NovelToon NovelToon

Hanya Bisa Percaya

Canda

"Rekas kecelakaan!" jerit salah satu siswa seraya berlari menyusuri lorong Sekolah.

Teriakan itu sontak membuat seisi Sekolah gempar, mereka berhamburan menuju jalan untuk melihat kejadian kecelakaan itu.

"Nada! Ada apa?" tanya guru.

"Rekas kecelakaan, Bu!"

"Dimana?"

"Di depan, ayo cepat!"

Mereka menyusul paling akhir, di luar sama sudah begitu banyak orang yang mengelilingi Rekas. Anak lelaki itu tak sadarkan diri dengan bersimbah darah, mereka justru sibuk berbisik satu sama lain bukannya membantu korban.

"Permisi, permisi," ucap guru yang menerobos kerumunan tersebut.

"Ya Tuhan, Rekas."

Dengan cepat ia meminta mereka untuk membantu membawa Rekas ke UKS Sekolah, dan segera memanggil ambulan karena lukanya yang pasti serius.

Tanpa perlu menunggu lama karena ambulan pun datang, Mereka ribut ingin ikut mengantarkan Rekas ke Rumah Sakit. Tapi jam pelajaran telah dimulai, sehingga mereka harus kembali ke kelas masing-masing.

Dua ambulance datang bersamaan ke halaman Rumah Sakit, dari dalam sana dua brankar pun turut di dorong beriringan. Rupanya ada dua pasien yang datang diwaktu bersamaan, Rekas dan pasien lainnya dikeluarkan dari ambulan dan dibaringkan di brankar.

"Tolong! Cepat selamat anak ini," ucap guru.

"Anak saya, tolong selamatkan dia terlebih dahulu," sela seorang ibu di sampingnya.

Sedikit keributan terjadi diantara mereka, guru yang ingin anak didiknya selamat dan seorang ibu yang ingin anak kandungnya juga selamat.

Keributan itu membuat kesadaran Rekas kembali, mata Rekas perlahan terbuka dan bisa melihat wajah di sampingnya. Cantik dengan hidung mancung, bulu mata yang panjang dan lentik, juga bibir tipis yang berwarna pink.

Rekas kembali memejamkan matanya, lebih tepatnya kesadarannya kembali hilang. Petugas rumah sakit itu melerai keributan antar guru dan ibu tersebut, mereka mengatakan jika dokter akan menangani keduanya bersamaan, karena ada beberapa dokter yang memang sedang kosong jamnya.

"Ayo segera!" ucap guru.

Brankar yang telah berpenghuni itu kembali didorong memasuki rumah sakit, mereka membawa pasiennya untuk segera mendapatkan penanganan medis.

"Ada apa dengan Anak itu?" tanya ibu tersebut.

"Dia kecelakaan ketika menyebrangi jalan saat hendak memasuki halaman Sekolah."

"Semoga dia baik-baik saja."

"Lalu, ada apa dengan Anaknya?"

Ibu itu tersenyum pilu, membuat sang guru merasa heran sendiri. Benarkah pertanyaan dirinya menyinggung? Atau mungkin keadaannya yang terlalu buruk.

"Anak saya menderita tumor otak stadium 3, dia tidak mau operasi, dia ingin menjalani hidupnya seperti apa yang terjadi saja."

"Ya Tuhan, saya turut sedih Bu."

"Dia begitu keras menolak untuk pengobatan lanjutan, dia merasa jika hidupnya memang sudah harus seperti itu. Dia akan meninggal karena penyakit tersebut."

Ibu itu mendadak terisak, bagaimana bisa pasien berfikir seperti itu, itu terdengar amat putus asa. Guru tersebut berusaha menenangkannya, memberi dukungan jika semua pasti akan ada jalan terbaiknya.

Anak perempuan itu pasti sangat berarti baginya, sama seperti Rekas yang amat disayangi sang guru. Rekas adalah siswa kelas satu yang berprestasi, kerap terlibat dalam kegiatan Sekolah sehingga membuat dia begitu dipandang oleh seisi Sekolah.

Rekas adalah anak pintar, dia aktif dalam olahraga, sejak Rekas masuk ke Sekolah tersebut, suasana Sekolah menjadi sangat menyenangkan.

"Keluarga pasien Anak Sekolah," ucap Dokter.

"Iya, saya Gurunya, Dokter."

"Pasien kehilangan banyak darah, golongan darahnya B, tapi sayang di sini golongan darah tersebut sedang kosong."

"Saya akan hubungi keluarganya."

"Silahkan, untuk setengah jam saja, jangan sampai terlambat."

"Baik, Dokter."

Guru tersebut lantas menghubungi pihak keluarga Rekas, jika saja golongan darahnya sama maka tidak akan berfikir dua kali untuk mendonorkannya.

Tak berselang lama, dokter kedua datang dan memberi informasi jika anak perempuan itu telah sadar dan ingin bertemu. Dengan segera wanita tersebut memasuki ruangan untuk menemui putrinya.

Kebisingan terdengar di kelas Rekas, mereka begitu asik bergibah soal Rekas. Kelas Rekas memang dianggap sebagai kelas urakan tapi taat aturan, saat ini kelas itu sedang lepas dari pengawasan karena gurunya yang sedang mengantarkan Rekas ke rumah sakit.

"Dia fikir dia punya nyawa sembilan?"

"Hey! Kau tidak tahu? Nyawanya justru ada 11."

"Dan dia sedang berusaha menghilangkan salah satu nyawanya?"

Gelak tawa terdengar riang karena celotehan tersebut, itu adalah candaan dari kawanan Rekas sendiri. Rekas memang anak yang menyenangkan, tidak gampang tersinggung, sehingga ia memiliki teman yang asyik juga.

"Kalian fikir usahanya akan berhasil?"

"Tentu saja, bukankah tadi dia tak sadarkan diri? Itu artinya, satu dari nyawanya telah hilang."

"Itu berarti jika nyawanya ada 11, maka sekarang hanya tersisa 10?"

Mereka kembali tertawa masih karena celotehan yang sama, anak-anak yang lain juga ikut menikmati candaan tersebut. Mereka tidak mau berfikir buruk tentang kemungkin jika Rekas meninggal dunia, jadi biarkan mereka menenangkan fikirannya dengan hal-hal bodoh seperti itu.

"Fasya," panggil seseorang di ambang pintu.

Mereka semua menoleh kompak, hingga akhirnya bersorak kompak juga. Itu adalah Naura, Naura adalah kakak kelas mereka sekaligus kekasih Rekas sejak Rekas memasuki Sekolah.

Duduk di bangku SMA bisakah menyebut cinta mereka serius? Tentu saja tidak, hubungan mereka kerap jadi lelucon bagi teman-teman Rekas, ditambah lagi dengan Rekas yang mendapatkan seorang Kakak kelas.

"Bagaimana keadaan Rekas?"

"Wooowww .... Ini luar biasa, tenanglah Darling karena Kekasihmu itu pasti akan baik-baik saja."

"Fasya!" tegas Naura.

"Oke oke oke, santai! Rekas dibawa ke Rumah Sakit sama Bu Mega, kami belum tahu kabarnya seperti apa karena Bu Mega juga belum kembali."

Dengan sedikit berdecak, Naura menghentakan kakinya kesal. Kenapa Naura harus terlambat datang, Naura jadi tidak tahu kejadiannya.

Kawan Rekas tampak saling lirik satu sama lain, mereka tersenyum bersamaan, fikirannya sama-sama menerka jika Naura akan menangis karena pangerannya terluka di sana.

"Apa? Kalian fikir ini lucu? Ahh bagaimana bisa Rekas memiliki teman seperti kalian?"

Naura berlalu dengan kekesalannya, kenapa Naura tidak melihat sedikit saja keperdulian mereka tentang keadaan Rekas saat ini. Naura kerap merasa kesal karena kawan Rekas itu, entah kenapa Rekas bisa nyaman berteman dengan orang-orang seperti mereka.

"Apa gunanya marah-marah seperti itu?" tanya Fasya.

"Mungkin saja dia berfikir dengan begitu, Rekas bisa langsung cliiiinggg ada di hadapannya."

"Dan langsung memeluknya sambil mengatakan, oohh Baby jangan bersedih karena aku baik-baik saja."

Seolah tak pernah habis topik candaan mereka, kelas Rekas selalu ramai gelak tawa setiap kali kosong dari mata pelajara.

Bagi sebagian orang itu mungkin tidaklah benar, tapi bagi satu penghuni kelas tersebut, candaan adalah hal utama yang harus ada dalam setiap keadaan. Bahkan meski keadaan buruk seperti saat ini, merasa khawatir tentu saja mereka rasakan, tapi tidak ada gunanya juga untuk murung apa lagi menangis, toh mereka belum mendapatkan kabar pasti soal keadaan Rekas saat ini.

Bukan Masalah

Naura membuka pintu perlahan, tapi itu tetap saja berhasil mengusik Rekas. Keduanya tersenyum bersamaan, hingga akhirnya Naura duduk di samping Rekas.

"Maaf aku baru ke sini hari ini," ucap Naura sedih.

"Gak apa-apa, bagaimana Sekolah?"

"Mereka berisik sekali membicarakan kamu, apa mereka tidak tahu kalau aku keberatan dengan semua itu."

Rekas hanya tersenyum untuk meresponnya, berada di Rumah Sakit seperti saat ini sangatlah membuat Rekas tak nyaman. Bahkan meski satu hari saja rasanya sudah seperti lama sekali, Rekas tidak terbiasa dengan hanya berbaring seperti itu.

"Bagaimana kata Dokter?"

"Kaki aku cedera, aku tidak bisa beraktivitas seperti biasa."

"Patah tulang?"

"Ringan saja, tapi tetap tidak bisa bebas bergerak."

Naura semakin sedih saja mendengarnya, bukankah Rekas anak baik, kenapa harus mengalami hal buruk seperti itu. Juga, siapa yang melakukan hal bodoh itu, berani sekali dia tidak bertanggung jawab atas Rekas.

"Aku tidak akan semenarik dulu, aku tidak lagi menawan."

"Apa maksudmu? Diamlah!"

"Kamu begitu menyukaiku karena aku keren kan?"

"Rekas!"

Keduanya tersenyum, saat satu bulan Rekas masuk Sekolah, Naura memang langsung terpikat pada adik kelasnya tersebut. Tak perduli meski jadi bahan ejekan seisi Sekolah, Naura tetap keras ingin memacari juniornya itu.

Bahkan bisa dibilang, hubungan mereka selama ini hanya karena Rekas merasa tersentuh atas usaha Naura. Rekas tidak benar-benar menginginkan Naura, dan Naura tahu tentang itu, tapi meski begitu mereka tetap terlihat manis setiap saatnya.

"Keluarga kamu tidak ke sini?"

"Mama baru pulang, Mama di sini semalaman karena memang aku membutuhkan darahnya juga."

"Lekas sembuh, jangan seperti ini lama-lama! Aku sedih."

Rekas kembali tersenyum seraya mengusap kepala Naura, ayolah Naura sudah dewasa dan harusnya tidak perlu manja, tidak perlu lebay juga.

Naura sedikit berdecak, ada beberapa makanan yang dibawanya, sekarang mereka akan menikmatinya bersama. Naura sengaja datang pagi-pagi di hari libur ini, agar Rekas tidak sempat makan dulu, hingga akhirnya mereka bisa makan bersama.

"Aku izin buat 2 minggu ke depan, aku bakal ikut kelas online kayaknya."

"Kenapa? Modeling lagi?"

Naura mengangguk, model adalah cita-citanya dan Naura sudah memulai langkahnya sejak SMP kala itu. Sampai sekarang Naura semakin aktif, dan sudah memulai debutnya sebagai cover majalah.

"Ya sudah, lakukan saja! Tapi harus tetap jaga kesehatan, kabari aku juga."

"Tapi aku juga mau temani kamu saat seperti ini."

"Sudahlah! Aku tidak apa-apa, setelah beberapa hari juga aku akan kembali ke Sekolah, meski pun tidak bisa seaktif kemarin sih."

"Ya tetap saja."

Rekas menghembuskan nafasnya tenang, ini bukan keadaan terburuk dan Naura tidak perlu sampai seperti itu. Lagi pula bukankah modeling adalah mimpi terbesarnya, Naura sudah ada dipertengahan jalan, akan sangat menyesal jika ia gagal nantinya.

"Tenang saja, aku ada teman-teman juga."

"Mereka akan menjahili kamu pasti, kenapa sih kamu harus berteman sama mereka?"

"Sudahlah! Ishh terlalu sering kamu bicara seperti itu, mereka teman aku kok, aku senang berteman sama mereka."

Naura hanya mengangguk pasrah, padahal masih banyak anak-anak yang lainnya, tapi kenapa Rekas justru berteman dengan orang-orang menyebalkan itu.

Selang beberapa saat, ketika makanan telah habis, pintu begitu saja terbuka dan menunjukan kawanan Rekas yang lainnya datang.

"Astaga," gumam Naura malas.

"Hallooo Brooo!," ucap Fasya tengah berteriak.

Mereka bergantian memukuli Rekas, memukul lengan, pundak, bahkan ada yang dengan sengaja menoyor kepalanya.

Sontak saja itu membuat Rekas meringis karena kepalanya memang terluka, Naura spontan memukul tangan itu, tak lupa juga kedua matanya yang nyaris melompat karena memelototi lelaki di sampingnya.

"Galak bener, Bu," ucap Deka.

"Diam! Ga lucu ya!" tegas Naura.

"Sudahlah! Aku gak apa-apa," sela Rekas.

"Bagaimana? Kau baik-baik saja? Kapan balik Sekolah?" tanya Gio.

"Dia ga akan balik kalau kalian masih seperti itu, dia akan tersiksa bareng kalian," sahut Naura.

"Ih apaan? Justru bersama kita, Rekas akan cepat pulih euuuuhh moncongmu itu," sahut Fasya.

Mereka tertawa bersamaan dan itu membuat Naura kesal, kenapa mereka harus datang sekarang? Mereka sangat menganggu waktu berduanya dengan Rekas. Harusnya Naura mengusir mereka saja, mereka bisa datang saja semaunya sedangkan Naura hanya hari ini ia bisa datang.

"Minggu depan Sekolah tetangga nantang adu basket, gimana dong Kas?" tanya Deka.

"Ngapain ditanya, terimalah dan kita kalahkan mereka," sahut Fasya penuh semangat 45.

"Ga bisa," sela Rekas.

Mereka menoleh kompak, kalimat macam apa itu? Apa Rekas menjadi pengecut setelah kecelakaan kemarin, dan satu nyawanya yang hilang telah mematikan keberaniannya juga?

"Omong kosong," ucap Gio dengan sedikit tertawa.

"Kakinya cedera, dia ga bisa bebas bergerak, dia harus istirahat! Makanya jadi teman itu peka sedikit, pengertian!" ucap Naura kesal.

"Kaki? Kenapa kakinya, lumpuh?" tanya Fasha asal.

Naura begitu saja menjitak kepalanya, mereka memang tidak punya perasaan. Kalimat macam apa itu? Apa itu sumpah? Dan Fasya sedang menyumpahi Rekas untuk lumpuh?

"Dia kenapa sih, galak sekali?" tanya Fasya yang hendak balik menoyor Naura.

"Ssss ahh," halang Rekas menepis tangan Fasya.

Fasya berdecak dan menatap Naura dengan jengkel, tapi Naura justru tersenyum meledeknya. Naura merasa senang karena Rekas membelanya, memang harus begitu karena Naura juga sedang membelanya.

"Akurlah! Bisakan? Ribut mulu ngapain? Kamu juga ga usah emosian terus sama mereka," ucap Rekas.

"Naaahh itu memang, gak usah emosian woyy Nona!" ucap Fasya tepat di telinga Naura.

"Diam gak!" sahut Naura seraya mendorongnya menjauh.

Rekas tersenyum seraya menggeleng, entah kapan Naura dan temannya itu akan akur. Mereka selalu saja ribut jika bertemu dan berkumpul seperti saat ini, setidak cocok itulah mereka? Padahal Rekas bisa bersikap baik dan akur dengan teman-teman Naura.

"Jadi gimana? Pertandingannya ditolak?" tanya Gio.

"Dokter menyarankanku untuk istirahat sampai satu bulan," sahut Rekas.

"Seriusan lumpuh?" tanya Fasya.

Secepat kilat Fasya menahan tangan Naura yang hendak memukulnya, Fasya tertawa karena berhasil membuat Naura semakin kesal lagi.

"Lepas ah!" ucap Naura menarik tangannya.

"Diam makanya, ringan tangan kau ini rupanya."

Nada bicara Fasya membuat yang lain tertawa kecuali Rekas, melihat Naura yang kesal seperti itu sedikit membuat Rekas merasa kasihan.

"Ra, sebaiknya kamu pulang dulu saja, nanti malam Mama aku ke sini dan kamu bisa kembali ke sini juga. Mama mau bertemu sama kamu."

"Bertemu? Untuk apa?"

"Mau dinikahin kali," ucap Deka asal.

Naura dan Rekas menoleh bersamaan, bisakah seperti itu? Naura sedikit tersenyum, kenapa tidak kalalu memang benar. Rekas menggeleng dan kembali berpaling, menikah? Bahkan mereka masih anak sekolah, bolehkah memikirkan hal seperti itu sekarang?

"Ih .... Ih ngapain? Ngapain senyum-senyum kayak gitu? Ngarep banget nikah sama Rekas? Iiiih percaya diri sekali kau!" ledek Fasya.

Mereka kompak tertawa, semakin lama Naura justru semakin kesal dengan mereka semua.

Seharusnya Percaya

Rekas berusaha duduk karena merasa pegal berbaring terus, saat ini Rekas hanya sendirian saja, semua teman-temannya telah pergi sejak sore tadi.

"Permisi, bagaimana keadaannya? Ada yang dibutuhkan?" tanya suster yang datang.

"Tidak, tapi bisakah aku keluar sebentar saja? Bosan sekali berada di sini."

"Tapi nanti ...."

"Ayolah Suster, Mama aku baru datang jam 9 nanti."

Suster itu diam, ia lantas mengangguk dan pamit untuk membawa kursi roda terlebih dahulu. Rekas tersenyum senang atas respon baiknya itu, sedikit dan sebentar saja Rekas akan bisa menghirup udara di luar sana.

Sekembalinya suster, Rekas dibantu untuk pindah duduk, Rekas berterimakasih ketika kursi roda itu mulai didorong suster. Taman rumah sakit hanya satu-satunya tujuan Rekas, tidak masalah asalkan ada udara luar juga.

"Kenapa banyak sekali orang yang sakit?" tanya Rekas.

"Mungkin ini keuntungan pemilik rumah sakit juga."

"Suster jadi bisa gajian ya kalau banyak yang sakit gini?"

Suster hanya tersenyum, bukan senang, tapi bukankah memang seperti itu sistem kerjanya di rumah sakit. Rekas melihat satu orang yang duduk sendirian di kursi sana, rambutnya panjang lurus, dengan postur tubuh tinggi dan sedikit berisi.

"Kamu mau di sana juga?" tanya suster.

"Dia siapa? Suster tahu?"

"Dia Priska, sudah sering dia ke sini tapi tidak juga mendapat perubahan atas kondisinya."

"Sakit apa?"

"Tumor otak, Dokter sudah menyarankan untuk operasi akan tetapi dia selalu saja menolak. Orang tuanya bilang kalau dia sudah putus asa untuk hidupnya sendiri."

Rekas menyipitkan matanya, itu memang terdengar mengerikan, bukankah itu salah satu penyakit yang mematikan juga. Tapi apa salahnya mencoba jika dokter saja masih mau berusaha, hidup hanya tentang perjuangan, segala sesuatu akan terwujud setelah diperjuangkan.

"Dia selalu seperti itu setiap kali ada di sini, melamun sendirian. Bahkan dia menolak untuk ditemui keluarganya, dia akan bertemu mereka setelah Dokter mengizinkannya pulang."

"Kalau aku kesana, bisa saja dia juga mengusirku."

"Entahlah."

Rekas kembali diam, tapi saat lagit gelap seperti ini rasanya cukup sedih untuk menyendiri, lagi pula banyak orang di tempat tersebut. Rekas melirik suster dan meminta meninggalkannya saja, Rekas akan meminta bantuan nanti kalau memang diperlukan.

"Permisi."

Rekas mengangguk dan membiarkan suster itu pergi, perlahan Rekas menggerakan kursi roda dengan tangannya. Mendekati wanita di sana yang sepertinya amat terpuruk karena kondisinya sendiri, Rekas tersenyum ketika wanita itu menoleh kearahnya.

"Pergilah!" ucapnya tanpa basa-basi.

Rekas mengernyit, wajah itu, hidung itu, bibir itu, bahkan bulu mata lentik itu. Rekas memejamkan matanya sesaat, itu pernah dilihatnya kala itu, tapi dimana?

"Pergilah! Pergi!" ulangnya.

Rekas mengangguk, itu adalah wajah yang dilihatnya saat pertama Rekas datang ke rumah sakit.

"Pergi!"

"Kamu membenci semua orang karena kondisimu?"

"Aku hanya memintamu pergi!"

"Keadaanku juga sama menyedihkan, aku memiliki dua kaki tapi aku hanya bisa duduk di kursi roda seperti ini."

Sesaat wanita itu melihat kaki Rekas, kemudian berpaling tanpa perduli apa pun juga. Meski reaksinya buruk, Rekas justru semakin mendekatinya.

"Priska, itu nama kamu?"

"Pergilah!"

"Tidak ada gunanya seperti itu, kesempatan sembuh masih besar untukmu."

"Kamu tidak tahu apa-apa, jangan banyak bicara dan pergilah cepat!"

"Kamu tidak punya teman? Mungkin itulah alasannya kamu begitu mudah putus asa."

Wanita itu mulai kesal dengan sosok Rekas, berulang kali ia menyuruhnya pergi tapi kenapa lelaki itu terus saja berbicara. Rekas mengangguk saja, apa mungkin tidak ada suport untuknya sama sekali?

"Bagaimana kalau kita berteman? Aku Rekas, aku masih sekolah, masih kelas satu juga. Kalau kamu?"

"Kamu sudah tahu namaku."

Rekas sedikit tertawa, kenapa cuek sekali wanita itu. Mereka sedang berbicara akan tetapi wanita itu tidak melihatnya sama sekali, biarkan saja selagi dia bisa menjawab ucapan Rekas.

"Ini kabar buruk buatku, aku tidak bisa menggunakan kakiku sebebas dulu. Kamu tahu? Aku adalah orang yang begitu aktif dalam segala hal, aku tidak bisa diam selagi aku terbangung. Dan ini sangat mengecewakan aku."

"Kamu bisa tetap hidup meski tanpa kaki, kakimu tidak mengancam nyawamu."

"Kamu tahu, hidup adalah perjuangan! Seburuk apa pun keadaan saat ini, selagi kamu hidup .... Selagi kita hidup, maka perjuangan tidak boleh berhenti."

Priska menoleh, menjengkelkan sekali lelaki di hadapannya itu, dia merasa paling tahu tentang keadaannya saat ini. Lelaki itu hanya sedang menunjukan lelucon padanya, Priska sama sekali tidak menyukainya.

"Aku pernah kehilangan temanku karena tumor otak, sewaktu aku kecil dulu, dia begitu lemah dalam hidupnya setelah mengetahui penyakitnya itu."

"Pada akhirnya dia mati."

"Kamu benar, dan Tuhan memberiku pengganti yang sama. Seorang teman yang juga menderita tumor otak, bedanya temanku yang baru itu tetap semangat menjalani hidup meski penyakit mengancamnya."

"Pada akhirnya dia juga mati."

"Dia ada sampai sekarang, dia satu Sekolah denganku juga."

Priska mengernyit, saat itu pula Rekas tersenyum seraya mengangguk penuh keyakinan. Priska tersenyum acuh, semua masih tetap saja omong kosong, apa Priska harus mendorong kursi rodanya agar lelaki itu pergi dari hadapannya.

"Dia percaya Tuhan, dia percaya tangan Tuhan ada pada Dokter yang merawatnya. Dia yakin dengan segala keajaiban Tuhan, dan semua itu berhasil mengembalikan dia pada keadaan terbaiknya."

"Pergilah!"

"Jangan menyerah!"

Priska kembali melihat Rekas, lelaki itu kembali tersenyum manis padanya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini selagi manusia itu percaya dengan kemungkinannya, hidup dan mati seseorang memang tidak ditulis jadwalnya oleh manusia, tapi Tuhan mengetahui segalanya.

"Bertahanlah! Kamu masih muda, percaya pada Tuhan dan percaya pada tangan Tuhan!"

"Kamu terlalu banyak bicara."

"Karena kamu tidak mau mendengarkan aku, sehingga hatimu merasa seperti itu."

Keduanya terdiam, Rekas tidak mau siapa pun menyerah dalam hidupnya. Priska yang memang tidak dikenalnya, tapi Priska juga manusia hidup, Rekas ingin Priska juga semangat menjalani hidupnya saat ini.

"Orang-orang didekatmu pasti terluka melihatmu seperti ini, beberapa atau bahkan mereka semua pasti berharap kamu sehat kembali. Sama seperti dirimu yang kecewa dengan kondisimu, mereka jauh lebih kecewa karena kamu yang menyerah sebelum berusaha."

Tak ada jawaban, Priska hanya diam saja menatap Rekas, meski sesekali Priska meneliti kondisi Rekas, tapi kemudian kembali pada wajah manis itu lagi. Rekas tersenyum seraya mengangguk, semoga saja ucapannya bisa sedikit membantu mengembalikan semangat Priska untuk melawan penyakitnya.

"Masuklah! Temui Dokter yang siap membantu menyelamatkan hidupmu! Bicara dengannya dan mintalah bantuan untuk kesehatanmu dihari esok! Permisi."

Rekas melambaikan tangannya ketika melihat suster tadi di sana, dengan bantuan suster itu, Rekas meninggalkan Priska kembali sendiri di kursi sana.

Priska menatap kepergian Rekas bersama suster tersebut, dia bisa berpindah tempat karena bantuan tangan orang lain. Dan mungkin Rekas akan selamanya duduk di kursi roda seperti itu, sedang Priska masih bisa berjalan bebas dengan kedua kakinya itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!