NovelToon NovelToon

Tetangga : Cinta Orang Kantoran Part 2

Awal Yang Tragis

Alkisah, cerita ini mengenai Andra dan Asmara yang selama 10 tahun sudah bertetangga, tapi tidak terlalu saling mengenal satu sama lain, padahal rumah mereka berseberangan. Banyak faktor yang membuat mereka jarang mengobrol. Di antaranya kesibukan di kantor dan mereka berdua memang jenis yang introvert. Padahal kedua anak mereka berteman karib sejak TK, dan suami-istri mereka lumayan supel dengan warga sekitar.

Pertama kali Andra mengobrol dengan Asmara dimulai sekitar 3 tahun yang lalu. Di suatu kejadian serius, yang menghebohkan masyarakat Komplek Grand Padmasari Asri.

Pagi itu sebelum ke kantor, pria itu menekan bel pagar rumah Asmara.

Kala itu, istri Andra sedang seminar di luar kota, di Bandung, tepatnya, di sebuah hotel bintang 5 daerah Ciumbuleuit, yang kamarnya semalam bisa lebih dri 3 jutaan.

Asmara, yang memang sedang ada di dalam mobilnya yang mesinnya sedang dipanaskan, ia juga sedang bersiap-siap ke kantor pagi itu, terkejut melihat sosok tinggi dengan kulit sawo matang dan tubuh proporsional ada di depan pagarnya. Namun yang menarik perhatian, pria itu berwajah muram, tidak seimbang dengan sosok menawannya.

“Ya Pak Andra?” Dengan canggung, Asmara keluar dari mobilnya dan menghampiri Andra. Andra tampak tersenyum tipis saat melihat wanita berambut coklat dan di blow melingkar itu. Penampilan Asmara memang selalu elegan.

“Saya boleh bicara dengan ibu sebentar?”

Ada nada tegas dan penuh arti dalam kalimat itu.

Asmara merasakan firasat buruk.

“Saya… matikan mesin mobil dulu ya Pak,”

“Tidak usah Bu, biarkan mesinnya menyala agar bisa mengaburkan obrolan.” cegah Andra.

“Eh? Bagaimana Pak?” Asmara tidak mengerti maksud Andra

Tangan Andra melambai, mengisyaratkan Asmara agar mendekat.

“Suami kamu… dinas ke Bandung?” tanya Andra.

“Hm.. i-i-iya Pak, kok bapak tahu?” Asmara berpikir sejenak apa maksud dari pertanyaan Andra.

“Nama hotelnya apa?”

“Nama hotel tempat suami saya menginap?”

“Iya.”

“Padma Hotel.”

dan Andra pun terdiam.

Tapi sesaat kemudian dia menghela nafas dan memalingkan pandangannya ke sekitar komplek. Beberapa warga yang lewat menunduk padanya memberi salam singkat. Beberapa lirik-lirik ingin tahu tentang sosok pria itu.

Rumah Andra dan Asmara berada di gang buntu, paling pojok, tapi Andra membuatkan sebuah pintu kecil untuk akses jalan pintas ke pasar terdekat dan Mushola. Jadi banyak sekali warga yang lalu lalang di sekitar mereka.

Pak Andra yang misterius, jarang terlihat namun sumbangannya untuk kegiatan komplek selalu besar. Tahun lalu ia bahkan membiayai umroh ibu-ibu pengajian di masjid komplek. Sikapnya yang bersahaja dan cenderung pendiam itu memang selalu menjadi gosip hangat para emak-emak berdaster yang kerap membeli sayuran di pasar terdekat.

Ada yang bilang kalau dalam sebulan bisa bertemu beliau lebih dari 3 kali, pertanda baik bisa jadi mau menang arisan.

“Ada apa ya Pak?” Asmara bertanya lagi.

“Bu Asmara, bisa jadi ini hanya firasat buruk saya, tapi tidak ada ruginya kalau kita lakukan.”

“Kita lakukan? Lakukan apa?”

"Saya membeli kamera pengintai untuk Bu Asmara.”

“Hah?!”

“Model canggih yang gambarnya jelas, ukurannya micro, menggunakan satelit dan bisa terhubung di android.”

“Saya pakai iphone Pak,”

“Nanti saya belikan yang android. Saya minta kamera itu dipasang di sudut tertentu tanpa sepengetahuan Pak Adit, boleh?”

“Tanpa sepengetahuan suami saya?”

Andra mengangguk serius.

“Ada apa ini sebenarnya Pak?”

“Jadi…” Andra tampak tegang saat menatap Asmara. “Istri saya juga seminar di Bandung, ia menginap di hotel Padma. Saat saya hubungi kantornya, katanya istri saya mengajukan cuti dan belum ada program seminar untuk bulan ini.”

Tadinya, Asmara juga seperti Andra. Berpikiran positif dulu. Mungkin saja memang kebetulan hotelnya sama, atau ada perubahan mendadak dari kantor. Namun yah…

Yang namanya bangkai pasti akan tercium juga, dan proses tercium busuknya biasanya cepat.

Kamera itu akhirnya dipasang di dashboard mobil Adit, suami Asmara.

Dan beberapa kali menangkap adegan mesra Adit dengan Mutia, istri Andra.

Dua tetangga itu… selingkuh. Menjalin hubungan terlarang di belakang Andra dan Asmara secara diam-diam.

Setelah itu, mereka tidak saling mengobrol lagi. Yang ada adalah kesibukan bolak-balik antara Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, dan kantor Pengacara.

Kali kedua Andra dan Asmara bertemu dan mengobrol lebih dari 15 menit adalah… saat ini. Saat diadakan rapat wali murid untuk penyuluhan minat bakat bagi SMA Pilihan anak-anak mereka. Saat ini status mereka sudah Duda dan Janda, dengan hak asuh anak jatuh ke tangan mereka.

“Pak Andra,” sapa Asmara.

“Bu Asmara,” sapa Andra.

“Jadi… katanya Revan pacaran sama Kitty,” itu kalimat pembuka dari Andra.

“Hem.” Asmara tersenyum sinis.

“Ibu setuju?”

“Mereka masih terlalu kecil, dan lagi Kitty akan masuk SMA Unggulan.”

“Revan juga akan saya masukan ke Sekolah Internasional.”

“Jadi mereka harus fokus dengan pendidikan dahulu kan?”

“Mereka tampaknya sudah pacaran sejak awal SMP, tapi nyatanya tidak berpengaruh ke prestasi mereka.”

“Tampaknya Pak Andra menyetujui aksi itu? Percintaan anak sekolahan? Kita berdua pernah sama-sama dikecewakan oleh cinta dan hal itu mengganggu mental dan psikis kita berbulan-bulan Pak. Pak Andra mau anak-anak bapak sekolahnya terganggu karena cinta-cintaan?”

Berbagai kecaman datang bertubi-tubi menyerang Andra. Sesuatu yang membuat pria itu tercengang karena ia belum pernah mendapati Asmara bicara lebih dari 10 kata.

Asmara berubah sejak perceraian itu. Sejak ia dikhianati suaminya.

Ia jadi lebih tegas, apalagi ia kini harus memenuhi kebutuhan hidup sendirian.

“Bu Asmara juga tahu hal ini sejak lama kan?” Andra memiringkan kepalanya sambil tersenyum. Berbeda dengan Asmara, sejak perceraian, Andra malah lebih supel. Ia memang masih membatasi diri dengan kumpul-kumpul tak berguna, tapi ia jadi sering menyapa banyak orang dan lebih murah senyum.

Karena sifat itu yang diprotes mantan istrinya sejak dulu dan diungkit lagi saat di pengadilan. Andra terlalu monoton dan pendiam. Pria yang dianggap tidak menarik walau pun wajahnya lumayan ganteng. Karena itu sang mantan mencari ‘tantangan’ dengan pria lain.

“Saya tahu mereka lumayan akrab, dan Revan mencium bibir Kitty minggu lalu,.” kata Asmara. “Tapi bukan berarti mereka boleh pacaran, tidak sejak saya yang membiayai semua kebutuhan Kitty, Saya ibunya, orang yang melahirkannya, saya berhak mengatur anak itu sampai dia cukup mandiri!”,

Andra sempat tertegun sesaat. ia berpikir kenapa Asmara tiba-tiba emosi.

Jelas, kalau tadi malam Asmara dan anaknya, Kitty, baru saja berdebat membicarakan hal ini, dan hasil akhirnya tampaknya tidak bagus. Jadi suasananya masih terbawa sampai pagi. Dan sialnya, Andra malah mengungkit hal ini.

“Hm… alasannya karena pendidikan? Atau karena… Revan anak adopsi?” pertanyaan yang langsung menghujam hati Asmara.

Andra langsung bisa membaca maksud Asmara yang sebenarnya.

Dan Asmara menarik nafas berat berusaha mengendalikan dirinya agar tidak meledak.

Andra pun melanjutkan argumennya. “Bu Asmara dari dulu tidak protes dengan kedekatan mereka, jadi saya pikir Ibu merestui mereka. tapi semuanya berubah saat hak asuh Revan dibacakan, sejak itu sikap ibu ke Revan sedikit berubah.”

“Saya perlu memutuskan hidup terbaik untuk anak saya.”

“Revan juga anak saya, pengadopsiannya sah menurut hukum negara.”

“Tetap tidak. Titik. mereka masih kecil, dan saya tidak sanggup untuk menanggung beban psikis yang lebih besar lagi dengan hal-hal tidak berguna seperti ini!” sahut Asmara.

Suaranya cukup kencang, sehingga mengundang perhatian beberapa orangtua murid. Bahkan salah satu guru menghampiri mereka.

Asmara mendengus kesal sambil membalik tubuhnya menuju parkiran mobil.

Andra hanya menatap punggung Asmara dengan sendu.

Sebenarnya ia sendiri setuju dengan keputusan Asmara, bahwa anak mereka belum pantas pacar-pacaran. Tapi ia melihat ada indikasi lain dalam sikap Asmara, dan benar saja.

Tapi sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan terang-terangan melarang Revan. Ia cukup percaya diri kalau anaknya itu tahu batasan.

“Om Andra?” Kitty menarik-narik lengan kemejanya. Gadis 15 tahun itu tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Entah sejak kapan Kitty mendengarkan obrolan Andra dan Mamanya.

“Hey,” sapa Andra. Kitty mengambil tangan kanan Andra dan mencium punggung tangan pria itu.

“Aku nggak apa-apa kok Om. Mama masih trauma dengan percintaan. Aku yang salah sudah mengakui hal yang membuatnya makin gusar.” kata Kitty.

Ya ini juga yang membuat Andra cukup santai, Sifat Kitty tidak sesuai dengan usianya, anak itu bisa berpikiran selevel orang dewasa.

“Memang kenapa ya kalau Revan tidak sedarah dengan saya? Saya tetap ayahnya.” kata Andra merasa sedikit sakit hati.

“Mungkin nasabnya jadi tidak jelas, Om. Tapi sejak kapan Mama peduli dengan nasab ya? Menurutku dia masih trauma saja.”

“Kitty, putus saja dengan Revan ya? Kalau kalian lulus sekolah, baru saya izinkan menjalin hubungan lagi.”

“Jadi jatuhnya ‘break’ nih Om?”

“Soalnya… biaya sekolah Revan mencapai 300juta pertahun. Dia juga harus ikut banyak kegiatan. Saya mau mempersiapkannya untuk menjadi penerus perusahaan. Dia harus fokus agar bisa… membanggakan orang tuanya dan membahagiakan istrinya kelak, hehe.”

“Ih Om, udah main istri-istri aja. kita nih masih 15 tahun loh Om. Om Andra aja cari istri lagi sana… ibu-ibu komplek tiap hari ngegosipin Om Andra terus.” kata Kitty sambil berlalu dari sana.

Dua Sejoli

“Ayang Mbeb, ayang mbeb…” Kitty memeluk lengan ‘pacarnya yang tak direstui kedua orang tua’. Revan si cowok populer. Jago olahraga. Semua dia bisa dari lari, pencak silat, sampai basket. Siswa terbaik sekolahnya, dan secara penampilan lumayan menawan. Yang bisa mengalahkannya hanya ayahnya sendiri.

“Pasti mamah kamu tantrum lagi ya?” tebak Revan sambil mendrible-drible bola basketnya, yang sudah ditandatangani teman-teman se-klub basket, yang berjanji suatu saat akan bertemu kembali di lapangan basket tak terhalang kesibukan dan aktvitas baru mereka.

Janjinya… entahlah kenyataannya.

“Hum…” Kitty membenamkan wajahnya ke bahu pacar Cinta SMP-nya. Ikatan mereka tidak sedangkal itu, Kitty menghabiskan masa anak-anaknya bersama Revan, sejak mereka masih TK. Ngaji bareng, petak umpet bareng, main latto-latto bareng, ngambek juga barengan. Awalnya seakan Kitty memiliki kakak dan Revan memiliki adik, hingga tiba-tiba Revan tidak ingin Kitty berteman dengan cowok lain, dan Kitty pun sering ngambek kalau Revan mengobrol dengan anak perempuan lain.

“Malah disuruh break…” gumam Kitty kesal.

“Oh.” Revan kembali mendrible bolanya.

“Kamu kayaknya tenang-tenang aja?!”

“Udah tahu Ayah akan ngomong begitu sih. Tapi kan rumah kita depan-depanan, beb. Mau dihindari juga kita bakalan sering ketemu-”

“Ape Lo Liat-Liat Cowok Gue?!” sembur Kitty tiba-tiba ke arah kumpulan cewek-cewek yang sibuk cekikikan sambil ngeliatin Revan.

“Kittyyyyyy…” desis Revan memperingatkan Kitty. Cewek ini memang suka tiba-tiba ‘jegerr!’ kalau melihat ada cewek ber-indikasi flirting ke Revan. “Kaget ah, diemin aja kenapa sih?”

“Ya mereka ngeliatin kamu terus. Berharap kita putus kayaknya!”

“Ikatan kita tidak sedangkal it- Lo Nyari Musuh Hah?!” sembur Revan ke segerombolan cowok yang suit-suit ke Kitty.

“Apa sih Beb?!” desis Kitty sambil mengernyitkan keningnya.

Revan masih nunjuk-nunjuk gerombolan cowok tadi, kelihatannya adik kelas. Kitty memang manis dan idaman hampir semua cowok disekolah, soalnya. “Berani lo ngeliatin Cewek gue?! Nih Bogem gue ke cong-”

“Beeeebbb!” Kitty menggeret Revan dan bolanya ke ruangan yang tidak banyak manusianya.

“Udah kubilang kemeja kamu jangan ketat gitu! Mau pamer dada hah?!” omel Revan ke Kitty.

“Ini nggak ketat Beb, aku emang gendutan! Namanya juga masa pertumbuhan!”

“Jangan kebanyakan makan coklat, kalo cubby kamu jadi makin manis! Aku capek maki-maki fans kamu setiap tikungan ada!”

“Ya sama aja! Aku juga capek karena kamu terlalu perfect jadi idola cewek-cewek! tiap detik ada yang kedip-kedip mata! Nggak tua nggak muda!”

Lalu mereka terdiam.

“Nggak bisa nih…” Revan menggelengkan kepalanya.

“Iya, bener… nggak bisa, nggak bisa…” Kitty juga menggeleng.

“Kita nggak bisa misah. Aku nggak sanggup bayangin kamu diambil cowok berbakat di esema delapan! Kamu tau nggak itu almamaternya Nicholas Saputra! Pasti bakalan ada yang tampangnya se-charming itu di sana!”

“Kamu anggap aku cewek apa’an sih? Cuma disenyumin Nicholas Saputra langsung kesengsem. Cakepan juga Ayah kamu!”

“Lebih gawat dong. Ayahku juga lulusan sana soalnya.”

“Aku nggak bakal semudah itu pindah ke lain hati kali Beb! Gampangan banget dong aku! Kamu ngeremehin aku?!”

“Kamu ngerti dong kalo aku nih lagi insecure!”

“Aku juga nggak sanggup bayangin kamu disenyumin cici-cici kreji rich melintir di Skul Internasional.”

“Kita nggak bisa pisah, nggak bisa!”

“Ayah kamu dan Mamah aku harus restu. Gimana nih caranyaaaa?!”

“Mana kutahu?! Kita lihat dulu keadaan yaaa?!”

“Pusing aku. Beneran yaaaa pacaran itu bikin gagal fokus. Aku sama sekali nggak mood buka modul kurikulum!”

“Boro-boro kepikiran belajar ujian masuk! Yang ada pinginnya kesel terus!”

“Terus gimana?! Aku udah suka kamu, Malah bisa dibilang sayang!” desis Revan.

“Aaaaw beeeeb. aku juga loooh! Kamu mah nyama-nyamain aku teruuuus sampai perasaan juga kamu sama-in!.”

“Arrrgh! Nggak tau dah!”

**

Rasa emosi masih membayangi Asmara bahkan di saat wanita itu kembali ke kantor. dengan lemas ia menjatuhkan dirinya di kursi kerjanya dan mengetuk-ketukkan jemarinya di atas meja.

“Bu Mara, ada telepon dari Kantor Pusat, katanya Bu Asmara diminta datang segera menemui Pak Bernard.” begitu kata supervisornya. Asmara saat ini menjabat sebagai Kepala Cabang di sebuah Lembaga Keuangan yang target pasarnya adalah menghimpun Dana Pensiun. Namanya PT. Kencana Life, Tbk.

Dan diminta datang ke Kantor Pusat, seringkali adalah pertanda buruk. Entah mereka mempertanyakan mengenai kinerjanya, atau bisa juga temuan auditor yang tidak sesuai standar. Istilahnya ‘dirujak’ oleh manajemen.

Dengan berat hati, Asmara menyetir dengan kecepatan sedang ke arah Kantor Pusat. Sambil dalam hati berdoa suapaya pekerjaan diberikan kemudahan.

Nyatanya, apa yang diinginkan manusia, direncanakan manusia, belum tentu dibutuhkan oleh manusia.

Benar saja,

di dalam ruang Rapat itu telah berkumpul beberapa Kepala cabang dan 4 orang Direksi mereka. Sialnya, salah satu Komisaris Utama juga datang dan menatap Asmara dengan kening berkerut.

“Asmara Dipta… kamu saat jadi karyawan berprestasi, kalau jadi Kepala Cabang malah bawa sial ya.” begitu ujar Sang Komisaris. Wanita berusia 60 tahunan yang lidahnya tajam.

Wajar, karena dia adalah pemodal. Dia harus tahu uangnya digunakan untuk apa.

Asmara mengeluh dalam hati, akhirnya ia hanya bisa pasrah. Ia terlalu sibuk dengan keluarganya, sampai setengah-setengah mengerjakan tugasnya sebagai Kepala Cabang.

“Progress apa ini? Peningkatan Dana Pihak Ketiga hanya 25% dari target dalam setahun? Itu pun progress rata-rata, jadi ada yang lebih rendah dong? Kamu ini ngapain aja sih kerjanya?”

Masih menunduk, Asmara menatap ujung sepatunya. ia telan saja bulat-bulat omelan Ibu Komisaris, nanti kalau sudah beberapa saat dan perasaannya sudah lebih tenang, akan ia lupakan.

“Kamu sendiri yang menuliskan target kamu ya, penghimpunan dana 150miliar sebulan, bukan setahun loh Asmara! dari target yang kalian-kalian ini tuliskan, saya berani memutar uang untuk investasi bunga stabil, kalau begini sama saja saya nombok!”

Asmara dan yang lain masih diam.

Setelah beberapa saat, Bu Komisaris lalu berujar. “Asmara, kamu pindah ke Kantor Pusat. Posisi kamu Marketing Senior di bawah kepemimpinan Rani.

Asmara membeku.

Sementara yang bernama Rani menyunggingkan senyum sangat manis. Jabatan Rani sebagai Kepala Marketing Pendanaan, namun hubungannya dengan Asmara tidak baik. Dulu dia adalah Junior Asmara, diajari berbagai hal dari A sampai Z dengan baik, namun sampai pada satu titik Rani menuduh Asmara tidak memperlakukannya dengan baik.

Asmara ingat dengan jelas saat itu perusahaannya memutuskan untuk bekerjasama dengan suatu Bank Swasta dalam hal deposito. Asmara minta rate untuk Deposito sebesar 4% agar dana itu terlindungi oleh Lembaga Penjaminan Simpanan, karena Bank yang bekerjasama dengan mereka termasuk kecil dan bisa saja suatu waktu dilikuidasi oleh Bank Lain. 4% memang tidak terlalu besar, namun aman.

Dan saat memeriksa pembukuan, laporan untuk deposito perusahana Asmara ditulis 5%. Setelah ditelusuri ternyata Rani diam-diam tanpa sepengetahuan Asmara minta negosiasi ulang untuk rate lebih besar dengan si Bank. Manajemen memang mengapresiasi kinerja Rani yang berani minta 5% itu berarti keuntungan untuk perusahaan.

Tapi, belum sampai sebulan hal yang ditakuti Asmara terjadi, Bank itu kolaps. Dan dana yang dikembalikan tidak sepenuhnya 100% karena ratenya terlalu tinggi dari yang dijamin oleh LPS.

Dan manajemen menyalahkan Asmara. Alasannya ia membiarkan Rani bekerja sendirian dan tidak mengawasinya, secara dia supervisor Rani, jadi seharusnya seluruh tindakan Rani ada di bawah persetujuan Asmara.

Dana yang jadi masalah memang tidak terlalu besar, hanya 2 milyar. tapi kredibilitas Asmara di sini dipertaruhkan.

Nyatanya manajemen memilih Rani, dan Asmara pun dipisahkan dengan cara menjadi Kepala cabang. sebenarnya suatu keuntungan untuk Asmara karena dia terpisah dari suasana Kantor Pusat yang penuh tekanan. Ia memiliki kantor sendiri yang ia pimpin, ruko kecil di kawasan jakarta Barat, anak buahnya sendiri, intinya dia nyaman di Kantor Cabang.

Tapi lagi-lagi Rani membuat masalah, Rani diangkat menjadi Kepala Seksi Marketing, ia menghimpun target para Kepala Cabang. Saat itu Asmara menuliskan angka 50 miliar perbulan untuk target cabangnya, Rani dengan julid menyindirnya.

“Cabang besar begini kok penghimpunan dana hanya 50 miliar sebulan?! Nggak sesuai target perusahan dong. Belum biaya operasional cabang kan sangat besar. Ruko sewa setahun sudah berapa? Gaji anak buah berapa? 150 miliar lah sebulan!” Begitu kata Rani.

Maka tanpa konfirmasi lagi ke Asmara, Rani seenaknya mengubah target cabang menjadi 150miliar. Hal yang sebenarnya diluar kemampuan Asmara.

Begitulah jadinya, kembali ke masa kini.

Akhirnya Asmara mulai hari Senin dipindahkan lagi ke Kantor Pusat. Kali ini ia turun jabatan jadi Marketing Senior. Dan Bossnya adalah Rani.

Asmara Yang Malang

Sore itu saat Asmara pulang kantor, dia menghadapi ‘musibah kecil’ di rumahnya. Rumah Asmara dibangun tahun 95 oleh ayahnya, kakek Kitty. Ini rumah warisan. Dan sejak itu belum pernah direnovasi karena memang bangunannya masih bagus.

Terdiri dari tanah dan bangunan 1 lantai seluas 150m2, ada 3 kamar di dalamnya.

Tapi namanya juga dimakan usia, bagian kusen jendela kamar utama masih berupa kayu. dan ternyata tadi siang ambruk dimakan rayap.

Dulu, mantan suami Asmara memang pernah menyarankan untuk mengganti seluruh kayu di rumah itu dengan baja ringan, tapi saat itu Asmara sedang sibuk-sibuknya mengurusi proyek, jadi tidak bisa menunggui tukang dan ambil cuti. Adit tidak mungkin menunggui karena mantan suaminya itu sering keluar kota.

Entah ke luar kota itu untuk pekerjaaan atau hal lain.

Dan kali ini, kusen yang ambruk adalah jendela luar kamar utama yang mengarah ke kebun depan.

Asmara mengarahkan pandangannya ke langit.

Cerah tak berawan.

Sepertinya hujan belum akan turun, jadi untuk sementara dia tutupi saja dulu jendelanya yang ambruk itu dengan gorden. Besok pagi ia akan hubungi tukang bangunan untuk memperbaikinya. Terpaksa besok ia ambil cuti mendadak.

Bagian pagar tertutup plastik tebal, dan tinggi pagar sekitar 2 meter, jadi sepertinya aman-aman saja tidak terlihat orang yang berlalu lalang.

masalahnya…

fentilasinya tidak tertutup. railing goren tidak sampai ke sana.

“Sudahlah, hanya semalam ini.” desis Asmara. Ia berniat tidur di kamar Kitty malam ini.

Dan ternyata… “Mamah bobok di kamar tamu aja, Kitty lagi sebel sama mama.” kata anak semata wayangnya itu sambil cemberut. “Dan lagi Kitty mau video Call sama Revan.”

“Ngapain kamu video Call, rumah kamu depan-depanan sama pacar kamu.” ada nada sarkas di suara Asmara.

“Depan-depanan tapi nggak boleh ketemu. Tersiksanya hatiku ini. Mama masa nggak tahu perasaan anak muda lagi jatuh cinta? Apakah mama lahir langsung tua? Pasti ngerti dong bagaimana galaunya perasaanku ini?”

“Lebay kamu.”

“Pokoknya Kitty mau menata hati dulu. Kitty udah bersihin kamar tamu. Mama bobok di sana aja.”

Saat Asmara ke kamar tamu, ya memang sudah dibersihkan Kitty. Tapi… kusennya juga ambruk, bahkan menganga lebar lebih parah dari kamar utama. Dengan laron beterbangan mengelilingi bohlam di atas ranjang. Sepertinya terjadi setelah Kitty membersihkan kamar.

“Ck!” dan Asmara pun kembali ke kamar Kitty, tepat saat gadis itu…

BRAKK!!

“Mamaaaaaahhhh!!” jerti Kitty. “Kusenku juga ambruk!!”

“Ya Tuhan Kenapa malam-malam gini ada aja sih masalah?!”

“Kitty nginep di rumah Rosa aja!”

“Pakai apa kamu ke sana?!”

“Minta anter Revan!”

“Kitty!”

Tapi anaknya itu sudah keburu kabur meninggalkan kamarnya yang penuh laron beterbangan. Membuka gerbang dan masuk ke rumah tetangga depan.

Saat Asmara terpaku di dalam rumah menyaksikan situasinya dengan kesal, hampir-hampir saja ia menangis.

Ia capek, terus terang saja ia rasanya ingin sekali berteriak. Tapi gengsinya mengalahkan emosi.Ditambah lagi, ia geli.

Melihat serangga kecil beterbangan dan jumlahnya ribuan, memenuhi berbagai sudut rumahnya. Jelas ia tak sanggup membersihkan semuanya sendirian.

Dan tiba-tiba tenaganya langsung drop. Ia hanya mampu berdiri terpaku melihat semuanya tanpa bisa berbuat apa pun. Rasanya tenaganya hilang saat itu juga.

“Bu Asmara?” terdengar suara Andra dari belakangnya. Pria itu sudah berdiri sambil mengernyitkan mata melihat banyaknya serangga beterbangan di dalam rumah Asmara. Tak hanya tinggi badan Andra yang menarik perhatian Asmara sampai wanita itu melengkungkan punggungnya untuk mendongak ke atas, menatap wajah pria itu, tapi juga hidungnya tergelitik akibat wangi parfum maskulin beraroma kayu-kayuan yang dipakai Andra.

Andra masih memakai kemeja putih dan celana bahan, terlihat kalau ia baru pulang dari kantor, bahkan ia masih memakai sepatu kulit sapinya.

Kenapa pria sesempurna ini bisa-bisanya diselingkuhi?!

“Beginilah keadaannya,” Asmara menaikkan bahunya, berusaha bersikap tenang padahal ia mau berteriak sekencang-kencangnya. Dari pagi tak henti-hentinya musibah datang. Apalagi ia terancam diturunkan jabatannya, itu berarti akan ada penyesuaian penghasilan, alias turun gaji, dan juniornya yang kini jadi atasannya merupakan suatu tekanan telak ke mentalnya.

“Boleh saya bantu?” tanya Andra dengan sopan.

“Bo-boleh Pak kalau bisa.” desis Asmara.

Andra kembali ke rumahnya dan datang dengan ember besar diisi sedikit air, lalu masuk ke ruang tamu Asmara. Ember itu ia letakkan di bawah bohlam, lalu sambil setengah berlari menutupi wajahnya dengan lengan, ia mematikan semua lampu di rumah itu sampai yang tersisa adalah bohlam terang di ruang tamu tadi.

sontak, semua laron pindah ke arah cahaya.

“Tunggu sekitar satu jam ya bu. Mau minum teh dulu di rumah saya?”

**

Selama 10 tahun mereka bertetangga, baru kali ini Asmara masuk ke rumah Andra. Kitty masih di sana, sedang menunggu Revan siap-siap untuk mengantar gadis itu menginap di rumah Rosa. Kitty beraktivitas seperti di rumahnya sendiri, bahkan tahu dimana Andra menyimpan persediaan makanan. Dengan santai kitty duduk di salah satu sofa dengan kaki dijulurkan sambil makan Mie cup. Hal yang dilarang di rumah Asmara. Segala per-mie an dan makanan instan yang dianggap tidak sehat.

Asmara yang menyediakan camilan dan makanan home made untuk Kitty selama ini. Asmara pernah kerja partime menjadi pembantu Chef di salah satu restaurant di Adelaide, Australia, jadi tangannya mahir membuat jenis makanan apa pun. Mau itu makanan asia, Arab, sampai Italia, Asmara bisa. Bukannya makanan yang dibuat Asmara tidak enak, malah sangat enak sampai Kitty sering berpikir sebaiknya ibunya membuka restoran saja. Masalahnya yang namanya anak-anak, kadang ingin makanan yang ‘tidak sehat’.

Kalau ingin mie instan atau ingin makan seblak, Kitty sering mengendap-endap ke rumah Revan. Mojok di dapur Andra sambil menikmati kuah pedas bermicin.

Duduk di ruang tamu Andra yang bergaya minimalis dengan taman terbuka di bagian dalam, Asmara memperhatikan satu per satu perabitan Andra. mewah dan bersih, tapi bagai tidak ada kehidupan. Seperti display di toko furniture.

Rumah Andra bertingkat dua, dan secara luas hampir selebar rumah Asmara. Letak rumah mereka di gang buntu, paling pinggir di komplek itu, jadi Andra bisa leluasa memarkir mobilnya yang banyak itu di jalanan depan rumah. Banyak orang lalu-lalang di depan rumah Andra karena pria itu membuatkan pintu akses agar warga lebih mudah kalau mau jalan ke pasar atau mushola di samping tembok pembatas.

“Bu, mau teh apa? Instan atau tubruk?” tanya Andra di dalam bar.

“Mama suka teh tubruk yang terdiri dari 4 jenis merk teh, dan pakai sirup gula dicampur pandan dan vanilla, tehnya dimasak di panci dengan cara didihkan di air panas.” jawab Kitty sambil mengunyah.

Andra terdiam.

lalu menyeringai. “Teh celup aja ya? Hehe.”

“Sebentar saya ambil pandan di depan pagar…” desis Asmara sambil beranjak.

Jadi, Andra, Revan dan Kitty duduk di sofa, mereka tampak becanda membicarakan mengenai sekolah internasional yang akan dimasuki Revan, sementara Asmara menyibukkan diri di dapur Andra.

Memasak bisa jadi pelampiasan stressnya. Asmara suka memasak, walau pun ia kurang suka makan. Karena itu masakannya harus enak dan sehat, atau dia enggan memakannya.

“Ya makanya Om, kenapa harus sekolah intenasional? Memangnya tidak ada sekolah negeri berkualitas yang bisa Revan masuki? Sama’an aja sama aku kenapa sih Om? Kan Om Andra almamater SMA 8?” protes Kitty.

“Hehe, keluarga saya punya akses ke Amethys University, Kitty. Lumayan kan diskon 50% udah dapat fasilitas mewah, pendidikan berkualitas. Dan lagi ini tiket kilat menuju Harvard,”

“Kan Revan bisa kuliah di UI aja Om. Lagian diskonnya 50% aja udah bayar 300juta… gimana kalo nggak diskon?”

“Kitty, Revan ini akan saya persiapkan untuk memimpin perusahaan, dan ia sudah setuju. Jadi pendidikannya penting menurut saya. Apalagi kalau ia memiliki ijazah dari luar, kapabilitasnya akan diakui.”

“Yaah, Oooom…” keluh Kitty.

“Harusnya kamu mendukung Revan dong. Kan enak kalau Revan jadi direktur, dia bisa beliin Hermes buat kamu.”

Kitty diam.

Revan mengerutkan keningnya.

“Revan, sekolah yang bener ya, aku minta Hermesnya yang Kelly.” gumam Kitty.

“Gimana sih Beb?!” Revan sewot.

“Permisi yaaa,” suara Asmara yang terdengar lemah membuat semuanya terdiam dan memberi jalan ke wanita itu. Dengan mata menerawang, Asmara meletakkan empat gelas es teh manis dan sandwich.

“Horeee sandwich!” seru Kitty. Padahal dia baru makan mie cup.

“Sejak kapan kita punya bahan sandwich?!” gumam Andra pelan merasa aneh.

“Maaf ya Pak saya agak lancang membuka kulkas, ada patty di sana dan sisa roti tawar di atas meja, ada salada juga. Jadi saya bikin sandwich daging.”

“Kita punya Patty?” gumam Andra ke Revan.

“Kita punya Patty Yah?” Revan malah nanya balik.

“Aku yang taroh di sana Om, waktu itu rencananya mau belajar bikin burger tapi nggak jadi-jadi soalnya roti bun nya lupa beli melulu,” kata Kitty.

“Dari kapan itu simpennya?”

“Beku kok Om, tenang aja,”

“Oh, pantas ada keju juga,” kata Asmara sambil melirik ke arah Kitty.

“Maaf yah Mah…” desisi Kitty sambil agak menjauh.

“Kitty, kalau kamu mau belajar masak kan bisa minta mamah ajarin.” kata Asmara.

“Soalnya, berkali-kali Kitty bilang mau bikin ini-itu, tapi mamah bilang mamah aja yang bikin. Kitty kapan bisanya Mah? Walaupun nanti jadinya nggak seenak bikinan Mamah kan namanya juga proses Mah.”

“Ya, maafkan mamah juga, Mamah takutnya nanti kalau gagal jadi mubazir karena keuangan kita kan sedang…” Asmara lalu terdiam. Tidak seharusnya dia membicarakan ini di depan Andra.

Tapi kenapa hatinya terasa sesak?

“Mah?” panggil Kitty pelan.

Karena air mata Asmara mulai menetes.

Seketika Asmara membayangkan masa depan Kitty yang suram. Biaya masuk sekolah unggulan tidak murah, jalur beasiswa pun tidak mudah. Padahal tabungannya sudah mulai menipis. Gajinya juga akan diturunkan.

Kalau hidup Kitty biasa-biasa saja, masihkah anak itu pantas bersanding dengan Revan yang sempurna? Dan semua itu gara-gara Asmara tidak becus bekerja! Begitu pikiran Asmara.

Wanita itu putus asa.

“Duh… maaf ya Pak, reflek. Hari ini banyak sekali kejadian…” Isak Asmara sambil duduk dan menghapus air matanya.

“Saya siap mendengarkan kalau ibu berkenan bercerita.” kata Pak Andra.

“Iya Mah, cerita dong Mah… Kitty nggak tahu apa-apa tentang Mamah sebenarnya selama ini!” kata Kitty sambil mendekati Asmara.

“Kamu masih terlalu…”

“Mamah tahu kalau Kitty akan mengerti keadaan Mamah.” kata Kitty lagi.

Asmara pun menghela nafas panjang. Lalu ia menceritakan mengenai isi hatinya.

“Pak Andra, mohon maaf. Sebenarnya hal ini bukan karena Revan anak adopsi, atau Kitty masih terlalu kecil. Saya sebenarnya percaya anak-anak kita sudah tahu batasannya. tapi ini semua karena saya belum siap ditimpa masalah lain lagi.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!