Matahari sudah bersiap untuk memperlihatkan sinarnya, dan Frayogha yang seorang CEO di sebuah perusahaan ternama, kini sedang bersiap untuk melakukan kegiatan akhir tahun, yang sering dilakukannya setiap akan menyambut datangnya tahun baru, yakni mendaki gunung.
Semua barang bawaan yang harus dia bawa, saat mendaki gunung telah siap, dan kini tinggal menunggu aba-aba untuk mulai pendakian karena sejak semalam Frayogha sudah berada di pos pertama, tempat mereka berkumpul sebelum memulai pendakian.
Frayogha mendaki gunung tidaklah sendiri dia melakukan pendakian dengan teman satu komunitasnya.
Semua sudah berkumpul dan siap untuk memulai pendakian, hanya tinggal menunggu ketua tim memberi arahan.
Ketua tim yang melihat anggotanya sudah berkumpul langsung memberi arahan pertamanya yaitu berdo'a.
"Bismillah semoga semuanya lancar dan kembali dengan selamat" Itulah do'a Frayogha yang kebetulan beragama islam.
Pendakian hari itu berjalan lancar tanpa hambatan, sampai di puncak gunung.
Setelah beristirahat, semua pendaki membuat tenda masing-masing, dan baru setelah itu mereka mempersiapkan semua hal yang akan mebuat acara tahuan terseut penuh kenangan.
***
Matahari sudah siap untuk terbit dan semua pendaki sudah siap di tempat yang menurut mereka bagus untuk melihat sang matahari terbit.
Selesai melihat matahari terbit semua pendaki mulai berkemas, karena sebentar lagi mereka akan turun gunung.
Ketua tim yang sudah melihat semua anggotanya berkemas langsung menyuruh mereka berkumpul untuk berdoa kembali, dan setelah doa di panjatkan mereka mulai menuruni gunung tersebut.
Awalnya semua berjalan lancar sampai seorang anggota yang bernama Bagus memberi tahu, jika dia kehilangan rekannya yang bernama Freyogha, dan itu membuat sebagian pendaki harus kembali keatas gunung untuk mencari Frayogha.
Sementara Frayogha yang sedang di cari-cari kini sedang berjalan menuju pinggiran tebing yang sangat curam dan di bawahnya ada sebuah sungai yang airnya mengalir cukup deras.
Frayogha berjalan tanpa sadar dengan tatapan mata yang terlihat kosong seperti sedang di hipnotis, dia berjalan terus tanpa melihat kiri dan kanan, sampai tiba ditepi tebing barulah kesadarannya kembali.
"Aku dimana?" Ucapnya setelah kesadarannya kembali.
"Sial!!! sepertinya aku tersesat" Ucapnya setelah melihat sekeliling.
"Aku harus kemana?" Ucapnya bingung karena tempat tersebut sepertinya tidak pernah terjangkau manusia.
"Tenang Gha, berpikirlahvdengan baik jangan gegabah" ucapnya menenangkan diri karena rasa panik mulai menguasai dirinya
Frayogha mencoba untuk lebih tenang, agar bisa berpikir dan setelah lama berpikir akhirnya dia mendapatkan sebuah solusi.
Jika dia ingin kembali, dia hanya perlu menyusuri jalan yang tadi sudah dia lewati, namun sayang dia tidak menemukan jejak kakinya di manapun, padahal menurut logika pasti untuk sampai kesana dia akan meninggalkan jejak kaki di sepanjang jalan yang dia lewati tapi ini tidak ada.
"Tidak mungkin jika aku tidak meninggalkan jejak kaki ku," ucap Frayogha yang sangat yakin jika dia pasti meninggalkan jejak kakinya karena dia masih hidup.
Frayogha terus menyusuri tempat tersebut dan dia mulai masuk lebih jauh kedalam tapi hasilnya tetap sama, jejak kakinya yang lama tidak ada.
Frayogha mulai merasa lelah dan sedikit pusing karena terus mondar mandir tanpa arah dan akhirnya dia memutuskan untuk kembali kepinggir tebing.
Dia beristirahat sejenak untuk menghilangkan rasa pusingnya, tapi bukannya membaik, rasa pusing itu malah semakin bertambah karena rasa takut yang mulai menguasainya, karena tadi dia sempat berpikir tentang hal yang tidak-tidak.
"Aaaaaaaaaa!!!" teriak Frayogha frustasi.
"YA ALLAH, kemana aku harus berjalan?," ucapnya sambil mendongak melihat langit yang sekarang semakin terang pertanda tengah hari dan itu waktunya shalat duhur.
Frayogja yang taat beribadah langsung melihat arlojinya, memastikan apakah sekaran sudah masuk waktu duhur dan benar sudah waktunya.
Frayogha langsung menuruni tebing agar bisa kebawah, ke tepi sungai mengambil air untuk berwudhu.
Setelah berwudhu Frayogha yang ingat jika Air minumnya habis langsung mengambil Papir sungai tersebut untuk bekalnya nanti mencari jalan pulang.
Setelah selesai dengan ritual ibadahnya Frayogha yang merasa lapar langsung membuka sisa bekal yang dia bawa, satu bungkus roti yang tersisa di ranselnya.
Frayogha menikmati roti tersebut sambil menatap aliran sungai, dan dia bertanya pada dirinya sendiri dimana ujung sungai tersebut, dan seketika senyum terlihat di wajah tampaknya.
Ya Frayogha tersenyum karena dia sudah menemukan cara agar dia bisa pulang, yaitu dengan mengikuti aliran sungai yang pastinya di ujung sana ada sebuah perkampungan.
Yogha mulai menyusuri sungai tersebut dengan perlahan karena bebatuan disana sangat licin, jika ceroboh sedikit saja sudah dipastikan jika dirinya akan terjatuh, namun saat melihat dan mendengar tanda-tanda akan turun hujan dengan terpaksa Frayogha mempercepat langkahnya tapi dengan tetap berhati-hati saat memilih pijakan.
"Alhamdulilah" Ucapnya saat melihat di depan sana ada sebuah gubuk, yang artinya tempat tersebut terjamah manusia.
Frayogha yang senang kembali mempercepat langkahnya namun kali ini dia tidak memperhatikan pijakannya, alhasil dia terpeleset dengan kaki yang terkilir.
"SIAAAAL... kenapa aku ceroboh" ucapnya merutuki dirinya sendiri yang ceroboh.
Frayogha mencoba berdiri namun sayang dia terjatuh lagi, lagi dan lagi, dan itu malah membuat kakinya yang terkilir semakin terasa sakit
"YA ALLAH, bantu aku kepinggir sungai" Ucapnya dan seketika dia melihat sebuah ranting kayu yang cukup besar berada tidak jauh dari tempatnya saat itu.
Frayogha melepas ranselnya agar lebih mudah menggeser tubuhnya menuju ranting besar itu dan berhasil.
"Alhamdulillah" Ucapnya dan dia sekarang mencoba berjalan kembali, walau sulit dia terus berjalan keluar dari pinggir sungai dan tujuannya adalah gubuk yang tadi sempat dia lihat.
Baru saja dia menjauh dari pinggiran sungai, tiba tiba aliran sungai itu membesar dan ranselnya yang tadi dia tinggal terlihat melintas didepannya.
"YA ALLAH, terlambat sedikit saja sepertinya aku hanya tinggal nama," ucapnya setelah melihat ranselnya yang terbontang banting terbawa arus.
Frayogha sudah sampai di gubuk dengan selamat, walau tadi sempat jatuh bangun saat berjalan, karena jalanan semakin licin akibat hujan.
Rasa dingin membuatnya merasa lapar, tapi dia sudah tidak punya makanan untuk di makan.
"Kau pasti kuat Gha, biasanya juga kau jarang makan" ucapnya menguatkan diri, agar bisa menahan lapar.
Hari sudah mulai gelap dan dengan terpaksa Frayogha harus meninggalkan kewajibannya lagi sebagai seorang muslim, karena rasanya tidak nyaman jika harus beribadah dengan pakayan kotor juga basah.
Malam semakin larut dan kali ini Frayogha menghela nafasnya berat, lantaran malam ini dia harus menginap lagi disekitar hutan.
Biasanya dia menyukai tidur di alam terbuka tapi sungguh kali ini dia tidak menyukainya.
Kaki yang terkilir perut keroncongan suhu udara yang semakin dingin dan bertambah dingin karena pakayannya yang masih basah.
Frayogha yang awalnya duduk kini mencoba untuk berbaring tentu dengan pakayan yang masih terasa basah akibat hujan-hujanan tadi.
Andai jika ranselnya tidak jatuh dan hanyut terbawa arus sungai, mungkin dia bisa berganti pakayan atau menyalakan api tapi ini?? huhhh ya sudahlah, hanya satu malam ini bukan?, toh esok hari pasti ada yang datang membantunya atau jika tidak ada, besok dia bisa melanjutkan perjalannya sendiri menuju kampung terdekat.
Beberapa kali Yogha mengganti posisinya saat berbaring karena tidak nyaman, dan setelah endapatkan posisi yang menurutnya kebih baik kini matanya yang tidak mau tertutup, mungkin efek kedinginan dan juga lapar.
Saking laparnya terlintas di benaknya untuk mencabut beberapa ubi yang ada di kebun dekat gubuk tersebut, tapi sesat kemudian dia menggelengkan kepalanya tanda menolak pikiran buruk yang menyuruhnya untuk mencuri.
"Tidak aku pasti bisa hanya semalam gha, kamu pasti bisa" ucapnya menyemangati diri sendiri agar tidak mencuri, dan setelah itu dia memaksa agar matanya terpejam dan berhasil.
Ke esokan paginya dia sudah siap dengan rencananya, dan jika dia ingin melakukan semua rencananya itu, dia harus mengisi perutnya, agar bertenaga dan pandangannya tertuju pada tanaman ubi didekatnya itu.
"Aku harus punya tenaga" ucapnya menyerah dan dia mulai mencabut tanaman ubi itu.
"Bismillah, jika aku sudah keperkampungan aku akan cari tahu pemilik kebun ini dan membayar ubi yang telah aku makan ini" ucapnya sebelum memakan ubi tersebut yang tentunya masih mentah.
Satu ubi berhasil masuk kedalam perutnya, dan dia tidak merasa kenyang, alhasil dia mengambil ubi lagi untuk dimakan.
Namun karena masih merasa lapar, dan rasa ubi tersebut sangat enak dia pun mencabut dua tanaman ubi lagi, dan dia baru berhenti saat melihat jika ada seseorang yang datang.
Dengan suara yang keras dan lantang dia berteriak
"Tolong... tolong....tolong....!!!"
Orang yang baru datang itu langsung mendengar teriakan Frayogha, terbukti saat ini orang tersebut terlihat mencari arah suara Frayogha yang meminta tolong.
Sang penolong telah tiba di gubuk tempat Frayogha berteduh dan beruntungnya dia, karena orang yang bernama asep tersebut adalah tukang urut dan hasilnya sekarang Yogha bisa berjalan lagi.
"Terima kasih kang Asep atas bantuannya, oh iya kang, apa akang tahu siapa pemilik kebun ini?" tanya Frayogha yang ingin bertemu pemilik kebun ubi.
"Tahu a, pemilik kebun ini adalah pemimpin pondok pesantren,".
Frayogha menelan salipannya saat mendengar jika kebun ubi tersebut adalah milik seorang ulama, yang artinya dosa mencuri ubi itu pasti akan berlipat, itu pikirnya.
"Kang apa bisa jika akang mengantar saya kepesanteren?".
"Bisa a, tapi sebelum itu saya harus memanen beberapa ubi untuk saya bawa kepesanteren," ucap Asep dan ucapan Asep tersebut membuat Frayogha tahu jika Asep adalah salah satu santri pemilik kebun.
Asep memanen ubi tersebut dibantu Frayogha dan satu karung ubi sudah siap di bawa Asep tanpa membutuhkan waktu yang lama.
Mereka sudah mulai berjalan dan tidak membutuhkan waktu yang lama mereka kini sudah sampai di perkempungan, dan di sinilah mereka sekarang di depan gerbang sebuah pondok pesantren yang sangat luas.
Jantung Frayogha berdetak sangat keras saat melihat gerbang tersebut, ada rasa gugup yang menyelimuti hatinya tapi dengan langkah pasti dia masuk melewati gerbang, mengikuti Asep.
Frayogha tidak langsung pergi menemui pemilik kebun, karena rasanya tidak pantas jika dia bertemu pemilik kebun dengan pakayan kotor, jadi sebelum itu dia berganti pakayan meminjam pakayan Asep sebelum pakayannya kering setelah tadi dicuci.
"A, kalau mau ketemu pak Kiai, mending sekarang saja mumpung jadwal ngajarnya lagi kosong" ajak Asep yang tau jadwal ngajar pak Kiyai karena dia adalah santri yang sudah tahunan tanggal di sana.
"Baiklah, tapi akang temenin saya bicara sama pak Kiai" ucap Frayogha meminta pertolongan lagi dan Asep menganggukan kepala tanda setuju.
"Asalamu'alaikum" ucap Asep setelah berada di depan rumah pak Kiyai dan tidak berselang lama pintu terbuka.
"Eh Asep, ada apa ? apa ada masalah di kebun ?" tanya pak Kiai, karena tidak biasanya Asep berkunjung jika tidak ada hal penting yang akan dia sampaikan.
"Tidak ada Pak, cuman ini saya kemari mengantar a Yogha, dia ini yang dinyatakan hilang setelah mendaki gunung kemarin," jelas Asep yang memberi tahu jika Yogha adalah pendaki yang di kabarkan hilang, dan sebelum menjawab pertanyaan pak Kiai tadi Asep dan Frayogha sudah mencium tangan pak Kiai.
Frayogha yang dimaksud Asep tersenyum dan berkata "Iya pak, saya pendaki yang hilang kemarin".
Pak Haji pun menganggukan kepalanya dan berkata "Lalu ada keperluan apa nak Frayogha datang menemui saya?" dan sebelum Frayogha atau Yogha menjawab, pak Kiai mempersilahkan yogha dan Asep masuk rumah terlebih dulu.
Setelah masuk rumah dan duduk Yogha menjelaskan maksud dan tujuannya menemui pak Kiai.
Pak Kiai lumayan kaget saat mendengar tujuan Yogha menemuinya, karena menurutnya sangat langka di jaman sekarang orang yang seperti Yogha.
Mau repot hanya ingin menghalalkan makanan yang telah masuk keperutnya, padahal jika mau, dia tidak perlu menemuinya untuk hal yang di anggap sepele oleh sebagian banyak manusia.
"Nak apa kamu yakin ingin menghalalkan ubi yang telah kamu makan?" tanya pak Kiyai yang entah mengapa sekarang nada bicaranya terdengar serius dan itu membuat Asep menunduk.
"Yakin pak" ucap Yogha yakin
"Baiklah jika kamu ingin ubi yang telah kamu makan itu menjadi halal maka halalkanlah putri saya".
Yogha mengerutkan keningnya karena merasa jika yang dia dengar, sedikit tidak di mengerti oleh akalnya.
"Maaf pak, maksud pak Kiai apa?" tanya Yogha yang takut jika dia salah mendengar.
"Maksud bapa, jika kamu ingin makanan yang sudah kamu makan menjadi makanan yang Halal, maka halalkan pitri saya, kasihan dia sudah berumur tapi belum juga mendapatkan jodoh".
"Pak Kiai ini bercandanya keterlaluan, masa ia cuman karena saya nyuri ubi, saya sampai harus menikahi putri pak Kilai" ucap Yogha yang berpikir jika pak Kiyai bercanda.
"Pak Kiai ini bercandanya keterlaluan, masa iya saya cuman nyuri ubi, harus sampai menikahi putri Pak kiai".
"Nak bapa serius" tegas pak Kiai.
Yogha dan Asep kini terdiam mencerna baik-baik apa yang baru saja di sampaikan pak Kiai.
"Pak kiai jangan bercanda" ucap Yogha yang masih merasa jika pak Kiai sedang bercanda, ya masa iya pak Kiai, mau menikahkan anaknya pada orang yang baru saja dia kenal, itu sangat mustahil pikir Yogha dan itu juga yang ada di pikiran Asep.
"Apa saya terlihat sedang bercanda?" tanya pak Kiai serius.
Yogha yang baru yakin jika pak Kiai serius langsung menelan salipannya dengan susah payah.
"Bukan kah, tadi nak Yogha bilang akan melakukan APAPUN, agar makanan yang telah nak Yohga makan menjadi makanan halal? andai saya tidak mau menerima uang dari nak Yogha".
Ya tadi Yogha berkata seperti itu karena dia berpikir jika orang sekelas pak Kiai tidak akan mau menerima uang darinya, hanya karena beberapa ubi yang telah dia makan, namun sekarang rasa menyesal menguasai Yogha yang sudah berkata seperti itu.
"Tapi pak apa tidak ada cara lain selain harus menikahi pitri bapak?" tanya Yogha yang tidak mau menerima sarat dari pak Kiai.
"Jika kamu tidak mau maka selamanya ubi tersebut adalah makanan HARAM, dan nak Yogha pasti tahu jika ada barang haram di darah juga daging kita, maka hidup kita tidak akan berkah" jelas pak Haji dan penjelasan pak Haji membuat seorang frayogha semakin serba salah.
Di ia in ya gi mana? di tolak ya masa ia dia harus hidup dalam ketidak berkahan seimur hidup, apalagi yang ngomong seorang yang dekat dengan Allah, yang pasti ucapannya bisa jadi doa yang mustajab.
"Pikirkan dulu baik-baik jangan asal mengambil keputusan, Oh iya saya tinggu jawaban nak Yogha sampai nanti sore, jadi ada waktu untuk nak Yogha berpikir!" ucap pak Kiai sebelum dia pamit karena harus mengajar kembali dan setelah pak Kiai pergi, Yogha dan Asep juga ikut pergi.
Asep menyuruh Yogha untuk beristirahat di kamarnya sementara dirinya melanjutkan kegiatannya lagi.
"Panteasan pas mau masuk kemari perasaan ku tidak enak ternyata ini" ucap Yogha sambil rebahan di kasur yang tak seberapa empuk itu, namun tetap bisa membuat Frayogha tertidur.
Kita tinggalkan Yogha yang sedang berpikir, karena di sebuah pos jaga kini sedang riuh terdengar rasa syukur, setelah mendengar jika salah satu rekan mereka yang tersesat sudah di temukan.
"Syukurlah bos kau selamat" ucap Bagus setelah mendengar kabar jika Yogha sang bos telah selamat dan di temukan
"Baiklah kalau begitu saya akan menjemput bos saya dulu, terimakasih atas semua bantuan dan juga doanya," ucap Bagus sebelum dia pamit untuk menyusul sang bos yang di kabarkan sekarang sedang berada di sebuah pondok pesantren di sebrang Desa.
Ya sebrang Desa karena kebetulan desa tempat pos penjaga dengan Desa pondok berbeda.
Sepanjang jalan Bagus tak henti hentinya bersyukur karena sang bos selamat yang artinya dia juga selamat dari ancaman penganguran.
Kemarin saat kedua orang tua Yogha menanyakan keberadaan Yogha, Bagus terpaksa harus jujur walau tahu jika salah satu orangtua Yogha memiliki penyakit jantung dan saat itulah ancaman di layangkan orang tua Yogha padanya.
"Jika Yogha tidak di temukan maka kamu jangan pernah kembali kemari!" Ucap pak Agung papah dari Frayogha, dan setelah berkata seperti itu suara bising di sebrang telepon terdengar, dan setelah itu dia tahu jika ibu dari bosnya pingsan dan di larikan kerumah sakit karena tak kunjung sadar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!