Decitan lantai bersautan satu sama lain.
Suara gaduh terpantul dalam ruangan besar. Sudah jam 5 sore, para anak muda tak kunjung pulang juga. Asiknya bermain basket membuat mereka lalai nan tak ingat waktu.
“Ren! Oper ke gue!”
Perempuan berambut panjang dengan gesit mendribble bola basket menuju Ryan, teman satu team. Wajahnya berpeluh keringat tak ia pedulikan.
Renita Faradila. Perempuan maniak olahraga. Segala jenis olahraga nya ia taklukan, dari yang mainstream hingga ekstrem.
Untuk mencapai semua itu tak semudah yang dibayangkan, di usia belia nya saja sudah disuguhi macam olahraga beladiri, macam taekwondo dan karate.
Bertambahnya usia, mulailah dengan aneka permainan olahraga dan Atletik.
Bakatnya ini benar-benar langka. Jika pun ada, mungkin hanya dua atau tiga orang saja. Bakat menguasai berbagai olahraga adalah aset satu-satunya prestasi yang ia miliki.
Namun namanya juga manusia pun tak luput dari kekurangan. Dalam hal pendidikan, materi akademik adalah kelemahan baginya.
“Hoi! Jangan ngelamun lo.” Teriak Reni bercanda pada Ryan.
Hap.
Ryan menangkap sempurna bola yang di oper ke udara dari Reni. Tak membuang waktu, ia men shoot bolanya ke dalam ring.
“Udahan yuk. Lanjut besok aja.” Ujar cowok tampan bertubuh jangkung, Aria.
Ia memutuskan ke pinggiran guna meraih Tumblr hitam milik Reni.
“Gue tunggu di parkiran." Aria menepuk punggung Reni pelan. Cewek itu hanya mengangguk.
“Bagi minum dongggggsss.” Bagas nyelonong tanpa ijin merebut Tumblr yang ada di tangan Reni.
“Iihh lo mah gitu! Balikin punya gue gas.”
Bagas tak memperdulikan ucapan Reni yang nyolot. Tengah asik meneguk membasahi kerongkongan yang kering.
plaakkk
Bagas mengaduh kesakitan, tangannya mengusap kepala yang barusan di gaplok oleh Reni. “Awshhh! Sakit ****. Ganas amat lo kek ulet bulu.”
“Yee lo tuh kek monyet. Ngambil minum orang sembarangan.” Kata Reni tak terima.
“Neeh gue balikin. pelit amat. Awas tuh kuburannya sempit.” Bagas mengembalikan Tumblr milik Reni. cewek itu menerimanya.
kaya ada yang aneh. kok Tumblr nya ringan gini. perasaan tadi berat kok.
“ASTAGA BAGAS! KENAPA LO ABISIN SEEHH?!!! LHA GUE NANTI MINUM APAAN COBA?!!”
Bagas menepuk jidatnya seraya tertawa. “Ah masa sih sampe abis?”
“BOTOL NYA ENTENG GINI, PASTI DIHABISIN SAMA LO KAN? SIAPA LAGI COBA?!”
“Ahaahahahahaha, gue suka lupa kalo minum pake botol orang. bawaannya pen abisin Mulu. sorry dah.”
Reni berdecak kesal. “Awas lo ya! Bakal gue bales perbuatan lo.” Tangannya menuding ke muka Bagas.
sang empunya hanya cengengesan tak jelas. Lalu ia meraih tasnya kemudian menyampirkan ke bahu kanan.
“Maap deh. Entar gue gantiin elah. 10 kali lipat dah janji. Gue pulang dulu sayang.” Tangan Bagas menepuk pucuk kepala Reni lembut.
“Sayang sayang pala lo peyang! Sono lo jauh-jauh.” Ketus Reni. Lagi-lagi Bagas tertawa karenanya.
“Yuk keluar. Debat mulu.” Ajak Ryan pada Reni.
“Sebentar dong. Gue ambil tas dulu.” Cewek itu bergegas menuju meja yang ada tas nya.
langkah dipercepat menyusul Ryan yang berada di ambang pintu. Reni menepuk punggung Ryan. “Ayo.”
"Ayo kemana dah?”
“Lha katanya mau pulang,”
“Kata siapa?”
“Udah deh. Lo lama-lama kek Bagas ye. nyebelin.”
Ryan tertawa keras. “Kocak giling ahahahah.”
“Yodah ayo,” Lanjutnya.
mereka berjalan beriringan menuju parkiran.
Play's song: a part of me
Pemuda tampan itu setia nangkring di motor jupul nya. Kaki kirinya sengaja dinaikan. Menunggu seseorang yang katanya ingin nebeng bersama.
“Ah si Reni mana sih?Lama amat kek bekicot.” Aria tak suka membuang-buang waktu. Setelah selesai latihan basket, dirinya ingin segera tiba dirumah dan langsung mandi kemudian belajar. Namun tidak untuk hari ini. Gadis maniak olahraga telah menyita waktunya.
Menunggu 10 menit sudah akhirnya Reni tiba juga diparkiran bersama Ryan. Sepertinya mereka sedang bergurau. Reni tertawa lepas saat Ryan mengatakan sesuatu. Entah dia mengatakan apa.
“Gue duluan ya Yan. Bye emmmmuach.” Ujar Reni lebay ala-ala kissbye. Ryan menanggapinya dengan bergidik jijik.
“Aria! Udah ayo pulang. Buru dah.” Cewek itu menghampiri Aria.
Aria berdecak kesal. “Ngaret sih lo. Kebiasaan banget. capek gua nunggunya tau.”
Reni tertawa ringan, “Yailah. Ketimbang 10 menit doang kok rempong. Lebay deh.” Tangannya seolah-olah ingin meraupkan ke muka Aria yang datar-datar banget.
"Udah deh Ren. Usah mulai tengilnya." Aria gelagapan akan tangan Reni yang meraup ke wajahnya.
“Ahahahaha. ” Reni tertawa puas. Membuat Aria kesal salah satu hobinya.
Reni langsung membonceng ke jok belakang motor Aria. Motornya tak mewah, sederhana saja. Aria tipikal cowok yang simpel dan tak mau mengumbar kekayaan milik orangtuanya.
Ketika baru saja tiba di gerbang utama sekolah, Reni tak sengaja melihat ke arah lapangan utama, ada sesuatu disana.
Reni memicingkan matanya untuk melihat agar lebih jelas. Ada seseorang disana.
Siapa sih dia? Jam segini masih ada siswa disekolah? Di ikut ekskul? Batin Reni bertanya.
Langkah seorang siswa itu gontai. Seperti orang habis berantem. Tapi tak ada luka ataupun lebam. Aneh...
Siswa maupun siswi yang pulangnya sampai jam 5 sore hanya ekstra basket. Namun di lapangan basket, Reni tak melihat orang itu.
Wajahnya asing, baru kali ini Reni melihatnya. Dia siapa?
“Ren!”
Reni terlonjak kaget. Panggilan Aria membuatnya tersadar dari pikirannya. Ia memukul helm Aria. “Lo ngagetin banget sih.”
Aria tertawa, “Nge halu terus. Gue tau real life lo gak seindah Jesica Mila, makanya syukuri aja udah.”
“Pala lu halu! Gue cuma lagi mikir. Emang nya Lo, gak pernah mikir!”
Lagi-lagi Aria tertawa geli, “Bisa aja ngomong lo. Gak usah terlalu jujur juga kenapa."
“Iya dong jujur. Kalo boong dosa. Gue gak mau ya banyak dosa kek lo.” Ujar Reni.
“Enak aja. Gini gini gue alim banget. Jangan salah lo.” Kata Aria tak terima.
Reni mencibir, “Nyenyenyenye,”
Aria tertawa bersama Reni. Bercanda dan mengobrol sepanjang perjalanan.
Tak terasa senja mulai meredup. Cahaya jingga perlahan hilang di makan waktu.
Adzan Maghrib berkumandang. Hiruk pikuk jalanan perlahan sepi. Menghormati lantunan adzan.
“Ren, ke masjid dulu yah.” Ajak Aria.
“Yaudah lah gas keun.”
Aria membelokan stang motornya ke masjid di alun-alun. Tak baik jika suasana Maghrib ini masih tetap menyetir, ada baik nya jika berhenti sejenak.
Orang dewasa berbondong-bondong memasuki masjid. Tak lupa dengan anak kecil yang berseliweran di depannya.
“Gue ke sana dulu Ar.”
Aria mengangguk. Melepas helm nya, tangannya kemudian menyisir jambul indahnya.
Reni sudah hilang dihadapan Aria. Pasti sudah ke tempat wudu. Tak membuang-buang waktu, cowok itu menuju tempat wudu pria.
📌📌📌
Play's song: Heart Attack
“Udah Sono pulang.”
“Eh malah ngusir, terimakasih kek.”
Aria telah mengantar Reni sampai rumahnya. Keberadaan kosnya terpaut jauh dari lokasi sekolah. Sekitar 7 kilometer. Sedangkan kediaman Aria sendiri hanya 3 kilometer dari sekolah. Otomatis Aria bolak-balik mengantar setelah mengantar Reni pulang.
Tapi, itu tak masalah baginya. Lagi pula kebaikan Reni jauh lebih besar ketimbang mengantar pulang. Aria menjadi sosok yang lebih baik juga karena Reni. Gadis itu telah membawa nya dari ancaman sang mama. Harus juara basket ditingkat provinsi. Atas bantuan Reni, alhasil ia mencapai apa yang ditargetkan.
Bukan hanya itu saja, ada perlakuan baik Reni kepadanya.
Walaupun Aria tipikal cowok yang tak suka membuang-buang waktu, ia rela untuk mengesampingkan prinsipnya demi Reni. Wait, bukan berarti Aria menaruh rasa terhadap Reni, hanya saja baginya Reni adalah penyelamat hidupnya dari masa kelam. Cowok itu menganggap Reni sebagai adiknya.
“Udah malem elah. Katanya lo gak suka buang-buang waktu. Makanya pulang sana.” Ujar Reni.
“Y.”
“Hidihh sok singkat banget bahasa lo. Kek betina kalo ngambek.” Reni mencibir.
Aria tertawa, “Hahaha, Udah ah. Males.”
Aria kembali menyela motornya hingga berbunyi. Menarik gas perlahan. Ia kembali menatap Reni,
“Gue pulang. Awas aja kalo kangen.” Ujar Aria bercanda.
Reni bergidik, “Hi sorry kalee. Siapa lo?”
“Gak ada faedahnya lama-lama disini. Oke gue cabut. Bye..” Aria melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Begitu pula dengan Reni, ia membalas senyumannya. Perlahan jejak Aria menghilang.
Reni memasuki kos-kosan nya. Tempat tinggal asalnya berada di kota Semarang. Makanya ia memilih ngekos. Sudah hal biasa baginya jika tak didampingi orang tua, toh dari kecil sifat kemandiriannya sudah tertanam.
“HALO EPERYBADEEHH.” Teriak Reni memasuki kamar. Disana terdapat teman perempuan nya sedang berbaring di kasur milih Reni.
“Woe enak banget rebahannya. Kasur siapa itu woi?!!” Ujar Reni tak terima.
“Mandi dulu sana lo! Bau sepiteng banget *****.” Ledek Wila tak melihat ke Reni. Takut masker mentimun nya pada jatuh.
“Wah sekate-kate Lo ya... Udah numpang juga, songong banget.” Reni melempar tasnya ke muka Wila. Iseng niatnya.
“IIIHHHH RENI BAU KAMPRET HUAAA! SIALAN LO!” Teriak Wila kesetanan. Tubuhnya langsung bangkit dari rebahannya, matanya melotot.
Reni langsung ngibrit ke kamar mandi sambil terkikik. Menghindari amukan Wila yang seperti Mak lampir.
“Masker gue rusak ihhhh. Sialan reni! Awas aja lo.” Gumam Wila sambil mengelus dadanya sabar.
****
PLAAAAKKK
Seorang lelaki baru saja ditampar oleh seorang lelaki juga. Pakaiannya lusuh, napasnya tersengal karena mendapat serangan tamparan.
“Lo mau jadi apa?! Apa-apa serba gak bisa! Gak berguna!”
Lelaki itu mengeluarkan cemoohan terhadap seorang yang berpakaian lusuh. Ia geram nampaknya, “Pergi lo sialan! Pergi dari hadapan gue!”
“PERGI GUE BILANG!”
Ia tersentak. Segera berdiri dan berjalan tertatih-tatih menghindari lelaki itu. Ia berusaha mungkin menahan air mata agar tak menetes.
Dada nya sesak, mendapat kekerasan selalu membuat batinnya terganggu.
Lelaki itu menuju kamarnya. Tempat untuk mencurahkan emosi nya. Kesendirian dalam hidupnya membuat mati rasa.
Lampu kamar sengaja dimatikan, hanya cahaya rembulan yang menyinari melalui celah jendela.
“Arghhhhh...!!!!!”
Lelaki itu mengusap wajahnya gusar. Mencambik rambutnya greget. Dadanya sesak. Perasaan ingin memberontak tak kuasa menguasai dirinya, lagi-lagi rasa takutnya kambuh jika ingin melakukan itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!