NovelToon NovelToon

Suami Yang Ku Benci

Akad

SAH...

Satu kata itu menggema di ruang tamu. Arumi yang berada di dalam kamar hanya bisa meremat kedua tangan, menahan emosi. Pernikahan yang tidak ia inginkan, akhirnya terjadi juga karena paksaan dari kedua orang tuanya.

"Aaa.. Arumi.. selamat ya. Kamu udah jadi istrinya Kak Akbar sekarang." Rindi memeluk Arumi dari samping ketika sahabatnya itu sudah resmi menjadi istri orang sekarang. Rindi terharu sekaligus senang menyaksikan hari bahagia sahabatnya.

Arumi hanya tersenyum sinis dengan wajah datar.

"Kamu nggak seneng, Rum?" Tanya Rindi heran sambil mengurai pelukannya saat Arumi tidak memancarkan gurat kebahagiaan.

"Menurutmu?" Sahut Arumi datar. Ya kali dia harus senang menikah dengan orang yang jelas tidak dia sukai.

Rindi menghembus napas kasar. "Nanti cinta juga bisa datang dengan sendirinya, Rum. Apalagi Kak Akbar itu orangnya baik banget, tampan, kaya lagi. Beruntung banget deh kamu dapat dia."

"Aku nggak peduli, mau dia tampan atau kaya. Yang jelas aku benci sama dia." Arumi mengepalkan kedua tangannya di atas paha. Mengingat Akbar yang tidak mempedulikan keinginannya untuk menolak pernikahan ini.

"Jangan ngomong gitu, sekarang Kak Akbar sudah jadi suami kamu." Ucap Rindi dan berbarengan dengan suara Bu Erin yang masuk ke dalam.

"Sayang. Duh, putri Mama cantik sekali sih. Ayo keluar, suamimu udah nunggu." Bu Erin mengulurkan tangannya, mengajak sang putri untuk menjumpai pengantin laki-laki.

"Senyum, jangan pasang wajah jutek gitu!" Bisik Rindi memperingati dan membantu Arumi berdiri.

Dengan diapit Rindi dan sang Mama, Arumi berjalan keluar menjumpai suami yang sudah menantinya di ruang tamu. Suami, perut Arumi rasanya ingin mual menyebut kata itu.

Keluarnya Arumi membuat para tamu yang hadir saling berbisik satu sama lain memberi pujian. Ada juga yang mengabadikan dengan sebuah video. Sementara Akbar, lelaki itu tak henti-hentinya mengulas senyum ketika Arumi datang mendekat.

Begitu sudah duduk di samping Akbar, penghulu menyuruh Arumi untuk mencium tangan Akbar yang begitu terpukau melihat kecantikan Arumi saat dipoles make up.

"Cantik sekali istriku ini." Bisiknya senang. Kemudian mengecup kening Arumi dengan penuh perasaan membuat beberapa tamu bersorak sorai. Berbeda dengan Arumi yang hanya bisa menahan kekesalan dalam dada dan pura-pura tersenyum manis.

Hanya hari ini saja ia bersikap lembut. Tapi ke depannya, jangan harap Akbar bisa menyentuhnya.

***

Berdiri berjam-jam di atas pelaminan membuat seluruh tubuh Arumi pegal. Terutama dibagian kaki. Ia mengumpati Akbar dan kedua orangtuanya yang mengundang begitu banyak tamu.

"Akhirnya.. ketemu kasur juga!" Seru Arumi senang dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Tanpa melepas pakaian pengantinnya terlebih dulu.

Rindi berdecak melihat tingkah konyol Arumi.

"Bersih-bersih dulu Rum, baru istirahat." Jawabnya.

"Bisa nanti. Capek banget aku, sumpah. Aku mau tidur dulu." Arumi masa bodo dan menutup mata.

"Rum, jangan tidur dong." Rindi menepuk kaki Arumi. "Riasanmu masih pada nempel itu. Kamu nggak risih apa?"

Tapi Arumi yang memang sudah tidak bisa menahan rasa kantuk hanya memberi gumamam saja.

"Rum, Arumi." Rindi menggoyang-goyang kaki kiri Arumi. Membangunkan agar jangan tidur dulu sebelum bersih-bersih badan.

"Kenapa Rin?" Kedatangan Akbar yang masuk ke kamar Arumi membuat Rindi tersentak kaget.

"Kak Akbar. Eh, ini, Arumi tidur. Padahal belum ganti baju." Ucapnya kikuk.

Akbar menatap Arumi sebentar sebelum menjawab. "Ya sudah tidak apa-apa. Dia kelihatan capek sekali. Biarkan saja dia tidur." Sambil melepas jas pengantinnya.

"Bisa kamu keluar. Saya juga mau istirahat." Sambungnya karena ia juga lelah sama seperti Arumi.

"Iya, Kak." Angguk Rindi dan lekas keluar. Tak lupa menutup pintu. Meski niat awal ingin membantu Arumi melepas pakaian malah ditinggal Arumi tidur.

Akbar tersenyum melihat cara tidur Arumi. Ia pun tidur di sebelah Arumi setelah menyempatkan mandi dan berganti pakaian.

Beberapa jam kemudian.

Arumi menggeliat ketika merasakan perutnya keroncongan. Saat akan bangun, ia merasa perutnya berat. Arumi pun menoleh ke samping, matanya membulat sempurna melihat Akbar tidur di ranjangnya bahkan memeluk perutnya.

"Kurang ajar." Batin Arumi. Bisa-bisanya laki-laki itu masuk ke kamarnya. Bahkan tidur di sisinya.

"Lancang!" Kesalnya sambil menghempas kasar tangan Akbar lalu berdiri dari tempat tidurnya.

Akbar pun terbangun karena tangannya merasa sakit.

"Berani-beraninya kamu tidur di kamarku!" Geram Arumi. "Keluar sana!"

"Kenapa Rum?" Tanya Akbar. Sepertinya nyawanya belum terkumpul sepenuhnya setelah bangun mendadak itu.

"Pakek nanya lagi? Siapa yang nyuruh kamu tidur di kamarku?" Tanya Arumi galak.

"Nggak ada yang nyuruh, Rum. Kita ini sudah sah. Kamu lupa apa?" Tanya Akbar dengan kekehan. Ada-ada saja tingkah istrinya ini.

"Tahu, tapi jangan harap bisa sekamar denganku. Karena aku nggak sudi tidur sama kamu!" Tekan Arumi dengan wajah emosi.

Hati Akbar sakit mendengar perkataan Arumi. Tetapi ia berusaha baik-baik saja.

"Sini duduk dulu. Jangan marah gitu." Akbar menepuk sisi kosong di sebelahnya.

Arumi menatap sinis. Dia pikir dia anak kecil apa, dilembutin seperti itu bakal luluh. Oh, jelas tidak.

"Nggak mau? Ya sudah, tapi kamu bersih-bersih dulu gih. Lihat kamu kok saya jadi geli sendiri." Akbar berusaha menahan tawanya.

Arumi memberi Akbar lirikan tajam.

"Coba ngaca bentar. Lihat diri kamu di cermin." Pinta Akbar yang masih dengan menahan tawanya sambil menunjuk ke arah meja rias.

Karena penasaran, Arumi akhirnya menyampingkan tubuhnya ke meja rias. Mulutnya menganga lebar melihat pantulan wajahnya di cermin yang bisa dibilang mirip hantu. Make up-nya kini sudah tidak beraturan lagi, apalagi eyelinernya luntur membasahi kedua pipinya. Mengerikan sekali wajahnya.

Sial. Mana Akbar tertawa lagi.

.

.

.

Bersambung.

Keusilan Arumi

Keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah lengkap, Arumi masih mendapati Akbar di atas ranjangnya. Ia pun berdecak kesal.

"Nggak tahu malu. Udah di usir juga tapi masih ada di sini." Cibirnya sambil menyisir rambutnya di depan cermin.

Akbar pura-pura tidak mendengar, sibuk dengan ponselnya. Tapi ketika Arumi membuka pintu, Akbar mendongak.

"Kamu mau ke mana?" Tanya Akbar.

Zonk, Arumi tidak memberi jawaban. Akbar hanya bisa mengelus dada. Ia harus ekstra sabar menghadapi sifat Arumi.

"Sudah bangun kamu?" Tanya Bu Erin ketika Arumi menghampirinya di dapur.

Arumi mengangguk. "Udah, laper banget Ma. Tadi belum sempat makan." Lalu mengambil piring, mengisinya dengan berbagai lauk yang ada.

"Suamimu juga belum makan." Ucap Bu Erin. Seperti memberitahu jika harus memanggil Akbar untuk makan bersama.

"Bodo amat." Batin Arumi. Mau Akbar makan atau tidak itu bukan urusannya. Akbar sendiri sudah besar, bukan anak kecil lagi yang dikit-dikit harus diingatkan.

"Arumi.. bisa-bisanya kamu makan lebih dulu sebelum manggil suami kamu!" Bu Erin memukul lengan Arumi yang asyik dengan makanannya.

"Panggil!" Titah Bu Erin. Matanya mendelik memberi perintah.

"Ma, dia kan udah bes_"

"Mama bilang panggil!"

"Iya-iya. Aku panggil dia."

"Cowok *ialan. Gara-gara dia, jadi kena omel Mama." Dalam hati Arumi menggerutu.

Sampai depan kamarnya, Arumi membuka pintu dengan kasar hingga Akbar tersentak kaget.

"Disuruh Mama makan." Ucapnya ketus.

"Sebentar, saya balas e-mail dulu."

"Tunda dulu! Balasnya bisa nanti. Cepat keluar."

Melihat wajah tidak bersahabat Arumi, Akbar meletakkan laptopnya setelah ia matikan. Lalu mengikuti langkah Arumi.

"Kamu sudah makan?" Tanyanya.

"Hmm." Arumi hanya membalas dengan gumaman.

Mereka sudah sampai dapur. Bu Erin tersenyum melihat Akbar.

"Arumi, ambil piring satu lagi." Ucap Bu Erin saat Arumi akan duduk. Melanjutkan makan yang tertunda tadi.

"Buat apa Ma?" Tanya Arumi polos.

"Ya buat suami kamu." Jawab Bu Erin.

"Dia kan punya tangan, bisa ambil sendiri." Jawab cuek Arumi.

"Sekarang kamu sudah jadi istrinya, Nak. Kalau bukan kamu yang ngelayani suami kamu terus siapa lagi. Itu kewajiban kamu." Bu Erin memberi nasehat.

Arumi mengepalkan kedua tangannya dengan gigi saling gemelatuk.

"Saya bisa ambil sendiri Ma." Ucap Akbar melirik Arumi yang menahan kesal.

"Kamu duduk saja biar Arumi yang ambil." Bu Erin melarang Akbar.

Jika bukan rasa lapar yang mendera sudah pasti Arumi meninggalkan dapur.

"Nih." Arumi meletakkan piring di hadapan Akbar.

"Piringnya juga kamu isi dengan nasi dan lauk dong." Lagi-lagi Bu Erin menginterupsi.

Ya Tuhan, Mamanya ini cerewet sekali. Mau melanjutkan makan saja tidak bisa. Di suruh ini itu, geram Arumi tertahan.

"Mau pakai lauk apa?" Tanya Arumi pada Akbar. Ia pura-pura bertanya dengan nada lembut.

"Rendang saja." Jawab Akbar.

Arumi mengangguk, ia mengisi piring Akbar dengan nasi sebanyak tiga centong lebih. Lalu ia taburi rendang sebanyak mungkin sampai nasinya tidak terlihat, tertutup oleh bumbu. Arumi sengaja melakukan itu.

"Rum, itu kebanyakan." Protes Akbar.

"Habiskan ya.." Arumi tersenyum manis mengulurkan piring itu dengan gerakan lembut.

"Rum, yang benar saja kamu." Akbar tak habis pikir disuruh menghabiskan makanan sebanyak itu.

"Makan aja. Katanya kamu laper." Jawab Arumi di sela-sela makan.

"Saya memang lapar, tapi nggak sebanyak ini juga, Rum?" Keluh Akbar. Ia meringis, bagaimana caranya menghabiskan porsi makan yang bisa dibilang seperti porsinya seorang kuli.

"Haha, emang enak aku kerjain, sukurin." Batin Arumi tertawa jahat.

.

.

.

Tidak cinta

Karena menghargai Arumi yang sudah melayaninya makan. Akbar sampai menghabiskan semua makanannya meski akhirnya ia merasa sangat kekenyangan.

Selesai makan ia membuntuti Arumi yang berada di ruang keluarga menonton televisi seorang diri. Jam sudah menunjuk di pukul sembilan malam. Kedua mertuanya mungkin sudah istirahat di kamar karena sedari tadi tidak terlihat.

Arumi menggeser duduknya ketika Akbar duduk menempel dengannya.

"Besok kita pindah rumah." Ucap Akbar.

"Kamu aja yang pindah, ngapain ngajak-ngajak." Arumi hanya melirik sekilas.

"Kan saya suami kamu." Jelas Akbar.

"Dengerin ya, sampai kapan pun aku nggak mau punya suami seperti kamu!"

Arumi mematikan tv lalu bangkit menuju kamarnya. Akbar meraup kasar wajahnya. Lagi-lagi Arumi menolak kenyataan jika sudah jadi istrinya.

Akbar membuka pintu kamar Arumi dengan pelan. Arumi belum tidur, duduk berselonjor dengan punggung menempel di kepala ranjang. Membaca sebuah novel.

"Tidur di sofa." Suara Arumi ketika Akbar hendak naik ke ranjang.

"Jika ada ranjang, kenapa saya harus tidur di sofa." Akbar tidak akan terpengaruh dengan ketidaksukaan Arumi terhadapnya. Ia tetap naik ke ranjang, bergabung tidur bersama istrinya itu.

"Pindah nggak?" Arumi memukul lengan Akbar dengan novelnya.

"Aduh, Rum.. kamu jadi cewek kasar bener." Akbar mengelus lengannya. "Belum ada sehari kita jadi suami istri, kamu sudah kdrt."

"Ih, jijik banget omonganmu. Suami istri, haha.. yang benar saja." Arumi tertawa sumbang.

"Terus kamu pikir kita ini apa. Kalau bukan suami istri?" Tanya Akbar serius, mengabaikan rasa sakit di lengannya.

"Jawab pertanyaan saya!" Lanjutnya ketika Arumi tidak bisa memberi jawaban.

"Dengar, mau kamu protes sebanyak apapun tentang saya. Kita sudah sah di mata hukum dan agama. Kamu tidak bisa menyangkalnya."

"Kamu benar-benar licik. Kamu laki-laki paling menjijikkan yang pernah aku kenal." Umpat Arumi dengan mata berkaca-kaca.

"Terserah apa katamu." Sahut Akbar meski sebenarnya ia tersinggung.

"Gara-gara kamu, semua impianku harus musnah dalam sekejap."

"Kamu masih bisa melanjutkan mimpimu, Rum."

"Oya? Apa kamu tahu mimpiku apa saja?" Tanya Arumi meremehkan.

"Kamu ingin bekerja di perusahan terkenal kan selesai lulus kuliah nanti. Dan kamu bisa bekerja di perusahaan saya."

Arumi tersenyum miring. "Benar, itu salah satunya."

"Lalu bagian mana yang kamu sesali dari pernikahan ini?" Tanya Akbar lagi.

Dengan bibir bergetar Arumi menjawab. "Aku ingin menikah dengan orang yang ku cintai. Bukan dengan kamu." Isaknya.

"Aku nggak cinta sama kamu Akbar, aku nggak cinta.. kenapa kamu nggak bisa mengerti.." Arumi menelungkup kan wajahnya di atas kedua lutut. "Harusnya kamu sadar..."

Akbar menatap nanar Arumi. Selama bertahun-tahun ia rela menjomblo demi mempertahankan perasaannya pada Arumi. Bahkan ia rela mendapat ejekan dari semua teman-temannya.

                ***

Jarum jam menunjuk di angka setengah dua belas malam. Akbar belum bisa tidur. Selain karena belum ngantuk, dia juga kalut memikirkan ucapan Arumi beberapa jam yang lalu. Arumi tidak mencintainya? Apa yang kurang darinya. Ia tampan, mapan juga dewasa. Bahkan di luaran sana banyak sekali wanita yang ingin menjadi istrinya tetapi Arumi justru sebaliknya.

Akbar menarik napas berat. Kemudian menutup gorden setelah puas memandangi halaman rumah Arumi dari balik kaca. Di atas ranjang Arumi sudah tertidur pulas setelah lelah menumpahkan tangis.

Akbar mendekat dan menyelimuti Arumi.

"Maaf, karena sampai kapan pun kamu akan tetap jadi milik saya." Bisiknya. Dan mencuri kecupan singkat di kening Arumi.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!