“Hm, Mama tenang saja. Aku tidak akan baper.” Indra jaya masih dalam panggilan telepon sambil menatap cermin wastafel dan mematut wajahnya.
Terdengar ketukan pintu dan teriakan memanggil namanya.
“Sudah dulu Mah, aku hubungi lagi nanti. Khawatir Kiran curiga.”
“Ck, lama amat sih?” tanya Kiran dengan wajah cemberut ketika pintu akhirnya terbuka. Indra hanya tersenyum lalu memutar tubuh Kiran dan merangkul gadis itu.
“Aku cuma ke toilet, udah kangen aja. Gimana kalau sampai aku dimutasi oleh Om Yudis.”
“Nggak boleh, aku bakal bilang Ayah biar kamu tetap di Jakarta. Makanya cepat temui Ayah, aku capek kayak gini.” Kiran mengeluh sambil mengerucutkan bibirnya.
“Iya, secepatnya aku temui Om Yudis.”
“Tapi … kalah Ayah nggak kasih restu gimana?” tanya Kiran khawatir. Sudah lebih dari satu tahun dekat dengan Indra Jaya, tanpa ada yang tahu kalau mereka saling mencinta. Tidak ada yang salah dengan cinta mereka, hanya saja Indra adalah putra dari sepupu Yudis -- Ayah Kiran.
Tidak ada masalah juga dengan hal itu, karena baik Kiran dan Indra terbilang saudara jauh. Namun, ada indikasi Kiran akan dijodohkan, meskipun belum diutarakan oleh Yudis langsung dan Indra termasuk orang kepercayaan Yudis di perusahaan.
Kiran adalah putri pertama Yudis, hanya saja ibu gadis itu sudah tiada tidak lama setelah Kiran lahir. Yudis sudah menikah lagi dengan Narita, dengan dua orang putra dari pernikahan tersebut. Erlan dan Emran.
“Hm … ya mau gimana lagi. Terpaksa kita putus, lalu move on dan cari pengganti,” jawab Indra sambil menganggukan kepalanya.
Merasa setahun hubungan mereka terbuang percuma kalau berujung kandas, Kiran memukuli lengan Indra sambil berteriak. Indra hanya terkekeh lalu meraih kedua tangan gadis itu dan keduanya saling tatap.
“Jangan takut sayang, walaupun Om Yudis tidak merestui kita. Masih banyak cara, banyak jalan menuju roma termasuk untuk mendapatkan kamu.”
“Caranya?”
“Hm.” Indra mengalihkan pandangan seakan sedang berpikir. “Bagaimana kalau aku hamili kamu, Om Yudis pasti ….”
“Dasar gil4.” Indra terbahak sambil menghindari Kiran yang sudah memegang bantal sofa dan mengejarnya. “Hamili aku setelah menikah, bukan sebaliknya. Awas kamu ya!”
Pasangan itu akhirnya duduk bersandar di sofa, Kiran berada dalam pelukan Indra. Sesekali mereka tertawa karena Indra menggoda Kiran. Sudah lebih dari satu tahun mereka dekat, tapi keduanya masih bisa menjaga diri.
Meskipun akhir-akhir ini, apartemen Indra yang dijadikan tempat bertemu sesuai dengan rencana mereka berdua. Perlahan hubungan mereka harus diketahui oleh keluarga. Kiran tahu, Yudis pasti mengawasi keluarganya meski sembunyi-sembunyi.
Katakanlah Kiran gampangan, karena sudah beberapa kali mengajak Indra untuk menemui Yudis dan jujur dengan hubungan mereka. Bahkan gadis itu rela pernikahan mereka sederhana yang penting segera halal. Bukan tanpa alasan, dia khawatir kelamaan indra ataupun dirinya khilaf dan berbuat macam-macam.
“Ayo, aku antar pulang. Udah malam ini, bisa-bisa bodyguard Om Yudis ngejar aku”
“Ck, masih kangen. Apalagi minggu depan kita nggak akan ketemu. Apa aku menyusul saja ya? Kayaknya ide bagus.”
Indra terkekeh dan mengeratkan rangkulan tangannya pada bahu Kiran. Gadis itu memang manja, bahkan sangat manja. Entah bagaimana ketika mereka sudah menikah, bisa-bisa akan menempel kemana pun Indra pergi. Sedangkan Indra keluar kota saja membuat Kiran ketar ketir.
“Kamu bilang mau ikut premiere film, karya tulisanmu,” ujar Indra sambil menarik ujung hidung Kiran karena gemas.
“Ya ‘kan penulis cerita dan skenario nggak terlalu penting di acara itu.”
“Fokus dengan apa yang kamu kerjakan sayang, karena kesempatan tidak datang dua kali.”
Profesi Kiran adalah penulis, lebih banyak karya fiksi. Hobi sejak dia masih berseragam putih abu dan sekarang sudah menghasilkan banyak karya termasuk juga menjadi penulis skenario. Tentu saja Yudis tidak menyukai profesi Kiran yang memiliki pendidikan manajemen bisnis sesuai dengan permintaan Yudis dan berakhir dengan menggunakan otak untuk berhalusinasi dan berimajinasi.
“Ayo!” ajak Indra sudah menegakkan tubuhnya.
“Tapi ini masih sore, malam minggu pula. Kamu mau ke mana sih?”
“Janji dengan selingkuhan,” sahut Indra dan berhasil membuat Kiran memasang wajah garang. Indra terkekeh kemudian mengusap wajah Kiran yang terlihat lucu.
“Kamu nggak usah pasang wajah begitu, nggak pantas. Wajah kamu itu imut-imut, pantasnya senyum doang.”
“Masa?”
“Iya dan gampang dikibulin.”
“Indra!!”
Indra terbahak dan meraih tangan Kiran untuk digenggam.
“Bercanda, sayang. Wajah kamu baby face banget, mana ada yang percaya usia kamu sudah dua lima. Dipikir masih anak kuliahan. Ditambah tinggi badan kamu ….”
“Pendek, bilang aja aku pendek.”
“Ya nggak pendek juga, tapi kalau mau cium kamu aku harus menunduk dan pegel. Nggak bakal kuat lama.”
“Omes.”
Indra mengantarkan Kiran sampai parkiran dan melambaikan tangannya saat mobil yang dikemudikan Kiran mulai melaju dan perlahan sudah tidak terlihat lagi. ponsel pria itu berdering, Indra tersenyum membaca nama yang tertera di layar.
“Halo cinta, sudah di mana?”
…
“Oke, aku otw. Tunggu aku. Love you too.”
Sambil bersiul, pria itu menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh.
“Kiran, kamu memang imut dan cantik. sayangnya, beg0,” gumam Indra dan tangannya menekan sensor untuk membuka pintu mobil.
***
Minggu pagi, kediaman Yudis tidak ada aktivitas berarti. Dua putranya tidak terlihat, dipastikan masih terbuai mimpi. Narita sedang sibuk beryoga di halaman belakang. Hanya Kiran yang terlihat menuruni anak tangga.
“Bik Ida,” panggil Kiran agak berteriak.
Perempuan bernama Ida, tergopoh-gopoh keluar dari dapur menemui putri majikannya.
“Non Kiran mau sarapan?”
“Hm.”
“Mau dibuatkan apa?”
“Ini aja.” Kiran menunjuk yang ada di meja makan. “Tapi buatkan saya orange juice ya Bik.”
“Siap Non.”
Sambi mengunyah roti yang sudah berlapis selai, Kiran menoleh ke arah pintu ruang kerja Yudis. Terdengar suara Ayahnya yang sedang berbincang, mungkin ada tamu atau memang komunikasi lewat telpon.
Terdengar langkah kaki mendekat, Kiran melirik sekilas dan kembali mengoleskan selai di atas rotinya lagi. Seorang pria berjalan semakin dekat ke arah meja makan di mana dia berada.
“Selamat pagi, Nona Kiran.,” sapa Brama.
“Pagi, Mas. Mau ke Ayah?” tanya Kiran sambil menatap pria bernama Brama yang berdiri tidak jauh darinya.
“Iya.”
Brama adalah kepercayaan Yudis, putra dari asisten pribadi pria itu. Mungkin saja Brama pun akan mengikuti jejak orang tuanya. Mengabdikan diri pada keluarga Dhananjaya. Tatapan dan raut wajah Brama sulit terbaca, pria itu terlalu dingin dan cenderung angkuh. Bahkan Kiran agak takut untuk menggoda sekedar bercanda.
“Mas Brama sudah sarapan?”
“Sudah.”
“Kaku, bukan kayak triplek tapi kayak robot,” batin Kiran.
“Ah, Brama. Kamu sudah datang?”
Brama dan Kiran menoleh ke arah suara. Yudis sudah keluar dari ruang kerjanya. Brama menganggukan kepala pada atasan dan majikannya.
“Duduklah, kita sarapan dulu!”
Yudis menempati kursi di paling ujung meja, posisi untuk kepala keluarga. Sedangkan Brama tahu posisinya, duduk di samping Kiran. Karena kursi di harapan Kiran adalah tempat Narita dan kedua putranya.
Kiran hanya mendengarkan Yudis dan Brama berbincang sambil menikmati sarapan mereka. ponsel Kiran bergetar karena notifikasi pesan masuk. Gadis itu mengernyitkan dahi ketika membuka pesan dari nomor tidak dikenal.
Pesan berisi foto seorang pria sedang memeluk wanita. Meskipun wajah mereka tidak terlihat, Kiran merasa sosok pria itu mirip sekali dengan … Indra.
Foto yang cukup mengganggu pikiran, bahkan Kiran semakin resah kala tidak bisa menghubungi Indra. Nomor kontak pria itu tidak aktif, sungguh meresahkan. Ayahnya dan Brama masih lanjut berbincang saat Kiran pamit ke kamar.
“Hah. Jadi kepikiran begini sih.”
Kiran berjalan mondar mandir di kamarnya dengan mulut terus bergumam. Siapa yang bisa hanya diam saja, karena kemungkinan besar pria di dalam foto itu memang benar Indra. Bahkan pakaian yang dikenakan pria itu sama persis dengan pakaian Indra sebelum Kiran pulang.
“Mungkin saja mereka berteman, jadi itu pelukan pertemanan. Tapi Indra nggak peluk aku karena berteman. Pelukan kami karena ada rasa dan saling sayang.” Kembali pikiran Kiran digelayuti rasa penasaran dan tentu saja cemburu.
“Ah, mungkin perempuan itu teman lama Indra. Wajar dong, mereka baru bertemu sejak lama terpisah mungkin.”
Kiran masih bergumam berusaha menenangkan hatinya yang panas. Langkah gontai yang dilakukan di dalam kamar akhirnya terhenti karena ketukan pintu.
“Mau ikut nggak, gue sama Emran mau nonton. Ikutlah dari pada gabut di sini,” ejek Erlan saat Kiran membuka pintu kamar dan menggelengkan kepalanya.
“Gaya bener pake ogah diajak main. Jomblo ngenes juga, ayolah kita main.”
“Kamu aja sana,” ujar Kiran mendorong tubuh Erlan agar segera berangkat. Bukan tanpa alasan Erlan mengajak Kiran, selain karena sang Kakak bisa membiayai semua yang mereka lakukan saat hangout. Penampilan Kiran memang terlihat seumuran dengan Erlan dan Emran -- adik Kiran -- meski dari Ibu yang berbeda dan yang keluarganya ketahui Kiran tidak dekat dengan pria manapun.
“Ya udah pinjem kartunya,” ujar Erlan sambil mengulurkan telapak tangan.
“Dih.”
“Ayolah Kak, nanti gantian deh kalau gue udah kerja.”
Kiran mencibir lalu memasuki kamar diikuti oleh Erlan, bahkan saat Kiran mengeluarkan salah satu kartu dari dompetnya langsung direbut oleh sang adik.
“Makasih ya, baik banget,” ujar Erlan mengacak rambut Kiran.
“Tidak sopan. Jangan banyak-banyak.” Kiran berteriak karena Erlan sudah hampir sampai di tengah pintu.
Meskipun keluarga Yudis dalam kondisi sangat berkecukupan, bahkan hidup dan fasilitas yang dirasakan keluarga tersebut sangat luar biasa. Namun, tidak memanjakan anak-anaknya dengan kelimpahan materi terutama Erlan dan Emran yang masih kuliah hanya satu tingkat di mana Emran sudah berada di semester akhir.
Kontak Indra lagi-lagi jadi sasaran dan Kiran masih belum mendapat jawaban kegundahan hatinya karena masih saja tidak aktif.
Kiran keluar dari dapur membawa botol air mineral dingin, bukan hanya dahaga yang perlu dia redakan tapi otaknya harus segera didinginkan. Keyakinan untuk segera mengakui hubungannya dengan Indra pada Yudis semakin kuat dan berharap segera mendapatkan restu lalu menikah. Selesai perkara.
Kediaman Yudis memang sering didatangi orang-orang kepercayaannya. Jika tadi ada Brama, kali ini Kiran melihat Vira berjalan anggun menghampirinya. Vira adalah karyawan kepercayaan Narita -- Ibu Kiran. Narita memiliki butik dan Vira adalah orang nomor dua di butik tersebut.
“Selamat siang Nona Kiran,” sapa Vira dan Kiran hanya bisa mengangguk.
Penampilan Vira tentu saja memukau, dengan tubuh yang tinggi menjulang dan polesan make up membuat wajahnya terlihat menarik dan … dewasa. Bahkan dress ketat yang dikenakan wanita itu membuat penampilannya terlihat sempurna.
“Saya permisi, Ibu Narita sudah menunggu,” ujar Vira sambil tersenyum sinis dan mungkin tidak disadari oleh Kiran.
Sekali lagi Kiran hanya bisa mengangguk dan pandangan terus menatap Vira yang sudah menjauh.
“Aishh.” Kiran menghentakan kakinya saat kembali sadar dan masalah foto Indra masih membayangi. Tidak mungkin dia izin keluar tanpa alasan jelas, hanya akan membuat Yudis curiga. Sedangkan semua anggota keluarga hanya tahu kalau Kiran tidak ada kekasih atau sahabat.
Gadis itu sudah berada di depan laptop berusaha melanjutkan pekerjaannya. Menulis. Namun, pikiran tidak fokus dan tidak ada ide yang bisa dituangkan ke dalam file yang masih belum berubah isinya.
***
“Indra, Ya Tuhan,” gumam Kiran sambil menepuk dahinya. Setelah seharian kemarin kontak Indra tidak aktif, pagi ini akhirnya tersambung dan terjawab.
“Hm.” Terdengar suara serak di ujung sana. bisa dipastikan kalau Indra belum sepenuhnya sadar dari alam mimpi. Bagaimana tidak, jika Kiran menghubungi terlalu awal. Bahkan saat ini belum waktu subuh.
“Kenapa sih kontak kamu nggak aktif?”
“Hm, lowbat … lupa charger. Kenapa Kiran, ini masih … malam?”
“Aku ….” Kiran tidak bisa melanjutkan ucapannya, ragu untuk menanyakan kebenaran dari foto tersebut.
“Kenapa? Kangen?” tanya Indra dengan suara lembut membuat Kiran seakan lupa dengan keresahannya. Wajahnya merona dan bibirnya tersenyum.
“Iya … kangen,” sahut Kiran lirih. Terdengar kekehan di ujung telepon. Fix, Kiran akan tanyakan perihal foto lain kali dan saat ini dirinya yakin kalau Indra adalah pria yang setia dan bertanggung jawab.
Sedangkan di tempat berbeda, setelah panggilan dari Kiran berhasil. Indra meletakan ponselnya di atas nakas lalu memeluk wanita di sampingnya dan mengeratkan selimut menutupi tubuh polos mereka.
“Siapa sih, sepagi ini ganggu saja?” tanya wanita itu meski dengan mata terpejam.
“Pijakan kita untuk meraih masa depan,” jawab Indra sambil memejamkan matanya kembali karena rasa kantuk masih merajai tubuhnya.
“Si bod0h Kiran?”
“Hm.”
Pembahasan masalah foto terpaksa ditunda, karena Indra ada tugas di luar kota. Meskipun hati Kiran sudah lebih tenang, tapi masih ada yang mengganjal tentang siapa pria di foto tersebut.
Seperti orang tidak ada kerjaan, Kiran sering memandang layar ponsel yang menunjukan foto itu, memastikan kalau pria itu memang bukan Indra. Meskipun dari beberapa bagian tubuh yang terlihat sangat mirip dengan postur tubuh Indra.
“Berhenti Kiran, jangan berpikir terlalu jauh. Kalaupun pria ini adalah Indra, dia pasti punya alasan kenapa memeluk wanita ini,” gumam Kiran dan tidak menyadari Erlan berjalan pelan di belakangnya lalu mengagetkan membuat ponselnya jatuh.
“Apaan sih, ngagetin aja deh.”
“Gabut amat jadi orang,” ujar Erlan lalu menunduk dan mengambil ponsel milik sang kakak. Sempat terpaku memandang layar ponsel itu. “Ini Bang Indra ya? Ngapain lihatin foto dia, suka?”
Kiran merebut ponselnya. Gugup harus menjawab apa dari pertanyaan Erlan. Sudah lama menginginkan hubungannya diketahui oleh keluarga, tapi bukan oleh Erlan. Berharap Ayahnya lah yang pertama kali mengetahui.
“Sok tahu, foto apaan sih?” tanya Kiran pura-pura bertanya. “Ini aku dapat dari grup chat. Emang ini Indra ya?”
“Bang Indra, tanya aja kalau nanti dia kemari.”
“Kamu mau ke mana?” tanya Kiran mengalihkan pembicaraan. Erlan sudah rapi dan jelas akan kuliah. Mendengar pertanyaan absurd dari sang kakak, Erlan menjentikan jarinya pada kening Kiran.
“Pertanyaan apa itu? Memang aku yang setampan ini mau ke mana? Ngojek.”
“Siapa tahu ternyata kamu mau … kencan.”
“Makanya Kak, patuh aja sama Ayah. Kerja di kantor, bukan jadi ratu halu,” ejek Erlan lalu terkekeh dan berlari karena dikejar oleh Kiran
“Hei, hei. Kalian ini, mirip sekali dengan tom and jerry,” tegur Narita. Penampilan wanita itu sangat berkelas sebagai seorang istri pengusaha dan pemilik butik ternama. “Kiran, dari pada kamu jadi pengangguran tidak jelas lebih baik ikut Bunda.”
“Kemana?”
“Lounching katalog baru, sebentar lagi musim dingin.”
“Musim hujan kali Bun, di Indonesia mana ada musim dingin,” ejek Erlan yang sudah berdiri di samping Kiran bahkan merangkul bahu gadis itu.
“Aku di sana ngapain Bun?”
“Beres-beres kak, memang ngapain pula ngajak kalau nggak ada fungsinya. Nggak mungkin disuruh diem jadi tiang backdrop.” Kiran mendorong tubuh Erlan agar menjauh.
“Pokoknya nanti siang Bunda tunggu di butik. Siapa tahu kamu ada bakat lain dan bisa bantu Bunda buka cabang. Kadang Bunda bingung kalau ada yang tanya profesi kamu apa, masa jawab menulis. Anak TK juga menulis.”
Erlan terbahak mendengar ucapan Narita, jangan ditanya bagaimana wajah Kiran … cemberut.
“Sudah kak, ikut aja. Benar kata Bunda, siapa tahu cocok dengan bisnis itu. Kak Emran sudah mulai magang, Kak Kiran gak akan mungkin bisa bersaing dengannya.”
“Siapa juga yang mau bersaing.”
Sepeninggal Erlan dan Narita, Kiran kembali ke kamarnya. Masih ada waktu sebelum menghadiri acara yang dimaksud Narita, Kiran menatap layar laptop melanjutkan pekerjaannya. Profesinya memerlukan tingkat konsentrasi yang cukup termasuk juga suasana yang tenang dan saat ini kedua hal tadi cukup mendukung.
Sesekali Kiran menoleh ke arah ponselnya, menunggu pesan atau panggilan telepon dari Indra. Perkiraan dari waktu keberangkatan, seharusnya pesawat Indra sudah mendarat satu jam lalu dan sudah bisa menggunakan ponselnya. Namun, Kiran belum mendapatkan kabar apapun.
***
Suasana butik milik Bunda Narita cukup ramai, padahal belum waktunya acara dimulai. Para karyawan di sana tentu saja tahu siapa Kiran. Gadis itu diarahkan ke dalam untuk menemui Narita. Ternyata pemilik butik itu sedang memastikan acara yang akan dimulai tidak lama lagi berjalan lancar.
Pandangan Kiran tertuju pada Vira yang dengan luwes mengarahkan beberapa petugas. Entah kemana Narita pergi, Kiran menatap sekeliling mencari keberadaannya. Tidak juga menemukan sosok yang dicari padahal tadi terlihat di sana, Kiran pun menghampiri Vira. Namun, wanita itu menjauh dengan ponsel di telinganya.
Bukan bermaksud menguping pembicaraan, Kiran hanya ingin bertanya di mana Narita tapi sudah terjeda dengan percakapan Vira dengan seseorang.
“Iya sayang, hati-hati di sana."
Terdengar Vira tertawa ringan. Kiran duduk pada kursi yang tidak jauh darinya menunggu wanita itu selesai berbincang. Berusaha tidak peduli dengan yang dikatakan Vira.
“Sebenarnya aku sudah muak, ingin segera mengakhiri ini. Orang kecil sepertiku hanya bisa ditindas dan dimanfaatkan. Aku sudah tidak sabar menunggu saat di mana aku bisa mengangkat wajahku dengan bangga pada orang yang selalu menghina dan ….” Ucapan Vira terhenti karena pandangannya mengarah pada Kiran yang ada di sana, menunduk asyik dengan ponsel.
“Aku hubungi lagi nanti.”
Vira mendekati Kiran.
“Nona Kiran, sedang apa di sini?”
“Itu … aku ingin tanya di mana Bunda, tapi kamu sibuk menerima telepon.”
Vira mengangguk pelan dan yakin gadis dihadapannya ini tidak tahu apa yang dibicarakan tadi juga dengan siapa dia bicara.
“Mari, saya antar.”
Kiran mengekor langkah Vira yang sesekali menatap keliling ruangan memastikan semua sudah siap. Ternyata Narita dan Vira bisa cocok karena sama-sama perfeksionis.
“Ibu Narita, di sana,” tunjuk Vira.
Kiran tersenyum saat Vira mengangguk pelan meninggalkannya.
“Bunda,” panggil Kiran.
Tidak lama acara pun dimulai, Kiran menempati sofa di sebelah Narita. Padahal dia ingin duduk di belakang saja bergabung dengan para tamu. Kadang dia menguap bahkan menggelengkan kepala saat acara berlangsung.
Tamu yang datang adalah pelanggan VIP dan tidak lebih dari tujuh puluh orang. Namun, berasal dari kalangan berkelas. Bahkan Kiran melihat ada beberapa artis juga yang hadir, istri pejabat juga istri pengusaha. Acara hampir selesai dan Kiran sudah tidak tahan berada di keramaian, dia meninggalkan aula meskipun dalam pandangan Narita. Tujuannya ruang kerja sang Bunda, lalu merebahkan diri di sofa.
“Bukan tempatku di sana, aku memang cocok di sini. Rebahan, selonjoran dan kipas-kipas tunggu suami pulang kerja. Eh, apa nanti aku dan Indra begitu ya. Dia kerja aku di rumah, jadi ibu rumah tangga,” gumam Kiran sudah beranjak duduk dan terkekeh sendiri membayangkan rumah tangganya dengan Indra Jaya. Entah terlalu naif atau terlalu percaya pada pria bernama Indra, yang sampai saat bahkan belum berkabar dengannya.
Sudah lewat jauh dari jam makan siang, perut Kiran sudah meronta minta diisi. Gadis itu kembali beranjak dengan malas dari ruang kerja Narita menuju aula kembali dan tujuannya adalah buffet. Acara sudah selesai bahkan sebagian tamu sudah meninggalkan ruangan. Langkah Kiran terhenti saat melihat seseorang.
“Mas Bram,” gumam Kiran.
Kebetulan ada hal yang ingin gadis itu bicarakan. Kalau dia tanya pada Yudis, biasanya akan dimulai atau diakhiri dengan banyak nasihat. Kiran memutuskan bertanya pada Brama, salah satu kepercayaan Ayahnya.
“Cepat amat sih, kemana perginya,” gumam Kiran. “Ah, itu dia.”
Mulutnya sudah terbuka ingin memanggil pria itu, tapi urung melihat Brama ternyata menemui Vira. Kedua orang itu terlihat seperti pasangan yang serasi. Brama dengan tubuh tinggi tegap dan berwibawa, sedangkan Vira yang juga tinggi hampir menyamai Brama. Kecantikan wanita itu tidak perlu ditanya, bahkan sangat cocok menjadi seorang model.
Ada hal lain yang membuat Kiran mengernyitkan dahinya, wajah Vira yang dia tatap dari samping mengingatkan pada foto itu. Bahkan Kiran membuka ponselnya untuk meyakinkan apa yang dia lihat. Pandangannya bergantian pada layar ponsel dan Vira yang asli.
“Nona Kiran,” panggil Vira.
Kiran bergeming, mana kala mendapati kalung yang dikenakan wanita itu sama persis dengan yang dikenakan wanita dalam foto.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!