NovelToon NovelToon

Queen'S Choice

Awal: Sosok Lain

"Syarat yang harus kau penuhi sebelum dinobatkan menjadi seorang Ratu adalah menjadikan Benua Lusio sebagai wilayah kekuasaanmu."

Decakan kesal terdengar dari mulut seorang gadis dengan rambut coklat gelap serta bola mata berwarna abu-abu. Kaki kanan ia tumpukan di atas kaki kiri. Dagunya ia angkat ke atas, menunjukkan keangkuhan.

"Turunkan sedikit pandanganmu, Putri. Aku masih seorang Ratu di sini," ucap seorang wanita paruh baya yang duduk di sebuah singgasana mewah. Matanya menajam, menatap sang Putri Mahkota yang tampak angkuh. "Aku tidak memintamu untuk mendapatkan seluruh wilayah Benua Lusio," lanjutnya. "Setidaknya, kau harus menguasai seperempat wilayah itu sebelum penobatanmu tiba."

"Akan aku lakukan segera." Gadis berambut coklat gelap itu merespon dengan yakin. "Tapi dengan satu syarat."

Sang Ratu dengan mahkota di atas kepalanya melayangkan tatapan bingung sekaligus bertanya. "Apa syarat yang kau inginkan, Putri?"

Senyum miring tercipta di bibir sewarna ceri milik gadis itu. "Jangan pernah ikut campur dalam keputusanku atau pun pemerintahanku."

Ekspresi tak setuju langsung ditampilkan oleh sang Ratu. Di kerajaannya, Ibu Suri atau mantan Ratu sering kali ikut andil dalam pemerintahan. Sebelumnya pun ia sering diatur oleh sang Ibu yang merupakan Ratu terdahulu. Tapi anaknya ini tidak menginginkan dia ikut dalam pemerintahan?

"Kau bisa mengangkat anakmu yang lain jika tidak bisa memenuhi syaratku." Gadis itu menambahkan ucapannya. "Aku masih bisa hidup meski tanpa bantuan kerajaan ini sekali pun."

Helaan napas berat terdengar di aula luas yang diisi beberapa manusia itu. Tidak ada yang berani menimpali ucapan sang Ratu dan Putri Mahkota. Bahkan, Ayah dari sang Putri Mahkota yang duduk di samping Ratu pun tampak hanya diam tak berkutik.

"Ya, baiklah. Aku tidak akan ikut campur jika kau berhasil merebut wilayah itu," tukas sang Ratu bernama Reese Leticia Naveen.

Si Putri Mahkota tersenyum penuh kemenangan. Dirinya yang duduk di tengah-tengah aula langsung mendapatkan perhatian dari para Menteri di sana. "Bagus. Aku akan segera pergi ke Benua itu secepatnya."

Dan benar saja. Keesokan harinya, ia berangkat melintasi lautan bersama beberapa Pelayan dan Prajurit. Gadis itu tersenyum miring tatkala tiba di bagian Selatan dari Benua Lusio. Melihat banyaknya aktivitas rakyat di sana, membuat berbagai macam pikiran yang tidaklah bagus muncul di kepalanya.

"Setelah ini, mereka harus bekerja untukku seumur hidup mereka."

Ia berkeliling di sekitar pelabuhan. Melihat-lihat apa saja yang ada di sana. Matanya memindai raut wajah yang ditampilkan rakyat. Beberapa ada yang senang, sedangkan lainnya tampak bersedih, putus asa, marah dan sebagainya.

Lagi, sebuah lengkungan tercipta di belah bibir merahnya. Lusio adalah benua yang cukup kaya, tapi jika diperhatikan rakyatnya banyak yang menderita. Entah salah siapa, mungkin pemerintah setempat atau salah rakyatnya sendiri yang tidak bisa hidup dengan baik.

Untuk saat ini, ia akan beristirahat sejenak. Melepas lelah setelah sekian lama perjalanan menyebrangi lautan. Ia harus mengumpulkan tenaga. Maka dari itu, di sinilah ia berada. Di sebuah penginapan tak jauh dari pelabuhan. Hingga malam tiba, ia tetap di sana, memerhatikan gerak-gerik rakyat.

"Mungkin setelah ini, penderitaan kalian akan berakhir karena aku akan membunuh Raja kalian. Tenang saja rakyat Lusio, aku akan membuat hidup kalian sejahtera dengan cara melenyapkan pemimpin kalian yang tidak becus."

Sayangnya, ia tidak tau bahwa ada sosok lain yang juga menginginkan wilayah itu sudah lebih dulu tiba di sana dan melancarkan upayanya di bagian Utara Benua Lusio.

***

1. Cassitovia

Cassitovia.

Satu-satunya Kerajaan yang ada di Benua Arclic di Bumi bagian Selatan. Hawanya terasa sejuk cenderung dingin, bahkan saat musim panas tiba. Mawar biru adalah lambang resmi dari Cassitovia. Entah bagaimana caranya setangkai mawar bisa tumbuh di wilayah itu. Namun, karena ketangguhannya; tetap hidup saat badai sekali pun membuat bunga itu dijadikan lambang kerajaan oleh Nenek Moyang terdahulu. Sampai saat ini, baik rakyat mau pun bangsawan pasti memiliki setidaknya satu tangkai bunga berwarna biru tua itu.

Cassitovia adalah kerajaan yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Ada tiga gunung terkenal akan keindahannya di bagian Timur Cassitovia. Sedangkan di bagian Barat ada tambang emas dan berlian, membuat orang-orang yang tinggal di sana lebih kaya dari pada di bagian lain. Ada pun di bagian Selatan Cassitovia dikenal sebagai tanah airnya para prajurit dan panglima hebat. Lalu di bagian Utara ada pelabuhan besar yang sering dijadikan tempat persinggahan kapal dari kerajaan berbagai belahan dunia.

Istana Cassitovia sendiri terletak di tengah-tengah Benua Arclic yang dinamai Kota Caleryna. Dikenal sebagai pusatnya pemerintahan dan perdagangan karena Caleryna adalah Ibu Kota Cassitovia, juga terdapat pasar besar yang serba ada; mulai dari obat, makanan, minuman, pakaian, perhiasan, bahkan racun sekali pun dijual bebas di sana.

Satu lagi yang terkenal dari Cassitovia, yaitu; kerajaan yang tidak pernah dipimpin oleh Raja.

Cassitovia dikenal sebagai kerajaan yang sangat mengagungkan perempuan. Meski laki-laki tetap diperlakukan dengan baik, tapi laki-laki tidak pernah dibiarkan memimpin kerajaan. Selain itu, seorang Ratu di Cassitovia bisa memiliki suami lebih dari satu. Namun, tetap akan ada satu laki-laki yang diangkat menjadi Raja resmi Cassitovia, meski tidak diberikan kewenangan untuk mengatur pemerintahan.

Bisa dibilang, Cassitovia adalah surganya para perempuan, karena di sana tidak ada siapa pun yang berani menindas perempuan. Kehidupan perempuan dijamin aman dari laki-laki, tapi tidak dijamin aman dari sesama perempuan.

Tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan di sana. Tapi pembunuhan masih tetap ada.

Meski mengagungkan perempuan, bukan berarti perempuan yang melakukan kesalahan akan diampuni begitu saja. Ratu Cassitovia tetap memperlakukan orang yang salah sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Jika fatal, maka tidak ada siapa pun yang bisa menyelamatkan orang itu dari hukuman mati.

"Apakah ada kabar dari Putri Mahkota?" Reese, Ratu yang menjabat saat ini, melayangkan pertanyaan pada Perdana Menteri yang saat ini tengah duduk di seberangnya; hanya terhalang meja dengan beberapa gulungan kertas di atasnya.

"Putri Mey belum mengirimkan kabar apa pun, Yang Mulia." Niccolas, Perdana Menteri Cassitovia menjawab dengan tegas. "Tapi saya sudah mengirimkan mata-mata seperti Yang Mulia perintahkan sebelumnya."

"Lalu?"

"Putri Mey telah tiba di bagian Selatan Lusio, tepatnya di kerajaan Licaina, sore hari kemarin, Yang Mulia," sahut Niccolas. "Mata-mata mengatakan, Putri Mey belum melakukan apa pun hingga malam hari tiba."

Reese mengangguk singkat. "Kau bisa pergi."

Segera setelahnya, Niccolas bangkit dan membungkuk sejenak. "Memberi hormat kepada Yang Mulia Ratu."

Reese menatap kepergian sang Perdana Menteri dalam diam. Usia Niccolas dan Mey tidak terpaut terlalu jauh. Wajah Niccolas pun terlihat tampan di usianya yang menginjak 27 tahun. Reese berniat menjodohkan sang Putri Mahkota dengan sang Perdana Menteri. Tapi mengingat bagaimana sifat Mey, membuat Reese menghela napas pelan. "Anak itu pasti tidak mau dijodohkan."

Sedangkan di sisi lain, gadis yang dimaksud---Mey tengah duduk termenung dari balkon kamar penginapan yang ia sewa sejak baru saja tiba di Licaina kemarin.

Mey sudah tau dari jauh hari tentang Ibunya yang menginginkan Benua Lusio di bawah kekuasaan Cassitovia. Ia sudah menduga wanita paruh baya itu akan menjadikan keinginannya sebagai syarat untuk Mey dinobatkan menjadi Ratu selanjutnya.

"Hhh ... merepotkan."

Mey memicingkan matanya, mengamati interaksi beberapa laki-laki dan seorang perempuan di bawah sana. Tampaknya, gerombolan laki-laki itu sedang mencoba untuk melecehkan si perempuan. Mey berdecih pelan. "Laki-laki seperti mereka harus dimusnahkan."

Selanjutnya, yang gadis itu lakukan adalah turun dari kamarnya yang ada di lantai dua sembari membawa pedang kebanggaannya. Tak segan, Mey menebas leher salah satu dari laki-laki itu, hingga menimbulkan jeritan dari orang-orang yang menyaksikan.

"Kalian ingin merasakannya juga?" Mey tersenyum pada laki-laki yang tadi mengganggu seorang perempuan. Senyum yang tampak mengerikan bagi mereka. "Kenapa mundur?"

Mey berjalan pelan ke arah para laki-laki itu. Meski tubuh mereka lebih besar dan tinggi, tidak serta merta membuat dirinya takut. "Pedangku sangat ingin darah dari leher kalian. Kemarilah!"

Orang gila mana yang akan mendekat jika perkataan dari mulutnya semenyeramkan itu?

Jelas tidak akan ada, karena kini segerombolan laki-laki itu berlari menjauh.

Mey berbalik, menatap perempuan yang tadi sempat diganggu. "Kau baik-baik saja?"

Melihat anggukan dari perempuan muda itu, Mey kembali bertanya, "Siapa namamu?"

"Aalisha. Nama saya Aalisha." Perempuan itu menjawab sembari menundukkan kepalanya, tak berani menatap wajah Mey yang sedikit terkena percikan darah dari orang yang ditebasnya. "Terima kasih, Nona."

"Kenapa hanya menunduk?" Mey bertanya dengan nada tak bersahabat. "Tatap aku dan sebutkan namamu, sebelum aku menebas lehermu seperti dia."

Perempuan itu---Aalisha segera mendongak untuk bertatapan dengan Mey yang sedikit lebih tinggi darinya. "Na-nama saya Aalisha," ucapnya gagap.

Mey mengangguk. "Kau punya keluarga?"

Aalisha menggeleng. "Orang tua saya sudah meninggal."

"Kau sebaiknya ikut aku," ucap Mey dengan tatapan yang ia buat sebiasa mungkin mengarah pada Aalisha. "Jika menolak, maka nasibmu akan sama seperti dia," lanjutnya sembari menunjuk tubuh laki-laki yang ia tebas tengah tergeletak di tanah. "Jadi?"

Aalisha mengangguk cepat. "Sa-saya akan ikut Anda, Nona."

Mey tersenyum. "Bagus, karena aku tidak suka penolakan."

Setelah itu, Mey kembali ke penginapan diikuti Aalisha di belakangnya. Namun, belum sampai di gedung berlantai empat itu, langkah keduanya dipaksa berhenti oleh segerombolan prajurit berkuda. "Saya Panglima Licaina. Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan pada salah satu rakyat Licaina."

Akhirnya, Mey dan Aalisha dibawa ke kerajaan Licaina yang terletak cukup jauh dari penginapan.

"Awal yang buruk atau bagus?"

***

2. Zavandria

Zavandria.

Mendengar nama salah satu kerajaan di Benua Zalevine itu, kebanyakan orang pasti akan langsung terpikirkan dengan; laki-laki sangat diagungkan sedangkan perempuan ditindas sedemikian rupa. Pemerkosaan atau pelecehan terhadap perempuan sangat lumrah di Zavandria. Oleh karena itu, Zavandria dikenal sebagai surganya para laki-laki brengsek yang ingin memperlakukan perempuan sesuka hati mereka.

Raja mereka sendiri tak ada bedanya. Ia memiliki banyak selir dan kekasih. Para perempuan yang menolaknya akan langsung dihukum berat.

Zavandria sendiri tidak kaya akan sumber daya alam. Pendapatan terbesarnya berasal dari pajak judi, penjualan dan pembelian perempuan, dan penjualan senjata, seperti; pedang, tombak, panah, trisula dan sebagainya.

"Cassitovia berniat merebut Benua Lusio." Seorang laki-laki paruh baya yang tengah duduk di singgasana mewah berucap. Matanya menatap tajam seorang pemuda yang berdiri tak jauh di hadapannya. "Kau harus lebih dulu mendapatkannya, Pangeran."

Sosok yang dipanggil Pangeran itu mendengus pelan.

"Itu adalah syarat sebelum kau dinobatkan sebagai Raja Zavandria selanjutnya." Richard, laki-laki yang duduk di singgasana, menambahkan perkataannya. "Kau tidak akan dinobatkan menjadi Raja selagi belum menguasai sedikit pun wilayah di Benua Lusio."

Decakan kesal lolos dari bibir pemuda di hadapannya. "Kau tidak diberikan syarat apa pun saat dinobatkan menjadi Raja."

Richard menghela napas, berusaha menahan amarah yang tiba-tiba menggelora di dalam dirinya. "Hanya syarat itu yang aku minta kau penuhi," ujarnya. "Kau tidak perlu menikah dengan siapa pun. Kau juga bebas menentukan keputusanmu sendiri saat kau menjadi Raja nanti, aku tidak akan ikut campur."

Mendengar itu, seulas senyuman terbit di bibir pemuda itu. "Kau memang tau apa yang aku inginkan," katanya. "Baiklah. Aku akan langsung berangkat hari ini."

Setelahnya, pemuda itu berlalu begitu saja; tanpa membungkuk hormat seperti yang biasa orang lain lakukan pada Raja. Ia membawa serta beberapa prajurit untuk ikut dengannya ke Benua Lusio.

Perjalanan melintasi laut berlangsung selama hampir 12 jam. Begitu tiba, ia langsung pergi ke kerajaan yang ada di bagian Utara Benua Lusio yaitu; kerajaan Leoparta. Melakukan negosiasi sejenak, lalu membunuh sang Raja dan keluarganya tanpa rasa kasihan sedikit pun.

"Kerajaan ini sudah menjadi milikku," ucapnya sembari mengelap percikan darah di wajahnya yang berasal dari tubuh sang Raja Leoparta.

***

"Ja-jangan mendekat!" Seorang perempuan menjerit ketakutan dengan tubuh bergetar hebat. Dengan langkah terseok-seok ia berlari di lorong kerajaan yang penuh dengan mayat dan  darah di mana-mana. Bau anyir sangat menyengat di setiap langkah. Ia membalikkan tubuh saat mendapati jalan buntu; terhalang tembok. Matanya bergetar melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi berjalan mendekat ke arahnya sembari tersenyum; menyeramkan. "Kenapa kau membunuh keluargaku, sialan?!"

Sosok itu tertawa sarkas.  "Kau pikir kenapa, hm?" katanya. "Tapi akan kujawab dengan senang hati." Ia berhenti berjalan ketika tepat berada di depan perempuan yang tadi berlari ketakutan. "Ayahmu sudah menolak kerja sama denganku. Kau tau? Aku harus menguasai Lusio sebelum dinobatkan menjadi Raja. Karena wilayah kerajaanmu berada di Utara, maka aku mendatanginya lebih dulu. Bukankah aku sangat sopan karena tidak melewatkan kerajaan kecil ini?"

"Kau ... monster, bajingan!"

Sosok itu kembali tertawa. "Namaku Aland, bukan bajingan." Ia semakin memojokkan perempuan itu. "Dan aku adalah manusia terakhir yang akan kau lihat sebelum kematianmu."

Darah merembes keluar dari perut perempuan itu tatkala pedang tertancap. Tak hanya satu kali, pedang itu ditarik dan ditusukkan kembali hingga perut perempuan itu terkoyak.

"Ka-kau ... a-akan menerima a-akibatnya, sialan!"

Sosok itu---Aland tersenyum miring melihat tubuh perempuan yang ia bunuh tergeletak ke lantai begitu saja. Tanpa perasaan ia menendang wajah korbannya. "Kau lebih cantik saat seperti ini."

Setelahnya, ia berlalu pergi dari istana Leoparta yang sudah tidak berpenghuni. Raja dan keluarganya telah dihabisi. Begitu pun dengan pelayan dan prajurit juga para Menteri. "Bakar istana ini!" titahnya yang langsung dilaksanakan oleh prajuritnya.

"Itulah akibatnya jika tidak menerima tawaranku." Aland berdiri di gerbang Istana Leoparta. Menyaksikan bagaimana lahapnya api memakan seluruh bagian istana dan isinya. Suara panik dari rakyat yang turut menyaksikan hal itu seolah menjadi melodi yang indah, hingga bibir Aland tersenyum dibuatnya. "Menyenangkan sekali."

Ia berbalik, menatap rakyat Leoparta yang berbondong-bondong menyaksikan istana dibakar.

"Pangeran kami akan berbicara!" Panglima Zavandria yang dibawa oleh Aland berseru dengan suara kencang. Matanya menatap rakyat dengan tatapan tajam. "Dengarkan dengan baik atau kami akan membunuh kalian tanpa ampun."

Seketika seluruh perhatian terpusat pada Aland.

"Raja kalian sudah mati." Aland memindai ekspresi yang ditampilkan rakyat. Terkejut, tentu saja. Namun, ada juga yang menampilkan ekspresi sedih, marah, takut dan lainnya. Aland tersenyum. "Jika kalian patuh padaku, maka hidup kalian akan aman."

Seorang pria paruh baya maju selangkah. "Bagaimana bisa kami patuh pada orang yang sudah membunuh Raja kami?"

Sepersekian detik, tubuh paruh baya itu sudah tergeletak di tanah dengan darah mengalir dari perutnya. Aland membunuh pria itu di hadapan rakyat lain. "Ini adalah akibatnya jika ada yang mempertanyakan kehendakku."

Yang Aland lakukan selanjutnya adalah pergi menggunakan kuda yang ia dapat dari istana Leoparta. Berniat untuk beristirahat sejenak karena langit mulai gelap, pun tubuhnya yang perlahan lelah. "Aku harus menjadi Raja," tekadnya. "Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikanku."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!