...----------------...
...Menarilah hingga lututmu terasa akan hancur, menarilah hingga dukamu luruh dan berganti suka. Dan teruslah menari meski nanti ragaku telah mati....
.........
Maria Sean menatap jauh ke langit kelabu yang berkabut sore itu, air matanya yang bergantung di sudut matanya siap terjatuh kapanpun. Duduk di tepi tempat tidur yang sudah membuatnya muak, jemarinya bergerak perlahan menggenggam tangan seorang pria yang tengah tertidur di sana, Billy Sean. Orang yang ia harapkan bisa menua bersamanya, suaminya.
Wajah tidur pria itu begitu tenang seakan tak terjadi apapun padanya, namun hal itulah yang semakin menambah kadar kekhawatiran dalam hati Maria. Mengingatkannya pada badai yang datang setelah hujan.
Kecelakaan tiga tahun lalu mengubah segalanya. Wajah tampan itu kini tak lagi berbentuk, kaki jenjang yang begitu ia banggakan pun telah remuk, tubuh yang semula tegap dan gagah kini mulai mengurus dan tak terawat. Bahkan dokter berkata tak ada jalan lagi untuknya bisa kembali pada kehidupan normalnya.
Bukan hanya perubahan fisik tapi juga mental yang ikut terguncang.Maria ingat bagaimana Billy mengamuk ketika pertama kali siuman dari koma, itu benar-benar mengiris hatinya. Semenjak saat itu Billy telah kehilangan senyumannya, memikirkan hal itu membuat Maria tak menyadari air matanya kembali terjatuh.
"Bella.." ucap Billy berbisik perlahan, menyebut nama istrinya dengan suara yang lemah. Nella dengan cepat menghapus air matanya, meski Billy sudah tak mampu melihatnya.
"Ya.." Tanggap Maria dengan cepat, tersenyum getir memandang mata suaminya yang kosong. Bahkan sepasang sinar dalam bola mata itu pun, turut terenggut dalam peristiwa itu.
".. Ada hal yang harus kamu tahu, tentang masa lalu ku.." Seketika tenggorokan Maria terasa tercekat, 'Ada hal yang tak aku ketahui selama lima tahun pernikahan kami?'
"Apa?" ucap Maria dengan suara lembutnya, Billy meremas tangan Maria yang menggenggamnya.
"Tolong, ambilah sebuah buku dan kotak di rak paling atas sebelah kanan di ruang kerjaku." ucap Billy dengan susah payah berbicara.
Maria mengerutkan alisnya, jika tak salah mengingat buku di rak paling atas sebelah kanan di ruang kerja suaminya adalah buku yang selama ini begitu misterius bagi Maria.
"Itu.." Maria berdengung ragu.
Buku dengan sampul kulit berwarna coklat itu, buku yang dikirim seseorang dihari pernikahan mereka beserta kotak berbentuk persegi panjang berwarna hitam.
Billy pernah bilang itu dari kenalannya, namun tak pernah sedikit pun ia memperbolehkan Maria membukanya. Dan yang membuat Maria benar-benar heran, Billy juga tak pernah terlihat membuka buku itu juga memperlihatkan isi kotak kecil itu padanya.
"Kamu boleh membacanya saat aku benar-benar sudah tidak ada. Kunci kotak itu ada di laci ku." ucap Billy yang membuat Maria memandangnya dengan terkejut.
Jantungnya terasa berdenyut dan panas.
"Ada satu hal yang tidak bisa aku ceritakan padamu, tapi kamu bisa mengetahuinya setelah membuka kotak itu dan membaca bukunya.."
Maria menatap wajah Billy dengan sorot mata yang kentara sekali kecewa. Selama ini ia yakin tak ada lagi rahasia di antara mereka, namun nyatanya suaminya masih menyembunyikan sesuatu.
Maria ingin tahu tapi disisi lain ia juga ragu, apa itu hal yang akan menyakitinya atau tidak?
Saat Maria sedang berpikir keras, menimbang keputusan antara memilih untuk mengetahuinya atau tidak, Billy tiba-tiba mengalami sesak nafas dan mulai kejang dengan panik Maria menekan tombol darurat, dan beberapa saat kemudian para dokter menghampirinya dengan tak kalah panik.
Maria menyingkir ke pojok ruangan dan menangis histeris saat dokter melakukan defibrilasi pada Billy, namun tiba-tiba darah menyembur keluar dari mulut Billy dan memenuhi masker oksigen.
" .... ..... ..... , .... ..... .......... ... ......" Billy tersenyum tulus ketika nafas terakhirnya berhembus.
Maria merasa dunianya berputar saat elektrokardiogram yang terhubung ke tubuh Billy berhenti di angka 0, dan berdenging nyaring.
Maria melihat Billy mengatakan sesuatu dan tersenyum sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap. Senyuman tulus terakhirnya, sebagai hadiah perpisahan.
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
Maria menunduk menatap sebuah buku usang bersampul kulit, sudah dua minggu sejak Billy berpulang. Maria tak punya pilihan lain selain membaca tulisan tangan yang tertera dengan rapi di buku itu, yang ternyata adalah buku harian.
"MarabellaJournal, sebelas Januari, dua ribu sepuluh." Maria berhenti sejenak. Alisnya mengerut, ini buku dua belas tahun lalu. "Apa yang ingin kamu beritahu padaku Billy."
..
..
..
...Marabella Journal, Januari 11, 2010....
...Marah? Mungkin. Tapi marah pada siapa? Orang tua? Mungkin juga. Atau Tuhan? Bisa jadi. Tapi apakah itu bisa merubah apa yang terjadi sekarang?....
...Kewe...
...Kecewa? Sudah jelas....
...Dendam? Perasaan marah yang berlarut-larut dan terkadang membuat ku kehilangan akal sehat ku. Ambisi yang tak jelas....
...Tapi apakah itu salah? Ku pikir tidak. Aku tidak punya keluarga yang ku cintai, aku tidak punya teman yang bisa menjadi alasan dan bahkan terkadang aku merasa hidup ku juga tak begitu berarti. Itu semua sebelum aku mengenal orang itu....
...Pada usia 18 tahun, ketika aku memutuskan untuk meninggalkan rumah....
...Tepatnya 365 hari 5 jam 48 menit 45,1814 detik. Jumlah yang sangat tepat seperti waktu yang di butuhkan bumi ketika mengitari matahari 1 kali. Sama dengan waktu yang aku butuhkan, untuk memahami dan merasakan betapa bodohnya aku dulu. Banyak hal yang ku pelajari dari mu pada waktu tersebut, tapi sayangnya butuh waktu dua kali lipat untuk memahaminya....
...Terima kasih karena sudah menemaniku selama masa pelarian ku yang konyol....
..
..
..
Handphone Marabella terus berbunyi nyaring selama lebih dari 10 menit yang lalu, pada awalnya sengaja mendiamkannya seperti itu, tapi sepertinya orang di sebrang sana begitu gigih, membuat mau tak mau Marabella terpaksa menekan tombol hijau disana.
"Marabella!" suara sangat ia kenal. Jordy Willem.
".." tak menjawab, Marabella tak peduli Jordy akan memaki atau meneriakinya karena tidak sopan.
"Marabella, apa yang ada di pikiran mu?! apa kau sadar dengan tingkah bar-bar mu ini!" ucap Jordy dengan nada tinggi, sangat kentara sekali jika dia sedang emosi.
Marabella hanya memejamkan matanya jenuh, ia sudah muak dengan umpatan dan makian ayahnya itu.
"Marabella!" Panggil Jordy, emosinya benar-benar meledak. "Tingkah mu sudah kelewatan!"
Marabella mendengus geram, dan berhenti melakukan peregangan yang sedang ia lakukan.
"Oh apa memukul ku selama ini bukan tindakan yang kelewatan bagi mu. Apakah begitu cara seorang Ayah menyayangi putrinya?!" ucapnya dengan sarkastis.
Jordy terdiam, lalu mencoba berkilah. "Itu sudah lama, dan kamu masih membahasnya."
Marabella berdecak kesal, "Lalu jika sudah lama kenapa? Kamu yang membuat ibu ku mati sialan. Setelah ibu ku mati kamu membawa jalang itu ke rumah, meskipun kamu berhenti memukul ku tapi aku kehilangan ibu ku. Kembalikan ibu ku brengsek!"
"Marabella!" bentak Jordy, marah dengan perkataan Marabella. "Dia juga mama mu, jaga bicaramu."
"Ibu ku cuma satu dan itu adalah wanita yang sudah kamu bunuh. Aku tidak peduli kamu memukul ku sekeras apa atau sebanyak apa, aku hanya membutuhkan ibu ku." pekik Marabella, menatap layar handphonenya dengan berurai air mata.
"Tadinya hidup ku baik-baik saja. Meskipun aku menjadi pelampiasan amarah mu, karena ada ibu bersamaku. Tapi semenjak dia pergi, itu benar-benar hancur. Aku sudah terbiasa di siksa oleh mu. Tapi jika kamu mengambil ibuku, aku memutuskan untuk tidak pernah menganggap mu ayah. Namaku bukan Willems hanya Marabella." Marabella mengeluarkan unek-uneknya.
"Marabella."
"Kalau kamu ingin aku pulang dan bersedia menjadi alat untuk pernikahan bisnis mu, aku menolak."
"Itu demi kebaikanmu, masa depanmu." Bentak Jordy.
Marabella mencibir, "Kebaikan ku? Masa depanku? Haha lucu. Itu untuk kebaikan mu demi bisnismu dan demi kepuasan pribadimu."
Terdengar Jordy menghela nafas panjang dan berat di sebrang telpon, [Memangnya apa yang bisa kamu lakukan dengan balet mu itu?]
"Bukan urusan mu."
Jordy kembali menambahkan, [Sudah hampir setengah tahun kamu disana. Lihat apa yang sudah kamu dapat?]
"Bukan. urusan. mu."
"Marabella! K-" Jordy hendak membentak Marabella, tapi sepertinya handphonenya sudah di rebut dan detik berikutnya orang lain yang berbicara.
"Marabella, pulanglah. Tinggalkan mimpi mu menjadi balerina itu, mama tau kamu menyukainya tapi mama khawatir denganmu. Balet pasti membuat kaki mu sakit."
Marabella tahu yang berbicara dengannya barusan adalah Delia, "Mama kata mu? Aku tidak ingat punya mama seperti mu. Dan lagi sakit pada kakiku tidak pernah sesakit saat kamu merebut ayah ku." balas Marabella.
Jordy menggeram marah. "Dasar anak tak tau diri! Jika bukan karena kakek mu yang kolot itu, aku tidak mungkin menikah dengan ibumu! Kelakuanmu sama dengannya, sama-sama memalukan. Menjadi jalang seperti ibumu yang mempertontonkan tubuh dengan balet mu. Tapi jika dalam waktu satu bulan kamu belum juga pulang, lihat apa yang akan aku lakukan untuk menyeret mu kembali. Dasar sampah tak berguna!"
Marabella mendengus, sedikit tertohok dengan perkataan Jordy yang menyebutnya seperti jalang yang mempertontonkan tubuh. Tidak masalah jika Jordy hanya memaki dirinya, tapi dia juga menghina ibunya. Ia bernafas lega, setidaknya keputusannya untuk meninggalkan rumah sangat tepat.
Marabella sangat tahu Jordy sosok yang begitu mengagungkan harga diri, bukan tanpa alasan dia tetap mencarinya. Selain untuk memberi dirinya sendiri muka dan pencitraan. Apa kata orang jika tahu jika ternyata keluarga sukses dan ternama Willems, ternyata memiliki anak yang kabur dari rumah dan memberontak demi balet. Itu akan menjadi lelucon bagi kolega bisnis Jordy.
"Sialan.." umpat Marabella, ia benar-benar harus membuat rencana pelarian lagi. Ia tahu Jordy memiliki seribu cara untuk menyeretnya dalam kekacauan, meski selama ini Marabella terus berpindah tempat dan melakukan penyamaran saat di luar, Jordy akan tahu. Tidak cukup dengan meninggalkan rumah, ia benar-benar harus membuang segalanya dan mempertaruhkan hidupnya.
..
..
..
Marabella mendapat kesialan di pagi hari ini, setelah berdebat di telpon kemarin. Semalaman dia tidak bisa tidur dan terus memikirkan rencana pelariannya, alhasil dia terbangun kesiangan. Dengan langkah gontai Marabella berjalan memasuki gedung sekolah, sebuah sekolah khusus bet tempat dimana dia akan mewujudkan cita-citanya.
Selagi melakukan peregangan, Marabella kembali teringat kembali dengan percakapannya dengan Jordy kemarin. Ia sudah memiliki rencana sebenarnya, tapi itu terlalu rumit dan dia sedang mencari solusi lain untuk mempermudahnya.
"Marabella.."
Seseorang memanggilnya dan menghampirinya. Marabella menoleh, Vivi dan salah satu senior yang setahun lebih tua darinya, Rachel. Marabella selama ini merahasiakan latar belakangnya, tak pernah sedikitpun menceritakan perihal keluarganya. Ia hanya mengatakan jika ia tinggal sendiri, sedangkan ibunya sudah meninggal dan ayahnya sibuk bekerja.
Marabella selesai melakukan peregangan, murid balet di sana cukup banyak tapi Marabella tak terlalu serius menjalin pertemanan, karena menurutnya ia harus fokus pada balet dan latihan.
"Tumben kesiangan. Untung saja pelatih juga terlambat datang hari ini." kata Vivi dan bersandar di samping Marabella. "Apa kamu sudah tau? Ada kabar baik untuk kita."
"Apa?"
Vivi menyodorkan selembar pamflet di depan wajah Marabella. Marabella membacanya dengan kening sedikit berkerut.
"Tiga bulan lagi sekolah kita akan mengadakan pesta kelulusan kelas 3, dan akan ada pertunjukan balet yang akan di hadiri beberapa sekolah tinggi balet terkenal." kata Vivi dengan semangat.
"Katanya jika penampilan kita bagus, akan ada beberapa sekolah yang merekrut kita. Juga ada guru balet terkenal, yang memenangkan kompetisi nasional dan internasional dari sekolah Balet Bicheon."
Marabella menatap Vivi dengan berbinar. Ia harus ikut pertunjukan, ini adalah kesempatan emas untuk memulai impiannya. Jika penampilannya bagus mungkin bisa mendapat rekrutan dari sekolah Balet Bicheon itu.
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...----------------...
Marabella bersama puluhan siswa balet itu mengikuti seleksi di auditorium. Ternyata tidak semua siswa bisa ikut berpartisipasi dalam pertunjukan, mereka akan diseleksi terlebih dahulu oleh beberapa guru senior.
Saat ini mata coklat hazel Marabella menatap lurus ke arah panggung auditorium, mengamati seorang pemuda berambut hitam yang sedang menari Swan Lake dengan kostum hitam dan penuh penghayatan.
Marabella mengakui laki-laki itu memiliki tubuh yang bagus dan lentur, tariannya sangat indah. Tapi Marabella merasa agak asing, ia belum pernah berjumpa dengan anak laki-laki itu, ketika tenggelam dalam pikirannya Marabella tak sengaja mengalihkan matanya pada sekumpulan gadis yang memandang dengan tatapan berbinar dan memuja.
Laki-laki itu mengakhiri tarian Swan Lake nya dan membungkuk pada para juri. Vivi yang ternyata ada di dekat panggung langsung menyapanya dengan senyuman. Marabella mengangkat alisnya, tidak tau jika Vivi ternyata mengenalnya.
"Marabella."
Namanya dipanggil. Marabella bangkit dari duduknya dan naik ke panggung. Saat berjalan menuju panggung dia tiba-tiba berpikir untuk mengganti tarian yang akan dia tunjukan hari ini.
"Marabella ya.." ucap Mr.Jon, guru senior di kelas balet khusus kelas 3. "Siswi tahun pertama, bergabung dengan sekolah ini 6 bulan lalu. Berbakat dan termasuk ke kelas jenius." Ia membaca profil Marabella.
" Ayo mulai.."
Sebelumnya Marabella akan menarikan The magic flute, tapi setelah melihat laki-laki tadi menari Swan Lake, ia berubah pikiran. Marabella menarik nafas perlahan dan mulai melakukan koreografi, menarikan Swan Lake. Marabella memikirkan arti dari tariannya, memejamkan matanya dan menari seolah-olah dia adalah putri yang di kutuk menjadi angsa itu.
Marabella mengakhiri penampilannya dengan sempurna. Menatap ke arah para guru yang menjadi juri dan mereka mengangguk singkat. Mr.Vey mengerutkan alisnya, "Itu tidak seperti Swan lake yang ku ingat." komentarnya. Marabella tidak menjawabnya, ia sangat tau dengan hal itu.
"Hm." Mr. Jon bergumam dengan wajah jenaka, "Swan lake mu membuat ku seperti kamu seolah-olah menari dengan penari swan lake sebelumnya."
'Yah sepertinya..' pikir Marabella sedikit geli.
"Kamu membawakannya dengan sangat luar biasa. Benar-benar memiliki bakat. Kamu lulus." kata Mr. Jon, tersenyum lebar.
Marabella bangkit berdiri kemudian membungkuk singkat pada para guru itu dan langsung keluar auditorium. 'Berhasil.'
...----------------...
Satu minggu setelah penyeleksian, latihan resmi untuk pertunjukan tiga bulan lagi dimulai. Marabella mulai melakukan peregangan dengan siswa-siswi yang lainnya, putra dan putri dilakukan bersamaan. Guru pelatih bilang untuk mengefektifkan waktu dan tenaga, juga akan ada beberapa anak yang mendapat penampilan duet. Hal itu membuat beberapa siswa mau tak mau menginap di kamar asrama sekolah.
"Ah iya latihan ini akan di dokumentasikan, ini seperti kegiatan tahunan kita, dan itu harus dilakukan. Dan alasan kenapa kita menginap di asrama yaitu untuk menambah kesan dramatis. Dan juga ini akan menjadi kenangan yang berkesan khususnya untuk anak kelas pertama yang beruntung lolos seleksi kemarin." seorang pemuda berambut coklat bernama Alvis menjelaskan, dia adalah siswa kelas dua yang juga lolos seleksi kemarin.
Sekolah Balet ini memang menyediakan asrama bagi siswa yang tinggal jauh dari rumah, atau untuk mereka yang mengambil beasiswa karena kurang mampu asrama menjadi pilihan terbaik.
Akan tetapi karena kamar asrama banyak yang kosong, karena jarangnya siswa yang mengambil beasiswa. Jadinya asrama tidak pernah digunakan. Adapun siswa lainnya, kebanyakan dari mereka adalah golongan menengah ke atas.
Marabella tidak berkomentar apa pun, ia juga tidak terlalu memusingkan hal itu. Karena baginya latihan adalah yang utama, demi penampilannya yang cemerlang nanti supaya dilirik sekolah Bicheon.
Hal ini justru membuat Marabella sedikit bisa bernafas lega, setidaknya jika Jordy menemukannya dia tidak akan nekat datang ke sekolahnya dan menyeretnya pulang. Iya juga tidak perlu pusing memikirkan cara menghemat uangnya karena sarapan, makan dan camilan akan di sediakan. Meskipun bukan sekolah balet terkenal tapi setidaknya sekolah ini cukup mahal, Marabella berjuang keras untuk beasiswa disini.
Meski kabur dari rumah setidaknya ia masih punya tabungan walaupun tak banyak.
Marabella membereskan barang-barangnya hanya satu buah koper dan tas besar berisi perlengkapan mandi dan baju. Ingat sekarang dia sudah bukan anak kaya dari keluarga Willems, jadi hidup seadanya sajalah. Baju-baju yang ia bawa pun tak banyak, bukan karena tak ingin membeli yang baru tapi itu akan merepotkan jika suatu saat Jordy menemukannya.
Seperti Minggu kemarin, ketika tiba-tiba pintu kos nya di dobrak dan segerombolan orang kekar dan botak berniat menculiknya. Suruhan ayahnya yang brengsek.
Marabella bangkit dari duduknya dan menghela nafas lega, membawa sepasang sepatu balet dan pergi keluar. Ia tak boleh berleha-leha, meski semenit pun harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ia harus sukses untuk bisa melarikan diri dan melindungi kebebasannya, maka dari itu ia harus berlatih. Berlatih lebih keras dari yang lain, dan lebih berusaha dari yang lain.
Ketika semua orang mulai terlelap dalam tidurnya, ia harus berjuang. Walau pun itu semua tidak semudah kelihatannya, adakalanya kakinya terluka dan membuatnya kesakitan tapi itu lebih baik.
Sebenarnya ia sudah memikirkan cara yang lebih simpel tapi itu membutuhkan sedikit waktu lagi, dan ia juga mesti mencari orang yang mau membuat kesepakatan dengannya. Dan malam itu Marabella menghela nafas berat dan setelah melakukan peregangan, ia mulai sedikit demi sedikit menghafal gerakan latihan yang selama ini ia pelajari, di mulai dari yang paling dasar dalam balet.
...----------------...
Hanya ada 12 orang yang lolos seleksi dari tahun pertama, selebihnya adalah senior kelas dua dan beberapa dari kelas tiga. Marabella juga melihatnya anak laki-laki berambut hitam kemarin, ternyata dia dari kelas dua. Marabella mengingatnya karena bagaimana pun penampilannya kemarin sangat bagus.
"Hey, Marabella!" sapa Alvis dengan berteriak dari kejauhan, melambaikan tangannya. Dia adalah temannya Rachel, senior kelas dua temannya Vivi.
"Kapan dokumentasi di mulai?" tanya Marabella.
"Nanti tepat setelah di mulai latihan pertama kita, kamu sudah dapat jadwalnya belum. Wah ini benar-benar gila, tahun ini sepertinya akan lebih meriah dari tahun kemarin. Kamu tau kan perwakilan dari Bicheon juga akan ada. Ah itu sekolah impian ku.." kata Alvis dengan penuh semangat dan riang.
"Ayo kita ke aula, akan ada pengumuman singkat sebelum latihan."
Mereka pun pergi ke aula bersama, dengan Marabella yang mengekor dari belakang seperti anak bebek.
Mr. Jon selaku guru senior di sini mengumpulkan seluruh murid yang akan ikut berpartisipasi dan mengisi acara di pesta kelulusan nanti. Ada sekitar 130 orang yang ikut, 12 orang sisanya dari kelas pertama. Mr. Jon lah yang bertanggung jawab pada pelatihan ini dan akan memberikan sedikit pidato.
"Selama pelatihan ini jangan beranggapan bahwa ini hanya sekedar pelatihan biasa untuk kelulusan, karena berhubung pesta kelulusan ini di adakan tiga bulan yang akan datang dan bertepatan dengan musim semi. Jadi saya harap kalian melakukannya dengan serius untuk diri kalian. Seperti yang kalian tahu di tahun-tahun sebelumnya ketika pesta kelulusan akan ada beberapa perwakilan atau pun orang-orang hebat yang datang dari bidang ini. Maka manfaatkan hal itu." ucap Mr. Jon.
"Selain itu selama dua bulan kita berlatih nanti, akan ada rehearsal di akhir bulannya. Setelah mendapat bagian masing-masing tentunya. Dan untuk rehearsal nanti kalian juga akan memakai kostum seperti saat nanti kalian tampil, itu akan dianggap sebagai pertunjukan kalian nanti."
Semua murid bertepuk tangan, sedangkan Marabella yang terlalu malas hanya melamun dan sesekali menguap. Tapi ketika pidato itu udah, dengan cepat malas dan kantuknya hilang, secepat kilat ia pergi ke ruang latihan. Latihan adalah prioritas.
...----------------...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!