NovelToon NovelToon

Benih Yang Kau Tinggalkan

Pertemuan Kembali

Malam itu, hujan turun deras.

Suara dentuman keras memecah keheningan di jalan raya yang gelap dan licin. Dua mobil mewah saling menghantam di perempatan, suara sengatan petir tak mampu menyamarkan kerasnya tabrakan yang baru saja terjadi.

Orang-orang di sekitar lokasi langsung berhamburan keluar dari rumah dan warung, menerobos hujan deras dengan payung seadanya. Mereka berlari menuju kedua mobil yang kini ringsek di bagian depan. Lampu hazard masih menyala, menciptakan pemandangan mencekam di tengah guyuran hujan dan genangan air yang bercampur darah.

Panik. Beberapa warga langsung menghubungi ambulans dan mencoba mengevakuasi korban. Sirene nyaring akhirnya terdengar mendekat, memecah suasana malam yang sudah mencekam.

Salah satu korban dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis.

---

"Bu… ada apa?" tanya Pak Bayu saat melihat istrinya, Bu Dewi, terhuyung setelah menjawab telepon tengah malam itu.

Dewi tak mampu menjawab. Tangannya gemetar saat menyerahkan ponsel pada suaminya. Pak Bayu langsung menyambut dan menempelkan ponsel ke telinga.

"...Kami dari kepolisian, Pak. Putra Anda mengalami kecelakaan lalu lintas dan saat ini sedang ditangani di rumah sakit."

Pak Bayu terdiam. Wajahnya menegang. “Rangga…?”

Keduanya langsung bergegas ke rumah sakit, ditemani anak sulung mereka, Prabu. Sepanjang perjalanan, hujan terus turun seakan menyamakan suasana hati mereka.

---

Sementara itu, di ruang UGD, para perawat rumah sakit umum tengah bersiap menerima pasien kecelakaan. Tak ada gelar atau jabatan megah. Ini rumah sakit negeri biasa, dengan tenaga medis muda yang bekerja sepenuh hati.

Mira, mahasiswi tingkat akhir yang sedang magang sebagai asisten administrasi di rumah sakit itu, kebetulan bertugas malam itu di bagian penerimaan pasien.

"Ada pasien kecelakaan, dua orang, parah. Bersiap di depan!" ucap salah satu petugas medis senior.

Mira segera ke bagian depan, membantu membuka akses jalur untuk brankar pasien yang baru tiba. Suara sirene makin dekat, dan beberapa saat kemudian, dua ambulans berhenti di depan UGD. Dua brankar segera diturunkan, masing-masing membawa pasien dalam kondisi luka berat.

Mira ikut mendorong salah satu brankar ke ruang tindakan.

Namun langkahnya terhenti saat lampu lorong menerangi wajah pasien yang terbaring di hadapannya.

Matanya membelalak. “Rangga…?”

Tangannya langsung melemas. Ia menjatuhkan pegangan brankarnya.

Orang-orang di sekitarnya heran melihat Mira tiba-tiba terdiam seperti patung. Bahkan keluarga pasien yang baru datang ikut panik.

"Itu anak saya! Tolong bantu dia!" seru Bu Dewi histeris.

"Kenapa dia cuma berdiri di sana? Hei!" bentak Pak Bayu yang juga ikut panik.

Mira hanya bisa menatap tak percaya. Pria yang kini terbaring sekarat di hadapannya adalah Rangga — pria yang dulu mencintainya, lalu meninggalkannya tanpa penjelasan. Luka masa lalu yang ia kubur dalam-dalam kini muncul lagi, justru dalam kondisi seperti ini.

Dorongan keras dari salah satu perawat menyadarkannya, tapi tubuh Mira sudah tak kuat menahan guncangan emosi. Ia limbung, lalu jatuh pingsan di lorong rumah sakit.

Petugas lain segera mengambil alih. Pasien langsung dibawa ke ruang tindakan dan menjalani operasi darurat.

---

Di luar ruang operasi, keluarga Rangga tak henti-hentinya berdoa. Prabu terus berjalan mondar-mandir di lorong. Dewi tak berhenti menangis.

Sementara itu, Mira sudah siuman. Ia duduk di ruang istirahat dengan tubuh berselimutkan jaket tipis, masih basah oleh hujan.

Tangannya yang sempat menyentuh tubuh Rangga saat ingin membantu, kini gemetar. Ada bekas darah di sela jari-jarinya.

"Aku pikir aku sudah selesai dengan dia..." lirihnya, menatap kosong ke depan.

---

Rangga Adipati, mahasiswa semester akhir di Fakultas Manajemen, dikenal aktif dan punya masa depan cerah. Ia memimpin organisasi kampus, dan sering mewakili kampus dalam berbagai lomba bisnis.

Malam itu, ia sedang terburu-buru karena mendapat pesan dari seseorang — pesan yang bisa menjawab teka-teki yang selama ini membebaninya. Ia mengemudi terlalu cepat, dan tak melihat kendaraan lain melaju dari arah kiri.

Kendaraan itu dikendarai oleh Erik — siswa SMA yang dikenal berandalan, anak dari keluarga pebisnis besar yang sering memberi donasi ke kampus Rangga.

Dua dunia bertabrakan malam itu: ambisi dan pelarian, harapan dan luka lama.

---

Kini, dua keluarga menunggu di lorong yang sama. Menunggu hasil operasi dua anak muda yang membawa nama besar di pundaknya.

Dan Mira… wanita yang dulu pernah dipilih Rangga, lalu dibuang… kini berada di persimpangan dilema.

Apakah luka lama akan disembuhkan… atau justru semakin dalam?

Rangga dan Syaka

Malam itu, Mira memutuskan satu hal yang tak pernah ia pikir akan ia lakukan.

Tanpa berpamitan, tanpa menoleh ke belakang, ia melepas seragam magangnya dan meninggalkan rumah sakit tempat ia bertugas. Langkahnya cepat, napasnya memburu, matanya sembab, dan hatinya penuh ketakutan—bukan karena ia gagal menolong seorang pasien, tapi karena pasien itu adalah orang yang telah menghancurkan hidupnya. Rangga.

Ia tak tahu harus ke mana, tapi yang pasti, ia tidak bisa berada di tempat yang sama dengan Rangga.

Rangga mungkin tak akan mengenalinya. Tapi Mira tak ingin mengambil risiko. Ia tahu, dunia itu sempit. Rangga anak orang terpandang, dia bisa dengan mudah menemukan siapa pun. Dan jika Rangga tahu tentang masa lalu mereka… tentang anak itu… Mira yakin satu hal: anak itu akan direnggut darinya.

Tangisnya pecah sesampainya di kosan. Ia meringkuk di lantai, masih mengenakan jaket rumah sakit yang kebasahan, matanya kosong menatap gelap. Bayangan wajah Rangga yang tak sadarkan diri di atas brankar terus mengusik pikirannya. Wajah yang dulu sangat ia cinta. Wajah yang dulu membuatnya percaya akan masa depan.

Dulu, mereka sempat begitu dekat. Rangga penuh pesona dan perhatian. Mahasiswa populer yang tak ragu mendekati Mira yang sederhana. Semuanya terasa seperti mimpi—hingga semuanya hancur tanpa sebab. Tanpa penjelasan, Rangga pergi. Hilang dari hidupnya. Menghilang saat Mira paling membutuhkannya.

Saat itu Mira hamil. Sendiri.

Ia tak punya siapa-siapa. Keluarganya jauh dan tak mendukung. Ia menjalani masa kehamilan dengan diam, penuh ketakutan, dan menyembunyikan semuanya. Ia pindah ke kota lain untuk melahirkan. Ia merahasiakan identitas ayah dari anaknya, bahkan pada petugas rumah sakit yang menolong persalinannya. Setelah bayinya lahir, ia hanya sempat menatap wajah mungil itu selama beberapa jam—sebelum menyerahkannya untuk diadopsi secara diam-diam melalui jalur tidak resmi.

Tapi kini… segalanya seperti datang kembali menghantamnya.

“Bagaimana kalau Rangga tahu? Bagaimana kalau dia cari tahu semuanya? Bagaimana kalau dia ambil anakku?”

Tubuh Mira gemetar, ia memeluk lututnya erat. Ia tahu ia bukan siapa-siapa. Rangga punya segalanya: kekuasaan, uang, dan koneksi. Kalau dia ingin mengambil anak itu, dia bisa. Dan Mira… takkan bisa berbuat apa-apa.

Malam itu, Mira mengepak barang-barangnya. Ia tidak akan kembali ke rumah sakit itu. Magangnya bisa dicoret dari daftar, nilainya bisa gagal, dosennya bisa kecewa—semuanya tak lagi penting. Ia harus menyelamatkan hidupnya, dan kalau bisa, suatu hari nanti… menemukan anaknya kembali.

**

Keesokan harinya, Mira sudah berada di terminal bus. Ia mengenakan masker dan hoodie, membawa satu koper kecil dan tas selempang lusuh. Ia memutus semua kontak dengan kampus, teman, bahkan dosen pembimbingnya. Ia tak mau ada yang mencarinya. Ia hanya ingin memulai dari awal. Di kota lain. Dengan nama baru kalau perlu.

Setibanya di kota seberang, Mira menyewa kamar kecil di sebuah rumah kos tua. Ia menghabiskan hari-harinya dengan mencari pekerjaan serabutan. Kadang di warung, kadang di laundry. Sampai akhirnya, beberapa bulan kemudian, ia membaca lowongan di sebuah perusahaan besar: Antarix Group.

Awalnya ia ingin mengabaikannya. Nama perusahaan itu begitu lekat di telinganya—perusahaan keluarga Rangga. Tapi rasa lapar dan kebutuhan untuk bertahan hidup membuatnya nekat.

"Tak mungkin dia ada di sini. Tak mungkin dia tahu aku."

Mira pun melamar pekerjaan sebagai staf administrasi magang. Ia memalsukan sedikit data, mengganti nama belakangnya, dan menyingkat nama tengahnya. Hanya untuk berjaga-jaga.

Ia melewati serangkaian tes dan wawancara dengan lancar. HRD tidak terlalu mempermasalahkan identitasnya karena latar belakang akademiknya cukup baik. Dalam beberapa hari, Mira resmi diterima dan dijadwalkan masuk kerja minggu depan.

Tapi jauh di lubuk hatinya, Mira tetap dihantui ketakutan. Bagaimana jika… perusahaan ini ternyata menyimpan lebih banyak kejutan? Bagaimana jika Rangga benar-benar ada di sana?

Ia tidak tahu… bahwa takdir memang sedang memainkan perannya.

---

Satu minggu kemudian

Mira tiba lebih awal. Ia mengenakan kemeja biru muda dan rok hitam sederhana. Rambutnya dikuncir rendah, riasan nyaris tak ada. Ia ingin terlihat biasa saja, tak menonjol.

Hari pertama berjalan lancar. Ia bekerja di divisi administrasi umum yang berada di lantai dua. Ia mendengar bahwa direksi dan manajer tingkat tinggi biasanya ada di lantai atas. Ia lega. Semoga saja ia tak pernah perlu naik ke sana.

Namun, harapan itu hancur di hari ketiga.

“Mira, nanti ikut aku ya. Kita disuruh presentasi laporan ke Pak Rangga langsung,” ucap salah satu seniornya.

Mira membeku. “Pak… Rangga?”

“Iya, Rangga Adipati. Wakil direktur cabang ini. Masih muda sih, tapi katanya orangnya tegas.”

Mira nyaris menjatuhkan berkas di tangannya. Dunia seolah berhenti berputar. Namanya, wajahnya, masa lalunya… kini hanya tinggal beberapa lantai dari tempat ia berdiri.

Dan kali ini, ia tidak bisa kabur.

Benih Yang Kau Tinggalkan

Pagi itu, Mira merasa jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Takut. Cemas. Gelisah. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya. Ia memeriksa kaca kecil di tas tangannya. Tampilannya sudah cukup rapi, wajahnya tampak tenang meski hatinya berteriak keras.

“Tenang Mira, tenang,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Setelah beberapa detik, ia menghela napas dalam-dalam dan melangkah keluar menuju ruang rapat yang terletak di lantai atas. Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol lift, namun ia berusaha menyembunyikan kecemasannya dengan sebaik mungkin. Di dalam lift, ia memeriksa ponselnya, melihat pesan dari teman-temannya yang memberinya semangat. Tapi tetap saja, hati Mira tak bisa begitu saja tenang.

Ketika pintu lift terbuka, sebuah ruangan besar dengan kaca-kaca besar di sekelilingnya menyambutnya. Beberapa meja rapat tampak kosong, namun dua sosok pria sedang berdiskusi serius di pojokan ruangan.

Mira melangkah ke arah meja resepsionis yang berada di dekat pintu, berusaha untuk tidak terlalu terlihat gelisah. Salah seorang sekretaris perusahaan itu tersenyum padanya.

“Selamat pagi, Mira! Nanti ikut aku ke ruangan Pak Rangga ya, dia sudah menunggu,” ucap wanita tersebut sambil melambaikan tangan.

Mira hanya mengangguk, berusaha menjaga ekspresi wajahnya agar tidak terlihat khawatir. Ketika ia memasuki ruang rapat, suasana yang begitu hening, dengan hanya suara deru AC yang terdengar, membuat Mira merasa semakin tidak nyaman. Saat matanya menatap sosok pria yang duduk di balik meja besar itu, ia hampir tak bisa bernapas.

Rangga. Tak ada perubahan pada penampilannya. Wajahnya yang masih tampan, mata yang tajam, dan aura kekuasaan yang masih begitu kental. Semua kenangan bersama Rangga dalam satu kilasan begitu jelas mengalir. Mira menundukkan kepalanya, berusaha untuk tidak membuat Rangga menyadari ketegangan di tubuhnya.

“Pak Rangga, ini Mira. Staf administrasi yang baru,” ucap sekretaris itu, memberikan sinyal agar Mira mendekat.

Rangga hanya mengangguk, kemudian melirik Mira sekilas sebelum kembali fokus pada dokumen di tangannya. Mata Mira masih tertunduk, tidak berani menatap lebih lama. Setiap detik yang berlalu terasa seperti bertahun-tahun.

“Selamat datang di Antarix Group, Mira. Terima kasih sudah bergabung dengan tim,” kata Rangga tanpa menoleh, suaranya masih sama, tegas namun penuh ketenangan.

Mira hanya mengangguk cepat, berharap pertemuan ini cepat selesai. Namun, sepertinya Rangga tidak berniat mengakhiri percakapan.

“Bagaimana, Mira? Sudah mulai nyaman dengan pekerjaan di sini? Kalau ada masalah atau kesulitan, kamu bisa langsung lapor kepada saya,” Rangga berkata sambil melipat tangannya ke depan. Pandangannya kini lebih tajam, fokus pada Mira yang tampak tak nyaman.

“Terima kasih, Pak Rangga. Saya akan berusaha semaksimal mungkin,” jawab Mira dengan suara serak. Ia memaksakan senyum meski hatinya berontak. Aku tidak bisa terus-terusan kabur dari masa lalu ini.

Rangga mengamati Mira untuk beberapa detik, mungkin melihat ada yang aneh dari cara Mira bersikap. Namun, ia tak berkata apa-apa lagi, hanya tersenyum tipis.

Mira mencoba untuk mengalihkan pikirannya. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk beradaptasi. Pekerjaan ini adalah peluang yang tak boleh disia-siakan. Tapi saat Rangga berbicara lagi, sebuah kalimat yang tak pernah ia harapkan keluar dari mulutnya membuat Mira hampir terjatuh.

“Hmm… Mira, kamu tampaknya familiar. Kita pernah bertemu sebelumnya, bukan?”

Dunia Mira terasa berputar.

Tak ada jalan untuk mundur. Semua yang ia lakukan untuk menyembunyikan masa lalunya, kini semakin dekat dengan kenyataan yang tak bisa lagi ia hindari. Rangga mengingatnya. Rangga tahu sesuatu.

Mira menahan napas. Jantungnya berdebar kencang. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. Pandangannya kabur, namun ia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan kegugupan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-kata itu sudah terlalu dekat dengan mulutnya.

“Pak Rangga, saya—saya rasa Anda salah orang. Mungkin… Anda mengingat seseorang yang lain,” jawab Mira dengan nada yang berusaha terdengar tenang.

Rangga masih menatapnya tajam, lalu memiringkan kepala sedikit. Ada keraguan di wajahnya, namun ia akhirnya mengangguk pelan. “Mungkin. Tapi jangan khawatir, Mira. Aku tak akan membuat pekerjaanmu sulit.”

Mira merasa sedikit lega, meski masih ada perasaan tak pasti di dalam dirinya. Ini belum selesai.

Saat itu, ruang rapat itu terasa semakin sempit. Mira berusaha menjaga sikap profesional. Setelah pertemuan itu berakhir, ia kembali ke meja kerjanya dan berusaha untuk menenangkan diri. Namun hatinya tidak bisa begitu saja berhenti berdebar.

Malamnya, saat ia kembali ke kamar kosnya, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Itu dari nomor tak dikenal.

“Mira, aku tahu siapa kamu. Dan aku tahu siapa anak itu. Jangan kira kamu bisa lari dariku.”

Mira terkejut. Jantungnya langsung berdegup lebih kencang. Ini bukan Rangga, kan?

Namun, siapa pun itu… Mira tahu bahwa masalah ini tidak akan selesai hanya dengan bersembunyi. Ia harus menghadapi kenyataan. Entah itu Rangga, atau seseorang yang tahu lebih banyak, Mira tak bisa lagi menutup mata dari masa lalu yang ingin ia lupakan.

Kali ini, ia harus bertindak lebih hati-hati. Dan ia sadar, bahwa dalam dunia yang penuh dengan kekuatan dan kekuasaan, ia tak bisa hanya diam. Entah itu melarikan diri atau berhadapan langsung dengan kenyataan yang menunggu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!