Sreeek.... Sreeek... Sreeekk...
Terdengar suara benda diseret oleh sesosok tak dikenal dimalam yang sepi dan sunyi. Benda itu melewati dedaunan kering dan tanah basah yang baru saja tertimpa hujan. Terkadang melewati bebatuan. Tak jarang dedaunan dan tanah menempel pada benda berbentuk bulat yang tampak basah dan mengeluarkan aroma amis menyengat.
Seorang pemuda bernama Darmadi sedang menghi-sap sebatang ro-kok didepan teras rumahnya dengan begitu dalam. Ia merasakan nikotin yang keluar dari zat adiktif tersebut begitu membuatnya tenang saat seharian lelah bekerja.
Pemuda itu bekerja sebagai seorang mekanik yang memperbaiki mesin diesel dan itu ia lakukan untuk membantu menopang ekonomi keluarganya yang mana kini ia tinggal berdua saja dengan sang ibu, sedangkan saudara yang lainnya sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri.
Buuuuugh....
Suara benda terjatuh dan menggelinding tepat didepan terasnya. Ia yang sedang asyik mero-kok seorang diri terlonjak dari duduknya, sehingga membuat ro-koknya terjatuh.
Sekilas ia melihat sekelebat bayangan yang menghilang dibalik kegelapan malam, dan perlahan tak lagi dapat ia temukan.
Darmadi merasa penasaran dengan apa yang bergelinding didepan teras rumahnya. Ia mencoba memeriksanya dengan berjalan perlahan.
Benda berbentuk bulat dengan dibalut dedaunan kering dan tanah yang menempel membuat benda itu semakin tidak terlihat, namun, aroma amis beserta anyir begitu sangat kuat diindera penciumannya.
Pemuda bertubuh tinggi dengan kulit putih dan manik mata berwarna coklat itu semakin penasaran.
Ia berjongkok dan mengamatinya, kecurigaannya semakin besar saat melihat ada helaian rambut yang menyembul dibalik dedaunan kering yang menempel dibenda berbentuk bulat tersebut.
Dengan berhati-hati, ia mengambil sebatang pipa air yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berjongkok, dan menggunakan pipa air tersebut, ia membalikkan benda tersebut, dan...
"Aaaaaarrrrgh..." pekiknya kaget saat melihat apa yang ada dihadapannya.
Pekikan Darmadi yang sangat kencang membuat ibunya yang baru saja akan tertidur tersentak kaget dengan teriakan puteranya, ia merasa curiga dan menghampirinya didepan teras, begitu juga beberapa tetangga yang ada didepan rumahnya dan sudah mengunci dan bersiap tidur terpaksa membuka pintu untuk melihat apa yang sedang terjadi.
"Ada apa sih, Di?" tanya sang ibu yang terkejut dengan teriakannya.
Begitu juga dengan para tetangga yang ikut merasa penasaran dengan teriakan Darmadi yang mana pemuda itu kini sedang terjungkal ditanah dan tampak didepannya sebuah benda mencurigakan.
"A--ada kepala pun-tung" ucap Pemuda itu terbata sembari menunjuk ke arah benda yang tergeletak tak jau darinya.
Semua yang mendengarnya langsung tersentak kaget. Rasa takut bercampur penasaran membuat mereka ingin melihat secara dekat benda yang disebutkan oleh Darmadi.
Pemuda itu tampak bergetar hebat, tentu saja ia terkejut dan juga takut dengan apa yang dilihat dan ditemukannya.
"Gilaaa, sipa yang melakukan ini?" ucap salah seorang warga.
Lalu mereka berinisiatif menelefon polisi dan meminta agar tidak menyentuh benda tersebut agar tidak meninggalkan jejak sidik jari kecuali si pembu-nuh itu sendiri.
Darmadi dapat memastikan jika ia akan direpotkan oleh kepolisian dengan penemuan kepala tersebut, sebab benda itu berada tepat didepan halaman rumahnya dan ia orang pertama yang menemukannya.
Tak berselang lama, terdengar sirine meraung-raung menuju ke arah pemukiman mereka. Suasana yang semula sepi dan juga tenang mendadak ramai dan ini membuat kegemparan disebuah desa yang terkenal dengan tentram.
Pihak kepolisian lalu memasang garis police line dan meminta para warga untuk tidak memasuki kawasan yang telah dipasang tanda tersebut.
Polisi melakukan evakuasi kepala tanpa tubuh tersebut dan membersihkan kotoran yang menempel pada kepala yang masih mengalirkan darah segar. Ini menandakan jika hal ini baru saja terjadi, itu terlihat dari darah yang masih terus mengalir.
Setelah kotoran berhasil disingkirkan, seketika warga berteriak histeris.
"Aaaaaaarrgh...." teriak warga saat mengenali siapa pemilik kepala tersebut. Dia adalah Yudi, remaja berusia 16 tahun dan merupakan anak dari kepala desa yang tak jauh dari kediaman Darmadi.
"Astaghfirullah, siapa yang tega melakukan ini?" ucap seorang warga dengan rasa tak percaya. Para ibu-ibu menangis melihat kejadian tersebut.
Suasana semakin mencekam saat mata Yudi yang tadi terpejam tiba-tiba terbuka lebar, dan kepalanya terlepas dari tangan polisi yang memegangnya.
"Aaaaaaaaa...." teriak warga yang didominasi oleh kaum emak-emak.
Seketika bulu kuduk mereka meremang. Aroma anyir mulai menyeruak bersama tiupan angin yang tiba-tiba datang berdesir.
Dari kejauhan, tampak sebuah lampu sorot motor dengan deru mesin yang semakin mendekat. Lalu seorang pria bergegas turun dari motor tersebut setelah memarkirkannya tak jauh dari kerumunan, pria itu adalah pak Kades.
Pak Kades yang baru tiba dilokasi kejadian berteriak histeris mendapati kenyataan jika yang menjadi korban pembu-nuhan itu adalah anaknya sendiri, bahkan ia tidak tahu apa motif dibalik semuanya, sebab ia merasa tidak memiliki musuh selama ini.
"Yu--Yudi," teriaknya hampir tak terdengar karena menahan rasa sakit yang kini bersarang didalam dadanya.
Nafasnya tersengal, ia tak mampu mengeluarkan suaranya untuk mengucapkan kata yang tersangkut ditenggorokannya.
"Astaghfirullah halladzim... Inna lillahi wa inna illahi roji'un," ucapnya kembali lirih. Ia mencoba menguatkan hatinya yang kini sangat sakit.
Polisi kembali memungut kepala Yudi yang tadi sempat terlepas dari genggamannya. Ia memasukkan potongan kepala itu ke dalam kantong jenazah berwarna orange.
Sementara itu, pihak kepolisian dibantu oleh warga berinisiatif untuk menemukan potongan tubuh lainnya dan dipastikan tak jauh dari lokasi tersebut.
Malam ini juga, para warga membawa lampu senter dan beramai-ramai menyusuri jalanan desa untuk menemukan tubuh Yudi.
Dengan mengikuti arah ceceran darah yang tampak masih mengen-tal dan menuju ke arah sebuah rimbunan rumpun bambu yang berada didekat tepi sungai.
"Aaaaaa...." teriak seorang warga yang melihat potongan tubuh Yudi tergantung diatas batang bambu hingga meliuk merendah karena beban tubuh yang tak beraga tersebut.
Seluruh warga tersentak kaget, lalu menuju ke arah yang tempat ditemukan potongan tubuh Yudi.
Jasad tanpa kepala itu tergantung dengan darah yang mengalir membasahi tububnya dan hal itu membuat rasa ngilu bagi siapa saja yang melihatnya.
Saat bersamaan, Darmadi yang saat ini ikut membantu penurunan jasad Yudi, sekilas melihat sekelebat bayangan hitam yang mengintai dari balik rumpun bambu.
Seketika bulu kuduknya meremang. Saat ia ingin mengarahkan lampu senter ke arah sosok yang mencurigakan tersebut, dengan cepat sosok itu menghilang dan terlihat kibaran rambutnya yang tertiup angin.
Bersamaan dengan hal itu, Pihak kepolisian berhasil menurunkan jasad Yudi, lalu memasukkannya ke dalam kantong jenaza bersama dengan potongan kepalanya yang tadi ditemukan lebih awal.
Isak tangis warga terdengar memilukan. Mereka tidak menduga jika remaja itu ma-ti dengan cara yang mengenaskan.
Setelah jasad Yudi dibawa pihak kepolisian untuk dilakukan autopsi. Setelah mobil polisi meninggalkan lokasi kejadian, warga mulai berkasak-kusuk membahas kematian yang menimpa Yudi dengan cara yang sangat tragis.
Pak Kades pulang dengan mata sembab dan perasaan yang hancur. Ia tidak dapat membayangkan jika malam ini harus kehilangan puternya dengan cara yang tak wajar.
Malam semakin beranjak dan dingin. Para warga mulai membubarkan diri, meskipun beribu pertanyaan bersemayam didalam benak mereka dan berbagai dugaan mulai tersebar.
Berita kematian Yudi dari anak kepala desa menyebar dengan cepat, bahkan media sosial menjadi sarana yang begitu singkat dalam menyampaikan berita tersebut.
Darmadi memasuki kamarnya dan membaringkan tubuhnya diatas ranjang dengan perasaan penuh penasaran. Ia melihat ibunya datang untuk menanyakan tentang apa yang terjadi.
"Mayatnya sudah dibawah ke kantor polisi, Di?" tanya ibunya yang melangkah masuk ke dalam kamarnya, lalu duduk ditepian ranjang.
Pemuda itu menganggukkan kepalanya dengan lemah, tatapannya nanar memandang dengan sangat nyalang.
"Emang kamu nggak lihat siapa yang bawa kepala Yudi?" cecar sang ibu yang juga penasaran.
Darmadi hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. "Adi gak lihat, Bu. Hanya sekelebatan saja, tidak jelas siapa?" jawab Pemuda itu lirih, mencoba mengingat peristiwa barusan.
Laras mendenguskan nafasnya dengan halus, ia tidak ingin memaksa puteranya untuk bercerita malam ini, dan ia percaya dengan apa yang dikatakan oleh anaknya tersebut.
"Tidurlah, sebab esok pagi pastinya pihak kepolisian akan menjemputmu untuk dimintai keterangan," ujar Laras dengan lembut, lalu beranjak pergi dari kamar puteranya.
Setelah ibunya keluar dari kamar, ia bergegas menutup pintu dan menguncinya. Pemuda itu kembali ke ranjangnya, namun langkahnya terhenti sejenak saat melihat kelebatan bayangan hitam melintas dari jendela kaca kamarnya yang lupa ia tutup tirainya.
Dengan langkah cepat, Darmadi menuju jendela kaca dan menutup tirainya, ia tidak ingin melihat apapun malam ini, sebab wajah Yudi yang tampak mengenaskan itu sudah membuatnya sangat meremang.
Wuuuusssh...
Hembusan angin berdesir menyapa tengkuknya dan seketika membuat bulu kuduknya meremang. Bersamaan dengan itu, aroma kembang kantil menyeruak dari ventilasi udara dan ini membuatnya semakin meremang.
"Dasar syeetaaan, gak punya kerjaan apa gimana, sih? Gangguin orang mulu," umpatnya dengan kesal, lalu ia naik ke atas ranjangnya dan menarik selimut, lalu menutupi seluruh tubuhnya hingga tak terlihat.
Darmadi memejamkan matanya, mencoba untuk tertidur dan melupakan sejenak bayangan sosok hitam yang bersembunyi dibalik rumpun bambu tersebut.
Bersamaan dengan hal itu, selimut yang dikenakannya ditarik seseorang dengan sangat kasar dan terlempar dilantai kamarnya.
"Heeei, Syetaaan! Awas saja kalau Lo gangguin lagi, gua getok pala, Lo!" ancam Darmadi dengan kesal, lalu memungut kembali selimutnya dan mengenakannya, lalu berusaha untuk tertidur.
******
Sreeeeng... Sreeeeng... Sreeeng...
Seorang pria berusia sekitar 50 tahun dengan menggunakan blankon berwarna hitam serta pakaiannya juga berwarna hitam sedang mengasah sebilah golok.
Sesekali ia menyentuh mata golok tersebut untuk menguji ketajamannya menggunakan ujung jemari telunjuk tangannya.
Wajahnya tampak dingin, sorot matanya tajam penuh dendam. Tubuhnya gempal alias tambun membuatnya semakin terlihat sangar dengan kumis tebal menghias wajahnya.
Seorang wanita paruh baya yang juga bertubuh tambun menggunakan kain jarik sebagai pakaian bawahnya dan kemben sebagai atasannya berjalan dengan perlahan. Ia terlihat kesusahan dalam melangkah, sebab kakinya terkena reumatik dan ditangannya ia membawa nampan berisi kopi hitam panas kesukaan suaminya.
"Pak, ini kopinya," ucapnya dengan sangat pelan sembari meletakkan secangkir kopi untuk pria tersebut.
Wanita itu tak langsung pergi. Ia duduk disebuah bongkahan kayu yang siap untuk dikapak dan dijadikan kayu bakar untuk memasak, sebab rumah mereka berada terpencil dipinggir hutan dan jauh dari rumah warga lainnya.
Pria itu tak menyahuti ucapan istrinya, ia masih sibuk mengasah mata goloknya.
"Waktu si mbok ke warung pagi tadi, ramai warga yang membicarakan kematian anak Pak Kades," ucapnya lirih, dan melirik suaminya, "Hentikan semuanya, Pak. Jangan lakukan itu lagi," imbuhnya kembali dengan nada memohon.
Pria tambun itu menoleh ke arah sang istri yang mencoba mengajaknya berbicara dengan tatapan tajam yang mengalahkan tajamnya mata golok tersebut. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, ia masih dengan mode diamnya.
Darsih merundukkan kepalanya saat tatapan suaminya seolah membungkamnya. Pria itu meyeruput kopi hitamnya, lalu tanpa bicara ia menyarungkan golok tersebut kedalam sarungnya dan mengikatnya dipinggang bagian kanannya.
Ia beranjak pergi untuk mencari nafkah dengan merumput pakan ternak dari beberapa warga yang memiliki hewan ternak dan membutuhkan tenaganya.
Ia menyusuri jalanan setapak yang hanya sering ia lalui dan keluarganya untuk mencapai rumah warga. Ia mulai merumput dan nantinya akan ia bawa ke rumah Pak Kades yang saat ini sedang berduka karena kehilangan puteranya.
Pria tambun itu memikul tumpukan rumput diatas kepalanya dan ia bawa ke rumah Pak Kades. Saat hampir sampai mencapai rumah tersebut, tampak pelayat datang dengan sangat ramainya untuk mengucapkan bela sungkawa.
Rumah Pak Kades sudah dipenuhi pelayat yang juga penasaran dengan kematian tragis puternya.
Ki Roso berjalan dengan gulungan rumput diatas kepalanya. Ia tidak memperdulikan saat orang-orang sedang ikut berduka dan menunggu kedatangan jenazah Yudi yang telah selesai diautopsi.
Hasil dari dokter forensik menyimpulkan jika remaja itu tewas dibu-nuh. Terdengar suara mobil ambulance meraung-raung mengantarkan jenazah remaja tersebut, dan isak tangis keluarga serta para pelayat terdengar pilu saat melihat jasad tersebut diturunkan dari mobil ambulance, dan fardhu kifayah disegerakan.
Ki Roso meletakkan gulungan rumput tersebut didepan kandang ternak sapi, lalu ia memilih pergi dan akan meminta upahnya nanti saja.
Saat berasamaan, Darmadi dijemput kepolisian untuk dimintai keterangan sebagai saksi yang pertama kali melihat kejadian tersebut. Pemuda itu harus direpotkan dengan berbagai pertanyaan yang dicecarkan untuknya.
"Apakah saudara melihat siapa yang melemparkan kepala tersebut?" tanya penyidik dengan nada penuh selidik.
"Benar, Pak. Saya sudah katakan berapa kali kalau saya tidak melihatnya, sebab saat itu suasana gelap dan saya berada diteras bukan dihalaman," jawab Darmadi dengan sedikit berbohong. Ia tidak ingin mengatakan jika ia melihat sekelebat bayangan yang menghilang dengan cepat, sebab jika ia mengatakannya, maka ia akan terus dicecar pertanyaan.
Karena jawaban Darmadi selalu sama saat ditanya berulang-ulang, maka ia dibebaskan dengan cepat.
Pemuda itu mendenguskan nafas leganya. Ia kembali pulang setelah memberikan kesaksian, lagian juga jelas tidak ada sidik jari miliknya pada tubuh korban.
Sementara itu, Ki Roso kembali merumput. Ia akan mengantarkan rumput ke juragan Jali untuk pakan ternak juragan Jali.
Ia membawa gulungan rumput tersebut ke sang juragan. Saat itu ia berpapasan dengan Geo-- anak sang juragan yang berusia 25 tahun dan mereka saling melintasi tanpa menyapa.
Pemuda itu tampaknya akan pergi bersama temannya dan kembali malam hari.
Ki Roso meletakkan gulungan rumputnya dan melirik pemuda tersebut dengan tatapan dingin dan masih dengan mode diam.
Pria tambun itu tidak melihat keberadaan Juragan Jali, dan ia memastikan jika sang juragan sedang melayat ke rumah duka dikediaman Pak Kades.
Malam semakin larut. Sebuah kesunyian dan nyanyian serangga malam yang terdengar riuh mengantar tidur insan yang terlelap diperaduannya.
Dalam kesunyian itu, Geo mengendarai jalanan yang masih belum tersentuh aspal. Para pejabat desa sudah beberapa kali mengajukan pembangunan kalan desa, namun belum juga terealisasi dengan apa yang diharapkan.
Pemuda itu memacu motor miliknya dengan kecepatan yang lamban. Sebab saat ini lagi musing penghujan, membuat jalanan menjadi becek dan berlumpur, sehingga memperlambat laju kendaraannya.
Pemuda itu tau jika malam ini adalah malam tahlilan untuk rekan satu genk-nya dalam konkow bersama, tetapi ia ada keperluan mendadak yang membuatnya harus keluar dari desa menuju kota.
Ia sebenarnya bergidik melihat kematian tragis sahabatnya, namun semua itu tak menyurutkan langkahnya untuk ke luar.
Malam ini ia pulang dengan ditemani rintikan hujan yang semakin memperlambat laju kendaraannya.
Hampir beberapa kali ia harus terpeleset dan bersusah payah menegakkan motornya yang gede.
Tampak sebuah kilatan cahaya dilangit yang menandakan jika petir akan menyambar.
Benar saja dugaannya.
Duuuuaaaarrr....
Suara petir terdengar menyambar sebatang pohon kelapa yang tumbuh dipinggir jalan desa dan menghanguskan pucuknya.
Geo menggigil kedingin, sebab ia merasakan jika perjalanannya terasa melambat dan sangat jauh, meski sebenarnya jika dalam kondisi jalanan kering, ia dapat menempuhnya dalam waktu 30 menit saja.
Pemuda itu menggerutu dalam hatinya, dan sialnya, lampu sorot motornya mati tiba-tiba dan membuatnya tak mampu menerangi jalanan.
"Siaaaal," makinya dengan kesal. Dalam kekalutannya. Ia merasakan hembusan angin yang sangat berbeda, dan ia merasakan jika itu bukan angin biasa, sebab angin tersebut disertai aroma kembang kantil yang menyeruak disekitarnya.
Geo menyapu tengkuknya yang meremang, ia merasakan punggungnya ada sesuatu yang mengikutinya dibelakang.
Pemuda itu mencoba mero-goh tas selempangnya, ia ingin mengambil phonsel pintarnya dan menyalakan senter sebagai penerangan.
Tetapi lagi-lagi ia mengalami nasib sial, sebab phonselnya tidak mau menyala karena kehabisan daya. Ia kembali menyimpannya.
Geo mencoba menghidupkan mesin motornya mungkin ia akan menerobos jalanan tanpa lampu motor. Ia menghidupkan tombol startnya, dan kini nasib sial kembali menimpanya, berulang kali ia mencoba menghidupkannya, tetapi mesin motornya masih juga tetap mogok.
Pemuda itu mendengus kesal. Ia mendorong motornya dan terasa sangat berat sekali, mungkin jalanan yang becek membuat beban motornya terasa bertambah.
Sesaat Geo merasakan aroma kembang kantil semakin jelas tercium dirongga hidungnya. Ia merasakan jaraknya sangat begitu dekat.
Perlahan ia melihat kilatan cahaya yang menandakan petir akan menyambar. Saat bersamaan, kilatan cahaya halilintar memperlihatkan seseorang yang sedang duduk diboncengan motornya melalui kaca spion.
Sontak hal itu membuat Geo terkejut dan panik. Ia tidak berani menoleh ke arah belakang. Ia menjatuhkan motornya dan berlari melewati jalanan berlumpur.
Nafasnya tersengal dan dadanya bergemuruh, keringat dingin mengalir deras dari pelipis matanya.
Sesekali ia terjatuh dan berusaha bangun dengan pakaiannya yang berkubang lumpur.
Ia melihat sosok yang mengikutinya dari arah belakang tampak semakin dekat, membuat nyali pemuda itu semakin menipis.
Ia kembali terjatuh dan kakinya terasa berat untuk sekedar ia gerakkan. Ia diambang ketakutan yang luar biasa.
"Ampun..., ampuni saya," ucapnya dengan nada memohon sembari mengatupkan kedua tangannya didepan wajahnya. Ia mengenali sosok itu, dan ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"T--tooolong... Tooolong," teriaknya ditengah guyuran hujan yang semakin deras, dan tidak ada sesiapapun yang melintasi jalanan.
Tetapi sosok itu tak mengindahkan permohonan dari sang pemuda. Ia tampak memandang dengan dingin dan kulit pucatnya yang semakin seputih kapas. Lalu sesuatu yang sangat tajam ia ayunkan, dan...
Craaaaaass...
Sebuah tebasan yang sangat kuat memisahkan kepala sang pemuda dari tubuhnya.
Darah menggenang dengan sekejab bersama rintik hujan yang semakin deras.
******
Pagi harinya, juragan Jali memeriksa kandang ternaknya, sebab terdengar sangat berisik sekali. Ia berjalan dengan menggunakan kain sarung yang dililitkan dipinggangnya.
Ia menghampiri kandang ternak yang terdengar sangat berisik sekali. Hingga akhirnya ia dikejutkan oleh sebuah penampakan yang membuat lututnya terasa lemas.
"Astaghfirullah halladzhim...," ucapnya dengan mata melebar dan mulut ternganga. nafasnya memburu dan membuatnya seperti membatu.
Sesaat kemudian ia tersadar dengan suara ternak yang kembali riuh.
"T--toooooolooong," teriak Juragan Jali dengan suara yang hampir tak terdengar.
Rusdah yang baru saja selesai membuat sarapan bergegas keluar dari pintu belakang dapur untuk melihat suaminya yang berteriak meminta tolong.
"Ada apa toh, Pak?" tanya wanita bertubuh ramping tersebut dengan penasaran.
Bibir Juragan Jali tampak bergetar dan tangannya terlihat tremor. Ia seperti kaku untuk mengatakan sesuatu.
Ia menoleh ke arah kandang ternak untuk menunjukkan apa yang bary saja dilihatnya.
Rusdah mengikuti pandangan suaminya dan....
"Aaaaaaa...." teriaknya dengan sangat kencang dan membuat beberapa warga merasa penasaran dan mencoba memeriksa apa yang yang sebenarnya terjadi.
Rusdah linglung dan tak sadarkan diri, lalu terjatuh di tanah yang masih lembab.
Warga datang memeriksa, dan Seketika kegemparan terjadi tak kala mereka melihat kepala Geo tergantung dileher seekor sapi dengan kondisi mengenaskan.
"Haaah, Apalagi ini? Mengapa harus terjadi lagi? Kasus Geo saja belum ditangkap pelakunya, dan kini sudah jatuh korban lagi," ucap salah seorang warga yang merasa sangat takut dengan teror yang sangat mengerikan didesa mereka.
Sebelumnya desa ini begitu damai dan tentram, namun kini berubah bagaikan mimpi buruk.
"Panggil polisi, ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, ini sudah merupakan tindakan kejahatan yang perlu ditindak siapa pelakunya," ucap warga yang merasakan ketakutan luar biasa.
Warga saling pandang. Sebagian menolong Rusdah dan membopongnya masuk ke dalam rumah, sedangkan yang lainnya memapah Juragan Jali yang terlihat sangat lemah seolah tak bertenaga.
Belum sempat hilang rasa ketakutan warga, tiba-tiba datang sebuah mobil pick up yang membawa potongan tubuh Geo bersama motornya yang tergeletak dijalanan. Mereka melihat kartu identitas milik pemuda yang berada didalam tas selempangnya. Seketika suasana menjadi riuh oleh isak tangis.
Darmadi yang mendengar kabar tersebut ikut melayat ke rumah duka. Saat ia memasuki rumah tersebut, ia melihat sekelebat bayangan yang melintas diantara para pelayat. Pemuda itu tercengang dan berusaha membuntutinya.
Saat tiba ditepi hutan, Darmadi kehilangan jejak dari sosok misterius tersebut, ia tak menemukannya dan hal itu membuatnya semakin sangat penasaran.
"Siapa sosok tersebut? Mengapa selalu muncul setiap kali ada korban pembantaian? Apakah ia terlibat didalamnya?" gumam Pemuda itu dengan lirih.
Ia berjalan menapaki jalanan setapak. Saat bersamaan, ia berpapasan dengan Ki Roso yang selalu membawa golok kemanapun pergi.
Saat mereka berpapasan, pemuda itu mencoba menyapanya.
"Pagi, Ki? Tidak melayat ke rumah Juragan Jali?" tanya Darmadi ramah. Namun, pria bertubuh tambun itu tampak diam tak menjawab sapaan dari sang pemuda. Ia berjalan dengan tatapan dingin dan ini tidak biasanya.
Darmadi merasa ada yang berubah dari sosok ki Roso. Ia mengetahui jika pria tambun itu adalah sosok yang baik dan juga ramah, namun akhir-akhir ini ia berubah menjadi sosok yang dingin dan juga pendiam, bahkan terkesan acuh.
Pemuda itu melanjutkan perjalanannya pulang dan akan kembali untuk melayat.
Sementara itu, Ki Roso masih dengan wajah datarnya berjalan menyusuri jalanan setapak yang kanan kirinya ditanami pohon karet yang merupakan salah satu kebun terluas milik Juragan jali.
Pria paruh baya itu tampak begitu dingin, tanpa keramahan diraut wajahnya.
Sesampainya dirumah, ia disambut oleh sang istri yang tampak lebih dingin darinya. Sang wanita sepertinya sudah siap menyambutnya dengan omelan yang sama.
"Pak, sudahi semuanya, sampai kapan bapak mau seperti ini?!" ucap wanita paruh baya itu dengan wajah memelas.
Ki Roso menoleh ke arah sang istri dengan tatapan tajam yang mampu meruntuhkan nyali seseorang. "Diamlah, dan jangan campuri urusanku!" jawabnya dengan nada penuh penekanan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!