NovelToon NovelToon

EVERNA Cincin Api

Prolog BARKAJANG

Seorang pemuda tengah berdiri di bawah basuhan matahari senja, darah membasahi kepala dan sekujur tubuhnya. Matanya menyorot nyalang seperti serigala terluka. Golok berbilah lebar yang disebut mandau besar tergenggam erat di tangan, percikan-percikan petir di tubuhnya membesar. Tempatnya berdiri adalah di kaki Gunung Barkajang, Negeri Swarnara.

Di hadapan pemuda itu tampak sosok seekor hewan siluman raksasa. Kepala hewan itu mirip kepala dan mulut ikan hiu, berbelalai dan bertelinga gajah. Tubuhnya kira-kira dua kali lebih besar dari rata-rata gajah Swarnara dewasa, dengan tambahan sirip-sirip ikan di pinggang dan punggungnya. Ekornya berbentuk seperti tubuh dan sirip ekor ikan hiu. Menilik perbedaan ukuran semata, mustahil si pemuda manusia menaklukkan, apalagi membunuh makhluk yang satu ini.

Gilanya, si pemuda malah sesumbar, “Saatnya kurenggut Kunci Gunung Barkajang dan kau berkalang tanah, Gajahmina!”

Suara Gajahmina marah serak seperti pria tua-renta. “Huh! Takkan kubiarkan orang Kalingga sepertimu menebar bencana di negeri ini! Kau harus kulenyapkan, Sthira!”

Namun gertakan terakhir itu tak membuat Sthira Tarunarga surut selangkahpun. “Kau sudah dengar dan pahami tujuanku, tapi kau malah melawanku. Tak masalah, kau hidup atau mati, Barkajang bakal jadi langkah pertama, selamatan untuk misiku ‘membersihkan’ Antapada!”

“Takabur! Rasakan pamungkasku, Air Terjun Meruntuhkan Gunung!” Gajahmina mengangkat belalainya yang amat panjang dan kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Sementara Sthira malah maju sambil menyabetkan Gharma, golok petirnya dari jauh, membujur dari bawah ke atas.

Belalai, tubuh depan dan dua kaki Gajahmina menghentak ke tanah, disertai gabungan prana air dan tanah pamungkas berwujud air terjun bersama longsoran bebatuan. Prana jurus andalan Sthira, Naga Halilintar Mendaki Langit berwujud ular naga petir yang membubung. Alhasil, kedua gempuran itu bertumbukan dan meledak di antara kedua petarung.

Gajahmina yang bertubuh raksasa terdorong selangkah ke belakang. Sebaliknya, Sthira malah terpental dan mendarat di tepi jurang, terkapar dan makin berdarah-darah.

“Ha! Apa kubilang!? Tamatlah ri...!” Gajahmina hendak maju untuk menghabisi lawan dengan gading raksasanya. Namun ia terpaku oleh rasa teramat sakit di bagian bawah perutnya. Ia menunduk, namun tetap tak bisa melihat penyebabnya.

Ternyata ada seorang gadis sedang menghunjamkan sepasang belati-kait yang disebut kerambit yang disambungkan dengan seutas rantai tipis di perut monster raksasa itu. Dengan jurus andalan Pusaran Badai Terabas Selaksa, prana angin dipusatkan dan dimampatkan di satu titik, melubangi permukaan sekeras batu seperti perut Gajahmina.

“Maafkan kami, Tetua Rahli Marus! Ini demi Antapada!” seru gadis itu.

“Tidaak! Kalian tak sadar akibat perbuatan kalian ini! Jangaan! Pengkhianat kau, Nirya!”

Tubuh Gajahmina mulai mengucurkan darah, jadi Nirya mencabut kerambitnya dan berguling keluar dari bawah tubuh si raksasa sekarat. Perlahan-lahan wujud Gajahmina menyusut dan berubah, hingga akhirnya kembali menjadi si pemilik asli suaranya.

“Terkutuk... kalian...” Rahli Marus batuk darah, terkapar sambil bersandar di dinding lereng gunung. “Neraka itu... ganjaran yang terlalu ringan... bagi kalian... pembawa... akhir...” Pria itu kehabisan terlalu banyak darah hingga menghembuskan napas terakhir.

Nirya menyarungkan kembali sepasang kerambit berantai yang diberi nama Bayunara itu di ikat pinggangnya.

Seakan tahu sang “juru kunci gunung api” telah tiada, sebuah gelang berpendar kuning menyilaukan membentuk lambang “tanah-air” di lengan Rahli yang terkulai, lalu gelang itu terlepas dan tergeletak di tanah.

“Bagus sekali kerjasamamu, Nirya,” ujar Sthira yang menghampiri Nirya dengan tertatih-tatih. “Dengan ini, kita telah menapakkan langkah pertama menuju Antapada Baru.”

Nirya tak menjawab. Gadis cantik berambut jingga itu hanya menatap gelang dengan lambang gaib itu melayang dan terpasang di pergelangan tangannya. Lantas Gelang Barkajang itu memancarkan selarik sinar berbentuk lambang gaib tadi. Sinar itu melayang ke puncak Gunung Barkajang, lalu seolah jatuh ke dalam kawah penuh magma membara.

Gunung Barkajang berguncang hebat, tanda terjadinya letusan dahsyat.

“Ayo, kita lari!” Pemuda berambut hitam dengan tato mirip loreng harimau di pipinya itu melangkah secepat yang ia bisa. Nirya memapah rekannya itu menuruni lereng gunung yang cukup landai.

Dalam waktu satu jam itu, guncangan Gunung Barkajang makin keras. Dari puncaknya, debu bercampur asap yang amat panas dan tebal menyembur keluar, membentuk awan panas yang membubung sampai ke awan.

Hingga akhirnya, Kawah Barkajang memuntahkan lava membara, teriring suara-suara ledakan membahana. Lava merah bagai api cair itu meleleh, menuruni lereng sebagai lahar. Segala makhluk dan benda yang terlanda lahar panas ini pasti hangus-luluh. Desa, rumah-rumah dan sawah-sawah yang terletak tak jauh dari kaki gununglah yang menjadi tumbal pertama amukan sang raksasa yang baru dibuat murka ini.

Yang lebih parah lagi, letusan Gunung Barkajang ini juga menimbulkan gempa bumi hebat yang merambah hingga ke kota terdekat, yaitu Ibukota Kerajaan Swarnara, Ringidatu. Kota itu mengalami kerusakan hebat, tak terhitung nyawa yang hilang karena tak sempat menghindari bencana yang terlalu cepat, tanpa peringatan dini ini.

Bencana teramat parah terjadilah.

Dosa teramat besar telah terlaksana.

Gilanya, semua ini dipicu kesengajaan dua pendekar muda, Sthira dan Nirya.

Pertanyaannya adalah, mengapa?

Keterangan gambar: Gunung Kerinci bisa jadi persis sama atau yang letaknya paling dekat dengan posisi Gunung Barkajang di Pulau Swarnara, Antapada.

 

PERKENALAN TOKOH

Nama: Sthira Tarunaga

Negeri Asal: Kalingga

Senjata: Mandau Besar

Nama: Nirya Panigara

Negeri Asal: Swarnara

Senjata: Kerambit Kembar Berantai

Nama: Arumi Dyahrani

Negeri Asal: Jayandra

Senjata: Busur-Panah, Keris-Pedang

Nama: Dhaka Komodorai (Ras Komodorai)

Negeri Asal: Rainusa (Separatis Dabongsang)

Senjata: Tombak Komodorai

RINGIDATU Bagian 1

Beberapa hari sebelum terjadinya bencana, di Ringidatu, ibukota Swarnara…

Di usianya yang keenambelas, seorang gadis seperti Nirya seharusnya dipingit, diam di rumah dan dijodohkan dengan calon suaminya. Inilah salah satu aturan adat-istiadat yang berlaku di Kerajaan Swarnara, negeri pulau terluas kedua di Jazirah Antapada, Dunia Everna ini.

Ya, Nirya memang sering diam di rumahnya yang berbahan serba kayu dan beratap runcing dan cekung seperti tanduk kerbau ini. Bedanya, ia tak tampak dipingit. Betapa tidak, gadis yang gemar berpakaian hijau dan berselendang jingga itu hampir tiap hari muncul di pasar Kota Ringidatu, berbelanja bahan-bahan makanan dan segala keperluan lainnya.

“Aku tahu, seharusnya memang aku dipingit, bu,” kata Nirya, menanggapi celotehan si pedagang pasar sambil tersenyum manis. “Tapi aku ‘kan satu-satunya wanita di Perguruan Seni Beladiri Bayunara. Ibu tahu ‘kan, wanita lebih bisa diandalkan dalam urusan pasar dan dapur daripada laki-laki.”

Ibu penjaja sayur-mayur tertawa geli, mungkin teringat keluarganya sendiri. Lantas ia menambahkan, “Oh ya, andai kau tak tinggal di sana, kau pasti sudah dipingit, menikah, bahkan terlalu sibuk mengasuh anak sekarang. Seperti aku pula, mana sempat berlatih ilmu beladiri?”

“Tak apa bu, yang penting ‘jurus’ ibu memilihkan sayur-mayur sesegar ini jelas tak ada tandingannya.”

“Ssst, jangan keras-keras bicaranya, Dik Nirya. Nanti saingan-saingan di sebelah ibu tersinggung,” kelakar wanita berusia kira-kira tiga puluh tahun itu.

Nirya hanya tertawa sambil menerima sayur-mayur yang ia pesan, terbungkus dan terikat rapi dengan daun pisang. Ditambah buah-buahan dan daging secukupnya di jinjingan, gadis itu lantas melangkah cepat dan mulai lari.

Dengan amat lincah Nirya menyelinap di sela-sela kerumunan pengunjung pasar. “Permisi pak, maaf bu. Duh, hati-hati dik.”

Beberapa orang yang disalip menoleh dengan raut muka sebal, langsung mengurungkan niat menegur. Kebanyakan kembeli berlalu, seakan Nirya tadi hanya angin lalu. Segelintir orang yang tahu reputasi pendekar wanita berambut jingga sebahu ini malah senyum-senyum sendiri.

Pasalnya, Nirya terkenal ringan tangan, suka menolong dan membantu orang-orang baik-baik yang sedang dalam kesulitan. Dan jasa-jasanya menangkap penjahat-penjahat di Ringidatu membawa nama harum bagi Perguruan Bayunara tempatnya bernaung.

Seakan semesta mendukung tiap langkah Nirya ini, melewati jalan-jalan berliku dan gedung-gedung yang atapnya berujung runcing seperti tanduk kerbau. Konon, makin banyak ujung atap di suatu gedung atau rumah yang disebut “rumah gadang” itu, makin tinggi pula derajat, kedudukan dan status tuan rumahnya. Jadi tak heran rumah gadang paling besar dengan ujung-ujung atap paling banyak di suatu kota pasti adalah istana dan rumah adat.

Tampak pula puncak Gunung Barkajang dari pusat Kota Ringidatu berdiri teguh. Seolah menjadi penjaga sekaligus pengingat tentang suburnya tanah di wilayah sekitar gunung ini yang lambat-laun berkembang menjadi ibukota sebuah kerajaan besar. Kota makmur nan jaya, penghasil hasil bumi terbesar di Pulau Swarnara.

Sambil terus melangkah cepat, Nirya memusatkan perhatiannya pada rumah gadang berujung atap empat di ujung jalan. Namun, suara-suara bising menghentikan langkahnya. Firasat Nirya berkata, saat ini sedang terjadi sebuah pertarungan yang amat sengit. Ia memutuskan untuk pasang telinga dulu dan mendengarkan dengan seksama.

Tiba-tiba Nirya terkesiap, matanya terbelalak. Sambil menggumamkan kata, “G-guru!” ia menjatuhkan barang-barang belanjaannya, menghunus sepasang kerambit dan berlari kencang ke rumah perguruan yang juga adalah tempat tinggalnya.

Tiba di ambang pintu, Nirya ternganga seakan seribu kerambit menghunjam jantungnya. Di depan matanya, tampak beberapa laki-laki mengerumuni sesuatu atau seseorang. Yang mengenaskan, mereka semua sedang berdiri di atas kubangan darah.

Tak sengaja Nirya terpekik. Semua wajah sontak menoleh dan semua mata tertuju pada gadis itu. Pekikan Nirya lenyap seketika, berganti tatapan ngeri. Ia kenal orang-orang yang terkapar berdarah-darah di lantai dan orang-orang yang berkerumun itu. Mereka semua.

Para murid Perguruan Kerambit Bayunara.

Tapi, bukankah seharusnya mereka kemari untuk berlatih? Mengapa malah saling bantai?

Jawaban untuk Nirya datang dari seorang pria berkumis yang menyeruak dari kerumunan. “Wah, wah, adik kita Nirya sudah pulang. Bagaimana kalau kita kirim saja dia sekalian untuk menemani Guru Panigara?”

Mengenali pria yang selalu berpakaian rapi itu, Nirya berseru, “A-apa maksudmu… K-Kak Badar? Bukankah kakak sudah dikeluarkan dari perguruan?”

“Oh, jadi karena guru mengusirku, aku jadi tak punya urusan sama sekali di sini lagi, begitu?” Nada bicara dan wajah Badar tak terkesan beringas. Mungkin inilah yang terjadi saat seseorang telah kehilangan nurani dan jati dirinya, berubah menjadi pembunuh berdarah dingin.

“Guru Panigaralah yang berhak menentukan itu! Mana guru!? Guru!”

“Guru di sini, adik,” ujar Badar sambil menyingkir ke samping.

Mata Nirya terbelalak, wajahnya pucat seketika. Tepat di hadapannya, tampak sang guru terduduk dan tertunduk. Tubuh pria separuh baya itu tersandar di dinding kayu, tangannya terkulai. Yang mengenaskan, tampak darah merah seakan mengecat dinding dan menggenangi lantai di bawah Panigara. Darah itu mengalir dari lebih seratus luka tusukan kerambit di sekujur tubuh pria yang sudah tak bernyawa itu.

“Guruu!” Nirya menjerit histeris. “K-kau, Badar… kalian semua binatang! Guru telah memberi kalian ilmu, tapi kalian malah membalasnya dengan tikaman khianat! Pantaskah!?”

“Oh, tentu pantas!” sahut Badar tak kalah keras. “Panigara hanya memberi kami ilmu saja, namun menghambat tujuan kami yang lain.”

“T-tujuan apa?”

“Jangan pura-pura tak tahu. Aku pernah mengajak saudara-saudara seperguruan untuk ikut berperang, mendukung raja kita, Tanakara. Melalap negeri-negeri lainnya dan mempersatukan Antapada, mengakhiri perang antarpulau yang telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa ini. Tapi melarang keras. Katanya, ilmu perguruan pantang digunakan untuk mengejar ambisi pribadi atau pihak tertentu.”

Ya, kenangan Nirya kembali terbit. Waktu itu, Nirya menolak ketika diajak melarikan diri dari perguruan. Malah gadis itu mengadukan ulah Badar pada sang guru, membongkar rencananya. Akibatnya, Badar diusir dari perguruan dan sendirian mengabdi pada Raja Tanakara sebagai pembunuh gelap dan mata-mata.

Sungguh tak diduga, Badar nekad kembali ke perguruan dan menggunakan cara keji. Dengan tewasnya sang guru dan para murid yang menentangnya, ia bebas merekrut murid-murid pendukungnya.

Badar meneruskan, “Ya, Nirya, kau tahu ujung ceritany akini. Jadi, kau akan duduk di samping gurumu dan berdarah sampai mati dalam rumah gadang yang terbakar habis. Inilah penutup kisah yang sempurna. Sekalian kalian jadi tumbal selamatan bagi perjuangan para Pendekar Bayunara mempersatukan Antapada.”

“Itu takkan terjadi! Kau harus bayar hutang darah dan pengkhianatanmu ini, Badar!” Sambil mengatakannya, Nirya menggenggam erat sepasang kerambit yang terhubung dengan seutas rantai, lalu menerjang maju. Ia berharap membasmi si biang khianat dengan sekali tikam.

Masuk jarak serang, Nirya mengayunkan sepasang kerambitnya dengan gerakan seperti mencungkil. Namun tiba-tiba dua bilah kerambit lain menangkis serangan gadis itu. Ternyata yang melakukannya adalah dua murid Bayunara.

Seakan tak memberi kesempatan lawan bernapas, dua murid lainnya menyabetkan kerambit-kerambit mereka ke arah perut Nirya. Dengan refleks yang amat terlatih, gadis itu beringsut mundur. Namun ujung-ujung kerambit sempat menggores baju dan kulitnya.

Nirya hanya bisa meringis menahan nyeri. Lantas gelombang tusukan-sabetan berikut menerpa dari kiri dan kanannya. Tak habis akal, Nirya menjatuhkan dirinya hingga nyaris rebah di lantai. Lalu kakinya terayun, menyapu kaki salah satu penyerang hingga tersandung. Alhasil, dua murid murtad itu saling bertabrakan, saling menikamkan kerambit di tubuh satu sama lain.

“Ando! Janu!” teriak Badar, seolah berduka kehilangan kedua pendukungnya itu. “Saudara-saudara, serang murid manja, pengadu sok suci itu bersama-sama!”

“Ya!” Bagai sekelompok serigala buas yang baru terlepas dari belenggu, Badar dan keempat pria pengkhianat mengepung Nirya dan menyerangnya dari segala arah.

Walau dianggap murid paling berbakat dan satu-satunya yang menguasai kerambit kembar berantai, tak ayal Nirya kewalahan dikeroyok seperti ini. Guru Panigara saja yang berilmu paling tinggi tewas, apalagi gadis kurang pengalaman ini.

Mati-matian Nirya melawan. Ia memutar-mutar rantai berujung kerambitnya bagai angin puyuh, mencoba melepaskan diri dari kepungan. Ujung bilah berkait Nirya sempat menancap di tenggorokan salah seorang murid. Namun Badar malah memanfaatkan kesempatan itu, menyepak pelipis kepala Nirya keras-keras dengan ujung kaki sarat tenaga dalam.

Nirya roboh di lantai, tak mampu bangkit lagi. Nyawanya bagai lilin sedang ditiup, apinya bakal padam tiap saat. Tidak, ia tak mau mati konyol di sini. Namun sandal Badar telah lebih dulu bertengger di pipinya. “Ringkus dan ikat dia!”

Para murid lainnya dengan sigap mengikat tubuh Nirya erat-erat dengan tambang yang cepat-cepat diambil dari gudang. Lalu tubuh gadis itu didudukkan bersebelahan dengan jenazah gurunya.

Di ranah antara sadar dan tidak, Nirya masih dapat melihat wajah si pendekar berkumis tipis menatapnya dengan ekspresi menyebalkan, penuh kemenangan.

“I-inikah pendekar kerambit yang jantan dan ksatria...? Beraninya... main keroyok saja!” sergah Nirya, suaranya bagai **** sesuatu.

“Kami ini bakal prajurit, dan dalam perang segalanya dihalalkan,” jawab Badar dengan amat santai. “Nah, karena aku ini pemurah, aku tak membunuhmu, melainkan memberimu tendangan penuh cinta.” Telapak kaki Badar lantas “mencium” pipi gadis itu.

Para murid murtad lain tertawa melihatnya.

“Masih ada satu hadiah lagi, karena paras cantikmu telah menghiburku selama hari-hari beratku di ‘penjara’ ini. Kau akan menemani gurumu di tengah api yang memanggang seluruh rumah gadang ini. Bagaimana, ini cara yang indah untuk menghadap Sang Mahesa, bukan?”

Darah Nirya menggelegak, kesadarannya pulih. “Biadab! Terkutuk kalian semua!” Gadis itu berusaha bangkit, namun sia-sia. Malah sekarang penglihatannya mulai buram.

“Berhentilah berteriak! Nyanyikan saja lagu kematianmu!” Seorang murid meninju rahang Nirya hingga wajahnya makin berdarah dan memar.

Di sudut lain, para murid menumpahkan seluruh persediaan minyak di rumah itu ke seluruh lantai kayu ruang latihan ini. Sama sekali tak ada celah untuk melarikan diri – andai Nirya bisa melakukannya.

Badar lantas menghampiri Nirya, lalu menyentuh gadis itu dengan ujung jarinya. “Sayang sekali, bunga secantik ini tak sempat dipetik karena amat berduri. Sayang bila harus terbakar hingga tanpa sisa.”

Nirya berteriak-teriak menantang, “Cih! Lebih baik hangus daripada dipetik serigala-serigala bejad seperti kalian! Buka ikatanku, kita tarung satu lawan satu kalau kau jantan, Badar!”

“Sudah tahu kami ini serigala, tapi kami malah dikekang! Katakan itu lagi pada guru saat kau menyusulnya di akhirat! Selamat tinggal, Nirya!” Sambil mengatakannya, Badar berdiri menjauh, lalu melemparkan obor membara ke genangan minyak di depannya.

Para murid lainnyapun menyulut dan melemparkan obor masing-masing ke tiap sudut rumah serba kayu itu. Lantas seluruh sisa kelompok Badar berhamburan keluar sambil tertawa-tawa puas.

Dalam keadaan terikat, Nirya hanya bisa berteriak-teriak kalap, meminta tolong. Siapa tahu ada orang yang lewat dan melihat kebakaran ini, lalu membawa pertolongan.

Namun, menit demi menit berlalu, tak ada seorangpun yang datang. Api sudah menjalari dinding, membakar mayat-mayat di lantai, terus ke tempat Nirya duduk di sebelah jenazah gurunya. Teriakan-teriakan minta tolong seketika berubah menjadi lolongan putus asa. Nirya menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, namun ikatannya tak kunjung kendur.

Akhirnya, Nirya berhenti berteriak, napasnya makin sesak kekurangan udara. Mata jeli gadis itu makin sayu, dengan pandangan mulai kabur ia menatap sang guru.

“Maafkan aku, Guru Panigara,” ujar Nirya dengan suara amat serak dan air mata bercucuran. “Aku terlalu gegabah. Seharusnya aku lari saja, bukan menantang murid-murid murtad itu.”

Tentu saja sang mendiang tak menjawab. Namun anehnya, tubuh jenazah pria beruban dan penuh darah itu condong ke samping dan jatuh tepat di antara muridnya dan jilatan lidah-lidah api membara, seakan menjadi dinding pelindung. Api lantas menjalari tubuh sang guru yang masih basah oleh darah itu.

Tapi ini hanya penundaan saja, karena kira-kira semenit kemudian punggung Nirya mulai kepanasan dan nyeri, tersentuh api dari dinding.

“Sang Mahesa, bila ini kehendakmu, aku siap menghadapmu.”

Di mata Nirya, kobaran api, dinding, segala sesuatunya tak jelas bentuknya lagi. Segala warna bercampur, hingga menyatu menjadi putih.

Namun, sebelum segala yang putih menjadi hitam, sebentuk kekuatan menarik tangan dan tubuh Nirya dengan satu entakan keras. Lalu tubuh gadis itu seakan terbawa angin badai.

Lalu, Nirya tak merasakan apa-apa lagi.

Keterangan Gambar: Kota Seribu Rumah Gadang - referensi kota ala Padang untuk Ibukota Swarnara, Ringidatu.

RINGIDATU Bagian 2

Pemandangan pepohonan, bunga-bunga yang bertebaran dan bermandikan cerahnya mentari di balik awan sungguh bagai surga bagi siapapun yang melihatnya, tak terkecuali Nirya.

Saat mata berbulu lentik gadis berambut jingga itu kembali terbuka, tak sengaja senyum termanis terkulum di bibir delima merekahnya. Udara sejuk menerpa kulitnya yang seputih susu namun ternoda darah dan luka-luka, rasa segar luar biasa merasuk seketika, terhalang nyeri yang tiba-tiba ikut menyapa.

Sadar dirinya tengah berbaring di udara terbuka, Nirya berusaha bangkit. Namun gadis itu kembali terduduk lemas, bersandar di pohon. Sisa luka bakar yang ia derita tadi masih terasa amat nyeri di kulitnya, membuktikan bahwa gadis itu belum pindah dunia.

“Hei, jangan bergerak dulu!” Seruan seorang pria membuat Nirya terperanjat.

Gadis berambut jingga itu lantas menoleh ke sumber suara. Tampak jelas sosok seorang pria muda belia berjalan mendekatinya. Setiap gerakan dari tubuh pemuda yang ramping namun tegap dan cukup berotot ini membuat darah Nirya berdesir, jantungnya berdegup kencang. Apalagi menatap paras wajah sang pria yang lebih belia dari perawakannya itu, seakan adalah karya indah Sang Mahesa, seluruh dunia dan segala waktu Nirya seakan terhenti seketika itu.

Nirya bicara terbata-bata, “A-apakah kau yang....”

“Ya. Akulah yang mencegahmu terpanggang hidup-hidup dalam rumah gadang yang terbakar hebat itu,” ujar si pemuda. “Namaku Sthira Tarunaga, dan aku seorang pendekar pengelana dari Kalingga. Kebetulan aku sedang lewat, dan aku tak bisa tinggal diam saat mendengar teriakan-teriakanmu dari dalam sana.”

“Ah, rupanya Sang Mahesa masih mengasihaniku,” kata Nirya, matanya mulai berkaca-kaca. “Terima kasih, Sthira karena sudah menyelamatkan nyawaku. Aku, Nirya putri Panigara sungguh berhutang budi padamu.”

“Tak usahlah perhitungkan hutang budi, aku hanya menunaikan tugasku sebagai pendekar saja,” kata Sthira sambil tersenyum. “Tapi, kelihatannya yang terbakar itu rumahmu, ‘kan?”

Nirya mengangguk sambil tertunduk lesu.

“Apa kau tahu akan tinggal di mana setelah ini?”

Kata-kata Sthira kali ini terkesan janggal. Tak pantas rasanya seorang pemuda langsung menanyakan urusan pribadi gadis yang namanya baru saja ia tahu.

Namun, dengan polosnya Nirya malah menggelengkan kepalanya. Jelas kini ia sebatang kara.

“Bagaimana kalau kau ikut aku berkelana, Nirya?” Tawaran Sthira ini amat mendadak.

Nirya langsung mengerutkan dahi dan menatap pria kurang ajar itu, jawabannya untuk itu sudah pasti. “Aku tak nyaman bepergian jauh dengan pria yang baru kukenal namanya.”

“Oh, maaf, Nirya. Aku tak tahu tata pergaulan di Swarnara ternyata tak sebebas di Kalingga,” ujar Sthira sambil pasang wajah polos dan mengusap-usap hidung dengan jari telunjuknya. “Begini saja, aku tadi sudah memulihkan sebagian luka-lukamu dengan pranaku. Jadi ayo kita cari tabib di sekitar sini, dan kita akan membicarakan sebuah rahasia.”

“Dan kalau aku tak suka dengan hasil pembicaraan kita nanti?”

“Maka kau harus berusaha meyakinkanku untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Kalau tidak, aku terpaksa akan terus membungkammu.” Untuk sesaat, tatapan mata Sthira tampak dan terasa bagaikan belati yang menghunjam kalbu Nirya, membuat gadis itu terpojok. “Silakan pilih, apa kau ingin mengetahui rahasia ini, tetap tinggal di sini dalam bayang-bayang musibah yang menimpamu tadi, atau berkelana tak tentu arah, menghadapi segala bahaya sendirian.”

Nirya tak segera menjawab. Benaknya sibuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dari setiap pilihannya. Apalagi didera rasa nyeri luka yang kambuh tiba-tiba, pilihan-pilihan gadis itu makin terbatas. Nirya yang masih lemas ini bisa saja memulihkan diri dengan prananya sendiri, namun saat melakukannya ia akan sangat rentan serangan hewan buas atau manusia yang lebih buas lagi.

Maka, pilihan Nirya tinggal satu. “Tak perlu tabib. Cukup tunggu saja sampai aku selesai memulihkan diri, dan aku akan mendengarkan rahasiamu itu, Sthira.”

\==oOo==

Menatap rumahnya yang kini rata dengan tanah, berbagai pikiran berpacu silih-berganti dalam benak Nirya Panigara. Sambil melangkahi arang dan abu yang berserakan, mata jeli gadis itu menatap sekeliling, seakan mencari sesuatu di tanah.

Beberapa lama kemudian, mata Nirya tertuju pada kilapan cahaya matahari yang terpantul pada sebuah benda. Segera ia bergegas ke dekat kilauan itu. Ternyata benda itu adalah bilah kerambit yang rupanya tertimpa reruntuhan tiang bubungan atap yang runtuh. Nirya berusaha mengangkat tiang itu dengan dua tangan, namun yang bergerak hanya matanya saja yang menyipit dan giginya gemertak. Tiang yang separuh utuh itu masih terlalu berat baginya.

“Mari, biar kubantu.” Sthira langsung maju, dan tanpa menunggu persetujuan Nirya mulai mengangkat tiang itu. Otot-otot lengannya tampak mengembang, suara lenguhan tanda pengerahan tenaga membahana. Perlahan tapi pasti, tiang mulai terangkat dan bergeser ke satu sisi. “Ayo ambil, Nirya!” serunya kemudian.

“Oh?! Oh!” Nirya yang rupanya sedang terpana melihat “pemandangan pria indah” di depannya itu terkesiap seketika, dan dengan sigap mengambil kerambit kembar berantainya dari tanah.  Saat ia bilang “sudah”, Sthira lantas menjatuhkan tiang itu ke tanah. Karena memang sudah agak rapuh, tiang arang itu patah saat membentur tanah.

Si gadis berambut jingga menimang-nimang kerambitnya bagai anaknya sendiri, lalu menyarungkannya.

“Nah, kini aku siap mendengarkan ceritamu,” ujar Nirya saat ia dan Sthira sudah duduk tenang di sebuah sudut, tempat di mana dapur seharusnya berada. “Jadi, berdasarkan kata-katamu di hutan tadi, kau menyeberangi laut dari Kalingga dan mengunjungi Ringidatu tak sekadar berkelana saja, ya ‘kan?”

“Ya.” Sthira melirik kanan-kiri, memastikan tak seorangpun di sekitar yang melihat dan mendengar mereka. Lalu ia memulai penjelasannya, “Nah Nirya, tahukah kau negerimu, Swarnara bahkan seluruh Antapada telah lebih dari sepuluh tahun berperang, dan Perang Besar Antapada masih berlangsung?”

Nirya mengangguk, matanya menyorot penuh dendam saat teringat Badar dan para pengkhianat. “Ya, tapi mungkin aku termasuk segelintir penduduk Ringidatu yang menyadarinya.”

“Tak heran. Hampir semua pertempuran terjadi di laut, dan pihak kerajaan bisa dengan mudah menutup-nutupinya dari rakyat yang hidup tenang di pedalaman.”

“Jadi, apa hubungan perjalanan ini dengan Perang Besar Antapada?”

Wajah Sthira tampak muram. “Aku adalah seorang mantan prajurit. Waktu beranjak remaja, aku direnggut paksa dari rumahku, dipisahkan dari ibuku, seorang janda, padahal akulah yang selama ini merawat beliau. Aku dilatih amat keras di barak tentara. Salah seorang pemimpin pasukan menemukan tenaga dalam berunsur petir dalam diriku, jadi ia melatihku sebagai murid khususnya.”

Nirya menyimak hampir tanpa berkedip.

“Hasilnya, aku menjadi prajurit belia yang amat ditakuti lawan. Entah berapa banyak perahu dan kapal musuh yang kutenggelamkan, hanya dengan mengandalkan pranaku semata. Jasaku amat banyak, jadi dengan cepat aku naik pangkat menjadi Perwira. Namun, makin banyak prajurit yang kuhilangkan nyawanya, teriakan-teriakan nurani dan akal sehatkupun makin keras terngiang.”

“Apa kata suara itu?”

“Intinya, percuma saja aku mengukir jasa. Perang Besar Antapada ini seakan takkan kunjung berakhir. Tiada negeri yang cukup kuat untuk mempersatukan seluruh Antapada. Baik Kalingga, Jayandra, Rainusa, Swarnara, Akhsar, Bethara dan Dhuraga, semua sama kuat dan saling mengimbangi satu sama lain. Kalau keadaan ini terus berlanjut, maka Antapada akan sangat rentan diserbu negeri-negeri lain seperti Jerian, Moshaka, bahkan negeri-negeri besar dan kuat seperti Wushu, Taehon atau Shima.”

Tercenganglah Nirya. Tak ia sangka, remaja pria yang hanya terpaut dua tahun lebih tua dari dirinya ini punya pemikiran yang setara dengan ahli strategi berpengalaman.

Sthira melanjutkan ceritanya, “Semula aku bertekad mendukung Kalingga sebagai pemersatu Antapada. Sesaat setelah dilantik sebagai laksamana, aku pulang ke kampung halaman untuk membawa ibuku tinggal bersamaku di ibukota. Namun sayang, desa dan rumahku telah habis dibakar dan dijarah gerombolan perampok, dan ibuku tewas di tangan mereka.”

Ada rasa sesak di dada Nirya, pertanda ia takkan suka kata-kata berikutnya ini.

Benar saja, Sthira bicara dengan tatapan mata seakan berapi-api, “Penuh amarah, kuserbu sarang perampok sendirian, semua orang di sana kuhabisi tanpa sisa. Sesaat sebelum menghembuskan napas terakhir, si pemimpin perampok menyalahkan perang berkepanjangan yang membuat mereka terpaksa beralih dari petani menjadi perampok. Saat itulah aku sadar, Kalingga sedang digerogoti dari dalam dan amat rapuh, kehancuran mengancam tiap saat.”

“Menatap bekas desaku yang habis terbakar, aku mendapat gagasan baru,” Sthira bicara sambil tersenyum. “Bagaimana bila negeri-negeri lain di Antapada dilemahkan pula dengna cara yang sama, namun jauh lebih dahsyat? Seperti yang kita tahu, di wilayah Kepulauan Antapada ini terdapat gunung-gunung berapi yang letaknya berdekatan dengan pusat negeri-negeri. Nah, andai gunung-gunung itu meletus satu-persatu di waktu yang berdekatan, negeri-negeri yang pusatnya terlanda bencana pasti akan sangat lemah. Pada akhirnya, negeri-negeri besar akan mengadakan gencatan senjata. Perang Besar Antapada berakhir, dan kedamaian terciptalah.”

Tanpa sadar, Nirya menegakkan tubuhnya, menjauh dari pemuda itu. Benak gadis cerdas namun minim pengalaman itu berpacu hebat, mencoba mencerna dan menilai lebih jauh penuturan Sthira ini. Karena bila tidak, kesimpulan Nirya pasti Sthira harus dihentikan. Dan menantang orang yang – katanya – telah menghabisi sepasukan perampok seorang diri ini pasti akan sangat mengerikan, bisa-bisa Nirya bakal kehilangan nyawa seperti lilin dihembus angin.

Apalagi saat Sthira menyampaikan kesimpulannya, “Aku pernah dengar dan baca dari para cendekiawan dan perpustakaan bahwa tiap gunung berapi di Antapada memiliki juru kunci yang masing-masing memegang satu segel aksara gaib. Bilamana aksara gaib itu berhasil direbut dan digunakan untuk membuka segel, maka gunung berapi akan meletus secara tak alami.”

“A-ada berapa gunung yang ingin kaubuat meletus, Sthira?” Suara Nirya makin bergetar.

“Enam atau tujuh, tergantung situasinya.” Nada bicara Sthira terkesan santai, seolah nyawa banyak sekali manusia tak lebih tinggi nilainya dari nyawa prajurit dan kuda perang.

“Tidakkah kau sadar berapa banyak nyawa bakal dikorbankan demi misi ini?” sergah Nirya.

“Ya, kusadari itu. Mengorbankan ribuan demi menyelamatkan jutaan jiwa, hanya itulah satu-satunya jalan,” ujar Sthira mantap. “Nah, karena kau telah tahu rencanaku, giliranku bertanya. Bersediakah kau membantuku dalam misi ini, Nirya?”

Inilah dia. Saat penentuan akhirnya tiba.

Keringat dingin menetes dari kening gadis berambut jingga itu. Nirya sadar, nasibnya kini bergantung dari keputusan yang akan ia buat ini, memilih antara mengikuti nurani atau logika.

Apapun yang akan ia pilih, hidupnya takkan pernah sama lagi.

Keterangan Gambar: Belati Kerambit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!