Rania Malik mestinya menikah hari ini, tapi pengantin prianya tidak kunjung datang. Tepat di tengah kebingungan nya harus berbuat apa, Amira berseru dari depan pintu kamarnya.
"Raniaaaa, ayok buka pintunya. Kamu harus siap-siap untuk melangsungkan pernikahan mu sekarang."
Di dalam kamar, Rania tertegun mendengar seruan Amira. Seolah mama nya itu membawa angin segar untuknya. Dan untuk memastikan jika ucapan Amira bukan lah sekedar mimpi, Rania mencoba mencubit pipinya "Aww" Rania merintih kecil saat merasa sakit di area yang dicubit. Itu artinya Rania tidak sedang bermimpi. Bibir mungil yang sejak pagi cemberut pun perlahan tersenyum.
Setelah itu, Rania buru-buru menata riasan kepalanya yang sudah acak-acakan. Diacak-acak oleh dirinya sendiri saat merasa sangat kecewa menunggu calon mempelai prianya yang tak kunjung datang. Menyesal? tentu saja. Andai Rania sedikit bersabar menunggu kedatangan calon suaminya, Rania tidak harus repot menata riasan nya kembali. Amarah Rania tak hanya dilampiaskan pada riasannya saja, tapi juga pada seorang make up artis. Rania telah mengusir orang itu, dan sekarang dia malah repot sendiri.
Saat Rania baru selesai membenarkan riasannya, Amira masuk sambil menggerutu kecil. Andai Amira tahu jika kamar Rania tidak dikunci, Amira akan langsung masuk tanpa harus berteriak kencang dan menunggu lama sang puteri yang tak kunjung membalas seruannya.
Rania menoleh ke arah Amira." Mama!" Amira tersenyum sambil berjalan ke arahnya.
"Apa calon suamiku sudah datang, ma?" Tanya Rania saat Amira sudah berdiri dibelakangnya. Amira memegang pundak Rania dan menatap wajahnya melalui pantulan cermin. Melihat sorot mata binar Rania, Amira mengangguk disertai senyuman tanpa sepatah kata.
Melihat ekspresi sang mama yang cukup meyakinkan, Rania menunduk malu. Deg degan sudah pasti. Saking deg degannya, Rania sampai me re mas buku-buku jarinya yang berkeringat dingin. Sebentar lagi, ya sebentar lagi dia akan dinikahi oleh pria yang amat sangat dicintainya.
"Kamu sudah siap?" Tanya Amira. Dan pertanyaan nya langsung di angguk kan oleh Rania dengan mantap tanpa keraguan. Setelah itu, Amira menuntun Rania menuju tempat berlangsungnya acara pernikahan. Pernikahan sederhana yang tak banyak mengundang orang, termasuk teman-teman Rania.
Sepanjang menuju meja ijab qobul, Rania hanya menundukkan pandangannya. Setelah sampai di meja yang akan mengubah statusnya, Rania didudukan disamping mempelai pria dengan pandangan tetap menunduk. Hingga pengantin pria berjabat tangan dengan seorang yang akan menikahkan nya pun Rania tetap tidak mengubah pandangannya.
"Saya terima nikahnya Rania Malik binti Hamid Malik dengan mas kawin seratus gram emas dibayar tunai."
Pada saat yang sama, Rania mengangkat wajahnya dengan raut wajah tercengang. Suara itu, ya suara bariton yang sedang mengucapkan ijab qobul bukan lah suara kekasihnya melainkan....Rania menoleh ke arah samping dimana pria yang sedang menikahinya itu duduk. Dan detik itu pula bola mata Rania membelalak sempurna.
"Bagaimana para saksi?"
"Sah."
"Sah."
Bersamaan dengan ucapan pengesahan para saksi yang saling bersahut-sahutan, pandangan Rania berkunang-kunang, lalu dalam hitungan detik berubah gelap.
Dua jam berlalu. Rania membuka matanya. Pemandangan pertama yang Rania lihat adalah langit-langit berwarna putih. Rania tersenyum. Ternyata, kejadian yang menimpanya tadi hanyalah mimpi buruk. Tapi "krek" suara pintu kamar mandi terbuka menandakan bahwa Rania tidak sedang sendirian didalam kamarnya.
Tap
Tap
Dan suara langkah kaki pun kian terdengar dengan jelas. Rania memejamkan matanya. Berpura-pura belum sadarkan diri. Semakin langkah kaki terdengar mendekatinya, Rania semakin mengendus aroma wangi bunga lili yang menjadi aroma favorit Rania menguar dari tubuh orang itu.
"Maafkan saya. Sungguh bukan maksud saya ingin membuatmu seperti ini. Tapi saya tidak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan orang tuamu."
Gumaman pria itu, ya tuhan apa ini? Rania ingin berteriak sekencang kencangnya. Ternyata, apa yang terjadi padanya bukan lah sebuah mimpi buruk melainkan kenyataan yang amat sangat buruk.
Tok
Tok
Belum sempat Rania bangun dan mencekik pria itu, terdengar suara pintu diketuk. Selang beberapa detik, suara langkah kaki pun terdengar mendekati ranjang tidurnya.
"Bagaimana, pak Dave. Apa Rania sudah sadar?"
"Belum, pak Hamid."
"Kalau begitu ambilkan air satu ember saja, ma. Papa yakin Rania pasti sadar kalau kita siram pakai air."
"Jangan ngaco, pa. Rania sedang pingsan. Kenapa harus disiram dengan air?"
"Kalau tidak begitu dia tidak akan bangun sampai esok hari atau mungkin sampai setahun."
"Paa..."
"Sudah. Sana ambilkan air."
Mendengar ancaman Hamid yang hendak menyiramnya dengan air, Rania menjadi was-was. Bagaimana jika papanya itu beneran nekat menyiramnya dengan air.
"Cepat, ma. Ambilkan air sekarang."
"Tidaaaaaak."
Raut wajah pria yang bernama Dave berubah terkejut atas kebangkitan sekaligus teriakan keras Rania yang secara tiba-tiba. Sementara Hamid dan Amira hanya mengulum senyum mereka.
Rania menatap nyalang ke arah Hamid. Rania pikir ini pasti ulah papanya. Menikahkan dirinya dengan pria yang sama sekali tidak dia cintai. Melihat kilatan sorot mata Rania, Hamid hanya bergeming dan menyilangkan kedua tangan diatas perutnya yang sedikit buncit." Apa? mau marah?"
Rania tergugu. Hati ingin memaki sang papa tapi mulut seperti terkunci. Tidak ada yang bisa Rania ucapkan selain mengeluarkan air matanya. Tega sekali papanya itu menikahkan Rania dengan pria yang seharusnya menjadi papa mertuanya hanya karena putranya kabur entah kemana.
Melihat Rania menangis terisak-isak, Dave merasa semakin bersalah. Meskipun sebenarnya bukan kesalahan Dave seutuhnya, tapi tetap saja Dave merasa semua kesalahannya. Gara-gara dirinya yang tidak becus mendidik kevin dengan benar, putranya itu membuat masalah besar di keluarga Hamid Malik. Kevin kabur entah kemana dihari pernikahan nya dengan Rania. Dave sendiri terpaksa menerima pernikahan ini, karena Hamid menuntut sebuah pertanggung jawaban darinya. Tanggung jawab untuk menggantikan Kevin menikahi Rania yang konon katanya sudah dirusak oleh putranya itu.
"Tidak perlu menangis. Kamu terima saja apa yang sudah terjadi. Semua kesalahan asalnya di kamu, Rania. Papa sudah bilang berulang kali jangan berhubungan sama si anak bragajulan itu, tapi kamu kekeh sampai kalian pacaran sembunyi-sembunyi."
Mendengar kalimat ucapan Hamid yang seolah menyalahkan nya, Rania semakin mengencangkan tangisnya. Amira buru-buru mendekati Rania. Dia duduk di sampingnya lalu mendekap serta mengelus elus kepala Rania.
"Papa bilang tidak perlu menangis. Masih untung pak Dave mau bertanggung jawab. Kalau tidak bagaimana dengan nasibmu ke depannya?"
"Ta-tapi ke-napa ha-rus sa-ma om Dave, pa?" Tanya Rania di sela Isak tangis dan dengan suara terputus-putus.
"Karena cuma pak Dave yang bersedia menikahi mu."
"Tapi om Dave sudah tua, pa. Dia..." Hamid melototi Rania. Dan pada saat itu pula ucapan Rania terputus, lalu menyembunyikan wajahnya kembali pada pundak Amira.
Dave termangu. Apa yang dikatakan Rania benar bahwa dirinya sudah tua. Lebih pantas menjadi ayahnya dari pada suaminya. Tapi apa yang bisa Dave lakukan saat ini. Semuanya sudah terjadi. Rania sudah sah menjadi istrinya secara agama. Apakah harus bercerai?
"Em, pak Hamid. Apa tidak sebaiknya kami...."
"Tidak!" ucap lantang Hamid dengan tatapan tegas pada Dave. Dave yang belum selesai berbicara pun terdiam.
"Tidak ada perceraian. Saya mau kalian tetap menjadi pasangan suami istri sampai saya memutuskannya nanti. Anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawab anda, pak Dave."
Dave mengangkat sebelah alisnya. Dari mana pria baruh baya yang baru saja menjadi mertuanya itu bisa tahu apa yang akan diutarakan olehnya padanya.
Rania sibuk menumpuk beberapa bantal ditengah ranjang tidur sebagai batas pemisah antara dirinya dan suaminya, Dave. Biasanya Dave masa bodoh apapun yang istri kecilnya itu lakukan. Tapi untuk kali ini tidak. Dave protes ketika Rania hanya memberikan secuil bagian untuknya." Sekecil itu mana muat buat tubuh saya, Rania!" Tanpa terlihat oleh Dave, Rania memutar bola matanya dengan sebal serta bibir yang bergerak-gerak.
"Di muat-muat kan saja, Om. Kalau perlu kecilkan dulu badannya biar muat," ketus Rania tanpa melihat ke arah Dave.
Mendengar itu, Dave tak lagi protes melainkan hanya menghela nafas panjang. Semenjak menikahi Rania, Dave lebih meningkatkan extra sabarnya menghadapi sikap Rania yang kekanak-kanakan. Setiap hari ada saja drama yang Rania ciptakan. Entah itu ketika mau tidur, mau mandi atau pun mau makan. Dan Dave harus benar-benar bersabar.
Rania memejamkan matanya di bawah selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Tapi tidak untuk telinganya yang masih terjaga. Di ruangan itu sama sekali tidak terdengar suara pergerakan. Bahkan ranjang tidur pun tidak bergoyang. Kemana laki-laki tua itu? Penasaran, Rania membuka sedikit selimutnya di area mata, mengintip apa yang sedang dilakukan suaminya. Tapi ternyata, pria itu sudah tak nampak lagi di kamarnya. Kening Rania mengkerut. Kemana perginya suaminya? Apa dia ngambek lalu pulang ke rumahnya? Ah, masa bodoh. Justru itu lebih baik. Jika tidak ada suaminya, Rania bebas berekspresi dan tidak perlu repot menutup kepala nya dengan selimut.
Tring
Tring
Mendengar suara weker yang berbunyi cukup nyaring, Rania menggeliat tapi tubuhnya terasa berat. Rania berusaha membuka matanya yang lengket agar dapat melihat beban apa yang sedang menimpa tubuhnya. Setelah terbuka, bola mata Rania membelalak." Aaaaakkkk." Tak hanya berteriak, Rania juga menghempas kasar sebuah tangan kekar dari perutnya. Akan tetapi, pemilik tangan itu tidak merasa terusik malah mengubah posisi tidurnya membelakangi Rania.
Rania pikir, semalam Dave merajuk lalu pulang ke rumahnya. Tapi ternyata, Dave malah tidur di bagian tempat tidur Rania yang semestinya tidak boleh dijangkau olehnya. Pembatas yang Rania buat semalam pun malah menjadi bantalan kepala, kaki serta perut Dave. Rania sangat kesal melihat pria tua itu tidur dengan nyenyak dan telah melanggar aturan.
Saat Rania menahan rasa kesal, tiba-tiba teringat jika dirinya belum memeriksa tubuhnya. Takut pria itu menyentuhnya saat sedang tidur. Rania menghempas selimut yang menutupi seluruh tubuhnya, lalu mulai memeriksa dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tak selang lama, Rania menghela nafas lega, sebab tidak ada satupun yang cacat. Bahkan, piyamanya saja masih utuh menempel di badannya.
Rania terpaksa menerima pernikahan nya.Tapi bukan berarti, Rania menerima Dave sebagai suaminya. Bahkan, Rania membuat perjanjian dengan Dave di atas materai. Salah satunya, Dave tidak boleh menyentuhnya meskipun tidur satu kamar. Yah, sudah seminggu Rania tidur satu kamar dengan Dave, tapi selama itu pula mereka belum pernah melakukan hubungan layaknya suami istri.
Rania tidak sudi di sentuh oleh Dave. Selain beralasan Dave sudah tua, Rania juga tidak mencintainya. Cinta nya hanya untuk Kevin seorang, yang hingga saat ini masih diharapkan sosoknya. Diam-diam Rania sedang mencari keberadaan Kevin menyewa seorang detektif.
Kenapa pernikahan yang tidak ada cinta ini bisa terjadi? Seminggu sebelum hari pernikahan yang naas, Rania kepergok tengah berduaan di kamarnya dengan seorang pria yang sama sekali tidak disukai oleh Hamid dalam keadaan setengah terbuka. Hamid shock. Begitu pula dengan Amira, istrinya. Rania pun dicaci maki oleh Hamid. Begitu pula dengan kekasih Rania yang habis babak belur di hantam Hamid.
"Kalau begitu, papa nikahkan saja kami."
Dinikahkan? Oh, jadi ini rencana Rania. Agar Hamid menikahkan nya, putrinya itu rela berbuat asusila agar dinikahkan dengan kekasihnya yang selama ini dihalang-halangi hubungannya.
Meskipun shock dan sangat marah, Hamid tidak punya pilihan lain selain terpaksa menuruti kemauan Rania. Bagaimana jika dia kekeh tidak menikahkannya lalu Rania hamil? bukan kah itu akan menjadi semakin aib saja bagi keluarganya nanti?
Menjelang hari pernikahan yang semestinya menikah, apa yang terjadi ? Rania seolah membuang kotoran ke muka Hamid. Mempermalukan Hamid sedemikian rupa. Saat Dave berulang kali meminta maaf atas kelakuan putranya, timbul ide di otak Hamid untuk menikahkan Dave dengan Rania. Toh, Dave nampak tidak terlalu tua. Masih pantas-pantas saja menjadi menantu dadakannya.
Awalnya, Dave menolak keras permintaan Hamid. Dia sangat keberatan. Bagaimana mungkin dia yang sudah tua menikahi gadis kecil yang mestinya menjadi menantunya. Tapi, karena Hamid mengancam Dave akan menyebar luas scandal putranya, dan sebagai pengusaha mobil yang butuh kepercayaan dari client atau masyarakat luas, tentu Dave tak ingin hal itu terjadi. Rumor scandal beredar luas lalu menyudutkan Dave dan akan berdampak pada perusahaan yang dia bangun dari nol.
"Mana suami mu, Ran?" Tanya Amira saat melihat Rania datang. Rania tidak menjawab pertanyaan Amira melainkan menarik kursi lalu duduk dengan wajah cemberut. Lalu dengan malas, Rania menyendok nasi goreng buatan bibi Arum.
Melihat sikap Rania yang acuh, Amira hanya menghela nafas panjang. Setelah sehari pernikahan nya, Rania berubah sikap secara total. Biasanya Rania akan bermanja-manja pada Amira. Tapi sudah seminggu ini tidak. Jangankan bermanja-manja, bicara saja hanya seperlunya.
Hamid menyoroti Rania tanpa berkata, biarkan saja Rania seperti itu. Mau sampai kapan? terserah. Hamid pun sama, dia bersikap cuek pada Rania.
Melihat sikap ayah dan anak yang saling diam -diaman, membuat Amira ingin menyalakan musik DJ biar rame. Di meja makan itu ada tiga orang, tapi sepi seperti kuburan. Masih mending kuburan, terkadang ada suara hewan seperti burung, jangkrik, kodok. Bahkan kalau malam ada suara cekikikan kuntilanak. Nah di meja makan ini, jangankan suara manusia, suara dentingan sendok yang biasanya ikut meramaikan pun tak terdengar lagi. Rania makan pelan-pelan. Menyendok nasi gorengnya juga tak sampai menyentuh piring. Sementara Hamid, menyeruput kopinya tanpa suara.
"Selamat pagi, pak Hamid, Bu Amira." Di tengah keheningan, Dave menyapa dengan penampilan yang sudah sangat Rapih. Tak lupa pula berikut jas ala CEO di film-film menempel di badannya yang tegap. Amira memberikan senyuman pada pria dewasa yang baru seminggu menjadi menantunya. Sementara Hamid hanya mengangguk pelan saja.
Setelah menyapa, Dave menarik kursi lalu duduk di samping Rania yang sedang mengunyah dalam diam. Aroma wangi menguar dari tubuh Dave dan menembus hidung Rania. Pria ini sudah tua, tapi masalah selera parfumnya jago juga. Dia memilih wewangian yang disukai kaula muda terutama wanita muda seperti dirinya. Jujur, Rania menyukai aroma wangi suami tuanya.
"Trek" Rania meletakkan sendok nya dengan kasar. Tiba-tiba mood nya kembali kesal. Padahal baru saja dia memuji Dave dalam hatinya. Tapi ternyata, aroma wangi parfum Dave itu tidak mampu memikat hati Rania yang seperti batu karang. Setelah meletakkan sendok, Rania menggeser kursinya hendak beranjak.
"Duduk."
Amira tersenyum. Setelah sekian lama mogok bicara pada Rania, akhirnya Hamid berbicara meskipun hanya satu kata. Sementara Rania menghembuskan nafasnya dengan kasar. Jika orang nomer satu di rumah ini sudah berkehendak, Rania bisa apa selain harus manut pada perintahnya.
Dave menikmati nasi goreng diatas piringnya. Begitu pula dengan Amira dan juga Hamid. Tapi tidak dengan Rania yang hanya mengaduk-aduk. Sikap Rania sama persis seperti anak kecil yang sedang mogok makan.
"Ayok dimakan mumpung masih hangat. Nanti kalau sudah dingin tidak enak lagi," bujuk Dave sambil mengunyah dan tanpa melihat pada Rania. Rania memutar matanya dengan malas serta ujung bibirnya ditarik ke sebelah sisi.
"Makan saja, Om. Tidak perlu banyak bacot," ketus Rania. Dave tersenyum tipis tanpa berucap. Sementara Amira melototi Rania yang masih terus mengaduk-aduk nasinya seperti bocah. Tapi sayangnya, Rania tidak melihat ekspresi kekesalan sang mama.
"Kamu belum pernah merasakan betapa sulitnya mencari sebutir nasi. Di luar sana masih banyak yang......." Mendengar sang papa berceramah, Rania langsung menyuapkan nasi berukuran yang tak tanggung ke dalam mulutnya, sampai kedua pipinya mengembung.
Rania semakin dongkol saja. Papanya itu seolah tidak bisa memahami isi hatinya. Tapi Rania bisa apa selain bisanya diam dan terus mendengarkan cerocosan Hamid. Heran, biasanya wanita yang cerewet ini malah laki-laki. Beberapa hari kemarin saat dicueki, Rania merasa telinganya adem ayem dan tentram. Tapi pagi ini, telinganya kembali berdengung mendengar kecerewetan Hamid.
Apa yang Rania lakukan, sontak membuat Hamid menghentikan ceramahnya. Dia menatap diam Rania, begitu pula dengan Amira.
"Pelan-pelan makannya," ucap Dave dengan lembut.
"Uhuk, uhuk" Rania terbatuk sampai mulutnya yang penuh nasi itu menyembur. Pada saat yang sama, tangan kiri Rania meraba-raba meja mencari air minum. Sementara tangan kanannya menutupi mulutnya yang terbatuk-batuk.
"Biar saya bantu." Tanpa menunggu persetujuan Rania, Dave menuangkan air dari teko kaca ke dalam gelas Rania yang masih kosong. Untuk sementara, Rania menyampingkan rasa gengsinya menerima bantuan dari Dave karena urgent. Jika tidak, dia bisa kehilangan nyawanya akibat tersendat nasi.
Dave tersenyum saat melihat Rania meneguk air pemberiannya sampai tandas. Begitu pula dengan Amira, sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah sang putri yang entah kapan berubah dewasanya. Sementara Hamid hanya diam lalu menyeruput kopinya yang tinggal ampasnya.
"Saya permisi dulu, pak Hamid dan Bu Amira," pamit Dave setelah selesai sarapan dan akan berangkat ke kantornya.
"Mulai sekarang panggil saya papa dan panggil istri saya mama."
Dave termangu menatap dua orang tua yang ingin dipanggil papa dan mama olehnya. Apa tidak lucu? Usia nya dengan mereka paling hanya beda tipis.
"Kenapa? Apa anda keberatan?"
Dave langsung geleng-geleng kepala, agar mertuanya itu tidak salah paham." Bukan, bukan seperti itu. Ba-baik lah pak, eh ma-maksud saya papa dan....em mama. Saya permisi dulu."
Meskipun terdengar lucu obrolan antara para orang tua, Rania berusaha untuk tidak tertawa. Rania hanya menunjukan sikap cuek nya saja.
"Iya, hati-hati," balas Amira. Hamid mengangguk tanpa berkata. Sementara Rania memainkan jari-jari tangannya tidak peduli.
Dave melihat ke arah Rania, tapi istrinya itu masih asik dengan dunianya. Jangankan membalasnya, melihatnya saja tidak.
Melihat sikap cuek Rania, Amira berseru," Raniaaaa!" Rania langsung mendongak tapi tidak bertanya apa-apa.
"Suami mu mau berangkat kerja. Antar sana ke teras."
Rania tidak mengiyakan juga tidak menolak perintah Amira, melainkan memegang perutnya sambil meringis." Aduuuh, mules...." lalu beranjak pergi begitu saja dengan langkah tergesa-gesa.
Melihat kelakuan Rania membuat Amira merasa tidak enak hati pada Dave. Sementara Hamid, lagi-lagi menyeruput kopinya yang sebenarnya tinggal ampasnya saja.
"Tolong maklumi sikap Rania ya, pak Dave," ucap Amira. Dave tersenyum disertai anggukan tanpa berucap apapun. Setelah itu, Dave beranjak pergi tanpa dampingan istrinya.
Tiba di kamar, Rania tidak masuk ke kamar mandi melainkan tolak pinggang sambil menggerutu." Enak saja nyuruh aku antar dia. Emang siapa dia? Ngasih aku uang juga tidak."
Ternyata, tadi Rania hanya pura-pura mules saja, agar tidak mengantar Dave ke teras depan.
Rania menyibak gorden besar di kamarnya. Dibawah sana, nampak mobil BMW milik Dave keluar pintu gerbang. Selang beberapa saat, menyusul Pajero sport milik Hamid. Rania perlahan tersenyum." Good. Its time to hangout." Dengan hati yang riang, Rania berjalan jungkrak jungkrik bak belatung ke arah lemari pakaian. Lalu memilih-milih pakaian yang hendak dia kenakan sambil bersiul-siul.
Selama seminggu ini, Rania hidup seperti di sebuah penjara. Orang tuanya melarangnya keluar rumah dengan berbagai alasan. Mereka pun meminta Rania untuk membatasi pergaulannya serta aktifitas-aktifitas lainnya di luar. Semenjak Rania menikah, sikap orang tuanya itu berubah. Jika dulu protektif, sekarang berubah menjadi diktator.
Stres? tentu. Bahkan mendekati depresi. Sudah ditinggal oleh kekasihnya yang kabur entah kemana, dinikahkan dengan pria tua pula. Selain itu, Rania juga dilarang keluar rumah meskipun hanya ingin sekedar mencari angin.
Rania menuruni tangga dengan jalan mengendap-endap. Takut sang mama melihatnya. Setelah berada di lantai dasar pun Rania masih mengendap-endap. Tapi ketika Rania merasa sudah aman, dia malah dikejutkan oleh seorang wanita baruh baya memakai hijab.
"Astaga bi Arum," ucap Rania sambil memegang dadanya yang berdegub kencang, saat melihat ART yang sudah bekerja belasan tahun di rumahnya itu tiba-tiba nongol di hadapannya.
"Maaf non, bibi tidak bermaksud mengagetkan non Rania," kata bi Arum dengan raut wajah merasa bersalah.
Rania tidak membalas ucapan maaf bi Arum melainkan culingak culinguk kesana kemari. Bi Arum yang melihat gelagat aneh Rania pun bertanya," Non Rania lagi cari siapa to?"
"Mama mana?"Tanya Rania basi basi.
"Lho, bu Amira kan ikut pergi sama bapak. Memangnya non Rania tidak tau?"
Mendengar kabar baik itu, perlahan bibir Rania tersenyum "yes" akhirnya dia bisa pergi tanpa harus berdebat dulu dengan sang mama.
Sambil mengemudi, Rania menghubungi beberapa temannya untuk nongkrong di sebuah cafe. Rania mengatakan akan mentraktir semuanya makan di cafe nanti. Jika menyangkut ditraktir, teman-teman nya itu, dan dalam keadaan sesibuk apapun pasti akan disempatkan. Rania memang yang paling royal diantara teman-temannya. Saking royalnya, terkadang dia dimanfaatkan oleh mereka.
Tiba di cafe di tempat biasa Rania nongkrong bersama teman-temannya, Rania disambut oleh tiga orang teman nya yang sudah datang lebih dulu.
"Hai...." Sapa Rania sambil berjalan ke arah mereka. Lalu mereka saling cipika cipiki.
"Lho, Agatha mana?" Tanya Rania pada teman-temannya sambil menarik kursi yang hendak Rania duduki.
"Katanya sih dia tidak jadi datang. Ada urusan dadakan," jawab Renata. Beberapa menit sebelum Rania datang, temannya yang bernama Agatha itu kirim pesan memberitahu ketidakhadiran nya.
Rania tidak lagi bertanya melainkan manggut-manggut dan bibirnya membentuk huruf O.
"Hebat si Agatha. Seminggu jalan-jalan ke eropa. Baru kemarin dia balik," celetuk Wilona. Rania dan ke dua temannya langsung menyorot ke arah Wilona secara serempak. Cerita Wilona cukup menarik. Menceritakan temannya yang berasal dari keluarga biasa jalan-jalan keliling Eropa. Rania saja yang orang kaya, belum pernah liburan ke negara sana.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!