"Hanya dua malam, Luc. Ayolah, kamu gantiin Papi, ya?" pinta Papi Leo memohon.
"Pi, Papi tau kan kalau Lucas itu sangat benci dengan kapal pesiar?"
"Hanya kali ini, Papi janji," rayu Papi Leo. "Kamu mau ya gantiin Papi!" bujuk Papi Leo lagi dengan imutnya, membuat Lucas memutar bola matanya malas.
"Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekali, Luc. Masa kamu belum bisa melupakan kejadian itu, sih? Mau sampai kapan kamu terus terpuruk di dalam rasa kecewa kamu?" tanya Papi Leo.
Ya, mau sampai kapan Lucas terpuruk di dalam rasa sakit itu? Bahkan, si saat seluruh keluarga dan teman-tamannya berlibur dengan kapal pesiar, Lucas memilih untuk menghabiskan waktu dengan bekerja.
Sebenci itu Lucas dengan kapal pesiar.
Lucas menggeram kesal. Pria itu pun menarik napas dan menghelanya secara kasar dan panjang.
"Oke, tapi sepulang dari pertemuan itu, Lucas cuti selama sebulan." Lucas pun memberikan penawaran yang pastinya dia tidak ingin merasa rugi.
"Sebulan? Apa kamu tidak memiliki pasien untuk di rawat? Apa kamu tidak memiliki jadwal operasi?" tanya Papi Leo dengan terkejut.
"Rumah sakit kita banyak dokter bedah saraf yang hebat, Pi. Bukan hanya Lucas," ujar Lucas mengingatkan.
"Tapi----"
"Sudah hampir tiga tahun Lucas tidak mengambil cuti, Pi. Jadi, biarkan Lucas berlibur dalam satu bulan ini," pintanya sambil tersenyum miring.
Papi Leo menatap sang putra, menghela napasnya dengan kasar sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang. Wajah imut yang di tampilkan oleh Papi Leo tadi pun entah bersembunyi ke mana.
"Ya atau tidak?" ujar Lucas. "Atau lupakan kapal pesiar."
"Oke ... Oke , baiklah. Papi setuju." Papi Leo pun terpaksa menyetujui permintaan Lucas, di mana membuat pria tersenyum penuh kemenangan.
Jika tidak dalam keadaan terpaksa, mungkin Papi tidak akan meminta Lucas untuk menggantikannya. Hari di mana Papi Leo harus pergi menghadiri acara pertemuan para klien dan penanam saham di kapal pesiar, bertepatan dengan hari ulang tahun sang istri. Untuk itu, Papi Leo ingin memberikan kejutan spesial kepada istri tercintanya itu yang telah memberikan dua orang anak yang cantik dan tampan.
"Deal?" ujar Lucas sambil mengulurkan tanganya.
Papi Leo tersenyum saat menatap tangan sang putra terulur ke arahnya. "Deal?" sambut Papi Leo, tapi dengan cepat Lucas menarik tangannya agar tidak berjabatan dengan sang papi.
"Luc, ini tangan Papi, bukan tangan orang asing," kesal Papi Leo.
"Ya, Lucas tau. Tapi, siapa yang tahu tangan itu sudah bersalaman dengan siapa, tanp Papi membersihkannya terlebih dahulu sebelum masuk ke sini," ujar Lucas dengan tersenyum tipis.
"Kamu ini." Papi Leo hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Jika dirinya tidak bisa memakai pakaian pernah di pakai orang lain, atau meminum minuman di gelas yang sama dengan orang lain, mau itu saudara sendiri atau orang tua sendiri, maka Lucas lebih dari itu. Dia tidak bisa di sentuh atau tidak ingin bersentuhan dengan orang yang tidak di kenalnya. Bahkan, bersentuhan dengan saudaranya saja Lucas masih berpikir dua kali. Pria itu baru akan mau di sentuh dan di peluk jika mereka sudah membersihkan tangan dengan mencucinya pakai sabun atau menggunakan hand sanitizer.
Ya, segeli dan sejijik itu Lucas untuk bersentuhan. Karena dirinya menderita fobia yang di sebut haphephobia. Di mana si penderita sangat takut dan merasa jijik untuk bersentuhan dengan orang lain, bahkan dengan keluarganya sendiri.
Tapi anehnya, kenapa dia bisa menjadi seorang dokter yang pekerjaannya sudah pasti menyentuh orang asing hampir setiap harinya. Iya kan?
Kesepakatan telah di buat. Lucas pun akhirnya bersedia untuk menggantikan Papi Leo hadir di dalam pertemuan yang di adakan di kapal pesiar.
*
Lucas menghela napasnya panjang, membuat Bang Fatih yang mengantarnya ke pelabuhan pun terkekeh.
"Kenapa? Masih belum bisa move on?" ledek Bang Fatih.
Mungkin, bagi sebagian orang mendatangi tempat yang memiliki kenangan masa lalu dengan seseorang yang pernah sangat di cintai adalah hal yang biasa. Tapi tidak dengan Lucas, karena rasa sakit itu sungguh sangat amat membekas.
Lucas bukanlah tipe pria yang bisa jatuh cinta dengan siapa saja, akan tetapi, pria itu akan jatuh cinta jika respon tubuhnya tidak merasa terganggu dan jijik untuk menyentuh wanita tersebut.
Dan ya, Stella berhasil membuat Lucas menyentuhnya. Walaupun hanya sekedar pegangan tangan saja.
"Siapa yang belum move on?" kesal Lucas.
Bang Fatih pun kembali terkekeh, tak perlu menjawab kembali pertanyaan Lucas, melihat raut wajah pria itu yang terlihat kesal saja sudah merasa sangat puas sekali.
Ya, seperti apa yang dibilang oleh Bang Fatih, jika Lucas belum bis melupakan wanita yang sudah membuatnya jatuh cinta.
Suara klakson dari kapal pesiar pun mengambil atensi Bang Fatih dan Lucas.
"Sudah di panggil tuh, pergi sana," usir Bang Fatih. "Selamat mengenang masa lalu ... Semoga kamu tidak bertemu dengan Stella," godanya.
Lucas menatap tajam ke arah Bang Fatih, menggeram kesal dan rasanya ingin menerkan pria itu hidup-hidup. Dia pun menarik napas panjang dan menatap kapal pesiar yang terlihat sangat besar dan megah di depannya.
"Baiklah. Ayo, Luc, kamu pasti bisa melakukannya," batin Lucas menyemangati dirinya sendiri.
Lucas pun naik ke atas kapal pesiar di bagian terakhir penumpang, di mana tidak lagi banyak orang yang naik ke atasnya.
"Permisi!"
Bukk ...
Tas yang ada di bahu Lucas pun terjatuh, di saat seorang wanita menabrak dirinya.
"Aah, maaf. Saya benar-benar minta maaf," sesal wanita itu dan langsung pergi begitu saja.
"Dasar tidak ada sopan santunnya," cibir Lucas dan mengambil tas yang berada di lantai.
"Ck, bikin ribet aja." Lucas mengambil hand sanitizer yang ada di dalam saku jaketnya, menuangkan sedikit isinya dan membalurkan keseluruh telapak hingga punggung tangannya.
Lucas melanjutkan kembali perjalanannya menuju di mana kamarnya berada.
"Haaahh ... Nyaman banget," ujar Lucas saat sudah berada di dalam kamar dan merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur.
Sebelumnya, Lucas memeriksa kondisi tempat tidur. Apakah ada noda atau kotoran yang menempel. Di saat memastikan semuanya bersih, Lucas pun menyemprotkan desinfektan ke seluruh ruangan, sebelum dia menggunakan ruangan tersebut.
Drrrtt ... Drrtt ...
Suara ponsel membuat Lucas membuk matanya kembali. Dia pun mengambil ponselnya yang ada di saku celana. Di bacanya pesan yang masuk ke dalam benda pipihnya, di mana pesan tersebut adalah jadwal yang harus di hadiri oleh Lucas malam ini.
"Huff, tak bisakah aku tetap berada di dalam kamar!" gumam Lucas yang sudah melempar asal ponselnya ke samping.
Ya, Lucas merasa sangat malas sekali bertemu dengan orang banyak, di tambah lagi tempat yang akan dia datangi pastinya akan dihadiri oleh banyak orang.
Lucas menatap penampilannya di cermin. Pria itu terlihat begitu sempurna di mata para kaum hawa. Bisa Lucas jamin, jika akan banyak pasang mata yang mencuri pandang, bahkan menatapnya dengan lapar di pertemuan nanti.
Cling ...
Sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya, membuat Lucas meraih benda pipih yang yang ada di atas tempat tidur.
"Hanya sekedar info, jika Stella berasa di kapal pesiar yang sama dengan Lo."
Lucas mengernyitkan keningnya, di saat membaca pesan yang dikirimkan oleh Bang Fatih.
"Apa maksudnya?"
Lucas mengulang kembali membaca pesan yang dikirimkan oleh Bang Fatih, hingga akhirnya dia menutup mata sambil memicit keningnya.
"Ya Allah, cobaan apa lagi ini!" gumamnya sambil menggeram.
Lucas kembali menghela napasnya pelan entah untuk yang ke berapa kalinya.
"Hufff ..." Lucas memeriksa kantong jasnya, memastikan jika hand sanitizer tidak lupa dia bawa.
"Baiklah." Lucas pun kembali merapikan rambutnya, setelah yakin dan siap untuk keluar dari kamarnya.
"Tidak mungkin aku bertemu dengannya. Kapal ini besar, lagi pula kami terjun dalam bisnis yang berbeda," gumam Lucas sambil berjalan melewati koridor kamar.
Cling ...
Ponsel Lucas kembali berdenting, pria itu pun meraih benda pipih yang ada di saku celananya.
"Jangan baper entar, ya. Hahaha ..."
"Tunjukkan kalau Lo udah move on dari dia!"
Pesan-pesan ledekan pun masuk dari para sahabat yang merangkap sebagai saudaranya itu.
"Sialan," geram Lucas saat membaca pesan-pesan terbuat, sehingga membuat dirinya tidak memperhatikan jalan yang ada di depan.
Brukk ...
"Awww ...." seorang wanita pun terjatuh karena Lucas tanpa sengaja menabraknya.
"Maaf," ujar Lucas merasa bersalah.
Terlihat wajah gadis itu kesal saat menatap ke arah Lucas.
"Apa anda tidak punya mata?" kesalnya.
Lucas mengernyitkan keningnya, dia mengenali suara itu.
Tunggu, bukankah wanita yang saat ini terduduk di lantai adalah wanita yang tadi pagi menabrak dirinya. Lucas pun merubah kembali ekspresi wajahnya yang merasa bersalah menjadi dingin.
"Maaf, siapa yang tidak punya mata?" tanya Lucas balik.
Gadis cantik yang saat ini sedang terduduk di depan Lucas pun membulatkan matanya. Yang benar saja, bukannya membantu dirinya untuk berdiri, tetapi pria yang ada di hadapannya saat ini malah memasang wajah dingin?
"Hei! Siapa yang salah ini sebenarnya? Kenapa nih cowok nyebelin malah menatap tajam ke arah gue?" batin Nia--gadis yang tidak sengaja di tabrak oleh Lucas.
"Heh, Anda yang sudah menabrak saya, seharusnya Anda meminta maaf kepada saya," ketus Nia. "Pakaiannya aja yang terlihat berwibawa, tapi sifatnya tidak ada sopan santun sediki pun," cibir Nia.
Lucas menaikkan alisnya sebelah. "Benarkah? Bukankah Anda yang tidak memiliki sopan santun?" tuduh Lucas.
"Enak saja. Kamu yang sudah menabrak saya, kok malah nuduh saya yang tidak punya sopan santun? Dasar cowok aneh. Tidak bermoral," maki Nia dengan menggeram kesal.
"Apa kamu tidak ingat kejadian tadi pagi? Di mana kamu yang duluan menabrak saya dan pergi begitu saja?" ujar Lucas sambil tersenyum miring.
Nia mengernyitkan keningnya, mengingat kejadian yang di ucapkan oleh Lucas barusan.
"Jadi pria yang saya tabrak tadi pagi itu Anda?" tanya Nia. Nia pun berdecih pelan. "Oh, jadi sekarang kamu ingin membalas dendam?"
Lucas sedikit mengernyitkan keningnya. "Bukan sifat saya yang suka membalas dendam."
"Haha ..haha .. Haha ... " Nia tertawa terbahak-bahak. "Benarkah? Lalu buktinya apa ini?" tanya Nia sambil menunjuk ke arah dirinya sendiri yang masih terduduk di lantai.
Untungnya lantai yang dia duduki beralaskan karpet berwarna hijau.
Lucas menaikkan alisnya sebelah.
"Heh, dengar ya, kalau Anda mau balas dendam, setidaknya Anda harus meminta maaf kepada saya. Seperti apa yang saya lakukan kepada Anda tadi pagi," ujar Nia menatap kesa ke arah Lucas.
"Lagi pula, saya sudah meminta maaf kepada Anda, hanya saja saya tidak membantu Anda untuk mengangkat barang yang terjatuh, di karenakan saya yang sedang terburu-buru," jelas Nia. "Jadi, bukankah Anda seharusnya meminta maaf kepada saya?"
Lucas mendengus pelan, merasa lucu dan aneh dengan gadis yang ada di hadapannya saat ini.
"Baiklah, jika Anda tidak mau meminta maaf, setidaknya bantu saya untuk berdiri," pinta Nia sambil mengulurkan tangannya ke arah Lucas.
"Kenapa anda tidak mencoba untuk berdiri sendiri?" ujar Lucas yang enggan untuk membantu Nia.
Nia menatap kesal ke arah pria yang berdiri di hadapannya saat ini. Apakah pria yang tidak punya sopan santun itu tidak tahu? Jika saat ini Nia sedang menggunakan highheels? Jadi, sudah jelas kan jika Nia sulit untuk berdiri tanpa berpegangan!
"Apa anda tidak melihat sepatu yang saya kenakan? Sepatu ini membuat saya sulit untuk berdiri. Jadi, cepat bantu saya," titah Nia lagi yang masih mengulurkan tangannya ke arah Lucas.
"Maaf, saya tidak bisa. Saran saya, sebaiknya anda mengesot ke arah dinding, agar bisa berpegangan," saran Lucas. "Dan saya minta maaf karena sudah menabrak anda," ujarnya sebelum berlalu.
"Dasar brengsek," maki Nia pelan.
Manik mata Nia pun mengikuti gerak tubuh Lucas yang berjalan melewatinya, sehingga di saat Lucas berjalan melewatinya, Nia meraih tangan Lucas dan mencengkramnya dengan erat.
Lucas yang terkejut dan tidak menyeimbangkan tubuhnya pun, terjatuh ke arah Nia, menimpa tubuh gadis itu.
Nia membulatkan matanya. Bukan ini rencananya. Nia hanya bermaksud untuk menarik tangan Lucas, agar pria itu membantunya berdiri. Tapi, bagaimana bisa tubuh pria itu sangat lemah, sehingga terjatuh di atasnya?
"Awww ..." ringin Nia, di saat merasa keberatan dengan tubuh Lucas yang ada di atas tubuhnya.
Lucas membulatkan matanya di saat menyadari posisi tubuhnya saat ini. Dengan cepat, dia berdiri dan menjauh dari Nia.
"Apa yang sudah kamu lakukan?" bentak Lucas. "Berani-beraninya kamu menyentuh saya!" Lucas sangat marah, bahkan wajah putih pria itu terlihat memerah.
Nia mengernyitkan keningnya, kenapa pria yang sudah menabraknya itu terlihat sangat marah sekali? Lagi pula, siapa yang tahu jika dia akan jatuh ke arah Nia? Nia tidak bermaksud agar pria itu jatuh ke atasnya. Nia hanya berharap agar pria itu bisa membantunya berdiri.
"Kenapa anda malah membentak saya?" kesal Nia.
"Mbak Nia!" Seorang gadis lain terlihat berlari ke arah Nia, membantu gadis itu untuk berdiri.
"Mbak Nia gak kenapa-napa 'kan?" tanyanya sambil memperhatikan kondisi tubuh atasannya itu.
Nia semakiin membulatkan mata, bersamaan dengan mulut yang terbuka, di saat melihat Lucas mengeluarkan hand sanitizer dan membersihkan semua permukaan kulit yang ada tubuhnya. Dari tangan, leher, hingga ke wajah. Bukankah pria itu sungguh keterlaluan? Memangnya Nia ini kuman apa?
"Heh, anda pikir saya ini kuman, apa? Bisa-bisanya anda menghina saya seperti itu," marah Nia.
Lucas menoleh ke arah Nia, pria itu pun tersenyum licik.
"Baguslah kalau anda sadar," sahut Lucas dan kembali menuju kamarnya. Pria itu harus mengganti semua pakaian yang dia pakai saat ini dengan yang belum tersentuh oleh siapa pun.
Atau! Haruskah Lucas menyemprot seluruh tubuhnya dengan disinfektan?
Lucas menatap penampilannya yang saat ini sudah berganti pakaian. Entah berapa kali dia menghela napasnya dengan kasar sejak sepuluh menit yang lalu.
"Dasar cewek aneh," geram Lucas, karena wanita yang entah siapa namanya itu dengan berani menyentuh tangannya.
Setelah memastikan jika penampilannya terlihat sempurna, Lucas pun memeriksa saku jasnya, mencari keberadaan hand sanitizer yang memang selalu dia bawa ke mana-mana.
"Rasanya ingin sekali aku memakai sarung tangan," gumam Lucas dan berjalan keluar kamarnya kembali.
"Dokter Lucas?" sapa seseorang yang mana membuat Lucas menoleh ke arah sumber suara.
Lucas sedikit mengernyitkan keningnya, melihat pria yang bertubuh tegap tinggi dan berwajah tak kalah dingin darinya.
"Pak Devan?" tebak Lucas.
Ya, pria yang bernama Devan itu pun tersenyum.
"Ya, ini saya. Apa kabar Dokter Lucas?" sapa Devan tanpa mengulurkan tangannya.
Walaupun tidak pernah menjalin bisnis dengan Lucas, tetapi Devan tahu, jika pria yang berdiri di depannya saat ini adalah keturunan Moza. Dan, siapa yang tidak kenal dengan Dokter Lucas? Di mana pria itu sangat terkenal dengan sebutan 'pria tak bisa tersentuh'.
Ya, sekali pun tidak pernah ada yang berjabatan dengannya, walaupun mereka sudah melakukan perjanjian kontrak. Orang-orang yang beruntung di sentuh oleh Lucas adalah pasien pria itu sendiri. Selebihnya? Jangan pernah harap.
"Bagaimana kondisi anda saat ini, Pak Devan?" tanya Lucas dengan tersenyum ramah.
"Baik."
"Syukurlah kalau begitu."
"Emm, Dokter Lucas sepertinya terlihat sedang terburu-buru?" tanya Devan.
Lucas tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya. "Saya sedang ada pertemuan."
"Oh, baiklah kalau begitu. Silahkan Dokter Lucas. Nanti, di lain waktu jika Dokter tidak sedang sibuk, saya ingin mengajak Dokter untuk makan siang atau makan malam bersama," tawar Devan.
"Baiklah. Saya nanti akan menghubungi anda untuk memberikan jadwalnya," jawab Lucas hanya sekedar basa basi saja.
"Ini kartu nama pribadi saya. Silahkan hubungi saya ke sini." Devan memberikan kartu namanya kepada Lucas.
"Hmm, baiklah. Kalau begitu saya permisi dulu." Lucas pun berlalu meninggalkan Devan yang masih berdiri memandang ke arahnya.
"Ah, di mana kamar Nia?" gumam Devan dan mencari nomor kamar adiknya itu.
*
Lucas sedang mengobrol dengan rekan bisnisnya, di saat seseorang datang dan memperkenalkan kekasihnya kepada Lucas.
"Dokter Lucas, Pak Andre, saya ingin memperkenalkan calon tunangan saya," ujar pria yang bernama Robi.
Lucas pun menoleh eke arah sumber suara, betapa terkejutnya dia di saat melihat wajah yang tak asing berdiri di hadapannya saat ini.
"Stella?" batin Lucas.
Tidak hanya Lucas yang terkejut, tetapi Stella juga. Wanita itu sebenarnya masih mencintai Lucas, akan tetapi dia tidak punya kekuasaan untuk kembali bersama mantan kekasihnya itu, sehingga membuat Stella memilih Robi agar tetap bisa bertahan dengan karirnya saat ini.
"Perkenalkan, ini calon tunangan saya, Stella,." Robi memperkenalkan Stella kepada Lucas dan Pak Andre.
"Stella," ucapnya sambil mengulurkan tangan ke arah Pak Andre, kemudian beralih ke arah Lucas.
Lucas menatap tangan Stella, kemudian tersenyum kecil.
"Lucas," jawabnya singkat tanpa menerima uluran tangan Stella.
Stella menatap tangannya yang diabaikan oleh Lucas, membuat Robi langsung menarik pinggang kekasihnya itu dan membuat Stella refleks menurunkan tangannya.
"Dokter Lucas ini tidak suka bersalaman dengan orang," ujar Robi memberitahu.
"Ah, begitu." Stella pun tersenyum, dia kembali melirik ke arah Lucas yang terlihat mengabaikannya.
"Aku tahu, kalau kamu masih mencinta aku, Luc," batin Stella yang melihat jika tatapan mata Lucas masih sama seperti dulu.
"Baiklah kalau begitu, kami permisi dulu," pamit Robi dan mengaja Stella bersamanya.
Lucas memandang kepergian Stella dan Robi. Di dalam saku celananya, pria itu sudah mengepalkan tangannya dengan erat, karena menahan amarah dan rasa cemburu yang teramat sangat dalam.
Satu hal yang Stella tidak tahu tentang Lucas, selain pria itu anak dari seorang dokter dan akan menjadi dokter hebat. Stella tidak tahu, jika Lucas memiliki darah keturunan Moza.
Ya, sebaik dan serapat itu Lucas menutupi identitasnya. Padahal, dulu dia sangat mencintai Stella, tetapi tetap saja, Lucas menutup identitas keluarganya dari Stella.
Bagi Lucas, cukuplah Stella tahu jika dirinya ini adalah anak orang kaya, tanpa perlu tahu tentang embel-embel keluarganya.
Acara malam ini sungguh membuat Lucas merasa bosan. Selain banyaknya minuman beralkohol yang tersedia, terdapat juga wanita-wanita panggilan yang bertugas untuk menghibur para pria yang merasa kesepian.
Wajar saja jika Papi Leo menolak untuk menghadiri acara di kapal pesiar ini, dan juga, pastinya Mami Anggun tidak akan pernah menyetujui jika Papi Leo pergi menghadiri acara tersebut.
"Mau aku temani?" tawar seorang wanita yang sudah menyentuh lengan Lucas.
Lucas mengangkat tangannya, agar wanita yang berpakaian seksi itu menyingkirkan tangan dari lengannya.
"Menjauhlah," usir Lucas dengan tatapan dinginnya.
Tidak perlu di usir dua kali, wanita itu langsun pergi menjauh dari Lucas.
"Dasar pria tidak sopan," cibirnya yang masih di dengar jelas oleh Lucas.
"Cih, ntar kalau gue bilang cewek murahan, marah," cibirnya pelan sambil berdecih kesal.
Lucas menuangkan sedikit hand sanitizer pada telapak tangannya, kemudian membersihkan jejak tangan wanita tadi yang berada di lengannya.
"Kamu tidak berubah, Luc," ujar seorang wanita yang suaranya sangat familiar di telinga Lucas.
Tanpa menoleh pun, Lucas sudah tahu siapa si pemilik suara itu.
"Hal itulah yang membuat aku masih mencintai kamu."
Lucas tertawa pelan, di saat mendengar apa yang baru saja wanita itu katakan.
"Aku tahu, kamu pasti sedang mengatai aku, jika aku adalah wanita tidak tahu diri atau pun tidak tahu malu," tebak Stella.
Lucas masih diam, dia sedikit pun tidak menoleh ke arah Stella yang masih berada di sampingnya.
"Tapi apa yang aku katakan itu adalah benar, Luc. Aku mencintai kamu. Aku masih sangat mencintai kamu."
Lucas menghela napasnya pelan, akhirnya dia menoleh juga ke arah wanita yang sedari tadi mengajaknya berbicara itu.
"Akhirnya kamu menoleh ke arah aku, Luc," lirihnya sambil tersenyum manis. "Aku sangat merindukan kamu."
Lucas mencium aroma alkohol yang menguar dari napas Stella.
"Kamu sudah terlalu mabuk, Stella," ujar Lucas dan menyesap minumannya sedikit.
"Hmm. Aku memang sedang mabuk. Aku mabuk karena kamu, Luc. Aku mabuk karena nyatanya aku tidak bisa melupakan kamu."
Lucas kembali tertawa pelan, membuat Stella merasa sedih.
"Sebegitu bencinya kah kamu dengan aku, Luc?" tanyanya.
Lucas diam, dia tidak ingin menjawab pertanyaan Stella.
Melihat tangan Lucas yang berada di atas meja, membuat Stella memberanikan diri untuk menyentuh tangan pria itu.
"Kamu tidak berubah, Luc. Kamu masih sama seperti dulu. Tapi aku yang sudah berubah, Luc. Aku yang berubah."
Lucas menatap tangan Stella yang sedang menggenggam tangannya. Jika saja tangan yang menyentuh tangannya itu adalah milik orang lain, mungkin Lucas akan segera menepis tangan itu. Tapi, entah mengapa Lucas seolah tidak ada tenaga atau pun keinginan untuk menepis tangan Stella dari tangannya.
"Ternyata aku juga masih ada di hati kamu, Luc," ucap Stella dengan tersenyum lebar.
"Katakan jika aku benar, Luc. Aku benar 'kan? Jika aku masih ada di hati kamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!