"Tak!"
"Tak!
"Tak! T'ak!"
Suara langkah kaki dengan irama lambat namun penuh penekanan menghiasi ruangan yang gelap, membuat wanita yang berlindung dibawah meja bergetar.
Jangankan untuk bersuara, menghembuskan deru napas pun dia tidak berani. Walau jantungnya terasa hampir meledak dan bergetar, dalam ketakutannya dia hanya mampu membekap mulutnya sendiri.
"Kita harus menemukannya, Pak David tidak menginginkan anak itu dan harus disingkirkan!"
"DUG!"
Percakapan kedua laki - laki berjas hitam dengan postur tinggi tegap membuat wanita yang bersembunyi dibawah meja sangat terkejut. Sekujur tubuhnya terasa lemas, tangannya yang bergetar terpaksa mematikan ponselnya mengurungkan niat untuk meminta pertolongan.
Laki-laki itu kembali melanjutkan langkahnya perlahan menuju meja di depannya, wanita itu pun semakin ketakutan hingga keringat dingin pun bermunculan di wajahnya. Rasanya ingin berlari dan berteriak, tapi kepada siapa? Tidak akan ada yang mampu mendengar apalagi menolongnya.
Sang wanita hanya mampu memejamkan matanya merasakan dinginnya tetesan air mata. Bagaimana tidak. Sang suami berniat menyingkirkan kandungannya. Walau ia tahu tidak ada cinta diantara pernikahan mereka, tapi bayi dalam kandungannya tidak berdosa.
"DUG! DUG! DUG!"
Detakan jantungnya semakin tidak beraturan sampai terasa ingin melompat keluar, dia tidak berani membuka mata saat laki-laki itu mulai mengulurkan tangannya untuk menarik meja tempatnya berlindung...
**
"AKH!"
Maura pun terbangun dari tidurnya dalam keadaan bergetar, wajahnya pucat dan dipenuhi butiran keringat dingin.
"Hhhfftt,,, hhhfftt,,,"
Maura mengatur napasnya yang tersengal. Sudah 6 tahun berlalu, namun mimpi buruk dari masa lalunya masih saja terkadang menghiasi tidur malamnya.
"Mami are you ok?" Suara menggemaskan khas bocah berumur 5 tahun menyambutnya.
Maura mengangguk lalu mengulas senyum kecil memandangi sang putra yang duduk di sampingnya, tengah memandangi dirinya dengan mata bulat yang menyiratkan kekhawatiran.
"Mami mimpi buruk lagi?" Menyodorkan segelas air putih.
"Terima kasih." Meneguk air minum.
Maura melirik weker, waktu telah menunjukkan pukul 00 : 15 Singapura.
*
*
*
1 malam telah terlewati, Maura kembali ke salah satu rumah sakit tempatnya bekerja. Dokter cantik berambut cokelat sedikit bergelombang itu berjalan anggun dalam balutan baju putih khas dokter menuju ruangan kerjanya.
Yah, wanita berusia 28 tahun dengan perawakan tenang, memiliki kaki jenjang, berkulit putih dan senyuman manis menjadi nilai plus untuknya yang berprofesi dokter.
"Morning dokter Maura!"
"Morning, dok."
"Morning!"
Sapaan dari rekan - rekan sejawat yang selalu menyambutnya setiap kali dirinya memasuki gedung rumah sakit memberikan kehangatan dan kebahagiaan tersendiri baginya, hingga senyuman manis yang menyejukkan hati selalu menghiasi hari - harinya.
"Hay bagaimana kabarmu?" Sapa dokter Dirga laki-laki tampan yang sudah 6 tahun menjadi temannya.
"Baik, kamu sendiri bagaimana? beberapa hari ini jadwal operasimu cukup padat." Meletakkan tas lalu mengalungkan stetoskop dilehernya.
"Em lumayan. Lumayan capeknya, lumayan begadangnya, lumayan sibuknya."
Maura mengerutkan dahi, "Tapi nyatanya kamu sukseskan?"
"Yah Alhamdulillah!"
"Hehehe!" Kompak.
Nah, Dokter Dirga ini selain sama - sama berprofesi dokter, mereka juga sama-sama berasal dari Indonesia dan beragama Islam. Entah sebuah kebetulan atau memang sebuah skenario yang disiapkan untuk mereka, yang jelas dokter Dirga telah menjadi saksi perjalanan Maura selama berada di Singapura.
Maura mulai membuka catatan untuk mengevaluasi beberapa laporan medical check pasiennya.
"Oh yah, apa kamu sudah yakin kembali ke Indonesia?"
Maura menatap Dirga, "Huffth!" Menghela napas.
"Sudah 6 tahun berlalu, aku rasa sudah waktunya aku kembali. Aku sudah menjalani hidupku sendiri tentu dia juga sudah pasti memiliki kehidupan lain."
"Lalu bagaimana dengan Elio?"
"Dia tidak pernah menginginkannya. Sejak dia lahir di dunia ini hanya aku yang dia miliki." Maura secara tidak sadar mencengkram kertas ditangannya, namun Dirga menyadari hal itu.
"Dia pasti tidak akan peduli, hubungan kami sudah berakhir dan aku tidak berniat memasuki kehidupannya lagi." Mengulas senyum.
"Ok. Aku percaya padamu." Dirga menyerahkan amplop yang berisi surat tugas untuk Maura yang menyatakan dirinya telah resmi di pindah tugaskan ke salah satu rumah sakit yang berada di Indonesia.
*
*
*
"Mami kita mau ke mana?" Tanya Elio saat sang mami telah mendandani dirinya dengan sepasang kemeja dan celana kain berwarna pick.
"Kita akan makan malam bersama dengan uncle Dirga!"
Seketika matanya membulat memancarkan binar bahagia dari kedua netranya. "Woaa,, apa ini makan malam perpisahan?"
"Entahlah mami juga tidak diberitahu. Cepat pakai sepatunya!" Maura beranjak lalu memakai anting yang senada dengan dress-nya di depan cermin.
Tanpa berkomentar bocah itupun memakai sepasang sepatu kulit berwarna coklat di kedua kaki imutnya. Lalu berlari ke kamarnya untuk mengambil sesuatu.
"Hati-hati nanti jatuh!" Tegur Maura yang masih merapikan dandanannya.
**
30 menit kemudian, sebuah mobil hitam telah terparkir tepat di depan pintu masuk sebuah restoran mewah. Security yang berjaga langsung membuka pintu, perlahan Maura turun dan langsung di sambut oleh Dirga yang berjalan kecil menuruni anak tangga.
"Perfect."
Maura tersenyum saat Dirga membisikan pujian dan keduanya pun saling memandang melebarkan senyuman.
**
"Mami?"
Keduanya terkejut saat menyadari Elio yang masih duduk di dalam mobil. Tubuhnya yang masih kecil memiliki kebiasaan selalu menolak orang lain menggandengnya turun dari mobil terkecuali maminya.
"Maaf, mami tidak bermaksud,,," Mengulurkan tangan.
"Cek, orang dewasa selalu saja rumit!"
Celetuknya sontak membuat Maura dan Dirga mengerutkan dahi tersenyum kecil. Jelas-jelas sikapnya yang tidak ingin digandeng oleh orang lain selain maminya setiap kali turun dari mobil, sudah cukup menandakan kalau dirinyalah yang rumit.
"Uncle bagaimana dengan penampilanku? Apakah aku lebih tampan dari anak-anak seusiaku?" Tanyanya melewati pintu masuk.
"Tentu saja, bahkan uncle juga kala tampan."
"Hiehieh!" Tawa khas bocah.
Malam itu, tidak ada alasan suasana menjadi buruk atau tidak membahagiakan. Bagaimana tidak tempatnya sangat indah juga modern, meja dihiasi dengan beberapa lilin terlihat romantis, aroma semerbak bunga yang merekah menenangkan jiwa serta hidangan yang mewah.
Terlihat seperti sebuah keluarga kecil yang bahagia tengah menikmati makan malam bersama.
Maura terlihat sangat menikmati, sedangkan Dirga sesekali mencuri pandang, senyum kecil juga tatapan binar menandakan jelas ketertarikannya kepada Maura. Elio yang cerdas mampu menyadari tingkahnya hanya tersenyum lalu melanjutkan makannya.
**
"Uncle aku punya hadiah untukmu, besok aku dan mami akan pindah ke Indonesia dan aku tidak tahu harus membalas kebaikanmu dengan apa. Jadi aku memutuskan untuk memberikan ini!" Menyodorkan kotak kecil lengkap dengan pita merah.
Maura dan Dirga sontak saling melirik, mereka tidak kepikiran Elio akan bertingkah semanis itu. Perlahan Dirga membuka kotaknya.
"Wah hadiah yang bagus!" Pujinya.
Sontak saja Elio tersenyum lebar membuat matanya menyipit. Namun justru membuat Maura tersenyum geli sementara Dirga meliriknya sambil mengerutkan dahi.
"Kelereng adalah mainan favoritku. Di dunia ini aku terlahir hanya memiliki mami yang paling aku cintai, dan kelereng benda yang kusukai setelah mami." Perkataan polos itu membuat Maura menatap sendu sang putra.
"Lalu setelah memberikan mainan kesukaanmu, apakah uncle jadi orang yang kamu sukai selain mami?"
"Hem tentu!"
Dirga tersenyum lalu mengelus kecil kepala Elio yang menatapnya dengan senyuman binar.
*
*
*
(HALAMAN APARTEMEN)
"Terima kasih atas makan malamnya!"
"Tidak perlu sungkan, besok kamu akan ke Indonesia. Selama beberapa bulan aku tidak akan melihatmu di rumah sakit pasti akan terasa sunyi."
"Tidak perlu bersedih, jarak Singapura dan Indonesia tidak terlalu jauh. Kamu bisa menghubungiku kapanpun bahkan bisa video call!"
"Kamu benar, tapi tetap saja ditinggal teman rasanya sedikit tidak rela." Menatap dalam Maura.
**
Keduanya saling menatap selama beberapa saat, senyum dan wajah cantik Maura membuat hati Dirga berdebar. Sudah bertahun - tahun dirinya menyimpan rasa untuk Maura, namun karena takut akan penolakan dan mungkin akan merusak pertemanan mereka membuatnya memilih menyukai Maura dalam diamnya.
Namun, mengingat keadaan mendesak Maura yang akan kembali ke Indonesia memberikan kekhawatiran tersendiri yang bersarang dalam hatinya. Bagaimana jika Maura kembali bertemu dengan David? atau bagaimana jika Maura menemukan pria lain di sana? Tidak. Dia tidak boleh melewatkan kesempatan.
Dengan berbagai pertimbangan, Dirga mengumpulkan keberaniannya untuk mengakui perasaannya kepada Maura malam itu. Tidak peduli dia menolak atau marah dia akan tetap mengatakan isi hatinya.
Perlahan Dirga menggenggam tangan Maura membuat yang punya tangan mengerutkan dahi menyadari tatapan Dirga yang sedikit aneh.
"Maura, aku tahu selama beberapa tahun ini kita telah berteman. Tapi, bagaimana jika aku menginginkan hubungan ini lebih dari teman?" Lirihnya.
"Dirga kamu ngomong apa? Ini sudah larut, tidak ada waktu untuk bercanda!" Tertawa kecil.
"Aku tidak bercanda. Aku menyukaimu selama beberapa tahun ini!"
Perlahan raut Maura menegang, "DUG. DUG." Irama jantungnya lebih cepat saat mengamati mimik muka Dirga yang sama sekali tidak sedang bercanda. Tangannya dingin dalam genggaman Dirga.
"Tapi, bagaimana mungkin? Selama ini kamu sangat baik kepadaku bahkan tidak pernah membicarakan hal seperti ini sebelumnya." Melepaskan genggaman perlahan.
"Aku tahu aku mungkin salah, tapi aku tidak bisa memilih kepada siapa dan kapan aku akan menyukai seseorang. Kamu boleh marah tapi tolong jangan membenciku, aku hanya takut aku tidak memiliki kesempatan untuk mengakuinya dan aku,," Dirga mengatur napasnya.
"Aku tidak meminta kamu menjawab-ku sekarang."
Maura berada di posisi dilema saat itu juga, di satu sisi Dirga adalah orang yang selalu menemaninya dan sangat baik kepadanya bahkan menyayangi Elio. Tapi di sisi lain, dia tidak memiliki perasaan bahkan masih enggan untuk membuka hati.
Bersambung...
"Dirga, kamu orang yang sangat baik dan aku bahagia telah memilikimu. Tapi, aku tidak pernah berpikir akan memiliki hubungan lebih denganmu, aku tidak ingin kehilangan seorang teman sebaik dirimu dan tidak ingin memanfaatkan mu demi kebahagiaan semu!" Maura sedikit bergetar, tatapannya dalam menyiratkan kesedihan juga rasa khawatir.
"Aku tahu. Sekali lagi aku hanya tidak ingin melewatkan kesempatan untuk mengakui perasaanku. Tapi apa boleh aku berharap kamu akan mempertimbangkannya, dan aku akan meminta jawaban kepastian setelah kembali ke Indonesia?"
"Bagaimana jika sampai saat itu tiba aku tetap mengecewakanmu?"
"Tidak! Aku berjanji akan selalu menghormati keputusanmu!" Mengulas senyum kecil sambil membentangkan tangannya.
Dengan senang hati Maura menyambut pelukan perpisahan mereka. Maura memeluknya dalam rasa terima kasih yang besar atas kebersamaan mereka sampai membuat matanya sedikit berlinang, sedangkan Dirga memeluknya dalam cinta juga harapan untuk hubungan yang lebih dimasa depan. Sedikit pilu karena harus terpisah membuat matanya memerah saat mengeratkan pelukan.
**
"Tolong ada anak dibawah umur melihat kalian!"
Sontak keduanya melepaskan pelukan, tersenyum menatap Elio yang mendongak menatap mereka.
**
"Mami apa kita akan benar-benar pindah ke Indonesia besok?"
"Tentu sayang, apa kamu senang?"
"Tentu saja walau ini pertama kalinya, tapi setidaknya aku tidak perlu lagi bertemu dengan Alex juga teman gangnya lagi!" Lirihnya sedikit menunduk memandangi kelereng berukuran besar dalam genggamannya.
"Loh memangnya kenapa?" Menggenggam tangan kecil itu.
"Mereka komplotan gang yang suka merundung anak di sekolah. Mereka juga beberapa kali mengatakan kalau Elio anak yang tidak memiliki ayah dan anak yang tidak di inginkan!" Menatap sendu maminya.
"Mami apa benar aku adalah anak yang tidak diinginkan? Sehingga aku lahir tanpa pernah melihat seperti apa wajah papi? Bahkan dia tidak pernah menelepon untuk menanyakan kabarku dan saat ini aku sudah sebesar apa."
Sontak Maura mendekap malaikatnya, "Dengar sayang, kamu itu anak mami kelahiranmu adalah sebuah anugerah yang tak ternilai. Jadi jangan pernah berpikir kamu anak yang tidak diinginkan!" Sedikit mendongak menahan pedih dikedua kelopak matanya yang mulai berlinang.
Elio melepaskan pelukannya. "Don't cry mami! Elio anak kuat meskipun tidak memiliki papi tapi dengan adanya mami juga kelereng ini Elio bahagia." Mengangkat kelerengnya.
"Heheh!" Kompak terkekeh kecil.
Elio anak yang cerdas dan tidak rewel. Walau dalam hatinya sangat menginginkan sosok orang tua yang lengkap bahkan kalau bisa sekali saja dia ingin melihat seperti apa wajah papinya secara langsung. Meski begitu dia tidak pernah memaksa dan mengatakan secara langsung kepada maminya prihal keinginannya itu.
Maura pun tidak pernah memberitahu banyak seperti apa sebenarnya sosok papinya itu. Elio hanya tahu jika papinya orang yang berpengaruh di Indonesia, bernama David juga memiliki wajah yang mirip dengannya. Bermodalkan informasi kecil itu, membuat Elio bersemangat saat mengetahui berita kepindahan mereka di Indonesia.
Karena sejatinya, Maura sendiri tidak terlalu memahami mantan suaminya itu. Pernikahan mereka terjadi karena sebuah perjodohan dan tidak didasari rasa cinta. Meski selama menjalani bahtera rumah tangga selama kurang lebih 5 bulan, David tidak pernah menyulitkannya, bahkan seandainya kebersamaan mereka lebih lama lagi, besar kemungkinan Maura akan benar-benar mencintainya.
Namun siapa sangka, David yang lebih banyak diam dan tidak pernah berkomentar buruk kepadanya diam - diam memerintahkan anak buahnya untuk menculik dan menyingkirkan anak dalam kandungannya. Hal itulah yang membuat Maura memutuskan untuk meninggalkan Indonesia termasuk keluarga dan teman-temannya.
Karena hal itu juga lah membuatnya memiliki rasa benci untuk David. Namun dia tidak pernah terang-terangan mengatakan kepada Elio. Dia tidak ingin mengajarkan anaknya menjadi sosok pembenci yang penuh dendam. Dia takut jika Elio mengetahui segalanya dia akan membenci David dan bisa membuatnya tumbuh menjadi orang yang tidak berperasaan hingga cenderung bersikap yang tidak bijak.
*
*
*
Pagi itu matahari bersinar dengan cerah, langit berwarna biru berpadu awan putih. Penerbangan dari Singapura ke Indonesia berjalan lancar.
"Selamat pagi Indonesia!"
Batin Maura saat dirinya berada di internasional airport, setelah 6 tahun lalu dia meninggalkan Indonesia membawa luka juga kecewa. Dia tidak pernah berpikir waktu akan kembali membawanya berada di negara yang memiliki banyak kenangan dalam hidupnya. Namun, kali ini dia berharap kepulangannya membawa kebahagiaan untuknya bersama Elio.
Maura dalam balutan dress berwarna putih itu memakai kacamata hitam yang lebar, rambutnya yang coklat terurai berjalan anggun menarik koper yang berwarna hijau bergandengan tangan dengan Elio yang juga mengenakan baju kaos sepasang celana pendek senada dengan Maura, lengkap dengan topi hitamnya.
Kekompakan ibu dan anak itu mengundang perhatian orang-orang disekitar, beberapa sampai berdecak kagum. Ibu muda yang cantik membawa putra berumur 5 tahun yang tampan membuatnya terlihat seperti istri dan anak dari CEO muda yang tampan bak dalam drama.
Hari itu, Maura bersama dengan Elio menuju ke sebuah hotel menggunakan taxi. Sepanjang jalan Elio menempelkan kepalanya di kaca mobil melihat setiap bangunan bertingkat yang dia lewati. Indonesia yang sekarang sudah memiliki banyak perubahan dibandingkan dengan 6 tahun lalu membuat Maura cukup mengagumi kemewahan yang terlihat.
"Mami Indonesia tidak seburuk yang kubayangkan!"
Celetuknya membuat supir taxi sedikit mengerutkan dahi. Sedangkan Elio sendiri tidak mengalihkan pandangannya.
"Ibu baru yah di Indonesia?" Tanya supir taxi.
"Saya baru kembali setelah 6 tahun pak. Kebetulan putra saya baru pertama kalinya ke Indonesia!"
"Owh pantas saja!" Tersenyum.
"Mami boleh nggak kaca mobilnya diturunin dikit?"
"Boleh!"
Tatapannya semakin berbinar saat pertama kalinya merasakan hembusan angin Indonesia dalam mobil. Diantara beberapa bangunan yang dilewati, sebuah mall besar menyita perhatiannya dan entah kenapa rasa ketertarikannya besar untuk mengunjungi mall itu walau dia tidak tahu apakah dia akan menyukainya atau tidak.
Diam - diam dia melafalkan dalam hati "D&M Mall." 3x.
Tentu saja itu bukan hal yang sulit baginya yang cerdas untuk mengingat nama juga tempatnya.
"Mami aku ingin mami nanti membawaku ke D&M Mall!" Pintanya tanpa memalingkan wajah.
"Hem" Sementara Maura sendiri yang sibuk membalas chat dari Dirga tidak terlalu mendengar jelas perkataan putranya, sehingga dengan mudahnya dia mengiyakan permintaan sang putra.
**
"Elio ganti bajunya lalu makan malam!" Tanpa komentar dia meletakan mainannya diatas sofa lalu memasuki kamar.
"Elio baru saja ingin makan malam!" Maura berbicara dengan Dirga sambil meletakkan segelas susu untuk Elio.
"Kalian pasti kelelahan, istirahat lebih awal!"
"Baiklah, lanjutkan kerajaanmu dengan baik! Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam."
Elio dengan sabarnya makan sendiri tanpa perlu di temani. Sedangkan Maura meletakkan ponselnya lalu mulai mengeluarkan beberapa pakaian untuk dirinya dan Elio besok.
"Mami apa besok mami akan ke rumah sakit?"
"Iya, mami harus melapor kepada direktur dan menyerahkan surat tugas!"
"Lalu bagaimana dengan sekolahku?"
"Mami telah mendaftarkan mu ke sekolah TK yang bagus."
"Jadi boleh Elio ikut dengan mami besok?"
"Boleh. Cepat habiskan makanannya, mami sudah bilang kan kalau lagi makan tidak boleh terlalu banyak bicara!"
"Sorry!"
Maura tersenyum begitu juga dengan Elio yang menyempatkan diri memberikan finger love. Elio selain cerdas juga sopan kepada maminya.
*
*
*
Setelah menyerahkan surat tugas di rumah sakit. Maura memutuskan untuk menemui seseorang. Tatapannya sendu memandangi dua wanita beda generasi dari balik celah pagar. Keduanya terlihat sedang menanam sebuah bunga di dalam pot yang berukuran sedang.
Setelah 6 tahun berlalu, dia pergi begitu saja meninggalkan ibu dan sahabatnya itu. Luka, rasa kecewa juga ketakutan serta amarahnya terlalu besar saat itu sehingga dengan egoisnya pergi tanpa pamit. Dia bahkan sampai lupa dengan perasaan orang tercinta yang dia tinggalkan.
Setelah kembali, kini tak hanya rasa bersalah tapi juga rasa takut atas kebencian bermunculan di dalam hatinya. Bagaimana bisa dengan mudahnya dia menemui mereka setelah semua yang terjadi.
Maura bergetar perlahan menelan saliva saat merasakan tenggorokannya tercekat, matanya berlinang memandangi rambut yang mulai memutih di kepala ibunya bersama dengan sahabatnya yang kini sudah menjadi wanita dewasa dan semakin cantik.
Elio mendongak menatap maminya, saat merasakan tangan maminya yang menggandengnya sedikit dingin bergetar.
"Mami, are you ok? Kita bisa menemui mereka besok!"
Maura menunduk menatap kedua netra putranya yang sudah jelas sangat menginginkan pertemuannya dengan sang nenek juga tante yang selalu dia ceritakan kepadanya.
Maura menarik napas dalam-dalam lalu menggeleng kecil sebelum menggandeng Elio memasuki halaman rumah. Setiap langkahnya membawa mereka semakin dekat satu sama lain dan dadanya pun semakin berdebar.
Tepat beberapa langkah dibelakang mereka, Maura menghentikan langkahnya. Sudut matanya memerah memandangi punggung sang ibu, lalu meneliti helaian rambutnya yang mulai memutih. 6 tahun bukanlah waktu yang singkat, dia menyadari jika dirinya telah melewatkan banyak momen bersama ibunya.
"Ibu.." Batinnya.
Bersambung...
Jika bisa kembali ke waktu 6 tahun lalu dan mendapat kesempatan untuk memilih takdir hidupnya. Maka Maura akan menolak garis pertemuan antara dirinya bersama David, dan memilih menyerahkan hidupnya untuk menemani sang ibu menciptakan momen bahagia di setiap harinya.
"Ibu, Tania?" Lirihnya bergetar.
Kedua wanita itu menoleh, saking terkejutnya mereka hanya melongo tanpa kata sedangkan Maura menggertakkan rahangnya menahan linangan air mata.
**
"Tania ibu mau istirahat, sepertinya aku mulai berhalusinasi." Seru ibunya merasa tidak percaya apa yang dia lihat, sedangkan Tania sendiri hanya mematung.
"Ibu, ini Maura." Menarik tangan ibunya yang berbalik hendak masuk.
Saat merasakan sentuhan yang terasa dingin menggenggam telapak tangannya, ibu Maura menghentikan langkahnya lalu perlahan menoleh. Selama beberapa saat dia tidak berbicara, namun matanya meneliti wajah di depannya. Meski 6 tahun telah berlalu dan Maura semakin dewasa namun wajahnya tidak banyak berubah, sebagai ibu yang melahirkannya tentu akan selalu mengenali putrinya.
Perlahan mengangkat tangannya menyentuh wajah anaknya untuk memastikan apa yang dia lihat. Wajah yang halus sedikit dingin membuatnya tersentak, seperti berada dalam mimpi yang begitu nyata. Saat itu juga tangannya bergetar mulai mengelus kecil pipi, hidung juga dagu Maura memastikan sentuhan itu lebih nyata.
Maura memejamkan matanya perlahan saat tangan hangat dari ibunya membelai lembut wajahnya. Tetesan air dari sudut matanya pun berhasil lolos membasahi pipinya kala itu juga. Sentuhan hangat yang selalu dia rindukan selama 6 tahun itu kini kembali dia rasakan.
"Maura anakku. Kamu kembali nak?" Lirihnya dengan mata berkaca-kaca membingkai wajah Maura.
"Ibu, hisk. hiks. Ibu Maura sangat merindukanmu maaf jika Maura baru kembali sekarang. Hiks. Hiks. Hiks."
"Hiks. Hiks. Hiks." Ibu dan anak itu menangis dalam pelukan satu sama lain.
**
"Tania aku juga merindukanmu." Memeluk sahabatnya.
"Dasar bodoh, kenapa baru kembali sekarang." Memeluk Maura. "Hiks. Hiks. Hiks." Ikut menangis saat Maura memukulnya dan merasakan keberadaannya benar-benar nyata.
Setelah keadaan sedikit lebih tenang, Elio memuncul dari belakang badan Maura. Bocah tampan bertopi hitam itu hanya memperlihatkan kepalanya lalu perlahan melebarkan senyuman.
Sontak membuat keduanya mengerutkan dahi, sedikit bingung terlebih saat melihat wajahnya yang tidak asing.
"Keluar lah sapa nenek juga tantemu!"
Barulah Elio memperlihatkan seluruh badannya berdiri di samping Maura.
"Ibu, Tania, ini Elio putraku!"
"Halo nenek, tante. Aku Elio umurku 5 tahun." Melambaikan tangannya dan lagi-lagi membuat kedua wanita di depannya kembali terkejut.
"Elio? Jadi aku sekarang sudah menjadi seorang nenek?" Menatap Maura sebelum memeluk Elio dan di sambut hangat olehnya.
*
*
*
(D&M MALL)
"PAPI...?" Teriak bocah laki-laki itu berlari.
"Hay, kok kamu di sini bukannya sekolah?"
"Papi bekerja terlalu keras lagi, sampai lupa waktu. Ini sudah siang dan anak TK memang seharusnya sudah pulang. Hiehie." Tertawa kecil.
"Athar, ibu kan sudah bilang kalau ketemu papi yang lagi kerja jangan digangguin!" Tegur wanita yang berlenggak menghampiri mereka.
"David maaf kami tidak bermaksud mengganggumu!"
"Tidak apa-apa."
"Oh yah aku dan Athar ingin makan siang kamu mau ikut?"
"Tidak usah. Aku masih ada kerjaan!"
"Bye papi!"
"Bye jangan nakal yah!"
Valen mengiringi langkah David yang meninggalkannya. Sudah 6 tahun kebersamaan mereka dan Athar sudah semakin besar, namun David tetap saja masih cuek bahkan lebih dingin jika hanya ada mereka berdua.
*
*
*
"Maura, wajah Elio terlihat sangat mirip dengannya, apa dia benar anak David?"
Maura menoleh memandangi Elio yang sibuk bermain kelereng di lantai ditemani seekor kucing peliharaan neneknya.
"Benar Bu, dia putra kandung David yang aku lahirkan 5 tahun lalu di Singapura."
Ibu Maura dan Tania kembali terkejut.
"Apa David mengetahuinya?"
Menggeleng "Tidak." Tatapan Maura menjadi sendu.
"Memangnya kenapa? Apa yang terjadi?"
"Bu dia tidak menginginkan kehadirannya. Dia bahkan ingin menyingkirkannya, kalau saja 6 tahun lalu aku tidak meninggalkan Indonesia mungkin aku dan Elio tidak ada di depan kalian saat ini!" Maura mencengkram kuat gelas ditangannya dan sorot matanya menjadi tajam, setiap kali membahas soal David dadanya akan berdebar membangkitkan emosinya.
Ibu Maura, Tania terkejut mendengar penuturannya, mereka juga dapat melihat jelas tatapan dan caranya membicarakan tentang David menyiratkan amarah juga kebencian.
"Tapi bagaimana mungkin? Bukannya selama ini dia cukup baik nak?"
"Aku mendengarnya sendiri!"
Ibu Maura hanya mampu menutup mulutnya saking syoknya. Dadanya ikut berdebar beradu dalam kebingungan.
"Itu sebabnya Maura pergi tanpa pamit, Maura hanya ingin menyelamatkan darah dagingku Bu, Maura tidak bermaksud meninggalkan ibu." Menatap sendu ibunya.
"Ibu mengerti perasaanmu nak, tapi ibu tidak pernah menyangka David bisa sekejam itu kepadamu. Rasanya ibu tidak percaya."
"Ibu aku tidak ingin membicarakannya lagi. Bisakan?" Tersenyum kecil.
Tania menggeleng kecil memberikan isyarat kepada ibunya untuk tidak melanjutkan pembicaraan mereka dan ibunya pun hanya mengangguk kecil. Tania dan ibu Maura masih bingung namun mereka tidak berani lagi bertanya lebih jauh.
"Lalu apa rencanamu sekarang? Kamu tinggal dimana?"
"Semalam kami menginap di hotel Bu. Aku menjadi dokter disalah satu rumah sakit Singapura dan sekarang pindah ke Indonesia!"
"Syukurlah Ibu senang ternyata kamu berhasil melanjutkan kariermu nak!"
"Wah kamu hebat Maura."
"Kamu sendiri bagaimana?"
"Tentu saja aku tidak seburuk yang kamu kira. Aku menjadi Analis di rumah sakit Medical Center!"
"Yang bener? Kebetulan sekali aku akan dinas di sana!"
"Hehehe!" Kompak.
Bertemu dengan orang tercinta lalu sama-sama berada dalam lingkup kerja yang sama tentu menjadi kebahagiaan besar bagi Maura saat itu.
Kini Maura memutuskan untuk kembali tinggal bersama dengan ibunya, lalu menjalani profesinya bersama dengan Tania.
Elio sendiri sudah mulai aktif di sekolah TK yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit tempat maminya bekerja. Hari itu setelah pulang sekolah, Maura membawanya ke rumah sakit karena dia lumayan sibuk sehingga tidak sempat mengantar putranya pulang ke rumah.
"Elio, mami harus memeriksa pasien kamu jangan kemana-mana yah!"
"Baik mi!"
Meski Elio cerdas dan penurut, tetap saja jiwa anak-anak melekat pada dirinya dan memiliki rasa penasaran yang tinggi serta ingin mencoba-coba, bahkan memiliki kenakalan tersendiri.
Beberapa menit setelah Maura meninggalkan ruangan khusus petugas, Elio pun perlahan membuka pintu. Setelah celingukan memastikan sekitar terlihat sunyi juga aman, dengan gesitnya dia berlari ke ujung lorong.
Saat di ujung lorong dia berbalik lalu mengamati sekitar dan mencoba mengingat sesuatu yang bisa dia jadikan penanda agar tidak tersesat. Dia cerdas membuatnya bisa dengan mudahnya menghafal sesuatu dengan cepat. Setelah meyakini diapun kembali berjalan dan lebih santai, dia berencana mengelilingi ruangan rumah sakit untuk melihat seperti apa keadaan tempat kerja maminya.
Setelah beberapa menit berjalan, tanpa sepengetahuan bocah itu, ternyata langkahnya telah membawanya melewati sebuah ruang rawat inap VIV. Awalnya dia berniat mengabaikan karena telah sudah pasti di dalamnya orang sakit, dan juga anak-anak tidak diperbolehkan berkeliaran di rumah sakit.
Jika maminya mengetahui dia akan di marahi dan bisa jadi tidak akan mendapat kesempatan untuk ikut ke rumah sakit lain waktu. Namun, saat langkahnya melewati kamar 05 kebetulan pintu dalam keadaan tidak tertutup rapat.
Sontak Elio menghentikan langkahnya, lagi -lagi rasa penasarannya muncul. Perlahan menjulurkan kepalanya, kebetulan keadaan ruangan saat itu sunyi hanya ada seorang laki-laki dewasa yang terbaring. Wajahnya tidak terlihat jelas tapi justru semakin mengudang rasa penasarannya.
Setelah mengendap memasuki ruangan, Elio berdiri tanpa bersuara memandangi wajah laki-laki yang terlihat tertidur itu. Wajahnya tampan dan yang lebih mengejutkan terlihat mirip dengannya, lalu pandangannya tertuju pada gelang tangan penanda pasien yang melingkar di lengan nya "David Megantara." Sontak membuat Elio membulatkan mata.
Yah, David. Pasien yang berbaring itu memang benar papinya jadi tentu akan memiliki wajah yang mirip dengannya.
Merasa terusik perlahan David membuka mata saat merasakan keberadaan seseorang di dekatnya. David yang awalnya mengira itu Athar tiba-tiba mengangkat sedikit kepalanya memasang raut keheranan.
Elio melepas maskernya, sontak membuat David terkejut. Entah dari mana datangnya bocah itu dan yang lebih mengejutkan dia memiliki wajah yang mirip dengannya.
"Uncle sakit yah?"
Hati David seperti bergetar namun memberikan kehangatan saat Elio menanyakan keadaannya. Bahkan Athar yang juga selalu perhatian tidak pernah memberikan kehangatan seperti saat itu.
"Uncle hari rajin minum obat! Mami selalu memberiku pil saat alergi kambuh dan besoknya akan sembuh. "Hiehieh!" Tertawa kecil membuat David mengaguminya.
"Siapa namamu nak? Kamu tampan dan cerdas!"
"Elio!"
"Elio?" David mengerutkan dahi seakan mengingatkannya sesuatu.
"Mami yang memberikannya, katanya saat melihat ketampananku yang bersinar seperti matahari waktu lahir, dia memberiku nama Elio."
"Boleh aku tahu nama uncle?" Pura-pura bertanya.
"Aku Da,,"
"Elio?"
Suara teriakan dari luar membuat keduanya terkejut bahkan David tidak sempat memberitahu namanya.
"Maaf aku harus pergi, kalau mami tahu aku berkeliaran dia akan memarahiku karena tidak patuh!" Merogoh sakunya mengeluarkan sebuah kelereng berukuran besar.
"Aku akan menemui uncle besok!" Elio berlari sambil sedikit berteriak.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!