Dengan perasaan resah gelisah berbalut rasa takut semua murid perlahan membuka amplop yang sebelumnya dibagikan oleh wali kelas. Mereka saat ini berkumpul di Musholla.
“Lulus!” Pekik semua murid secara bersamaan.
Semua murid kembali ke kelas, di dalam mereka saling membahas tentang rencana untuk mendaftar kuliah dan sibuk mencari universitas mana yang terbaik.
“Kamu ingin mendaftar universitas mana, Nadia? Aku yakin kalau kamu pasti masuk ke semua universitas, kamu kan juara kelas,” ujar Siska teman sebangku nya.
Nadia hanya tersenyum dengan perkataan Siska yang memujinya. Memang dia termasuk Murid pintar di kelasnya dan juga Rasya. Mereka berdua selalu berlomba lomba untuk menjadi juara di kelas. Namun tetap saja Nadia yang menjadi juara kelasnya dengan nilai yang terbaik.
Bukan tidak percaya diri dengan kepintarannya, mengingat Kondisi keluarganya yang termasuk golongan kelas menengah ditambah lagi Sang ayah hanya seorang buruh pabrik dan sang ibu yang hanya ibu rumah tangga biasa membuat gadis itu harus mengurungkan niatnya untuk kuliah.
Berbeda dengan teman - temanya, keluarga mereka termasuk keluarga mampu untuk bisa melanjutkan ke universitas yang diinginkan. Apalagi Rasya, dia adalah anak tunggal yang kaya raya, ayahnya pemilik perusahaan yang terbesar di Jakarta.
Kelas menjadi hening setelah wali kelas mereka masuk. “Selamat buat semua murid ibu, semoga semua bisa mendaftar di universitas favorit kalian, ya! Hari ini kita pulang cepat sampaikan berita bahagia ini ke orang tua kalian di rumah,” ucap ibu guru dan langsung meninggalkan kelas.
Semua murid pun bersorak dan berhamburan keluar dengan tidak beraturan, mereka tidak sabar untuk pulang. Sedangkan Nadia masih melamun enggan beranjak dari tempat duduknya. Dengan nafas berat bersandar di kursi dan menghadap ke langit - langit atap ruang kelas sambil memejamkan kedua matanya.
Dia terlelap sejenak, tetapi tidak pada isi hati dan kepalanya yang bertanya tanya. Jika dia tidak kuliah dia harus mulai bekerja, tetapi dengan bermodalkan ijazah SMA, apa bisa bekerja di sebuah perusahaan? Sebenarnya jika bisa kuliah dia ingin sekali mengambil jurusan bisnis dan management lalu bekerja di perusahaan besar.
Hampir dua jam lamanya Nadia tertidur di kelas. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Saat membuka kedua matanya, kepalanya terasa pusing dan lehernya terasa sakit akibat bersandar terlalu lama. Ketika pandangan nya mengarah ke pintu kelas, dadanya berdebar kencang karena terkejut melihat sosok pria yang sedang berdiri dengan senyuman manisnya.
“Apa yang kamu pikirkan, Nadia? Sampai tertidur di kelas begini?” tanya Rasya terkekeh melihat wajah gadis itu yang terlihat kusut setelah bangun dari tidurnya.
Dengan raut wajah kesalnya Nadia langsung berdiri menggendong tas nya bergegas keluar meninggalkan temannya di dalam kelas. Rasya pun menyusulnya memanggil manggil berulang kali, tetapi tidak di gubris olehnya.
“Aku harus cerita apa? Kamu pasti sudah tau apa yang aku pikirkan sekarang, Sya? Sebenarnya tidak masalah kalau aku tidak kuliah dan langsung melamar pekerjaan saja. Tapi zaman sekarang mencari pekerjaan itu susahnya minta ampun, apalagi hanya bermodal ijazah SMA. Mana ada perusahaan yang menerima, kalaupun ada pasti harus melalui jalur orang dalam.
“Benarkah?” sahutnya. Nadia mengangguk pelan sambil terus berjalan tertunduk lemas seperti orang yang tidak bersemangat.
Sampailah mereka di halte bertepatan bus yang telah tiba mereka naik bersama dan duduk bersebelahan, obrolan pun berlanjut.
“Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, masih ada aku! Kamu tenang saja, Nadia. Aku akan membantu mu nanti. Sekarang jangan cemberut lagi! Rapikan rambutmu itu dan senyum! Jangan terlihat kusut kayak baju yang belum di setrika saja”
Nadia merapikan rambutnya sambil tersenyum terpaksa membuat Rasya tertawa tanpa henti melihat ekspresi Nadia yang terlihat sangat lucu. Karena penasaran dengan wajahnya yang sedari tadi di tertawakan oleh temannya itu, dia mengambil cermin berukuran kecil di dalam tas nya dan langsung melihat wajahnya di cermin.
“Pantas saja kamu ketawa in aku terus dari tadi. Tapi kalau diliat liat aku cantik juga ya!” dia berlenggak lenggok depan cermin kecil yang masih di pegang nya dan sesekali mengedipkan matanya. Membuat Rasya yang melihatnya hanya bisa mengusap dada dan mencubit hidungnya yang tidak gatal menggelengan kepalanya heran.
***
Rasya melamun di dalam kamar sambil berfikir bagaimana caranya dia membantu Nadia mencari pekerjaan?. Dia memang selalu perhatian dengan Nadia terlebih lagi di sekolah. Karna kedekatannya itu semua teman kelasnya mengira kalau mereka adalah sepasang kekasih. Bagaimana tidak, hampir setiap hari Rasya selalu menghampiri Nadia dengan alasan tugas sekolah, padahal dia juga termasuk anak yang pintar.
Saat jam istirahat Nadia jarang sekali pergi ke kantin, karna hampir setiap hari dia membawa bekal makanan yang selalu disiapkan ibunya di dalam tas berwarna ungu yang merupakan hadiah ulang tahun dari sang ayah.
Rasya selalu datang menganggu makan siang nya bahkan dia meminta paksa bekal makanan Nadia. Sampai teman nya selalu menggoda mereka yang sangat cocok jika menjadi sepasang kekasih.
Pintu kamar diketuk membuyarkan, lamunan Rasya. Suara asisten rumah tangganya terdengar nyaring menyuruh sang tuan muda menemui orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu.
Rasya bergegas menuju ruang tamu dan langsung duduk berhadapan dengan orang tuanya.
“Besok kamu brangkat ke Amerika. Papah sudah mendaftarkan mu untuk kuliah di sana!” titahnya tegas.
Mamahnya memberikan paspor dan semua berkas yang harus dibawa rasya ke amerika. Dengan perasaan syok dia membaca satu persatu berkas itu.
Dengan berat hati Rasya menerima semua keputusan orang tuanya. Karna memang Rasya termasuk anak yang penurut. Seketika dia mengingat janjinya kepada Nadia yang ingin membantunya mencari pekerjaan.
“Bagaimana ini jika aku pergi gimana dengan nya?” Gerutunya membuat papahnya bingung karna melihat putranya bicara pelan dan tidak jelas.
Berkali kali dia memanggil sang putra yang masih terdiam seperti memikirkan sesuatu. Karna tidak ada respon dia menepuk punggung nya sekilas.
Untuk kesekian kalinya Rasya terkejut membuat ayah dan anak itu saling berpandangan. Mamahnya yang melihat sang putra pun heran kenapa dia melamun seperti itu. Apa dia tidak ingin kuliah di amerika.
“Pah … sebelum pergi ke Amerika. Aku ingin papah menerima teman ku bekerja di perusahaan papah! Tapi dia hanya punya ijazah SMA tidak kuliah, “ pintanya lembut berusaha meyakinkan orang tuanya kalau temannya itu sangat pintar, selalu juara kelas di sekolahnya.
Papahnya langsung setuju karna kebetulan di kantornya sedang membutuhkan karyawan. Dan menyuruh temannya itu langsung datang menemuinya di kantor.
Dengan perasaan senang Rasya langsung mengambil ponselnya mengirim pesan pada Nadia untuk segera menemuinya. Dia pun bergegas menuju kamarnya kembali untuk bersiap – siap.
***
Satu jam lalu Rasya mengirim pesan dan tepat pukul 8 malam nadia sudah menunggu hampir setengah jam di sebuah restoran.
Yang di tunggu akhirnya datang. Rasya meminta maaf karna terlambat datang dikarenakan jalanan macet parah.
“Besok kamu siapkan berkas lamaran kerja dan datang langsung ke kantor papah ku ya!” ujarnya sambil memberikan alamat perusahaannya.
Nadia merasa senang sekaligus bingung. Sebenarnya, dia tidak enak karna selalu merepotkan Rasya, bukan hanya baik Rasya selalu menepati janjinya jika sudah berucap.
“Trimakasih kamu selalu ada setiap aku ada masalah dan selalu membantuku, Rasya,” ucapnya senang.
Rasya hanya mengangguk pelan. Melihat wajah temannya yang sangat senang membuatnya ragu untuk bicara soal keberangkatannya ke Amerika.
Dia takut temannya akan kembali sedih. Dengan nafas berat dia berusaha bicara serius dengan temannya itu.
“Besok aku akan berangkat ke amerika, Nadia! dalam waktu yang lama”
Deg
*
*
Bersambung
Nadia tidak percaya bahwa pertemuannya dengan Rasya malam kemarin adalah pertemuan terakhir sebelum temannya itu berangkat kuliah di Amerika.
Di mana lagi menemukan teman baik dan tulus seperti dia. Mungkin di dunia ini hanya seribu satu teman seperti itu. Tapi sudahlah, sekarang dia harus fokus menata masa depannya, serta membahagiakan orang tuanya.
Khususnya sang ayah yang sangat berharap suatu hari nanti putri satu - satunya ini akan sukses. Sama seperti Rasya, Nadia pun merupakan anak tunggal di keluarganya.
Tiba di perusahaan Nadia langsung menemui Darman papahnya Rasya, sekaligus pemilik perusahaan tersebut.
Setelah salah satu karyawan mengantarkan dia ke ruangan. Melangkahkan kakinya masuk setelah dia menyapa dan dipersilahkan duduk.
Interview pun dimulai dan berlangsung selama 15 menit. Gugup itu sudah pasti, apalagi yang interview itu pemiliknya langsung bukan melalui HRD, seperti pekerja pada umumnya. Nadia pun langsung diterima bekerja.
Dengan perasaan senang Nadia langsung menemui orang tuanya, dia ingin segera memberitahu berita bahagia ini sesampainya di rumah nanti.
“Ibu, bu. Ibu di mana?” pekik nadia sambil berlari kecil. Dia mencari keseluruh ruangan rumahnya, tetapi tidak menemukan ibunya itu.
Tidak biasanya sang ibu tidak terlihat saat anak gadisnya pulang. Biasanya dia sudah berdiri di depan pintu menunggunya. Apalagi jika Nadia pulang terlambat, belum juga masuk dia sudah diintrogasi seperti maling yang baru saja ketahuan mencuri.
Nadia duduk di sofa ruang tamu, sambil memainkan ponsel berharap ada pesan darinya. Karena sejak saat dia berangkat sampai sekarang, mereka sama sekali tidak pernah komunikasi lagi. Tidak ada kabar dari Rasya apalagi sekedar menelfonnya.
Nadia menghela nafas kasar, bersandar melempar ponselnya ke sembarang tempat sedikit kesal.
“Apa dia sangat sibuk? Kenapa dia tidak pernah menghubungi ku walaupun hanya sekali saja,” gerutunya mengambil kembali ponselnya, beranjak dari tempat duduk menuju kamar.
***
Tak terasa sudah tiga tahun berlalu Nadia bekerja di perusahaan milik ayah temannya itu. Dia sangat senang dengan pekerjaannya, apalagi dengan semua karyawan di sana yang selalu baik, mau berteman dengannya tanpa membeda bedakan dia karena statusnya yang hanya lulusan SMA.
Sedangkan mereka yang bekerja di perusahaan itu, rata – rata lulusan universitas ternama.
Jam istirahat tiba, seperti biasa dari masih bersekolah sampai hari ini saat Nadia sudah kerja pun selalu membawa bekal makanan.
Saat dia sedang makan, teringat seseorang dulu yang selalu menghampirinya dan menganggu makan siangnya. Sambil menyuap makanannya, tak terasa dia tersenyum mengingat setiap moment bersama Rasya saat bersekolah dulu.
“Pantas saja kamu gak pernah jajan di kantin, ternyata masakan ibumu lebih enak,” ucap Rasya sambil mengunyah makanan yang masih penuh di dalam mulutnya.
Nadia senang dia suka dengan masakan ibunya itu. Karena memang Rasya sendiri jarang makan masakan mamahnya di rumah, jangankan untuk sarapan pagi, saat dia sudah di rumah pun jarang bertemu dengan kedua orang tuanya yang masing – masing sibuk dengan pekerjaannya.
Nadia pernah sengaja membawa dua bekal makanan dan diberikan satu untuk Rasya. Setidaknya hanya itu yang bisa dia kasih, sebagai ucapan terimakasih dan balas budi atas semua bantuan yang Rasya kasih untuknya selama ini.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, semua karyawan bersiap untuk pulang. Saat di depan pintu lift dia mendengar seseorang sedang bergosip dengan karyawan lainnya.
“Eh sebentar lagi kan ulang tahun perusahaan ya? tadi kamu denger gak waktu kita meeting, Pak Darman bilang kalau acaranya bakal di adakan di hotel ternama di Jakarta, pasti bakal meriah banget,” ujar salah seorang karyawan yang berada tepat di samping Nadia.
Pintu lift pun terbuka semua masuk, obrolan berlanjut sampai pintu lift terbuka kembali berhenti di lobby utama kantor.
“Pasti meriah lah, kamu tau gak? Gosipnya, putra tunggal Pak Darman bakal datang di acara itu juga. Dia selama ini kuliah di Amerika,” ucap nya sambil berlalu keluar kantor.
Nadia yang sedari tadi mendengar percakapan mereka hanya bisa diam, sambil berjalan pelan dia memikirkan bagaimana jika benar Rasya akan pulang saat ulang tahun perusahaan.
Sebenarnya dia juga berharap Rasya kembali, tetapi mengingat sudah tiga tahun lamanya dia putus komunikasi dengan Rasya membuatnya takut.
Takut jika Rasya tidak mengenal dia lagi.
Takut jika Rasya berubah sikapnya.
“Ahh … udah lah biarin ajah! Mudah – mudahan yang aku takutkan tidak terjadi,” gerutunya yang masih khawatir akan hal yang belum terjadi.
Sepulang kantor Nadia tidak langsung pulang ke rumah. Dia ingin mampir sebentar ke supermarket untuk membeli keperluan pribadinya.
Sebelumnya dia sudah mengirim pesan pada sang ibu, jika akan pulang terlambat. Setelah berbelanja Nadia memutuskan untuk duduk sebentar di kursi depan supermarket sambil menyeruput segelas kopi yang tadi dibelinya.
Hari ini sungguh melelahkan baginya. Bukan hanya soal kerjaan di kantor, dia juga lelah dengan hati dan pikirannya, yang selalu memikirkan temannya itu. Terlebih lagi dia baru saja mendengar, jika temannya itu akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat ini.
Karena sudah hampir malam Nadia memutuskan untuk naik taxi dibanding naik bis. Karena jarak rumah dari kantornya sangat jauh.
Saat menunggu taxi tiba – tiba ada pria bertopi dan berjaket hitam yang menabraknya. Karena Nadia takut dia tidak berani menegur seseorang itu. Dia hanya memandangi dengan intens seperti mengenalnya.
Sesampainya di gang rumahnya, Nadia melangkah turun dari taxi sambil membawa belanjaannya. Dia harus berjalan melewati gang, yang lumayan jauh untuk sampai ke rumah.
Di tengah perjalanan dia merasa ada yang mengikutinya, tetapi pada saat dia menoleh ke belakang tidak menemukan siapa – siapa selain dirinya. Memang gang tersebut terbilang sepi jarang orang lewati.
Apalagi sudah hampir larut malam begini. Suasana di gang tersebut semakin mencekam.
“Seperti nya aku memang merasa lelah hari ini. Aku harus benar – benar istirahat,” ujar Nadia yang sebenarnya takut, karena dia yakin ada seseorang yang mengikutinya.
Dengan cepat dia berusaha sekuat tenaga, berlari kencang karena saking takutnya. Dirasa sudah tidak ada yang mengikutinya Nadia berhenti sejenak dengan nafas yang tidak beraturan.
Dadanya masih terasa sesak akibat lari terlalu kencang secara tiba – tiba, ditambah lagi kakinya terasa sakit karena dia berlari memakai sepatu pantofel membuat tumit kakinya sedikit lecet.
Sambil melepas sepatu pantofelnya, dia merogoh kantong celana mengambil ponsel lalu menghubungi sang ayah untuk menjemputnya, karena dia merasa sudah tidak ada tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Saat telfon tersambung, tepat di belakangnya terdengar suara samar – samar . seseorang memanggilnya sambil menepuk pelan bahunya.
“Nadia?”
*
*
Bersambung
Saat Nadia merasakan seseorang memegang pundaknya, ponselnya terjatuh. Dia masih terdiam sejenak belum berani menoleh.
Suara tersebut memanggilnya kembali, kali ini sangat jelas dan rasanya tidak asing.
Deg
Deg
Jantung Nadia berdetak kencang, akhirnya dia menoleh dengan mata terpejam merapatkan kedua telapak tangannya memohon pada orang itu yang dikira ingin merampoknya.
“Tolong jangan rampok saya!” lirih nadia yang hampir menangis.
“Ini ayah, Nadia! Kenapa kamu pulang larut malam begini. Udah tau jalan di gang ini sepi banget, ibu mu sampai khawatir makanya ayah menyusul, sekarang lebih baik kita pulang,” ajaknya sambil mengambil belanjaan dan ponselnya yang tadi jatuh.
Karna ibunya khawatir dia menyuruh suaminya untuk menunggu di ujung gang depan jalan. Tapi ketika Nadia turun dari taxi dia dan ayahnya tidak betemu.
***
Di sebuah hotel, pasangan suami istri sedang sibuk mengamati para karyawan hotel tersebut, yang sedang mempersiapkan segalanya, untuk acara ulang tahun perusahaan yang akan diadakan besok.
Darman dan Asih ingin memastikan semuanya telah siap untuk acara besok . karena bukan hanya seluruh karyawan, dan para rekan bisnisnya yang akan datang. Mereka juga mengundang petinggi perusahaan lainnya.
“Apa dia sudah sampai, mah! Kenapa dari tadi dia tidak memberi kabar. Sekedar menelfon pun tidak,” ujar Darman sambil bejalan pelan melihat sekeliling diikuti istrinya.
Putranya itu memang jarang sekali memberi kabar. Bahkan jika orang tuanya tidak menghubunginya lebih dulu, Mereka tidak akan tahu bagaimana keadaan putranya di sana. Entah apa yang mebuatnya bersikap seperti itu.
Apa mungkin rata – rata sifat laki – laki seperti itu? Cuek dan dingin.
“Lebih baik kita pulang sekarang, dan mengeceknya di rumah. Putramu itu memang benar benar keterlaluan, pah! Kita orang tuanya sangat khawatir. Tapi dia selalu cuek sama kita,” ucap nya kesal.
Keesokan harinya Nadia tengah bersiap siap di kamarnya. Dia masih berkutat di depan cermin meja riasnya, merapikan riasan di wajahnya, lalu berdiri mengambil tasnya yang berwarna ungu.
Ya, Nadia memang suka sekali warna ungu.
Tak lupa dia berpamitan dengan orang tuanya. Ibunya memperhatikan penampilan putrinya, Pandangannya tak lepas melihat Nadia dari ujung rambut hingga ujung kaki.
“Pak, anak kita sudah gadis ya? sangat cantik. Gak kerasa sebentar lagi dia punya pasangan dan menikah. Tinggal kita berdua saja di rumah ini!” ujarnya sedikit sedih.
Nadia terpaku mendengar ucapan ibunya, yang membahas tentang pernikahan dan pasangan hidup. Dia belum memikirkan tentang itu. Bukannya tidak ingin menikah, namun Nadia selalu ingat harapan sang ayah.
“Ibu ini bicara apa? Sekarang aku ingin fokus sama kerjaan dulu. Menjadi wanita karir yang sukses dan membuat Ibu sama ayah bangga padaku. Sudah ya aku berangkat, aku sayang kalian!” ucapnya sambil memeluk dan mencium pipi kedua orang tuanya.
Sesampainya di hotel ternyata dia agak sedikit terlambat, karena terjebak macet. Padahal hari ini weekend. Mungkin banyak orang yang ingin pergi liburan dan menghabiskan waktu bersama keluarganya.
“Andai saja aku punya kendaraan sendiri. Pasti tidak harus menunggu bis berjam- jam kayak gini,” gerutu Nadia sambil masuk ke dalam ruangan acara tersebut.
Saat dia melangkahkan kakinya ke dalam, acara sudah dimulai. Setelah Darman memberikan sambutan, dia memanggil seseorang untuk diperkenalkan ke seluruh tamu.
Pria muda, gagah, berjas hitam itu pun berjalan pelan menghampiri Darman. Semua para tamu bertepuk tangan menyambut kehadirannya.
Tapi tidak dengan Nadia yang baru saja datang, dia terpesona melihat seseorang yang saat ini ada dihadapannya. Tubuhnya membeku, detak jantungnya seakan terhenti, seolah tidak percaya bahwa dia adalah Rasya. Seseorang yang selalu ada dalam hati dan pikirannya, kini dia kembali.
Tanpa sadar Nadia terus memandangi nya hingga dia berkata.
“Tampan” ujar Nadia masih dalam mode melamun.
Setelah Darman memperkenalkan putranya yang akan menjadi penerus perusahaan selanjutnya. Para tamu dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Darman dan Asih membawa Rasya, memperkenalkan sang putra pada rekan bisnisnya juga para petinggi perusahaan lain. Sambil mengobrol, matanya celingak celinguk mencari teman SMA nya itu yang sedari tadi tidak terlihat olehnya.
Pandangannya terhenti di sebuah meja, tepat Nadia sedang menikmati hidangannya. Dia pamit pada tamu tersebut, dan bergegas menghampirinya. Namun Nadia malah pergi, dia seperti menghindarinya.
Rasya tidak terkejut dengan sikap temannya itu. Karena dia sudah hafal betul bagaimana sifat Nadia dan alasan dia menghindar dari Rasya.
Nadia memutuskan untuk pulang lebih awal sebelum acara selesai.
Dia bergegas keluar dari hotel, tanpa sepengetahuan Rasya karena takut jika Rasya mengikutinya sampai keluar.
Tidak tau saja kalau Rasya saat ini sedang memperhatikannya dari jauh. Dia sengaja berpura – pura tidak melihat Nadia yang terburu – buru keluar.
Rasya tertawa melihat tingkah temannya itu yang tidak pernah berubah, selalu membuatnya sakit perut karena tidak bisa berhenti tertawa, melihat tingkahnya yang menggemaskan menurutnya.
“Dia masih sama, tidak ada yang berubah. Kelakuannya, lucunya, dan menggemaskan banget kayak bayi baru lahir. Gimana aku bisa ngelupain dia, walaupun tiga tahun di Amerika,” ucap Rasya yang masih tersenyum sendiri seperti orang tidak waras.
“Maaf aku belum siap ketemu kamu,” ucap Nadia yang kini sudah berada didalam bis menuju arah pulang.
Di perjalan Nadia melamun mengingat kembali pertemuannya dengan teman lamanya itu. Ada banyak pertanyaan di benaknya, kenapa selama tiga tahun dia tidak pernah sedikitpun menghubungi dan memberi kabar hingga membuat Nadia merasa kesal.
Tiba – tiba ponselnya berdering menandakan ada pesan masuk, membuyarkan lamunannya. Dan tidak disangka pesan tersebut dari Rasya, yang menanyakan kabarnya dan bertanya, kenapa dia menghindari Rasya tadi sewaktu di hotel. Setelah pesan dibaca dia tersenyum tipis, membulatkan matanya malas, lalu menyimpan kembali ponselnya di dalam tas selempang miliknya tanpa membalas pesan itu.
Rasya memulai pekerjaan di kantor hari ini, Dia masih mempelajari semuanya dengan bantuan papahnya. Dengan teliti dan fokus dia memperhatikan papahnya yang sedang menjelaskan.
Pintu ruangan diketuk, menghentikan sejenak aktivitas di dalam ruangan tersebut. Dan mempersilahkan untuk masuk.
“Bapak memanggil saya?” ucap Nadia melangkah masuk menghampri bos nya dan mempersilahkannya duduk.
Nadia duduk dengan perasaan tenang, walaupun dia tahu jika di sampingnya itu adalah Rasya. Mereka pun hanya diam, seperti tidak saling mengenal satu sama lain. Berbeda dengan Rasya yang sesekali curi – curi pandang ke arah Nadia dengan senyuman manisnya.
“Mulai sekarang kamu tidak menjadi HRD lagi, saya ingin kamu menjadi sekertaris. Dan tolong bantu pekerjaan Rasya. Karena kamu akan menjadi sekertarisnya.”
Nadia menoleh ke arah Rasya dan mereka pun saling berpandangan
*
*
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!