...Peringatan: Semua yang ada di sini hanyalah fiksi belaka. Kepada anak-anak spesial, izinkan saya untuk membuat cerita fiksi ini agar tidak terjadi kesalahpahaman....
...DIINGATKAN UNTUK PARA PEMBACA untuk tidak membawa-bawa nama AYIN dan WILONA diluar dari novel ini (OOT, LATAH, komen di segala sosial media aespa dan sebagainya yang membuat orang risih dan memicu fanwar) kecuali untuk promosi Night Cloud bisa kalian kreatifkan di konten kalian sendiri....
Langkah kaki kecil Ayin terdengar cepat, dia berlari menuju ke ruang tamu mengajak adiknya, Wilona untuk bermain diluar. Rambut keriting dari Wilona tampaknya berhasil membuat Ayin gemas.
Ayin mengulurkan tangan kanannya ke arah Wilona yang sedang duduk di kursi tamu membuatnya mendongak dan menatap wajah lucu Ayin. Ayin mengatur napasnya meski masih terlihat dari wajahnya yang begitu lelah berlari dari arah kamar ke ruang tamu.
"Wilo, ayo main keluar!"
Wilona menggelengkan kepala sembari mengangkat boneka beruang salju itu ke wajah Ayin. Ayin tahu maksud Wilona, dia tidak mau bermain di luar karena dia bisu. Sulit berkomunikasi jika itu permainan petak umpat. Tapi bagi Ayin, itu tak masalah.
Ayin menghela napas pelan. "Gapapa ... nanti Ayin kasih tau ke temen-temen, jadi adek bisa main." Wilona berhenti memainkan bonekanya, telihat dia berpikir sejenak. Lalu Wilona mengangguk sebagai jawabannya.
Wilona dan Ayin hanya berbeda setahun, maka dari itu mudah bagi mereka berkomunikasi walau Wilona bisu tapi Ayin hafal dan tahu cara Wilona menjawab. Meski pun mereka belum bisa baca-tulis.
Ayin melebarkan telapak tangan kanannya ke depan Wilona seakan menyuruhnya untuk menunggu. "Tunggu bentar ya, Adek. Ayin izin dulu ke Bunda!" Wilona mengangguk dan tersenyum lalu matanya menatap kepergian Ayin untuk izin ke Bundanya.
Semenit kemudian Ayin datang kembali membawa satu boneka kesukaannya yaitu kuromi. Ayin menyentuh lengan Wilona.
"Ayo!" ajaknya.
Wilona mengikuti Ayin keluar dari rumah. Ayin dan Wilona bergabung dengan anak-anak sebayanya di area lapangan berumput hijau tua. Ada satu anak perempuan yang melihat keduanya lalu mendekat. Dia menghampiri Ayin dan Wilona yang baru saja sampai ke lapangan.
"Haloo, Ayin," sapanya.
"Halo."
Anak itu melirik Wilona yang diam memegang boneka beruangnya. Dia kemudian menatap Ayin. "Dia siapa? Temen kamu, ya?" Ayin tersenyum melirik Wilona dengan bangga. Wilona membalas tatapan Ayin kemudian tersenyum kecil. Matanya menyipit. Anak itu mengulurkan tangan ke arah Wilona dan ia membalasnya.
"Halo, nama kamu siapa?" Tak ada jawaban dari Wilona, dia hanya menjabat tangannya.
"Ayin, dia kok diem terus? Gak bisa ngomong, ya?" Senyuman Wilona langsung luntur mendengar itu.
Ayin memasang wajah panik lalu menepuk pundak anak itu. "Ah, itu ... um...." Ayin tak sanggup menjawab dia refleks menatap Wilona. Wilona mengangguk memperbolehkan Ayin menjawabnya.
Ayin menarik napas. "Dia adek aku, namanya Wilona. Dia bisu." Anak itu tampak mengerutkan alis. "Kok bisu? Harusnya, 'kan bisa ngomong?" Wilona menundukkan kepala. Jari-jarinya meremas boneka di pelukannya.
"Um ... adek aku udah bisu dari lahir, tapi Adek bisa diajak main kok! Aku bangga punya adek! Dia juga bisa denger omongan kamu." Anak itu mengernyit tampak berpikir lalu menggeleng.
"Gak ah gak mau, nanti susah ngomong, bisu!"
Lalu anak itu pergi.
Ayin langsung menatap keadaan Wilona yang sedang menangis tanpa suara, dia mengusap ingusnya yang telah banyak itu sambil meremas kuat boneka. Ayin memeluk tubuhnya yang agak mungil darinya. Lalu mengusap pucuk kepala Wilona.
"Udah Adek, gapapa ... ada Kak Ayin di sini."
Air mata Wilona melebar di baju Ayin. Pelukannya begitu kuat bahkan Ayin ikut merasakan sakit hati mendengar perkataan anak itu. Tangan kecilnya mengusap rambut Wilona lalu menempelkan pipinya di kepalanya.
"Adek, mending kita pulang yuk?"
Tatapnya penuh air mata. Ayin begitu sayang kepada Wilona karena lahirnya Wilona membuatnya ada teman di rumah. Wilona mengangguk cepat lalu Ayin menggandeng tangannya erat-erat dan pergi dari lapangan luas itu.
...💌...
Suara ketukan pintu terdengar, Bunda Ayin membuka pintu lalu menunduk untuk melihat Ayin dan Wilona di bawah. Bundanya yang tadi memasang wajah ceria berganti dengan wajah khawatir. Dia berjongkok dan mengusap air mata Wilona yang masih mengalir. Tatapan Bunda mengarah ke Ayin.
"Itu ... Adek habis diejek sama temen baru."
Tampak dari wajahnya begitu kaget dengan ucapan anaknya. "Diejek siapa?" Ayin menjelaskan dari awal hingga akhir membuat Bunda langsung menyuruh Ayin dan Wilona masuk ke dalam.
Bundanya berjongkok kembali di lantai kamar Ayin dan Wilona lalu memegang kedua pundak Wilona.
"Sayang, jangan dengerin kata orang, ya? Adek itu spesial, gak semua orang punya yang Adek miliki. Jadi, jangan pernah pikirin omongan orang, ya?" Tatapan Bunda mengarah pada wajah Wilona yang habis menangis. Sesak hatinya melihat raut wajah Wilona.
Wilona mengangguk, air matanya masih mengalir hangat di pipi tembamnya. "Kak Ayin juga ... tolong jaga Adeknya baik-baik, ya. Kak Ayin hebat tadi langsung meluk dan ajak pulang Adek. Makasih ya, Kak Ayin. Bunda bangga punya kakak kayak Kak Ayin. Sayangi Adek ya, tolong bela dan jagain Adek."
Hati Ayin tenang mendengar ucapan dari Bundanya tadi. Ada rasa bangga dengan dirinya ketika menjaga Wilona. Dia semakin sayang dengan Wilona. Ayin menatap Wilona lalu dia mengedipkan kedua mata.
"Iya, Ayin bakalan selalu jagain adek dari siapa pun yang jahat! Kak Ayin sayang sama adek."
Ayin langsung memeluk tubuh Wilona erat-erat. Wilona tersenyum di balik dekapan hangat Ayin. Bermaksud berterima kasih kepada sang kakak karena telah melindunginya.
BERSAMBUNG.
Ini baru permulaan, yaa, besok update lagi🫢
...Peringatan: Semua yang ada di sini hanyalah fiksi belaka. Kepada anak-anak spesial, izinkan saya untuk membuat cerita fiksi ini agar tidak terjadi kesalahpahaman....
...DIINGATKAN UNTUK PARA PEMBACA untuk tidak membawa-bawa nama AYIN dan WILONA diluar dari novel ini (OOT, LATAH, komen di segala sosial media aespa dan sebagainya yang membuat orang risih dan memicu fanwar) kecuali untuk promosi Night Cloud bisa kalian kreatifkan di konten kalian sendiri....
Palembang, Sumatera Selatan.
Sinar matahari yang masuk menusuk mata sang gadis. Membuat Wilona membuka matanya dan menyipit. Bundanya membuka gorden untuk membangunkan kedua anak gadisnya itu.
"Bangun sayang, ini udah pagi. Kalian mau sekolah."
Wilona mengangguk. Dia membalikkan tubuhnya terlebih dahulu untuk membangunkan kakaknya, Ayin yang sedang tertidur pulas menutup wajahnya menggunakan selimut. Wilona mengoyangkan tubuh Ayin dan menepuk-nepuk pipi empuknya itu agar ia bangun.
Ayin yang merasa terganggu pun kemudian mengerutkan alis dengan mata yang masih tertutup, bibirnya mengerucut seperti anak bebek. Dia membuka kedua matanya perlahan lalu mengerjap-erjap mata. Poni tipisnya jadi ikut bergerak.
"Nanti ... aja!" protes Ayin.
Wilona menggeleng kecil, bibirnya melengkung ke atas melihat reaksi Ayin. Dia menunjuk Ayin dan kepalanya mengarah ke Bundanya. Terdengar kekehan dari Bunda.
"Kak Ayin bangun, udah pagi nanti telat sekolahnya loh," omel Bunda.
Ayin masih tetap tidur, setelah tiga menit Wilona bangun dan mandi, akhirnya Ayin membuka mata dan bangun. Dia duduk melamun sejenak menyadarkan diri dari mimpi. Ayin turun dan mulai mencari Bunda.
"Sarapan belum dibuat ya, Bun?"
Bundanya menatap Ayin mencari makan. Ayin memasang wajah bingung dan polos. Kedua matanya sipit dengan rambut yang terurai panjang.
"Kak Ayin udah mandi belum?" tanya Bunda.
"Belum, ada Wilo di kamar mandi jadi Ayin sarapan duluan aja, Bun."
Suara gagang pintu terdengar di atas. Ayin dan Bunda tahu bahwa Wilona telah selesai mandi. Ayin mengambil piring dan segera sarapan. Sedangkan Wilona baru turun dari lantai dua untuk ikut sarapan.
Wilona sejak kecil berbeda sekolah dengan Ayin. Ayin berada di SMP swasta sedangkan Wilona berada di Sekolah Luar Biasa atau biasa dikenal dengan SLB.
Wilona menggerakkan tangan sebagai bahasa isyarat. Dia bertanya apakah Ayin telah selesai sarapan? Ayin menjawab iya. Setelah kakaknya berdiri, Ia tersenyum lalu duduk di kursi Ayin.
"Adek, Kak Ayin mandi dulu. Adek sarapan terus siap-siap nanti Kak Ayin anter."
Wilona menggeleng. Dia segera membuat bahasa isyarat ke Ayin. Ayin dan keluarga sudah hafal dan mengerti bahasa Wilona.
Dia mengangkat tangannya menggerakkan kedua tangan. Ayin melihat ke arah tangannya. 'Wilona aja yang anter Kak Ayin. Soalnya Wilona hari ini pulang cepet.'
"Yaudah, kalo gitu nanti Kak Ayin chat aja kalo Kak Ayin pulang sekolah." ungkapnya lewat bahasa isyarat. Ayin segera berjalan masuk ke dalam kamar mandi lantai bawah untuk secepatnya sekolah.
...💌...
Wilona dan Ayin telah sampai di dalam parkiran sekolah Ayin. Ayin turun dari motor dan membuka helmnya ke arah Wilona. Ayin tersenyum.
'Makasih.' Ayin mengucapkan itu lewat bibir tanpa suara. Wilona juga mengucapkan 'sama-sama.' lewat bibir tanpa suara.
Mereka berdua selalu bersama seperti anak kembar bahkan wajah mereka hampir mirip. Terkadang ketika orang baru mengenal mereka, orang itu akan mengira bahwa mereka anak kembar. Nyatanya mereka tidak kembar sama sekali dan Wilona berbeda setahun dari Ayin.
Dulu saat kecil, ketika Bunda tidak mau ruangan berisik karena Ayin dan Wilona saat itu sering bertengkar hal sepele. Jadi, Wilona dan Ayin berkomunikasi lewat bahasa isyarat dari jauh. Ayin dari kamar dan Wilona di samping Bunda. Bunda yang tahu saat itu pun tak menghiraukan mereka, justru senang karena mereka tak berisik seperti anak-anak pada umumnya.
"Is adek kau ye, yang bisu itu bukan?"
(Ih, adek kamu ya, yang bisu itu bukan?).
Tiba-tiba seorang laki-laki datang dari arah kantin dan langsung menyeletuk kata-kata itu. Ayin mengangguk. "Iyo, cantik, 'kan?" Laki-laki sebayanya itu mengerutkan alis nampaknya sedang berpikir.
"Cantik sih tapi sayang nian bisu, cak mano gek man kawen." (Cantik sih tapi sayang banget bisu, gimana kalo nikah nanti).
Laki-laki itu berujar menggunakan bahasa Palembang. Wilona hanya terkekeh kecil walau hatinya sakit. Ayin lebih sakit hati ketika mendengar ejekan dari mulut laki-laki itu.
"Kau nih dak boleh cak itu, awas men kau ngatoin adek aku lagi. Dak segen-segen aku ngaduin kau ke kepala sekolah." ancam Ayin.
(Kamu nih gak boleh gitu, awas kalo kamu ngejek adek aku lagi. Gak segan-segan aku ngaduin kamu ke kepala sekolah).
"Iyo cantik!" Laki-laki itu pergi sambil tertawa. Ayin melirik Wilona yang diam tak berkutik sejak laki-laki tadi mengejeknya bisu.
"Gapapa, gausah dipikirin ya, Adek sayang." Dia mencubit pipi Wilona pelan. Wilona tersenyum manis kembali.
Wilona segera menggerakan tangan untuk menggunakan bahasa isyarat, ia menunjuk ke arah kelas seolah menyuruh Ayin segera masuk. 'Masuk sana, nanti telat! Wilo juga udah mau telat ini. Soalnya Wilo agak jauh dari sekolah Kak Ayin.'
Tangannya satu-persatu menyambungkan kata-kata itu. Ayin mengangguk-angguk kecil. Ayin menggerakkan jarinya ke bawah mengetuk ulu hatinya. 'Hati-hati ya, Adek. Bekal jangan lupa di makan, semangat belajarnya jangan pikirin kata-kata tadi!' ujaran itu dilontarkan Ayin.
Wilona tersenyum sampai menampilkan gigi. Dia menggerakkan jari-jarinya untuk merangkai kata satu-persatu dan mengepalkan tangan kanannya sejajar bahu, seolah menyemangati Ayin. 'Kak Ayin juga semangat belajarnya nanti kita main bareng pas pulang sekolah.'
...💌...
Jam sudah masuk istirahat, Wilona segera masuk ke dalam perpustakaan sekolahnya. Ia melangkahkan kakinya ke salah satu bangku di ujung dekat jendela yang terbuka. Memperlihatkan jalanan dan taman di Kota Palembang yang cantik bersama LRT.
Terlihat mobil dan motor yang berlalu-lalang. Wilona sudah cukup bahagia dan tenang dengan udara ini. Dia mengangkat tangan kirinya untuk melihat pukul berapa sekarang. Waktu menunjukkan sekitar pukul sembilan pagi.
Tapi otaknya masih teringat dengan kata-kata laki-laki tadi. Hatinya terasa ditusuk pisau yang amat tajam. Dia tertunduk menatap kalung catatan kecilnya yang bergantung di leher untuk berbicara dengan orang-orang yang tak bisa berbahasa isyarat.
Emang salah ya, kalo bisu? Aku juga gak tau kalo lahir bisu gini.
Maafin Wilo, ya, Kak Ayin ... buat malu Kakak.
Tanpa sadar, bulir-bulir bening dari kedua matanya menetes hangat di pipi tembamnya. Dia segera menghapus air mata itu lalu membuka buku novelnya. Matanya tetap fokus ke buku itu. Wilona merasakan ada tangan yang menyentuh pundaknya. Dia pun langsung menoleh ke arah kiri.
Seorang gadis yang tunarungu sama sepertinya datang menghampirinya dan tersenyum ke Wilona. Dia meminta izin pada Wilona untuk duduk di sampingnya. Wilona dengan senang hati begitu menerima kehadirannya.
Gadis itu merangkai kata-perkata lebih lihai dibanding Wilona. Tangannya membuat gerakan melingkar lalu ia membuat jarinya menjadi kata. Dia menunjuk Wilona dan mengekspresikan wajahnya seolah menunjukkan wajah sedih.
'Kamu kenapa sendirian? Kok nangis?' Dia bertanya melalui bahasa isyarat.
Wilona tersenyum melihat wajah khawatir dari temannya itu, Naya Arafa. Dia pun kemudian menggeleng dan menunjuk matanya seolah kelilipan lalu telunjuknya mengarah ke arah jendela, Naya memperhatikan gerakan tangan Wilona.
'Gapapa, aku cuma kelilipan aja gara-gara angin dari jendela.'
Naya mengerutkan alis kemudian dia menggerakkan tangannya lagi, mencoba menyampaikan dengan bahasa isyarat kalau dia tidak percaya dengan apa yang Wilona katakan.
Tangannya terangkat sejajar kening—dia mempertanyakan apakah Wilona sedang mengalami kesedihan? Dia dengan jelas melihat Wilona mengapus air matanya sebelum dia menghampirinya.
'Maaf, Nay, aku lagi sedih,' ujarnya dalam bahasa isyarat.
Naya menggeleng kecil sambil mengulum bibirnya. Dia tahu sahabatnya ini sudah pasti mengalami sesuatu yang membuatnya menjadi sedih. Tak biasanya Wilona seperti ini. Biasanya, dia sering mengajak Naya untuk ke kantin dan berjalan-jalan kecil di lapangan.
Namun, jika Wilona secara tiba-tiba tak dapat ditemukan dan dia berada di perpustakaan artinya Wilona sedang mengalami kesedihan atau hatinya sedang tidak baik-baik saja. Naya dan Wilona sudah kenal dekat bahkan akrab sejak Wilona masuk ke SLB ini. Mereka berkenalan ketika sebangku. Wajar, jika Naya hafal dengan perilaku Wilona.
'Kasih tau sama aku, siapa yang ngebuat kamu jadi sedih?'
Tampak dari raut wajah Naya yang kesal dan memerah karena menggebu-gebu ingin memarahi seseorang itu. Wilona tersenyum kecil. Dia menenangkan Naya yang sekarang sedang khawatir dengannya.
Dia mengangkat tangan kanannya sedikit lebih tinggi dari kepalanya kemudian memegang daun telinganya. 'Temen kakak aku.' Naya menatap-natap lagi tangan dan gerak yang akan Wilona lakukan lagi.
Wilona mengepalkan kedua tangan lalu menumpukkannya menjadi satu tumpukan dan membentuk huruf bahasa isyarat 'G'. Dia menepuk-nepuk pundak Naya. 'Gausah khawatir, dia cuma gak tau kalo aku bisu, Nay.'
Naya menghela napas. 'Lain kali, cerita sama aku.' Wilona kembali mengangguk jarinya membentuk huruf 'O' dan 'K'. Suara bel berbunyi membuat Wilona dan Naya beranjak ke dari bangku. Wilona menyelipkan buku novel itu di selipan lengannya untuk dia bawa ke kelasnya dan Naya menemani Wilona sembari mengobrol menggunakan bahasa isyarat.
...💌...
Di sisi lain, Ayin sedang asik mengobrol bersama Gisel di parkiran. Mereka sedang duduk di kursi khusus menunggu jemputan. Sering kali Ayin memperhatikan Gisel yang terus merapikan kacamata tebalnya. "Tadi kamu dianter siapa? Adek kamu?" Ayin mengiyakannya.
"Tadi ada cowok kelas sebelah ngejek adek aku bisu ... sedih tau, sakit hati aku,"
"Kamu pikir, aku gak sakit apa dengernya?" lanjutan itu membuat Gisel berpikir.
"Jahat banget mulutnya," Gisel terlihat geram sampai-sampai dia menghentikan ucapannya sebentar. Dia tahu laki-laki itu siapa. "Kayak paling sempurna aja."
"Ini udah pulang, berarti kamu dijemput sama Wilo?" Ayin lagi-lagi menyiakannya.
"Paling kalo udah, dia bakal ngirim chat sama aku."
Gisel menaikkan kedua alisnya ketika melihat motor milik Ayin yang sedang dikendarai oleh Wilona masuk ke dalam gerbang. Gisel menepuk pundak Ayin lantas dia menoleh ke arah Gisel. Jari telunjuk Gisel menunjuk ke arah parkir tepat di arah kanan posisi Wilona yang baru saja menurunkan standar motor. Kepala Wilona mencari-cari Ayin. Dia melambaikan tangan ke arah Gisel.
Dari arah sana terlihat Wilona menggerakkan tangannya. Mulai dari telinga sampai tangannya bergerak seakan-akan sedang memutarkan kedua tangannya dari depan seperti menggoes sepeda.
'Kak Ayin mana?' Seperti itulah isi dari bahasa isyarat Wilona.
Gisel sudah hafal dengan bahasa isyarat dari Wilona karena dia sering mengobrol ketika Gisel sedang mampir ke rumah Ayin.
"Wilo udah dateng tuh!"
Ayin menoleh lalu terlihat wajahnya langsung girang. Dia bangun dari kursi lalu berpamit pulang ke parkiran, sebelum itu Gisel mengirim salam untuk Wilona.
Ayin berlari kecil menuju motor lalu menepuk-nepuk pundak kanan Wilona. Dia menampilkan gigi rapinya. "Gimana sekolahnya? Seru? Ada cerita gak?" Wilona menggeleng sembari memberi helm ke Ayin.
'Ada yang nanyain Wilo gak di sekolah Kak Ayin?' Wilona bertanya lewat bahasa isyarat. "Gisel sempet nanya, kamu udah dapet SIM? Dan kenapa bisa naik motor?"
Wilona tersenyum. 'Terus Kak Ayin jawab apa?' Ayin menjelaskan bahwa tunarungu juga bisa berkendara. Tidak ada larangan dan halangan jika tunarungu masih bisa mendengar melalui alat bantu dengar CIC. Dan Ayin bilang bahwa Wilona mengendarainya dengan pelan dan hati-hati. Wilona mengangguk benar.
"Aku aja yang pake." Wilona turun dari motor memperbolehkan Ayin untuk mengendarainya. Ada satu jeritan dari seorang gadis di ujung parkiran.
"Yahaha! Bisu!" Samar-samar Wilona mendengar jeritan itu lewat alat bantu dengar. Dia diam tak menggubris jeritan itu. Ayin dengan santai menjalankan motornya keluar dari gerbang sekolah. Diliriknya spion itu yang mengarah ke wajah Wilona.
Terlihat dari raut wajah Wilona yang melamun dan murung. Ayin tahu bahwa adiknya itu sedang memiliki masalah. Ayin tersenyum kecut.
Maafin Kak Ayin yang gak bisa jagain hati adek di sini.
BERSAMBUNG.
silakan komen dan vote sesuka kalian agar aku bisa lihat reaksi kalian dengan cerita ini. Dukung terus Night Cloud sampai tamat, ya!
Ayin dan Wilona dewasa:
Teman-teman Wilona dan Ayin:
Peringatan: Semua yang ada di sini hanyalah fiksi belaka. Kepada anak-anak spesial, izinkan saya untuk membuat cerita fiksi ini agar tidak terjadi kesalahpahaman.
DIINGATKAN UNTUK PARA PEMBACA untuk tidak membawa-bawa nama AYIN dan WILONA diluar dari novel ini (OOT, LATAH, komen di segala sosial media aespa dan sebagainya yang membuat orang risih dan memicu fanwar) kecuali untuk promosi Night Cloud bisa kalian kreatifkan di konten kalian sendiri.
Malam ini, Wilona sedang sibuk mencari-cari gelang hitamnya di meja belakang yang sepertinya putus dan terjatuh di jalan. Ayin melihat itu pun menghampiri dan masuk ke dalam kamarnya.
"Nyari apa?" Wilona cepat-cepat memberi bahasa isyaratnya. Repot, namun itulah yang harus dia lakukan. Gerakan tangannya seolah bertanya dan mencari di mana letak gelang tersebut. "Ah, nanti beli lagi aja, dek."
Bibir Wilona mengerucut ke depan, dia menyesal mengapa dia tak menjaga gelangnya karena gelang itu pemberian dari sang nenek sebelum meninggal. Ayin menepuk-nepuk meja belajar Wilona pelan.
"Gapapa, mungkin emang udah waktunya ilang."
Wilona terlihat murung. Dia menggerakkan tangannya kembali. Bahasa tubuhnya menjelaskan jika Wilona merasa bersalah karena gelang yang seharusnya dia jaga itu hilang.
"Gapapa, nenek juga pasti tau kok penyebabnya apa, dia pasti liat dari atas." Wilona meletakkan kepalanya di bahu Ayin sambil berdiri.
Ayin mengelus kepala Wilona. "Udah, gausah dipikirin." Wilona menghela napas. Sayup-sayup suara dari luar kamarnya yang terdengar seperti suara pertengkaran.
"Siapa tuh?" Wilona mengangkat kepala lalu melangkahkan kakinya ke arah pintu kamar. Ia membuka pintu sedikit untuk mengintip.
"Kalo kamu gak mau ekonomi kita sulit, seengaknya kamu ngasih aku uang buat biaya Ayin sama Wilo!" ujar Bunda yang terlihat sedang bertengkar masalah ekonomi dengan suaminya.
"Aku gak punya uang! Kalo pun ada pasti aku kasih ke kamu!"
Ayin mengerutkan alisnya mendengar pertengkaran yang baru kali ini dia lihat. Wilona menatap dalam-dalam gerak bibir mereka yang cepat. Wilona tahu bahwa mereka sedang bertengkar, namun sulit untuk menjelaskan apa yang mereka ucapkan.
"Gak punya?! Terus kemarin, aku liat kamu bawa tas isinya uang ke rumah cewek yang kata kamu temen itu buat apa?! Kamu selingkuh?"
"ISTRI KURANG AJAR!"
Entah kenapa, hati Ayin terasa berdegup kencang ketika Bunda menuduh Ayahnya berselingkuh. Tak ada jawaban setelah itu. Ruangan menjadi sepi. Ayin menarik tangan Wilona untuk masuk ke dalam dan menutup pintu kamar pelan-pelan.
"Gausah didenger. Cuma beranten biasa."
Wilona mengangguk, dia menyuruh Ayin untuk naik ke kasur. Mengajaknya untuk mengobrol sebentar. Kali pertamanya, Ayah-Bunda bertengkar.
Wilona mengangkat tangan dengan posisi jari telunjuk dan tengah menunjuk ke badan. Kemudian gerakan tangan mendekat ke arah Ayin. 'Wilo gak peduli itu, yang penting kita sehat-sehat, gak ada masalah. Kak Ayin itu rumahnya Wilo.' Bahasa isyarat itu membuat Ayin terharu.
"Kak Ayin tau, rumah kali ini lagi bermasalah. Tapi jangan sampe kita ikutan punya masalah, ya?"
Wilona menaik turunkan telapak tangannya seperti mengipas-ngipas wajah. Wilona bilang bahwa dia bahagia bisa mempunyai kakak kandung yang baik seperti Ayin.
Namun kemudian tangannya mengepal lalu kedua jari kelingkingnya turun ke bawah. 'Tapi, Wilo khawatir soal Bunda. Wilo takut Bunda sedih.'
Ayin menggeleng. "Gak kok, Bunda gapapa! Kak Ayin yakin." Wilona menepuk keningnya, dia lupa hari ini dia mendapat PR dari guru sekolahnya. Dia cepat-cepat mengambil tas di ruang tamu lalu masuk ke dalam kamar.
Wajah panik dan lugunya itu membuat Ayin terkekeh gemas. Dia mencubit pipi Wilona membuat gadis bisu itu meringis sakit. Ia memukul lengan Ayin hingga Ayin melepaskan tangan karena pukulan Wilona.
Bibirnya mengerucut seperti bebek, pipi tembam kanan Wilona terlihat memerah akibat cubitan maut dari Ayin. Kakaknya itu menampilkan senyum jahil. Ia terlihat bangga karena karya cubitannya membekas. Tangan Wilona melayang ke lengan Ayin. Ringisan Ayin terdengar heboh.
"Iya-iya, Kak Ayin gak lagi-lagi!"
Janjinya setelah merasakan pedasnya pukulan Wilona. Dia menggosok-gosok lengannya untuk menghilangkan rasa nyeri.
Wilona sekarang terlihat bingung, dia menggaruk-garuk kepalanya. Dia menatap wajah Ayin. Tangan Wilona mulai bergerak lagi. Dia bertanya apakah Ayin bisa membantunya mengerjakan PR fisika-nya.
"Bisa dong! Sini, mana PR-nya. Nanti Kak Ayin bantu."
...💌...
Sejak tadi, kelas begitu berisik dengan suara-suara anak-anak yang mengobrol melalui bahasa isyarat. Orang bisu tidak identik dengan diam, mereka bisa berbicara namun tidak selancar orang pada umumnya. Mereka itu begitu spesial salah satunya adalah Wilona.
Naya dari luar kelas melambaikan tangannya. Mata Wilona menangkap sosok Naya kemudian dia membalas lambaiannya. Tak hanya itu, Wilona mengajak Naya untuk segera masuk ke kelas. Suara langkah kaki yang sedikit cepat mulai masuk ke dalam kelas bertemu dengan Wilona.
Wajah Wilona yang seperti anak kecil itu mempersilahkan Naya untuk duduk di sampingnya. Naya memasang wajahnya tampak cerah. 'Semalem kamu udah buat PR belum?' Pertanyaan itu sontak membuat Naya panik.
Dia bilang bahwa dia lupa mengerjakan PR karena tertidur di meja belajarnya. Wilona nampak menggeleng kecil melihat Naya. Sedikit ceroboh namun dia tidak sesering itu. Jarang Naya melupakan PR-nya. Wilona membalikkan badan ke arah tas dan segera merogoh tasnya itu untuk mencari buku fisika.
Wilona memberikan bukunya kepada Naya. Ia langsung mengerjakannya tepat di sampingnya. Wilona terkekeh tanpa suara, bibirnya terangkat kecil lalu mengalihkan pandangannya ke jendela.
Hari ini, cuaca di Kota Palembang sering hujan. Banyak di kelasnya yang mulai sakit. Begitu pun dengan Wilona. Tapi Wilona tidak gampang sakit, dia cukup meminum obat saja sudah cukup.
Tampaknya, bau khas dari pempek telah menusuk hidungnya. Dia segera mencari-cari di mana bau lezat itu berasal. Lapar perutnya, Wilona izin pada Naya untuk ke kantin sebentar. Dia melangkah kakinya keluar dari kelas melihat-lihat lingkungannya yang lumayan itu.
Wilona duduk di kantin dan mulai berbincang-bincang kecil dengan ibu kantin. Ia mulai mencelupkan pempek adaan itu ke cuko dan menggigit adaan itu.
Kegembiraan terpancar di wajahnya. Dia meminum cuko dengan tenang. Pedas, enak dan lezat. Tepat setelah dia sarapan, suara bel masuk berbunyi. Ia segera membayarnya dan masuk ke dalam kelas.
"Baik, apa itu rumah?" Pertanyaan dari guru membuat Wilona menunjuk tangan.
'Rumah adalah tempat tinggal manusia.'
Guru mengangguk. "Rumah Itu adalah kenyamanan, kehangatan, dan kebahagiaan dalam hati. Rumah adalah tempat di mana kita dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangi kita, di mana kita tidak akan pernah merasa kesepian," kata gurunya.
Pikiran Wilona langsung teringat dengan Ayin, dia tidak merasa sepi karena adanya Ayin. "Keluarga, salah satu dari rumah itu sendiri." Naya menyenggol lengan Wilona. Dia menoleh ke arah Naya.
'Ini materinya rumah?' Pertanyaan Naya membuat Wilona menggeleng. Dia tidak tahu.
"Jadi, bersyukurlah jika kalian punya itu." Naya dan Wilona saling bertatapan. Rumah, menurut Wilona adalah sebuah tempat ternyaman.
Namun kemarin, apakah itu masih di sebut rumah? Wilona pun tak bisa menjawab. Hari ini, Wilona pulang lalu masuk ke dalam kamar. Ia naik ke kasur lalu menepuk pundak Ayin.
Wilona membuat tangannya berbentuk kerucut. 'Kak Ayin, apa itu rumah bagi Kak Ayin?'
Ayin tampak berpikir. "Rumah itu adalah keluarga."
Wilona diam. Baru saja, Bunda dan Ayah bertengkar lagi sebelum Wilona pulang sekolah. 'Apa kita berdua sekarang punya rumah?'
Ayin membalikkan tubuhnya. "Adek ada kok rumah, Kak Ayin rumah bagi Adek." Wilona tersenyum kecil. 'Gimana sama keluarga kita? Baik-baik aja 'kan?' Ayin membungkam.
Wajah Wilona langsung datar dan khawatir terhadap pertanyaannya sendiri. 'Apa Wilo nyakitin hati Kak Ayin?' Ayin menggeleng.
"Bukan ... Ayah-Bunda berantem lagi." Wilona menatap pintu kamarnya. Apakah sekarang, rumahnya sedang bermasalah? Wilona pun bimbang.
'Rumah kita?' Ayin menatap matanya.
"Rumah kita lagi gak baik-baik aja, Dek."
BERSAMBUNG.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!