NovelToon NovelToon

The Girl On The Verge Of Death

Tak Seindah Ruby

Sesulit apa kehidupan di luar sana? Apakah semua orang bisa bertahan? Apa yang terjadi pada orang-orang yang memilih menyerah? Apa akan ada hal baik jika bisa bertahan

Pertanyaan-pertanyaan itu sering terlintas di kepala Ruby Arinsakti. Siswi SMA akhir berusia 18 tahun itu sangat ingin tahu dengan jawabannya. Kehidupannya terlalu sulit akhir-akhir ini, hingga dia pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun setelah direnungkan kembali, itu akan menjadi kemenangan untuk orang-orang yang tidak menyukainya. Tapi jika tetap bertahan, benarkah akan ada hari baik?

Setiap langkah kecilnya saat memasuki sekolah akan menarik perhatian setiap orang. Mereka menatap sinis bermaksud mengintimidasinya. Ruby tidak tahu apa alasan mereka membencinya. Dia hanya seorang anak yang tidak punya hak untuk mengendalikan kelakuan buruk orang tuanya. Apakah salahnya jika ayahnya adalah seorang polisi pecandu narkoba. Tidak, kan?

“Apa gue benar-benar bisa bertahan? Masa SMA aja sudah sangat menyulitkan.’’ Ruby mendengus dan masih berjalan menuju lokernya yang berada di koridor dekat kelasnya.

Kini Ruby sudah berdiri di depan loker miliknya. Gadis berambut panjang di kucir satu itu bersiap membuka lokernya. Ketika dibuka berbagai sampah sudah menumpuk di dalamnya, bahkan sebagian ada yang berjatuhan di lantai.

“Sampah lagi,” desahnya pelan. Sebenarnya ini bukan hal yang mengejutkan lagi buat Ruby. Hampir setiap hari sejak dua tahun yang lalu Ruby mendapatkan perlakuan seperti ini, dan dia pun akan melakukannya seperti biasa, membersihkannya dan tetap diam. Dia tidak punya bukti untuk menyalahkan seseorang. Melaporkannya pada guru pun adalah hal sia-sia, dirinyalah yang akan disalahkan.

“Lagi?” tanya seorang cowok yang sangat dikenal Ruby. Theo Prayaka, sahabat kecil Ruby, satu-satunya orang yang masih peduli pada Ruby. Cowok tinggi itu berdiri di sebelah Ruby yang sedang berjongkok. Theo baru saja tiba, dan langsung mendapat pemandangan tidak enak baginya. Ruby yang sedang memungut sampah.

“Seperti biasa.” Ruby menanggapi dengan santai sambil tersenyum kecil menunjukkan lesung pipinya sambil memperbaiki kacamatanya yang melorot. Theo pun ikut berjongkok untuk membantu Ruby.

“Gila, bau banget.” Sindir seorang siswa yang melewati mereka. Theo langsung memutar kepalanya dan menatap dingin cowok itu. Siswa itu langsung berjalan cepat untuk kabur.

“Lo bakal sampai kapan pasrah begini?” tanya Theo yang kini sudah beralih mengambil sampah yang ada di loker.

“Emangnya tindakan apa lagi yang bisa gue lakuin?” Jawaban Sederhana Ruby membuat Theo terdiam. Benar, tidak ada yang bisa mereka lakukan, karena segala tindakan akan merugikan Ruby sendiri.

Dahulu Theo pernah menawarkan Ruby untuk pindah sekolah dengan segala biaya akan tanggung olehnya, namun Ruby menolak karena bisa saja sekolah yang ditujunya juga melakukan hal yang sama. Dia juga pernah menawarkan bantuan agar ayahnya memperingati orang-orang yang merundung Ruby, tapi gadis itu juga menolak dengan alasan, itu bisa merusak nama keluarga Theo. Apalagi ayahnya adalah seorang wali kota. Kini yang bisa dia lakukan hanya menjaga gadis itu semampunya.

Ruby akhirnya selesai membersihkan dan merapikan kembali lokernya, walaupun hanya bertahan hari ini saja. Besok pagi juga akan kembali berisi sampah.

“Ini buku tugas, lo.” Theo menyerahkan buku tugas milik Ruby yang dia bawa. Karena buku catatan Ruby yang selalu dicuri, jadi dia menitipkannya pada Theo.

“Terima kasih, ya,” Ruby meraih buku yang diserahkan Theo.

“Gue ke kelas, ya. Kalau mereka masih gangguin lo, laporin ke gue.” Ruby hanya mengangguk.

Theo pun meninggalkan Ruby sambil melambaikan tangan, Ruby hanya tersenyum membalas lambaian itu.

Sebelum memasuki kelas Ruby berjalan menuju toilet, untuk mencuci tangannya. Di dalam toilet ternyata ada Niken, Tiara, dan Rara yang sedang memperbaiki riasannya di depan cermin. Ruby pelan-pelan masuk di antara mereka.

“Kok tiba-tiba ada aroma yang tidak sedap?” sindir Rara yang sedang memakai lipstik.

“Iya, bau banget. Padahal sebelumnya gak begini,” tambah Niken, sambil menyemprotkan parfum banyak-banyak ke arah Ruby. Namun Ruby tetap diam dan masih menggosok tangannya dengan sabun.

Tiara melangkah menuju wastafel sebelah Ruby, dan mencuci tangannya. Gadis itu sengaja mencipratkan air agar mengenai Ruby, alhasil lengan baju Ruby basah. Setelahnya dia juga memercikkan sisa air di tangannya ke arah Ruby dan mengenai kacamata gadis itu.

“Duh, lo kena? Sorry, gak sengaja.” Ketiganya pun melenggang pergi sambil tertawa.

Dengan wajah datarnya, Ruby berjalan tenang menuju kelas. Gadis itu sekarang layaknya robot karena tidak pernah menunjukkan ekspresi atau emosi sedikit pun. Dia selalu berwajah datar pada semua orang selain Theo, dan dia juga mengabaikan perbuatan orang-orang padanya.

Ruby menuju mejanya yang berada di pojok kanan kelas. Dia menatap mejanya yang penuh dengan coretan serta kata-kata yang begitu menyakitkan.

‘SAYA RUBY ARINSAKTI ADALAH ANAK POLISI PECANDU NARKOBA.'

‘Bukanya melindungi masyarakat, malah pakai narkoba.’

‘Buah jatuh gak jauh dari pohonnya, jangan-jangan ....’

Itulah beberapa kata-kata menghiasi mejanya yang mengutuknya setiap hari. Rasanya Ruby ingin menangis agar sesak di dadanya bisa berkurang, tapi entah mengapa sekarang dia sangat sulit mengeluarkan air mata.

“Gue harus bertahan demi beasiswa, sebentar lagi gue bakal selesai dari sekolah ini. Sekolah ini, kan sekolah favorit gue juga.” Ruby menguatkan kembali hatinya, dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat.

SMA Eden Internasional adalah sekolah yang diidam-idamkan Ruby sejak SMP, karena SMA ini terkenal menghasilkan siswa-siswi berbakat dan cerdas. Namun selama Ruby bersekolah di SMA ini hingga sekarang berada di kelas 12 akhir, ternyata tidak ada yang istimewa malahan sangat buruk. Sekolah mana yang mendukung siswanya untuk mengucilkan bahkan merundung satu siswa? Sekolah ini tidak pantas disebut tempat mengajar melainkan tempah menghajar.

“Hanya nama gue aja yang Ruby, ternyata gue gak seberharga Ruby.” Ruby berucap pelan sambil menatap keluar jendela dari tempat duduknya. Dia pikir dia akan diperlakukan layaknya permata merah yang mahal itu, ternyata dia hanya dianggap sampah. Lamunan Ruby buyar setelah, bel berbunyi.

Guru yang mengajar pun masuk dan mempersilahkan mereka mengumpulkan tugas. Ruby berjalan tenang menuju meja guru. Tiba-tiba Gladis menjulurkan kakinya ketika Ruby ingin melewati mejanya. Ruby pun terjatuh tersandung kaki Gladis. Lututnya terbentur keras dengan lantai. Untung saja tangannya spontan menahan tubuh atasnya, sehingga tidak menambah luka lain. Ruby hanya meringis karena lututnya yang sakit. Gladis dan yang lainnya menahan untuk tidak tertawa. Ruby bangkit sambil dan mengelus lututnya yang perih dan mengambil bukunya yang terjatuh.

“Sorry, gue gak sengaja,” ujar Gladis, dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Ruby hanya diam bahkan tidak melirik sedikit pun gadis berambut merah tersebut yang kini sudah tertawa tertahan bersama Niken, Rara dan Tiara.

“Kenapa kamu bisa jatuh?” tanya guru dengan tatapan sinis.

“Saya yang gak liat-liat jalan, Bu.” Guru itu hanya menatap remeh.

Ruby pun kembali ke tempat duduknya, menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat.

...****************...

“Hari ini mereka ngelakuin apalagi?” tanya Theo yang sekarang berada di kantin bersama Ruby.

“Gak ada, mereka cukup tenang hari ini.” Ruby berbohong. Untungnya meja menutupi lututnya yang memerah.

Theo hanya mengangguk walaupun dia tahu jika Ruby berbohong. Cowok itu mencoba untuk mengerti. Mungkin Ruby lelah jika ditanya hal yang sama setiap hari.

Mereka kembali diam dengan pikiran masing-masing. Akhir-akhir ini tidak banyak percakapan di antara mereka. Karena Ruby seolah enggan untuk membahas apa pun. Setelah kematian ayahnya Ruby jauh berubah. Dirinya yang dulu begitu periang dan ramah kini berubah menjadi gadis dingin yang sulit tersenyum. Tiba-tiba ponsel pintar milik Theo bergetar dan membuyarkan lamunannya, ada notifikasi pesan masuk dari Dean.

[Dean Bintangi]

[Lo harus liat video ini, satu sekolah gempar karena video ini. Gue jadi kasihan banget sama Ruby.]

Theo pun membuka video yang dikirimkan Dean. Theo cukup terkejut, karena video itu adalah video ibunya Ruby bersama pria asing. Video itu memutar keduanya yang sedang makan malam bersama dengan canda gurau, setelahnya keduanya bergandengan menuju mobil yang sudah menunggu mereka di depan restoran. Lalu hanya beberapa foto yang menunjukkan jika mereka memasuki hotel bersama. Anehnya wajah pria itu tidak terlihat sama sekali tapi wajah ibu Ruby terlihat begitu jelas.

Theo ingin mencegah Ruby untuk tidak menonton video itu. Dia terlambat, Ruby sudah menonton video itu dari ponsel pintarnya sendiri. Theo pun hanya diam tak berkata apa pun, karena segala kata penyemangat yang dia katakan sejak dulu rasanya sudah tidak ada artinya. Dia hanya mengelus pundak Ruby dan berjanji pada dirinya jika dia akan selalu berada di samping gadis itu.

“Video ini ulah siapa lagi?” batin Theo.

Setiap Hari Semakin Sulit

Setelah tersebarnya video ibu Ruby dan pria paruh baya itu, orang-orang yang merundungnya pun menjadi sangat terang-terangan. Tatapan jijik semakin kelihatan, belum lagi kata-kata menghakimi yang tidak lagi hanya berbisik.

Ruby ingin menghilang saja dari sekolah yang beracun ini. Jelas semua bukan salahnya, tapi mengapa memperlakukannya seolah dia pelakunya?

“Lo udah tanya sama ibu lo soal video itu?” tanya Dean tiba-tiba. Saat ini Dean dan Ruby berada di kantin dengan jus di hadapan mereka masing-masing. Ruby sebenarnya ingin sendiri, tapi tiba-tiba saja teman Theo itu menghampirinya dan duduk di depannya seperti sekarang.

“Hah, boro-boro nanya, sekarang dia ada di mana juga, gue ngak tau. Dia gak pernah pulang,” jawab Ruby tenang. Sebenarnya Ruby tidak ingin membahas soal ini. Tapi jika dia menolak menjawab, cowok itu tidak akan berhenti untuk terus bertanya.

Di sekolah ini yang peduli pada Ruby hanya Theo, dan dia tidak tahu kenapa anak-anak orang terpandang teman-teman Theo juga mau berteman dengannya. Apa untungnya berteman dengannya?

Theo di mana?” tanya Ruby karena tidak melihat cowok itu sejak tadi.

“Kayaknya dia ada urusan di ekskul.” Ruby mengangguk. Gadis itu baru ingat jika Theo adalah ketua ekskul fotografi sekolah. Sebagai senior dan juga mantan ketua, pasti ada hal yang harus dia urus.

Dari awal masuk Ruby ingin sekali masuk ekskul, apa pun itu, setidaknya dia punya kegiatan sehabis pulang sekolah. Tapi tak ada satu pun ekskul yang mau menerimanya, semua menolak dengan halus walaupun Ruby juga tahu penyebabnya. Theo menawarkannya untuk masuk ekskul yang sama, Ruby menolak karena itu bisa mempersulit cowok itu.

“Apa lo bakal diam terus?” tanya Dean, yang mulai bosan karena mereka hanya diam sejak tadi.

“Iya, dari dulu, kan memang harus begitu. Gue bisa bertahan di sekolah ini juga berkat beasiswa. Ya, setidaknya ini akan berhenti sebentar lagi.”

“Setelah selesai dari sekolah ini, lo mau ke mana?”

“Entahlah, gue juga gak tau.” Ruby memang tidak tahu akan bagaimana setelah ini.

Ruby sebenarnya memiliki uang yang cukup di rekening milik ibunya yang sengaja di berikan untuknya. Karena wanita itu tidak pernah pulang ditambah sekarang ada rumor jika dia tidur dengan suami orang, membuat Ruby enggan memakai uang tersebut. Dirinya lebih memilih bekerja paruh waktu di warung makan kecil yang milik tetangganya untuk memenuhi segala kebutuhannya.

Setelah bel berbunyi mereka pun berpisah dan kembali ke kelas masing-masing. Ruby langsung menuju kelasnya tanpa memedulikan orang-orang yang sengaja menabraknya saat mereka melewatinya.

Setelah sampai di tempat duduknya, Ruby langsung mengeluarkan alat tulis dan lembaran soal yang akan dia kerjakan. Lembaran soal itu akan dikumpulkan juga setelah berakhirnya jam mata pelajaran tersebut.

Saat ini Ruby sedang meraba isi tasnya untuk mencari alat tulis, tiba-tiba sesuatu berjalan di tangannya. Ruby spontan berteriak dan melemparkan tasnya. Seisi kelas langsung menatap tajam ke arahnya. Tiba-tiba dari dalam tasnya keluar lima ekor kecoak membuat seisinya kelas menjadi gaduh, termasuk Ruby yang juga duduk di atas kursinya sambil menaikkan kakinya.

“Heh, ngapain lo ke sekolah bawa peliharaan!” teriak Rara yang berdiri di atas kursinya. Ucapannya itu di membuat beberapa siswa tertawa.

“Gila, kecoa aja dijadiin peliharaan,” ledek Niken seorang.

“Yah, emang dasarnya sampah cocoknya juga sama serangga menjijikkan ini,” tambah Gladis yang baru saja memasuki kelas.

Kecoak itu sudah berlarian entah ke mana. Karena kejadian ini, Ruby pun dipanggil ke ruang guru. Ruby heran bagaimana guru tahu soal ini, kapan mereka mengadukannya?

Ruby berjalan sambil menunduk menuju ruang guru. Di sana wali kelasnya, bu Tika sudah menunggu dengan wajah yang tidak enak.

“Ibu manggil saya?” tanya Ruby takut-takut.

“Bagaimana bisa kamu membawa kecoak ke sekolah! Kamu sengaja ingin mengganggu teman-temanmu yang lain karena mereka tidak mau berteman denganmu?” Bentakan guru itu menarik perhatian guru lain yang ada di ruangan itu. Terlepas dari itu Ruby juga terkejut dengan ucapan yang menuduh dari wali kelasnya itu.

“Saya tidak mungkin membawa serangga itu, Bu. Saya tadi sedang mencari alat tulis di dalam tas, tiba-tiba ada yang berjalan di tangan saya jadi saya—”

“Tidak usah banyak alasan kamu. Sekarang kamu cari kecoak-kecoak itu. Kamu tahu, kan sekolah kita terkenal karena kebersihannya juga. Bagaimana jika siswa lain melapor pada orang tuanya jika ada kecoak berkeliaran di sekolah,” omel guru itu.

“Tapi Bu, saya—“

“Tidak ada alasan, pokoknya kamu harus cari kecoak-kecoak itu.” Ruby yang masih ingin menolak tetap berdiri di hadapan Bu Tika itu.

“Apa lagi! Cepat lakukan!”

“Saya permisi, Bu.” Ruby meninggalkan ruangan itu. Dengan terpaksa dia harus bertanggung jawab dengan hal yang tidak dia lakukan. Dia berpikir keras bagaimana cara menangkap kecoak-kecoak itu, selain keberadaannya yang tidak diketahui, dia juga tidak berani menangkapnya.

“Ada apa? Kenapa lo ke ruang guru?” tanya Theo yang sudah menunggu Ruby di depan kelas.

“Lo pasti udah tahu kejadiannya, kan. Sekarang gue harus nangkepin kecoak-kecoak itu di suruh, bu Tika. Padahal bukan gue yang bawa kecoak-kecoak itu.” Ruby berucap sendu.

“Tenang gue bakal bantuin lo,” tawar Theo.

“Lo bolos?”

“Sesekali gak apa-apa, kan?”

“Tapi, kan—“

“Tenang aja. Daripada lo gue tinggal sendiri, emang lo bisa nangkepinnya?” Ruby menggeleng lemah. Theo hanya tersenyum sambil mengelus kepala gadis yang tingginya hanya sepundaknya ini.

“Kita juga,” ucap Dean yang baru saja datang bersama tiga orang temannya. Melihat ada orang yang ingin membantunya membuat Ruby berkaca-kaca.

“Padahal ada petugas kebersihan, mereka juga bakal lebih cepat buat nangkepin kecoak-kecoak ini. Kenapa hal sepele begini harus permasalahkan,” Dean memasuki kelas dan melihat para perempuan di kelas itu masih berdiam diri di tempatnya.

“Lari ke mana kecoak-kecoaknya?” tanya Dean lantang. Mereka menunjukkan tempat-tempat tersembunyi. Seperti di bawah lemari yang ada di belakang kelas, serta di bawah meja guru. Untungnya tidak ada yang pergi keluar, karena bisa mempersulit pencarian. Mereka beramai-ramai mencari kecoak itu. Karena keberanian cowok-cowok itu akhirnya kecoak-kecoak itu berhasil ditangkap.

Ruby membawa kecoak-kecoak setengah mati itu ke hadapan wali kelasnya dengan menggunakan plastik bening. Melihat itu guru itu terkejut hampir terjungkal dari tempat duduknya.

“Kenapa kamu bawa ke saya!” teriak Bu Tika itu.

“Sebagai bukti kalau saya sudah berhasil menangkap kecoaknya, Bu.” Guru itu hanya menatap kesal dan tidak tahu harus menjawab apa. Karena tindakan Ruby ada benarnya.

“Buang-buang sana. Menjijikkan!”

“Baik, Bu.” Ruby pun membuang kecoak itu di tempat sampah yang berada di dekat guru itu. Melihat itu guru itu kembali mengamuk, Ruby dengan cuek meninggalkan ruangan itu. Setidaknya dia sudah bertanggung jawab dengan suruhan gurunya walaupun itu bukan kesalahannya.

Melihat Theo dan teman-temannya membantu Ruby membuat Gladis semakin tidak senang. Tidak ada yang tahu mengapa begitu bencinya Gladis pada Ruby. Padahal Gladis saat ini adalah aktris muda yang mulai naik daun. Yah, sebenarnya salah satu alasan gadis itu adalah karena orang tuanya sangat menyukai Ruby yang selalu berprestasi saat SMP, kebetulan yayasan SMP itu milik keluarga Gladis. Orang tua Gladis juga sering membandingkan keduanya. Bahkan orang tuanya menyuruh Gladis untuk berteman dengan Ruby, tentu saja Gladis tidak akan menurut. Kini bahkan Gladis sedang merencanakan hal yang lebih buruk terhadap Ruby. Padahal jika dilihat dari mana pun, itu bukanlah kesalahan Ruby.

...****************...

Ruby berangkat sekolah seperti biasa. Ketika memasuki gedung sekolah, Ruby melihat mading sekolah yang dikelilingi oleh seluruh siswa membuat Ruby penasaran, apalagi mereka terkejut melihat keberadaan Ruby yang ada di antara mereka. Ternyata ada foto-foto mirip dirinya bersama pria paruh baya berjalan-jalan dia mal dan memakai pakaian yang tidak pantas untuk anak SMA.

Padahal seharian semalam dia hanya bekerja, jelas ini adalah editan. Mendengar percakapan siswa lain yang bilang jika Gladis yang menempelnya, Ruby pun mencabut semua foto-foto itu dan berjalan ke kelasnya.

Mendapati Gladis yang tertawa bersama teman-temannya membuat Ruby sangat marah. Ruby pun menghampiri meja Gladis dan langsung melemparkan semua foto itu ke wajah Gladis.

Diam Bukan Berarti Lemah

“Ini ulah lo, kan!” teriak Ruby, setelah melemparkan foto-foto itu.

“Sialan. Lo punya bukti apa nuduh gue!” Gladis yang tidak terima menghampiri dan berdiri tepat di hadapan Ruby. Mereka saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain.

“Satu sekolah juga tahu kalau ini perbuatan lo. Gue gak tau ada dendam apa lo sama gue. Gue gak pernah gangguin lo. Gue terima segala perlakuan jahat lo ke gue, tapi kali ini gue gak bisa terima. Lo kelewatan.” Ruby langsung menarik rambut merah bergelombang Gladis yang sudah susah payah dia atur tadi pagi.

“Aaakkkhh! Rambut gue! Sialan, lepasin!” Gladis mencoba melepaskan tangan Ruby yang menarik rambutnya. Ruby tidak peduli dengan teriakan serta tindakan Gladis, ia tetap menarik kencang rambut gadis itu.

Kelas itu langsung ramai di kelilingi semua siswa yang melihat dari luar kelas sambil berteriak menyerukan nama mereka. Teman-teman Gladis berusaha membantu. Niken mencoba melepaskan tangan Ruby yang menarik Rambut Gladis, Rara memukul-mukul Ruby, dan Tiara menarik rambut Ruby. Namun yang mereka lakukan itu semuanya sia-sia, mereka semua tidak dapat melawan Ruby. Entah bagaimana gadis itu bisa sangat kuat. Karena itu banyak yang tidak berani merisaknya secara terang-terangan, dan kali ini Gladis memang sudah kelewatan. Semua orang tahu, selain aib orang tuanya, Ruby tidak memiliki kelemahan apa pun. Apalagi sampai menggoda pria paruh baya, itu jelas tidak mungkin. Karena Ruby selalu bekerja di warung makan yang tidak jauh dari sekolah.

Tiba-tiba pak Eko sudah ada di kelas dan mencoba memisahkan mereka. Guru itu mencoba melepaskan tangan Ruby namun tanpa sengaja Ruby menampar keras wajah guru BK itu. Seketika kelas yang ribut itu langsung hening dan berhamburan kembali ke kelas masing-masing karena bel juga sudah berbunyi. Ruby yang menyadari perbuatannya pun langsung melepaskan tangannya dari rambut Gladis.

“Kalian berlima ke ruangan saya, sekarang!” Dengan cepat Gladis dan teman-temanya berjalan menuju ruang BK. Gladis hampir menangis melihat rambutnya yang acak-acakan dan menggumpal, selain itu rambutnya juga banyak yang rontok. Ruby pun mengikuti mereka dari belakang dengan jarak yang sedikit jauh. Dia tidak memperbaiki penampilannya yang juga acak-acakan.

“Ada apa?” tanya Theo pada Dean yang melihat keramaian yang berangsur bubar.

“Ruby dan Gladis ribut, mereka jambak-jambakan rambut. Tapi tenang walaupun satu lawan banyak. Ruby tetap menang, bahkan dia nampar pak Eko juga.” Dean tertawa. Theo dengan perasaan khawatir meninggalkan kelas itu dan kembali ke kelasnya.

Setelah sampai di ruang BK, pak Eko pun meletakkan foto-foto yang sempat dikutipnya. “Siapa yang bisa menjelaskan pada saya,” tanya pak Eko sambil mengelus pipinya yang perih dan memerah. Ruby yang melihatnya menjadi merasa bersalah.

“Ruby, Pak, tiba-tiba dia menyerang saya. Padahal saya tidak melakukan apa-apa,” rengek Gladis. Ucapannya mendapat anggukan dari teman-temannya.

“Gladis menempelkan foto-foto ini di mading Pak, dan semua foto ini tidak benar. Kemarin seharian saya bekerja, Pak,” jelas Ruby, membela dirinya.

“Tidak Pak, itu bukan saya yang menempel. Lo ada bukti kalo itu ulah gue?” Gladis menaikkan suaranya.

“Jika Bapak tidak percaya, Bapak bisa cek CCTV yang mengarah ke mading, atau bertanya pada yang lain. Mereka pasti ada yang melihatnya.” Seketika Gladis dan teman-temannya panik, karena jika CCTV diperiksa mereka akan ketahuan.

“Oke, saya akan memeriksanya nanti. Kalian berempat keluar dari ruangan ini dan langsung masuk ke kelas. Ruby tetap tinggal di sini.” Gladis dan yang lainnya merasa menang, dan keluar dengan santai. Ruby pun kebingungan.

“Loh, kenapa mereka yang keluar Pak. Mereka, kan yang bersalah, mereka juga mengeroyok saya, Pak.” Pak Eko hanya diam.

“Ya memang, tapi kamu yang memulai menyerang Gladis, kondisi Gladis juga lebih parah dari pada kamu yang dikeroyok.” Ruby terdiam, ucapan pak Eko ada benarnya.

“Kamu duduk dulu yang tenang.” Ruby pun menurut dan duduk bangku depan meja guru itu. Ruby pun akhirnya merapikan kuncir rambutnya yang sejak tadi dia biarkan.

“Ini ada surat dari yayasan, silakan langsung dibuka.” Takut-takut Ruby menerima amplop coklat itu dan membukanya. Dengan serius Ruby membaca surat itu.

“Kenapa beasiswa saya dicabut Pak? Saya, kan tidak melakukan pelanggaran apa-apa, selain .... hari ini. Tapi nilai saya tetap stabil, Pak.” Ruby merasa tidak terima dengan ke putusan sekolah yang tiba-tiba.

“Saya juga kurang tahu soal itu. Saya sudah menanyakan ini pada Kepala Sekolah. Dia bilang para donatur pemberi beasiswa yang sepakat untuk mencabutnya.” Ruby hanya terdiam dan masih tidak percaya.

“Sebaiknya kamu kembali ke kelas. Untuk hukuman nanti saya sampaikan ke kelas secara langsung.” Ruby hanya mengangguk lemah dan berjalan meninggalkan ruangan itu.

...****************...

Seperti biasa setelah pulang sekolah Ruby akan langsung menuju warung makan milik tetangganya, sepasang suami istri muda, Siska dan Dani. Dia sudah izin akan telat karena harus membersihkan toilet sekolah. Itu hukuman yang diberikan pak Eko pada mereka berlima. Ada enam toilet perempuan di sekolah. Gladis dan teman-temanya hanya membersihkan dua sedangkan sisanya dibiarkan, agar Ruby yang membersihkannya sendiri.

“Wah, Dek Ruby kelihatan capek sekali hari ini,” ucap Dani yang menghampiri Ruby sedang mencuci piring di wastafel dapur. Pekerjaan Ruby warung ini cukup sederhana, mencuci piring, membersihkan meja, melayani pembeli, walaupun gajinya tidak banyak, setidaknya bisa memenuhi kebutuhannya.

“Iya Bang, karena ada yang perlu dikerjakan tadi di sekolah,” jawab Ruby sopan. Tiba-tiba tangan pria itu sudah ada di kedua pundaknya. Tubuh Ruby menegang dan bulunya meremang. Ruby ketakutan.

“Aku pijat, ya, biar kamu lebih rileks.” Dani pun mengerakkan jari-jarinya dengan senyuman nakal.

“Gak perlu, Bang. Saya tidak apa-apa.” Ruby menjauh dan membuat tangan pria itu terlepas dari pundaknya.

“Saya permisi dulu, mau ke toilet.” Ruby cepat-cepat menuju toilet lalu berjongkok untuk mengatur nafasnya yang tidak teratur dan membuatnya hampir tercekik. Dia tidak menyangka pria gila itu sudah berani menyentuhnya. Padahal Ruby mencoba untuk tetap bertahan walaupun mendapat tindakan yang melecehkannya karena sekarang dia harus membayar biaya sekolahnya.

Ruby mengintip, dan melihat Dani sudah tidak ada di sana. Ruby menghembuskan nafasnya lega. Dia pun keluar dan melanjutkan kembali pekerjaannya dan berharap suami Siska itu tidak akan ke dapur lagi.

“Ruby!” Terdengar suara panggilan dari depan, itu suara Siska.

“Iya, Kak!” Cepat-cepat Ruby membasuh tangannya dan menghampiri Siska yang ada di kasir.

“Kamu udah siap belum cuci piringnya?” tanya Siska.

“Sedikit lagi. Kenapa, Kak?”

“Aku mau keluar sebentar, kamu jaga di depan sini, ya.”

“Baik, Kak.”

“Aku pergi, ya.” Ruby hanya tersenyum melihat kepergian Siska, namun senyumnya sirna setelah melihat wanita itu pergi sendiri tanpa ada suaminya yang mengikuti. Tiba-tiba Dani muncul dan masuk ke dalam warung. Ruby mencoba untuk tetap tenang, walaupun sebenarnya dia sangat ketakutan.

Para pelanggan sudah selesai makan, dan membayar pada Ruby. Setelahnya dia langsung membersihkan meja-meja itu. Kini warungnya sudah sepi.

“Dek Ruby ke belakang aja, lanjutkan cuci piringnya. Biar Abang yang menjaga di sini.” Walaupun enggan Ruby tetap menurut karena tidak mungkin ia menolak.

Ruby pun berjalan ke belakang dan melanjutkan cuci piringnya. Tidak berapa lama Dani pun ikut ke belakang. Perasaan Ruby sudah tidak tenang dan berharap Siska akan segera pulang.

Dani kini sudah berdiri tepat di belakangnya. “Ada apa ya, Bang?” tanya Ruby.

“Tidak ada apa-apa,” jawab pria itu dengan senyuman yang cukup menyeramkan.

Secara tiba-tiba tangan Dani meremas bokong Ruby, karena refleks Ruby langsung memukul kepala pria mata keranjang itu dengan piring kaca yang dipegangnya. Pukulan itu cukup kuat dan membuat Dani terjatuh dan sedikit pusing.

“Kamu gila ya, pukul Abang pake itu!” Dani menunjuk piring yang masih dipegang Ruby, sedangkan tangan satunya mengelus kepalanya.

“Lo yang gila, berani-beraninya nyentuh gue!” teriak Ruby.

“Berani kamu sekarang!” Bersusah payah Dani bangkit dari duduknya dan menarik rambut Ruby lalu mendekapnya dari belakang, namun dengan cepat Ruby langsung menusuk perut Dani dengan sikunya membuat pria itu melepaskan tangannya dari rambut Ruby, karena sakit di perutnya.

“Ada apa ini?” tanya Siska yang baru saja datang.

“Dia tadi mau mencuri uang dari kasir. Tapi karena ketahuan dia jadi mengamuk dan memukul, Abang.” Ruby tidak kaget lagi dengan ucapan Dani.

Siska menghampiri Ruby dengan nafasnya memburu karena amarahnya yang tertahan, bukanya menanyakan kebenaran, Siska langsung saja menampar kuat Ruby.

“Aku memperkerjakan kamu karena kasihan melihat hidupmu yang sulit dan ditinggal pergi oleh ibumu yang tidak bertanggung jawab. Tapi bisa-bisa kamu malah mencuri dan melukai suamiku. Pergi dari sini, sekarang!”

Ruby berjalan tenang meninggalkan tempat itu. Walaupun sekarang dia kehilangan pekerjaannya, setidaknya dia tidak akan bertemu pria gila itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!