepaskan tali yang menjerat leher sang kakak. Namun, di bawah tak ada satu pun yang berani membantu menangkap jasad Juliana. Alhasil, tubuh yang sudah kaku tadi terjatuh ke tanah.

Juan Pablo tak memedulikan hal itu. Dia segera turun, kemudian melepas tali yang melingkar di leher sang kakak. Sepasang mata hazelnya memeriksa setiap inci dari mayat wanita muda tersebut, hingga dia melihat darah yang sudah mengering di kaki. Darah kering itu mengalir dari paha ke betis.

Diam. Juan Pablo mencoba mencerna apa yang terjadi pada Juliana. Dia terlalu kecil untuk memahami semua itu.

......................

Sore yang mendung telah berganti gerimis cukup lebat. Juan Pablo berdiri di hadapan pusara sang kakak, yang basah tersiram air hujan.

“Ayo pulang, Juan,” ajak seorang wanita, dari belakang anak itu. “Kakakmu sudah tenang di alam sana.”

Juan Pablo tidak menoleh. Dia tetap bergeming, meskipun gerimis turun semakin lebat. “Apa kau tahu kenapa kakakku sampai mati bunuh diri?” tanya Juan Pablo datar.

Wanita tadi maju beberapa langkah, lalu berdiri di sebelah Juan Pablo. “Aku tidak tahu pasti kejadiannya. Namun, kakakmu tak sekuat gadis lain yang ada di sini. Mengapa dia harus mengakhiri hidup karena ….”

“Kenapa ada darah di paha dan kaki Juliana? Apa yang mereka lakukan?” tanya Juan Pablo lagi, menyela ucapan si wanita paruh baya.

“Kau terlalu kecil untuk menerima penjelasan seperti itu, Juan. Sebaiknya kau diam dan berpura-pura tidak tahu. Sama seperti yang orang lain lakukan. Buatlah dirimu tetap aman ….”

“Juliana adalah kakakku! Dia satu-satunya keluargaku yang tersisa! Sebagai seorang pria, aku bertanggung jawab untuk menjaganya!” sergah Juan Pablo tiba-tiba. Anak itu tak mampu lagi mengontrol emosi.

“Kau hanya anak kecil, Juan.” Wanita paruh baya tadi mencoba mengingatkan.

“Kita lihat, apa yang bisa anak kecil ini lakukan!” Juan Pablo membalikkan badan, meninggalkan wanita paruh baya tadi.

Hingga malam tiba, Juan Pablo tak keluar dari kamar. Ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tepat, anak itu menyelinap masuk ke bangunan utama. Tubuhnya yang kecil, memudahkan dia bersembunyi dari penglihatan para penjaga. Juan Pablo bergerak sangat lincah, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, hingga dirinya tiba di sebuah koridor.

Di ujung koridor berpencahayaan temaram tadi, ada sebuah pintu yang merupakan kamar milik Ramos Guajardo. Juan Pablo mengingat dengan baik, berhubung dia pernah masuk ke rumah megah milik sang tuan tanah.

Jam dinding berdentang sebanyak sebelas kali. Juan Pablo bersembunyi di dekat salah satu pot bunga besar. Dia seperti seekor macan, yang tengah mengintai mangsa.

Tak berselang lama, samar-samar muncul bayangan seorang pria berpostur sedang. Pria itu berjalan menuju pintu kamar tadi. Dia adalah Ramos Guajardo. Ramos tak tahu bahwa ada seseorang, yang tengah mengintai dan siap menerkamnya.

Dari arah belakang, Juan Pablo mengikuti dengan langkah penuh waspada. Di tangan anak berusia dua belas tahun itu, tergenggam tali yang diambilnya dari kandang kuda. Cekatan dan begitu lihai, Juan Pablo melempar tali yang sudah diberi semacam pemberat. Tepat sasaran, tali tadi menjerat leher Ramos.

Juan Pablo yang terbiasa bekerja berat, tak kesulitan saat menarik tubuh Ramos hingga terjengkang ke belakang. Dalam suasana temaram, dia bergerak cepat. Anak itu mengeluarkan pisau lipat yang dibawanya. Dia menusuk leher Ramos dari samping, hingga pria itu memekik kencang.

“Matilah kau, Tua bangka!” Juan Pablo menggorok leher Ramos yang masih dijerat tali. Darah segar menyembur dari pria yang sepertinya dalam kondisi mabuk, sehingga dapat dilumpuhkan dengan mudah.

Pada saat bersamaan, terdengar suara ribut anak buah Ramos yang tengah menuju ke sana.

Bertahan Hidup

Juan Pablo menoleh. Dia menangkap beberapa bayangan tengah menuju ke arahnya. Anak itu mengalihkan perhatian ke sekitar, seakan mencari tempat bersembunyi. Namun, di koridor itu tak ada satu bagian pun yang menurutnya aman. Anak buah Ramos pasti akan menemukannya dengan mudah.

Seberapa kuat seorang Juan Pablo? Dia sadar bahwa dirinya hanya seorang anak berusia dua belas tahun. Tak mungkin melawan para pengawal Ramos yang berbadan tinggi besar, lagi bengis.

Tatapan Juan Pablo terkunci pada jendela kaca. Dia ingat dirinya ada di lantai dua. Namun, tak ada pilihan lain. Juan Pablo berlari ke jendela tadi, yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berada.

Bersamaan dengan itu, anak buah Ramos tiba di sana. “Hey!” Salah satu dari kelima pria yang baru tiba, berseru nyaring. Dia menunjuk ke arah Juan Pablo.

“Kejar anak itu!” Pria lain memberi perintah, sambil menggerakkan tangan sebagai isyarat. Dua dari kelima pria tadi bergegas mengejar Juan Pablo.

“Tembak saja dia!” seru pria lain.

Salah satu dari dua pria yang mengejar Juan Pablo, mengarahkan moncong pistol ke depan untuk membidik anak itu. Bersamaan dengan peluru yang dilesatkan dari sarangnya, Juan Pablo melompat. Dia menabrakkan tubuh pada jendela kaca, hingga pecah berhamburan. Juan Pablo menjatuhkan diri di atap genting, lalu berguling ke tanah.

Perjuangan Juan Pablo dalam melarikan diri belum selesai. Meskipun tubuhnya terasa sakit, tapi dia harus berusaha bangkit dan berlindung. Tembakan yang dilesatkan oleh anak buah Ramos dari jendela dengan kaca pecah tadi, terus menghujaninya. Salah satu timah panas itu, bahkan ada yang menggores lengan kecil Juan Pablo.

“Suruh penjaga pintu gerbang, agar menutup akses jalan keluar!” titah salah seorang anak buah Ramos, pada rekannya yang lain.

Dua dari kelima pria itu mengangguk. Mereka bergegas keluar.

Sementara itu, Juan Pablo terus berlari mencari jalan keluar sambil memegangi lengannya yang mengeluarkan darah. Juan Pablo harus mengendap-endap, menyembunyikan diri dari para penjaga yang sepertinya sudah mendapat instruksi untuk menangkapnya.

Juan Pablo bersembunyi di taman, di antara tumbuhan yang cukup rimbun. Anak itu bergerak sambil merunduk. Dia terus mengendap-endap, sampai dirinya tiba di halaman belakang. Anak itu mengedarkan pandangan. Namun, dirinya tak menemukan tempat untuk bersembunyi. Satu-satunya yang Juan Pablo lihat hanyalah pohon, yang menjadi tempat Juliana menggantung diri.

Sambil terus menahan sakit, Juan Pablo berlari cepat menuju pohon tadi. Dia begitu tangkas dan cekatan, saat bergerak naik hingga tiba di salah satu dahan. Anak itu duduk di sana, dengan posisi senyaman mungkin. Terlebih, rasa sakit di lengan membuatnya merasa tersiksa. Juan Pablo meringis, meski tak terlalu memedulikan darah yang keluar dari lukanya.

Dalam situasi seperti itu, datanglah seorang anak buah Ramos ke sana. Pria berpostur tinggi besar, yang bermaksud menyisir lokasi halaman belakang. Dia mengokang senjata ke segala arah sambil berusaha menajamkan penglihatan, karena suasana di tempat tersebut cukup gelap. Satu-satunya penerangan, hanya berasal dari lampu yang ada di taman. Itu juga berjarak cukup jauh, dari pohon tempat Juan Pablo bersembunyi.

“Aku tidak menemukan siapa pun di halaman belakang,” ucap pria tadi pada seseorang yang dia hubungi. “Aku akan kembali ke depan. Anak itu pasti tidak kemari,” ujarnya lagi, seraya mengakhiri panggilan. Setelah memasukkan ponsel ke saku, si pria yang berdiri di bawah pohon bermaksud hendak berlalu dari sana.

Akan tetapi, niat pria tadi terhenti, saat dirinya merasakan ada cairan yang jatuh ke kening. Pria itu mengusap, lalu mengendusnya. “Darah.” Dia langsung mendongak.

Belum sempat pria tinggi besar tadi mengarahkan pistolnya ke atas, Juan Pablo sudah lebih melompat dengan pisau yang ditujukan langsung ke wajah si pria.

“Aw!” Pekikan kencang pria itu terdengar jelas, dalam suasana sepi di halaman belakang.

Juan Pablo tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia menghujamkan pisaunya berkali-kali, ke wajah pria yang sudah terkapar di tanah. Tanpa membuang waktu, anak itu mengambil pistol milik si pria. Dia juga mencuri ponsel dari dalam saku korbannya.

Walaupun harus merasakan sakit luar biasa, Juan Pablo berusaha tetap bertahan. Dia berlari menuju jalan keluar dari halaman belakang tadi. Kebetulan, anak itu mengetahui jalan rahasia yang biasa dia lewati, saat hendak keluar-masuk tempat tersebut.

Juan Pablo harus bergerak cepat, karena mendengar suara beberapa orang di belakangnya. Dia segera menyembunyikan diri, di dekat rumput hias yang tumbuh di sekeliling halaman belakang tadi. Meski tidak terlalu aman, tapi itu bisa sedikit menyamarkan keberadaannya.

Dari balik rerumputan setinggi dirinya, Juan Pablo terus mengawasi. Walaupun dalam gelap, anehnya anak itu seolah bisa melihat jelas setiap pergerakan lawan. Juan Pablo menghitung orang yang ada di halaman belakang. Dia lalu memandangi pistol yang dirinya genggam. Juan Pablo memainkan pelatuk senjata api tersebut.

Seumur hidup, inilah pertama kalinya Juan Pablo memegang senjata secara langsung. Dalam satu malam, dia sudah menghabisi dua orang dewasa dengan cara yang begitu brutal. Kali ini, ada benda berisi beberapa butir peluru dalam genggamannya.

Juan Pablo menoleh pada ponsel milik pria yang tadi dirinya habisi. Dia tak pernah memiliki benda secanggih itu. Sejurus kemudian, Juan Pablo kembali mengarahkan perhatian ke depan. Tak jauh dari tempatnya berada, tampak dua pria yang tentu saja tengah mencari keberadaannya. Kedua pria tadi berjalan semakin mendekat, ke rerumputan yang menjadi tempat Juan Pablo bersembunyi.

Seperti ada dorongan aneh dari dalam diri Juan Pablo. Anak itu mengarahkan pistol yang dipegangnya. Entah memiliki bakat terpendam atau apa, tapi dia tak terlihat canggung dalam menggunakan senjata api tadi. Juan Pablo menarik pelatuk perlahan, setelah membidik satu dari dua pria itu.

Sebutir peluru melesat, mengarah kepada salah satu anak buah Ramos. Tak sampai satu detik, Juan Pablo kembali melesatkan sebutir lagi. Kedua pria tadi langsung tumbang, dengan luka tembak di kepala.

“Luar biasa,” ucap Juan Pablo pelan. Dia sendiri tak percaya, atas apa yang sudah dilakukannya.

Sebelum pengawal Ramos yang lain datang, Juan Pablo bergegas keluar dari tempat persembunyiannya.

Sambil menahan sakit di lengan, anak itu berlari menuju pintu keluar rahasia, yang biasa dia gunakan saat keluar-masuk halaman belakang kediaman megah sang tuan tanah. Juan Pablo terus berlari. Dia mengabaikan darah yang terus mengucur dari lukanya.

Sementara itu, malam akan segera berganti pagi. Entah ke mana tujuan Juan Pablo saat ini. Satu yang pasti, dia hanya ingin berlari sejauh mungkin dari area perkebunan milik Ramos. Namun, makin lama tubuhnya semakin lemah. Dia sudah kehilangan cukup banyak darah. Juan Pablo tak sanggup lagi melanjutkan langkah. Kepalanya terasa pusing, dengan pandangan berkunang-kunang.

Juan Pablo mencoba bertahan. Dia berjalan sambil merayap pada dinding. Akan tetapi, itu tak berhasil membantunya. “Ibu … Juliana ….” Kedua mata Juan Pablo mendelik ke atas, sebelum akhirnya roboh di trotoar jalan.

...----------------...

Entah berapa lama Juan Pablo tak sadarkan diri. Perlahan, anak itu membuka mata. Dia mendapati dirinya telah berada di tempat yang teramat asing.

“Kau sudah siuman?” Terdengar suara seorang pria yang berjalan mendekat, lalu duduk di tepian tempat tidur.

“Anda siapa” tanya Juan Pablo.

“Namaku Pedro Alcarez.”

Sang Pemberani

“Di mana ini, Tuan?” tanya Juan Pablo, sambil berusaha bangkit.

“Tidak apa-apa. Tidur saja.” Pria bernama Pedro tadi menahan Juan Pablo, agar kembali berbaring di kasur. “Kau ada di rumahku. Aku menemukanmu tergeletak di trotoar depan,” jelas pria berambut cokelat itu. “Katakan, Nak. Apa yang terjadi padamu?”

Juan Pablo tak langsung menjawab. Sepasang mata hazelnya menatap ragu dan penuh waspada. Dia tak mengenal pria berambut cokelat itu. Juan Pablo harus tetap berhati-hati.

“Bicaralah,” ucap Pedro hangat. Pria dengan rentang usia sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun itu seakan paham, dengan bahasa tubuh yang Juan Pablo tunjukkan. “Apa kau ingin makan dulu?” Pedro mengambil piring dari meja dekat tempat tidur, lalu menyodorkannya kepada Juan Pablo yang langsung bangkit.

Melihat makanan enak yang tak pernah dirinya santap selama berada di tempat Ramos, membuat Juan Pablo yang belum mengisi perut tampak semringah. Walaupun dia berhasil menghabisi empat pria dalam semalam, tapi dirinya tetaplah bocah dengan naluri tak berbeda dari anak-anak pada umumnya. “Ini untukku?” tanya Juan Pablo tak percaya.

Pedro mengangguk yakin.

“Terima kasih, Tuan. Boleh kumakan sekarang?” Juan Pablo kembali bertanya.

“Tentu saja. Itu untukmu … siapa namamu?” Kali ini, giliran Pedro yang mengajukan pertanyaan.

“Juan Pablo. Juan Pablo Herrera,” jawab anak itu dengan mulut penuh makanan. Dia terlalu senang, karena akhirnya bisa mengisi perut. Sehingga, kembali mendapat asupan tenaga. “Ini sangat enak, Tuan.” Juan Pablo bicara sambil terus mengunyah.

Pedro tersenyum hangat. “Habiskan dulu makananmu, Juan. Kita lanjutkan perbincangan ini nanti. Sebentar lagi, aku akan kedatangan tamu.” Pedro beranjak dari duduk, lalu merapikan kemeja tanpa blazer yang dia kenakan. Sebelum berlalu dari kamar itu, dia sempat memeriksa luka yang Juan Pablo derita. “Untunglah lukanya tidak terlalu dalam. Namun, kau kehilangan cukup banyak darah. Selain itu, sepertinya kau memaksakan banyak bergerak saat terluka.”

Juan Pablo mengangguk samar. Dia sudah menghabiskan makanan dalam piring. “Jika aku diam, maka diriku pasti mati, Tuan,” ucapnya. “Karena itulah, aku harus tetap bergerak dan melawan.”

“Melawan?” Pedro memicingkan mata. Dia melipat kedua tangan di dada. Pria itu tampak sangat berwibawa. “Melawan dari apa atau siapa?” pancingnya.

Juan Pablo yang sudah dibuat kenyang oleh makanan lezat tadi, tak lagi merasa ragu untuk bercerita kepada Pedro. Anak itu menuturkan rentetan peristiwa luar biasa yang dilakukannya semalam, tanpa melewatkan satu bagian pun.

Mendengar penuturan Juan Pablo, Pedro tiba-tiba memasang mimik berbeda. Pria dengan kemeja putih itu kembali duduk di tepian tempat tidur, dengan posisi menghadap kepada anak kecil yang dia selamatkan. “Sejak kapan kau mulai memegang senjata?” tanyanya serius.

Pertanyaan yang Pedro ajukan, membuat raut wajah Juan Pablo seketika menjadi tegang. Dia menatap pria berambut cokelat di hadapannya. Sejurus kemudian, adik Juliana tersebut kembali terlihat biasa. “Itu pertama kalinya diriku menarik pelatuk, Tuan. Ternyata sangat mudah dan … dan aku … tembakanku tepat mengenai kepala mereka.” Juan Pablo kembali mengingat kejadian semalam, saat dirinya melumpuhkan anak buah Ramos dengan senjata api.

Pedro manggut-manggut. Entah apa yang dipikirkan pria itu. Sesaat kemudian, Pedro tersenyum dan kembali terlihat biasa. Sikapnya sama seperti saat pertama kali muncul di hadapan Juan Pablo. “Boleh kutahu sesuatu, Nak?” tanyanya.

“Apa?” Juan Pablo tak melepaskan tatapan dari Pedro.

“Mungkin, ini pertanyaan yang terdengar aneh. Namun, aku hanya ingin tahu.” Pedro sedikit mencondongkan tubuh ke hadapan Juan Pablo. “Apa yang kau rasakan saat menghabisi orang-orang itu?”

Juan Pablo tak langsung memberikan jawaban. Dia seakan tengah mencerna maksud pertanyaan yang Pedro ajukan. Anak berusia dua belas tahun tadi seperti menatap kosong kepada Pedro. Namun, pada kenyataannya tidak.

“Apa kau menyesal, Juan?” tanya Pedro lagi.

Juan Pablo menggeleng.

“Kau merasa puas?” Sorot mata Pedro kembali terlihat lain.

“Ya, Tuan. Aku sangat puas melihat mereka tewas mengenaskan. Luka yang kuderita ini tak ada apa-apanya, dibandingkan saat melihat darah dari tubuh orang-orang itu.” Juan Pablo terdiam beberapa saat, seakan memikirkan kata-katanya tadi. “Apakah menurut Anda, aku adalah seorang penjahat? Apa aku akan dijebloskan ke dalam penjara?”

“Kenapa? Kau takut dengan hukum, Juan?” Pertanyaan yang Pedro ajukan, seperti bukan untuk anak berusia dua belas tahun.

Sesaat kemudian, Juan Pablo menggeleng.

“Kau tidak takut?” tanya Pedro lagi meyakinkan bahasa tubuh yang Juan Pablo tunjukkan tadi.

“Apa yang harus aku takutkan, Tuan?” Juan Pablo balik bertanya.

Mendengar pertanyaan seperti itu, tiba-tiba Pedro tersenyum lebar sambil berdiri. Dia bertepuk tangan. Entah apa yang membuatnya terlihat begitu bangga. “Juan Pablo Herrera. Berapa usiamu, Nak?”

“Dua belas tahun, Tuan.” Juan Pablo masih belum memahami sikap Pedro terhadapnya. Namun, dia tak mau ambil pusing. Lagi pula, perutnya sudah kenyang. Selain itu, dirinya tidur di kasur yang sangat empuk, meski tak tahu akan sampai kapan.

“Apa kau bersedia jika kuperkenalkan pada seseorang?” Pedro menaikkan sebelah alisnya.

“Siapa?” tanya Juan Pablo. Sikap si pemilik mata hazel itu sangat berbeda, dibandingkan anak-anak lain seusianya. Itulah yang membuat Pedro menjadi tertarik.

“Kau akan mengetahuinya sebentar lagi,” jawab Pedro, diiringi senyum lebar penuh kepuasan.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan di pintu. Seorang pria paruh baya muncul dari baliknya. “Maaf, Tuan. Aku hanya ingin memberitahukan, bahwa tamu Anda sudah datang. Dia berada di ruang tunggu,” lapor pria paruh baya tadi sopan.

“Katakan padanya, aku akan ke sana sebentar lagi,” suruh Pedro.

“Baik, Tuan. Permisi.” Pria paruh baya tadi mengangguk, sebelum berlalu dari sana.

Setelah mereka hanya berdua, Pedro kembali mengarahkan perhatian sepenuhnya kepada Juan Pablo. “Bagaimana, Juan? Apa kau bersedia ikut denganku?” tanyanya lagi.

Juan Pablo seperti tak memiliki pilihan lain. Dia tak ingin ditendang dari rumah itu, seandainya dirinya menolak. Juan Pablo memang selalu hidup susah sejak dulu. Akan tetapi, menjadi gelandangan tak pernah menjadi sesuatu yang terlintas dalam pikirannya. “Aku menurut saja, Tuan,” ucap anak itu patuh.

“Bagus, Juan.” Pedro menyentuh pucuk kepala Juan Pablo. “Kujamin, hidupmu pasti akan berubah drastis setelah ini. Tak ada lagi seorang pun yang berani mengusik, apalagi sampai berbuat macam-macam padamu. Ayo. Ikuti aku," ajaknya.

Pedro melangkah gagah keluar kamar. Sedangkan, Juan Pablo mengikutinya. Mereka berdua berjalan menuju ruang tunggu, di mana ada seseorang yang Pedro sebut sebagai tamu.

“Jacob.” Pedro menyapa pria berambut pirang dengan mata hijau, yang langsung berdiri saat melihat kehadirannya. “Apa kabar?”

“Sangat baik. Karena itulah aku bisa datang kemari,” balas pria bernama Jacob tadi. Ekor matanya mengarah kepada Juan Pablo, yang berdiri di belakang Pedro. Jacob tak mengatakan apa pun.

Namun, bahasa tubuh Jacob dapat dipahami oleh Pedro, yang tersenyum simpul. “Kebetulan kau datang kemari. Ada seseorang yang ingin kukenalkan padamu,” ucapnya, sambil menoleh kepada Juan Pablo.

Sorot mata Jacob terlihat sangat berbeda dari Pedro. Pria itu seperti tengah menganalisa dengan saksama. “Siapa dia?” tanyanya.

Pedro menoleh sekilas pada Juan Pablo. Setelah itu, dia kembali mengarahkan pandangan kepada Jacob. “Namanya Juan Pablo Herrera. Aku ingin, kau membawa anak ini ke Las Vegas."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!