NovelToon NovelToon

Wounds Of Revenge

Chapter 1~MALAM PERAYAAN

Begitu banyak kisah tak sempurna di dunia seperti kisah miliknya. Itu yang ia pikirkan di tengah rasa sakit di sekujur tubuhnya. Setelah berjuang sekuat tenaga akhirnya tak mampu bertahan di tengah kepungan kobaran api yang membara. Apa malam ini menjadi malam terakhir ia melihat dunia?

Satu pertanyaan yang menjadi tanya terakhir perlahan ikut sirna ketika pandangannya kian menyambut kegelapan bersamaan redupnya tatapan mata. Jangankan bersuara meminta pertolongan, napasnya saja terasa enggan menetap dan siap melesat pergi meninggalkan raga. Perlahan ia merasa detakan di dalam dada tak lagi bekerja hingga kegelapan semakin menghapus asa, tetapi di sisa kesadarannya sepucuk do'a terucap begitu saja dimana sebagai pesan terakhir yang mungkin akan dikabulkan Sang Pencipta.

"Ya Allah, jika kebahagiaan itu benar-benar ada, hamba berharap bisa merasakan kebahagiaan nyata di kehidupan selanjutnya. Semoga Engkau memberiku kesempatan untuk menghapus noda atas nama kemanusiaan."

Detik demi detik semakin berharga ketika ia menyadari tak memiliki waktu lagi untuk tetap tinggal di dunia. Di tengah kesendirian dengan kepungan asap berselimut hawa panas tak tertahankan bersambut sekelebat kenangan yang datang menyapa dimana canda tawa menjadi pusat perhatiannya. Orang-orang terlihat begitu bahagia sedangkan ia hanya duduk diam di pojokan tanpa teman.

Malam ini merupakan malam perayaan atas kemenangan tim basket sekolah SMA Gemilang Angkasa yang patut di kenang sepanjang sejarah. Suara riuh terdengar begitu nyaring memenuhi ruang aula dimana anak-anak menikmati lagu dari band sekolah mereka. Apalagi pesta ditemani berbagai cemilan ringan dan minuman bersoda.

Lalu lalang para siswa tampak semakin meramaikan suasana tapi di balik kemeriahan pesta tak semua anak menikmati perayaan seperti siswa lainnya. Seperti keberadaan seorang gadis yang mengenakan gaun putih lengan panjang dengan rambut di kepang belakang dan duduk di sudut ruangan dekat pintu keluar. Dari kejauhan jelas terlihat seperti gadis kampungan.

"Eh, Maya, itu bukannya teman sebangku kamu, ya? Samperin gih, biar gak kaya patung pancoran gitu," celetuk seorang gadis yang sejak kedatangan si gadis kampungan, dia merasa pesta tidak lagi menarik perhatiannya.

Teguran sang teman yang berasal dari kelas lain mengalihkan perhatian dan pandangan sang lawan bicara dimana seorang gadis pemilik mata sipit berbulu lentik, hidung sedang, bibir tipis yang selalu dilapisi lipstik merah muda. Dialah, Maya Valencia yang biasa disapa Maya dan merupakan siswa kelas 2 SMA kelompok pertama. Akan tetapi gadis satu itu lebih dikenal sebagai seorang siswa cerdas nomor lima di sekolahnya.

Lirikan mata tertuju menatap sudut ruangan dekat pintu keluar dimana sang teman sebangku nya berada. "Maksud kamu, si bau?" ujar Maya tanpa menutupi rasa kesal terhadap teman kelas yang selalu duduk di bangku dengan satu meja sama. Jujur saja setiap kali teman-teman dari kelas lain mengaitkan kehidupan sempurnanya dengan manusia tanpa masa depan, ia ingin menenggelamkan gadis kampung itu ke dasar lautan menggunakan tangannya sendiri.

"Si bau? Setahuku namanya Anaya Ivy Aurora. Oh, ya, aku dengar para guru sudah memilihnya untuk ikut olimpiade sains akhir tahun nanti, loh. Maya, masa kamu kalah sama gadis yang ... "

Entah apa kelanjutan yang diterangkan oleh teman beda kelasnya. Ia cuma merasa akan kehilangan impian dalam sekejap mata jika semua perkataan sang teman memang benar adanya. Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan kesempatan paling bergengsi sekaligus kepercayaan para guru? Terlebih lagi ia pun sadar hanya siswa terpintar nomor lima saja.

Rasa iri kembali menguasai hati dimana ia tak terima keberuntungan yang selalu menyertai teman sebangku nya. Akan tetapi, di sisi lain dia pun juga tidak bisa berbuat apa-apa jika lawannya masih hidup di dunia. Hingga sebuah ide gila terlintas di benak menghadirkan senyum tak biasa yang menghiasi wajah cantiknya. Jika masa depan memiliki ancaman, bukankah harus menyingkirkan rintangan sedini mungkin.

"Wah, benarkah? Kukira dia cuma bau, ternyata bisa menyihir guru juga. Apa kalian tidak tahu kalau gadis kampung itu orangnya aneh. Sini-sini, aku bisikkan sesuatu!" Maya begitu semangat menceritakan sebuah kisah pada beberapa teman kelas lainnya.

Tindakan Maya hanya hati dan pikirannya yang lebih mengetahui akan berakhir seperti apa, sedangkan gadis di sudut sana merasa bosan melihat pesta sehingga meninggalkan keramaian dan keluar dari aula. Langkah kaki menyusuri koridor dimana hanya memiliki penerangan tak seberapa meski begitu ia masih jelas melihat setiap sudut di depannya.

Merentangkan kedua tangan sekedar melakukan peregangan apalagi setelah duduk selama setengah jam, ia merasa tubuhnya perlu diluruskan agar tidak kesemutan. "Suasana sekolah di malam hari memang berbeda. Sekarang enaknya kemana, ya?" tanyanya pada diri sendiri hingga berhenti di dekat papan pengumuman yang terpajang di depan ruang perpustakaan.

"Oh, ya, mumpung pesta belum selesai mending aku baca novel yang kemarin. Pasti ruangan perpus gak dikunci sama pak penjaga. Lumayan kan bisa menghemat waktu dan besoknya fokus belajar setelah memuaskan rasa penasaran sama cerita di novelnya." monolog Ivy pada diri sendiri, lalu melanjutkan perjalanan dengan memasuki pintu ruang perpustakaan seorang diri.

Ruangan yang tampak remang-remang membuat Ivy sedikit kesulitan berjalan di antara banyaknya lorong rak buku hingga ia mengeluarkan si benda pipih dari tempat persembunyian. Lalu menyalakan lampu senter yang kini menjadi cahaya andalan. Bisa saja menyalakan lampu utama tapi ia tidak ingin menarik perhatian pak penjaga.

Jadi pilihan terbaik dengan memanfaatkan sinar tak seberapa sebagai pemandu jalannya. Deretan buku, novel atau majalah yang ada di rak lorong satu sampai tiga semua sudah dibacanya, setelah beberapa saat melewati beberapa lorong pemisah ia berhenti di depan rak ke empat di deretan paling tengah. Seulas senyum merekah menghiasi wajahnya.

Diambilnya sebuah buku tebal bersampul coklat tua dengan judul tak jelas karena pudar tapi buku itu merupakan novel ke tiga ratus dari daftar bacaan selama lima tahun terakhir. Novel yang memiliki halaman sekitar lima ratus dua puluh lima itu terlihat biasa tetapi sejak mulai membaca halaman pertama, ia merasa mendapatkan banyak inspirasi dan bisa lebih memahami diri sendiri.

Ketika seseorang hanya suka menjalani kehidupan yang sederhana terkadang dari sudut pandang orang lain terlihat berbeda bahkan seringkali di anggap tak sebanding dengan kehidupan milik mereka. Namun, apa kata orang, ia benar-benar tak peduli selama tindakannya benar dan tidak merugikan orang lain. Begitu pikir Ivy selama ini dimana menjadi prinsip hidup sekaligus motto terbaik pembangkit semangat dari dalam lubuk hati.

Suara detakan jarum jam yang berdenting menemani Ivy dimana gadis itu sibuk membaca novel seorang diri dengan duduk di sudut dekat lorong rak keenam. Pilihan tempatnya jelas bisa menyembunyikan raga dari pak penjaga yang mungkin akan datang untuk memeriksa ruangan karena arah berlawanan dari pandangan sejajar pintu keluar. Sehingga ia bisa tenang menghabiskan bacaannya.

Namun, kesibukan gadis satu itu sampai tak menyadari kedatangan langkah kaki yang berjalan begitu pelan memasuki ruangan tanpa alas kaki. Situasi di dalam ruang perpustakaan memang temaram tetapi sinar rembulan di luar sana menambah keberanian di hati beberapa insan yang datang dengan niat hati tak terduga. Isyarat tangan dari raga terdepan mengkoordinasi rencana mereka tanpa memperdulikan keraguan yang sempat menggoyahkan tujuan utama.

"Sttt, apa kamu tidak bisa hati-hati? Hampir saja ketahuan," tangan kiri dengan sigap menarik tubuh temannya dimana tidak sengaja menginjak sesuatu di bawah lantai. Suaranya begitu lirih agar tetap dalam mode mengintai.

Meski tidak menghasilkan suara keras tetap saja menarik perhatian Ivy. Gadis satu itu buru-buru menutup novel yang ada di pangkuan. Lalu beranjak dari tempat duduk seraya mengedarkan cahaya ke setiap sudut yang bisa di pandang nya menggunakan senter dari ponsel, "Siapa disana?" suara tanya sederhana sayangnya hanya keheningan yang menyapa.

Chapter 2~AKSI DIDALAM AKSI

 Alih-alih bergegas meninggalkan perpustakaan setelah mendengar suara samar, Ivy justru kembali duduk di tempat semula melanjutkan bacaannya. Gadis itu benar-benar mengabaikan keheningan malam yang tanpa menghadirkan embusan semilir angin. Perubahan arah sinar rembulan pun tak bisa dinikmati karena ia terlalu sibuk mencari mimpi di dunia fantasi.

    Sementara di sisi lain, beberapa langkah kaki dengan senang hati memulai aksi. Niat dari hati mengubah pikiran lebih tajam dari hari-hari biasanya bahkan ide spontan yang akan mereka jalankan bisa dipastikan mengubah jalan masa depan banyak orang. Jika dengan permainan kecil justru mendapatkan hasil maksimal, siapapun pasti bersedia memainkan peran yang sama.

    Kuharap dengan peringatan kecil seperti ini, gadis kampung itu akan di keluarkan dari sekolah. Lagian siapa suruh selalu curi perhatian semua guru.~gerutu salah seorang dari pemilik langkah tak bertuan dimana kedua tangannya sibuk menata beberapa buku di atas lantai hingga membentuk garis horizontal.

    Beberapa temannya yang lain pun melakukan hal sama dan mungkin karena Ivy terlalu begitu fokus sampai tidak peduli dengan perubahan atmosfer di sekitar. Padahal gadis satu itu dimana masih menjadi pusat perhatian sebenarnya memang tidak bisa mendengar suara lain selain irama musik dari earphones bluetooth yang menyumbat kedua telinga. Apalagi volumenya cukup menutup sisa suara dari luar tanpa menyisakan ruang mendengar gema langkah tak bernada.

    Persiapan dari permainan akhirnya bisa selesai setelah bekerja keras selama beberapa menit. Derap langkah kaki berjalan begitu pelan dimana mereka kembali meninggalkan ruang perpustakaan hingga membiarkan Ivy duduk seorang diri tanpa gangguan. Suara tawa yang tertahan bersambut tos ria di depan pintu, lalu menjauhkan diri dari area lorong itu tetapi mereka tidak menyadari keberadaan seseorang di belakang almari yang menunjukkan kepuasan dengan seulas senyum nan sinis.

    "Makasih buat bantuan kalian, sekarang pekerjaanku lebih mudah." gumamnya seraya mengangkat tangan kiri yang mana menggenggam sebotol cairan biru beraroma menyengat sebagai bahan terakhir untuk melengkapi permainan dan demi mengakhiri masalah dalam hidupnya. Malam ini, ia harus menyingkirkan akar masalah yang selalu menjadi bibit penghalang untuk masa depannya.

    Meski keinginan hati pasti, ia tidak termakan oleh kegilaan dan lebih menggunakan akal. Sebelum beraksi dikenakannya tudung dari mantel yang baru saja ia curi, lalu bergegas menghampiri ruang perpustakaan dan dengan langkah pasti menyambut detik-detik terakhir sebelum menghapus semua jejak ketidakberuntungan dalam hidupnya. Belum juga melihat sang lawan, hati sudah merasakan kemenangan ada di depan mata.

    "Anaya Ivy Aurora, mulai malam ini namamu tidak lagi menjadi bagian deretan siswa berprestasi. Selamat tinggal, gadis pembawa sial!" dilemparkan setiap botol cairan biru yang sudah ia persiapkan sejak awal ke empat arah hingga mengenai dan membasahi buku-buku.

    Aroma khas yang cukup menyengat menguar menyebar ke seluruh ruangan setelah terdengar suara berisik seperti benda jatuh. Ivy segera mematikan musiknya, lalu bangun tanpa meninggalkan novel yang hampir saja selesai ia baca. Di tengah ketidaktahuannya, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang janggal sehingga dengan waspada mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi.

    Sinar yang tak seberapa masih menjadi andalannya hingga ia melihat buku-buku perpustakaan berserakan di lantai. Sontak saja ia berlari mendekati kekacauan itu, tapi aroma menyengat membuat langkah kaki kembali terhenti. Apalagi ia merasa seperti ada yang mengawasi sehingga tanpa basa-basi menyoroti ruangan arah depan berharap tidak disergap pak penjaga ruang perpustakaan.

    "Syukurlah, kupikir ketahuan pak penjaga." Ivy menghela napas lega begitu menyadari dirinya hanya seorang diri. Akan tetapi situasi tidak seperti terlihat begitu sederhana sehingga membuat otaknya bekerja, "Tunggu dulu, gimana ceritanya buku-buku ini bisa di bawah mana seperti sengaja di tata. Seingatku pas masuk perpus gak ada orang lain, deh. Trus ini ulah siapa?"

    Rasa penasaran yang datang menyapa membuatnya memeriksa barisan buku di atas lantai sekaligus berniat ingin membereskan kekacauan agar tidak mendapatkan hukuman dari guru atau pak penjaga. Setidaknya ia harus bertanggung jawab membereskan ulah orang lain, begitu pikirnya tapi ketika tangan tak sengaja merasakan sensasi basah. Tentu saja langsung ia periksa bahkan ia mengernyitkan alis seraya memikirkan darimana asal cairan biru tersebut.

    Tempat ia berada merupakan perpustakaan dan cairan itu seharusnya dari ruang laboratorium sekolah. Pertanyaannya, siapa yang berani melakukan tindakan sembrono? Siapapun orangnya pasti tahu jika dengan dua bahan saja bisa menciptakan masalah besar dan akan mendapatkan hukuman berat dari pihak sekolah. Kebenaran itu hanya ia simpan seorang diri karena kemungkinan besar beberapa siswa sengaja menjebaknya untuk kepuasan yang bersifat sementara.

    "Sabar, Ivy. Lebih baik bereskan kekacauan dulu," meski ingin segera pergi meninggalkan ruang perpustakaan, gadis itu tidak bisa membiarkan tujuan dari si pengacau berhasil. Terlebih lagi berita di sekolah biasanya lebih panas dari gosip para selebriti.

    Langkah kaki menyeimbangkan diri agar bisa menghindari genangan cairan biru yang berceceran di lantai, sedangkan kedua tangan sibuk memungut buku dimana ia tumpuk menjadi satu. Di tengah kegiatannya tiba-tiba terhenti karena mencium aroma lain yang mampu menyesakkan dada. Belum lagi pandangan mulai terhalangi kabut putih yang entah datang dari mana.

    "Ukhuk, ukhuk, kenapa ada asap di ruangan tertutup? Apa mungkin pak penjaga lagi bakar sampah di belakang sekolah tapi ... " belum usai mengucapkan apa yang menjadi pemikirannya, lagi-lagi dikejutkan dengan pemandangan di depan sana. Warna merah terang yang ternyata sumber dari asap di ruangan kian membesar melahap buku-buku di atas lantai bahkan hampir mengenai rak terdekat dari sisi utara.

    Kesadarannya masih terjaga dan ia bersiap meninggalkan tempatnya berada. Sayangnya hantaman keras dari arah belakang seketika menyentak raga membuat keseimbangan tubuhnya hilang begitu saja, "Aaarrgghh, siapa kamu dan apa maumu?" suara tanya tak dianggap ada oleh dia yang tersenyum di balik tudung kepala.

    Melihat mangsa tidak lagi berdaya, ia dengan tenangnya mengeluarkan sebuah benda tajam dan sebotol kecil berisi cairan khusus dari saku mantel sebelah kiri. Lalu tanpa meminta persetujuan Ivy, ia menyuntikkan cairan khusus itu ke lengan sang mangsa. "Semoga mimpi indah, Anaya ivy Aurora. Jangan kembali lagi ke dunia ini, ya!"

    Tugas terakhir pun dilakukan tanpa ada halangan. Sungguh lega setelah menuntaskan keinginan hati yang terpendam begitu lama dan malam ini semua masalah di dalam hidupnya pasti hilang untuk selamanya. Setelah berpuas diri menyaksikan raga tak berdaya sang mangsa, ia bergegas meninggalkan ruang perpustakaan tetapi tanpa memberikan kesempatan Ivy untuk keluar dari ruang itu sendiri dengan memasang kunci di pintu bagian luar.

    Hawa panas kian menyebar tanpa mengenal ampun mengubah keadaan di ruang perpustakaan dimana Ivy masih berusaha menjauhkan diri dari kobaran api di sisa kesadarannya. Gadis itu hanya berharap bisa menahan amukan si jago merah dan tetap hidup di dunia ini. Akan tetapi rasa sakit yang begitu luar biasa berusaha menguasai raganya. Ia merasa cairan yang entah itu apa mulai bereaksi membuat aliran darah kian melemah.

  Itulah awal dari penderitaannya saat ini dimana tidak ada lagi yang tersisa selain raga lemah tak berdaya. Akan tetapi di akhir tarikan napasnya tiba-tiba datang kilatan cahaya menghantarkan kejutan di lautan jiwa dan seketika menjadi gelap gulita seolah-olah terjadi gerhana. Apa takdir kembali mempermainkan dirinya?

Chapter 3#KEMBALI HIDUP

Kenyataan hidup seringkali terasa seperti mimpi buruk. Meski waktu terus berputar di tempat sama tetap tidak mengubah kebenaran yang benar-benar nyata adanya. Seperti perubahan musim dan juga cuaca yang selalu tak menentu walaupun banyak insan mencoba meramalkan perhitungan alam semesta.

Begitu juga bagi jiwa yang terluka tak memiliki cara untuk mengobati luka itu sendiri. Namun kala takdir mempertemukan dua nasib kehidupan dari dua dunia berbeda tak seorangpun bisa melepaskan diri dari garis ketetapan Sang Ilahi di dalam kehidupan nan fana. Begitu juga dengan pemilik raga yang kehilangan jiwanya tetapi mendapatkan jiwa lain sebagai penggantinya.

Entah sudah berapa lama ia memejamkan mata, satu hal yang bisa masih bisa dirasakannya dimana tubuh benar-benar lemah tak berdaya. Apakah mungkin ia sudah berada di alam lain, jika benar, kenapa rasa sakit di sekujur tubuhnya tetap ada? Pertanyaan itu datang begitu saja tetapi kala mendengar suara samar, perlahan ia berusaha membuka mata walau begitu berat seolah-olah kelopak mata dibebani berat tak kasat mata.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga. Tunggu disini, aku panggilkan dokter sebentar!" suara pertama yang menyapa gendanh telinga terdengar berat tetapi menghantarkan rasa khawatir menyentuh hati.

Lalu bersambut derap langkah kaki yang menjauhkan diri membuat ia menikmati keheningan seorang diri. Di tengah kesendirian ia berusaha memaksakan diri agar bisa mengenali raganya sendiri hingga setelah beberapa saat kembali terdengar suara obrolan yang juga diiringi irama langkah kaki. Jika dari frekuensinya ia memperhitungkan hanya dua orang yang datang dan berjalan mendekati tempatnya berada saat ini.

"Kalian siapa?" tanya pertama yang keluar dari bibirnya terlontar begitu saja, meski tenggorokannya terasa begitu kering seperti sudah lama tidak merasakan tegukan air saja.

Pandangan samar membuat penglihatannya sedikit terganggu meski begitu ia senang dengan penjelasan dari orang yang mulai memeriksa tubuh secara seksama hingga tidak sadar mencoba memahami setiap perkataan yang baru saja di dengarnya. Namun, tiba-tiba ia tersentak ketika sekelebat bayangan hitam kembali merasuki benak kepala menghadirkan mimpi terburuk di akhir hayatnya.

"Apa di alam baka juga bisa mendapatkan pelayanan medis? Kenapa hal seperti ini tidak tertulis di dalam novel, ya." celetuknya pelan yang tanpa pikir panjang mengutarakan isi dari dalam pikiran secara spontan. Lagipula ia tidak merasa bisa hidup di dunia fana, lagi.

Sejujurnya ia menangisi nasibnya yang begitu malang bahkan bisa dibilang sangat tragis, hanya saja ketika merasa kematian lebih seperti pindah ke dunia lain. Apa yang lebih baik dari itu? Mungkin saja semua yang terjadi hanya mimpi dan ketika bangun nanti kehidupannya tetap baik-baik saja.

"Dok, bagaimana keadaannya? Semua okay kan? Aku khawatir kepalanya cedera parah dan bisa menyebabkan gangguan syaraf." kekhawatiran yang membuatnya tidak bisa tidur tenang selama empat bulan lebih baru saja mereda setelah melihat gadis di atas ranjang akhirnya siuman dari koma. Akan tetapi pertanyaan absurd si gadis terdengar seperti sesuatu yang patut ia khawatirkan lagi.

Sementara pak dokter justru terkekeh melihat reaksi keluarga pasiennya, "Kondisinya sudah stabil dan InsyaAllah dalam seminggu ke depan sudah bisa dibawa pulang tapi masih harus melanjutkan perawatan berjalan. Selain itu, saya sarankan untuk menyewa suster agar bisa memantau perkembangannya secara intensif."

"Hmm. Aku akan lakukan seperti perkataan Anda agar dia tetap dalam keadaan baik, terima kasih sudah menjadi dokter pribadinya selama empat bulan ini, Dok." balasnya dengan hormat dimana ia menghargai kerja keras sang dokter yang mencurahkan waktu dan tenaga hampir sama seperti dirinya.

Disaat obrolan kedua insan itu masih berlanjut, mereka berdua tidak menyadari adanya perubahan pada mesin yang selama beberapa bulan menjadi penopang hidup si pasien di atas brankar. Sampai pada akhirnya tangan si penjaga merasakan sentuhan dingin dari orang yang ia selamatkan beberapa bulan lalu. Sontak saja ia meminta dokter untuk menangani keadaan pasien terlebih dahulu.

Keadaan darurat yang tidak pernah menjadi bagian perencanaan mengubah rasa syukur dan kembali memeluk rasa takut dimana berselimut kekhawatiran. Lagi dan lagi harus mempertaruhkan keyakinan hati pada sesuatu yang tidak bisa di lihat oleh mata. Apakah sembilan puluh persen dari takdir kehidupan memang hanya tentang duka yang nyata?

Seperti sang waktu yang menjadi patokan dari setiap aral lintang kehidupan. Begitu juga dengan harapan dimana tak selamanya sesuai dengan keinginan bahkan terkadang hanya menyajikan pengkhianatan. Akan tetapi tak mengubah kebenaran di dalam takdir setiap insan yang menjadi penghuni alam semesta. Begitulah fakta sebenarnya.

Jakarta Pusat, tanggal empat belas februari, tahun dua ribu tiga puluh pada pukul setengah sepuluh pagi di sekolah SMA Gemilang Angkasa terlihat banyak siswa yang mengenakan seragam berbeda hilir mudik di ruang aula. Seperti biasa beberapa SMA yang ada di bawah naungan sebuah perusahaan internasional mengadakan acara pertemuan tahunan. Dimana acara tersebut bertujuan mengeratkan silaturahmi baik antar siswa maupun guru juga.

Sebagai acara tahunan tentu tak luput dengan beragam pertandingan yang membuat para siswa dari berbagai SMA bersaing secara ketat agar bisa mendapatkan kuota dari perusahaan sehingga masa depan terjamin tanpa kesulitan mencari pekerjaan. Lebih menariknya lagi, acara kali ini juga menghadirkan siswa dan siswi dari sekolah utama yang merupakan milik perusahaan internasional itu sendiri. Siapapun pasti menunggu pertunjukan terbaik di hari spesial seperti hari ini.

"Teman-teman, buruan ke ruang aula! Siswa-siswi dari SMA Star Light Internasional sudah datang," suara seruan dari beberapa siswa SMA Gemilang Angkasa terdengar saling bersahutan dan betapa menunjukkan antusias mereka yang begitu tinggi.

Namun, di luar sana tepatnya di dalam mobil yang terparkir di tempat parkir justru seorang siswi terlihat lebih bersemangat tetapi wajah manis nan menggemaskan dengan sempurna menutupi hasrat dari lubuk hati. Hari ini memang sudah lama ia nantikan, bahkan tatapannya tak bisa berpaling menelusuri setiap pemandangan dari sudut sekolahan. Satu hal yang dilakukannya saat ini menunjukkan ketidaksabaran meski sejauh apapun hanya untuk memperhatikan perubahan sekitar.

Namun, kala ia merasakan sentuhan hangat yang dengan tenang menggenggam kedua tangannya. Sontak seluruh asa di dalam jiwa semakin membara, "Sekali saja, katakan padaku, apa keputusanku sudah tepat?" perlahan mengalihkan pandangan hingga netranya terpatri pada mata hitam bergaris merah bak lautan di dasar samudra.

"Tentu, selama kamu mengikuti kata hati. Jangan pernah meragukan keyakinan diri sendiri atau usahamu hanya akan terbuang dan menjadi sia-sia. Keluar lah dan awali kehidupan baru dengan gagah berani! Aku selalu ada bersamamu di setiap langkah kaki meski tujuan di depan penuh rintangan sekalipun."

Setelah waktu yang cukup lama, akhirnya hari ini bisa melihat sisi lain dari gadis di depannya. Lihatlah binar mata yang diselimuti semangat empatlima. "Pergilah, lihat temanmu di luar sana sudah tidak sabar seolah-olah ingin menerkam mangsanya. Have fun, ya!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!