Kebahagian yang Ifal dan Ratna rasakan tidak ternilai rasanya saat pernikahan yang sudah dua tahun dijalani penuh cinta akhirnya mendapatkan kabar kehamilan.
Ratna menjalani kehamilan dengan penuh kebahagian, begitupun dengan Ifal yang pergi pagi untuk bekerja pulangnya langsung bertemu istrinya.
Rumah kecil keduanya penuh kebahagian, tapi semuanya berubah saat hari Ratna melahirkan.
Tangisan Ifal pecah memeluk bayinya yang baru saja lahir, tangisan bayi perempuan juga terdengar.
"Sabar Fal," bujuk Ibunya yang memeluk erat Putranya.
"Ya allah, sabar Bu." Bapak Ratna memeluk istrinya yang jatuh pingsan.
Kepala dokter menggeleng, Ratna dinyatakan meninggal setelah satu jam ditangani setelah lahiran, dia mengalami pendarahan hebat.
"Tidak, Ratna wanita yang kuat." Ifal langsung memberikan anaknya kepada ibunya lari ke dalam ruangan melihat istrinya sudah ditutupi kain putih.
Tangisannya pecah memeluk wanita yang sangat dicintainya, wanita yang sabar, baik, juga penuh cinta.
"Sayang bangun, bagiamana aku dan anak kita. Kamu tidak boleh pergi meninggalkan kami."
"Istighfar Nak," tegur bapak.
Tubuh Ifal terlalu lemas, istrinya meninggal setelah melahirkan anak pertama mereka, buah hati yang dinantikan selama dua tahun ini.
Teriakkan seorang wanita terdengar saat tiba di kamar duka, membuka penutup wajah melihat adik perempuannya terbaring tidak berdaya.
"Ratna, buka mata kamu. Jangan bercanda, Kakak tidak suka melihatnya." Mata Relin berkaca-kaca menyentuh tangan adiknya yang sudah dingin.
Bapak memeluk Relin, memintanya sabar. Ini sudah takdirnya Allah sehingga keluarga harus menerima.
Tangisan bayi terdengar, Relin menatap bayi yang sedang digendong oleh Ibunya Ifal. Terlihat sekali bayi merasakan kesedihan.
Keluarga besar pulang membawa Ratna kembali, tapi dia tidak pulang ke rumah yang biasanya menjadi tempat bersenda gurau bersama suaminya.
"Sayang, maafkan aku. Waktu kita begitu singkat," ucap Ifal masih belum bisa ikhlas sepenuhnya.
Punggung Ifal diusap oleh Bapak Ratna menguatkan. Dia lelaki yang kuat, harus ikhlas.
"Kita antarkan Ratna ke tempat peristirahatan terakhirnya sebelum langit gelap." Bapak mengusap keranda yang berisikan anaknya.
Di mobil yang berbeda Relin mengusap wajahnya yang mencoba kontrol diri, adik yang begitu disayanginya pergi begitu cepat.
"Lin, bagaimana nasib anaknya Ratna?"
"Kita ambil saja Bu, Relin bisa menghidupinya."
"Masalahnya Ifal setuju tidak?" Ibu mengusap air matanya melihat bayi yang ada pada besannya.
Seluruh keluarga berkumpul di rumah menyambut kedatangan jenazah yang akan segera dimakamkan.
"Kasihan Ifal, dia masih muda sudah jadi duda, Ratna juga masih muda sudah meninggal. Beda sekali dengan Relin yang sudah tiga puluh tahun belum menikah," sindir keluarga dari Ratna yang tahu betul bedanya Ratna dan Relin.
Ratna wanita lembut yang penuh kasian sayang, sedangkan Relin wanita keras yang menghabiskan waktunya untuk bekerja, dia begitu terkenal dengan kemapanannya, tapi tidak luput dari sindiran orang karena belum juga menikah.
"Bagaimana nasib anaknya Ratna, Ifal harus menikah lagi," ucap salah satu keluarga.
"Sudah jangan membicarakan baik dan buruk apalagi membandingkan, kita sedang berduka," tegur seorang wanita tua yang merasa risih mendengar omongan soal Ratna dan Relin.
Kedua memang memiliki sikap yang berbeda, tapi saling menyayangi. Relin tidak segan membantu Ratna tanpa dia minta, membelikan segala kebutuhan adiknya yang sedang hamil. Selama mengandung peran Relin sangat banyak.
Pakaian hitam terbalut di tubuh Relin, hijab menutupi kepalanya. Dia meneteskan air mata teringat adiknya yang selalu menegurnya untuk berhijab.
"Kak Relin cantik berhijab," kata yang selalu Ratna ucapkan tiap kali melihat kakak perempuannya menggunakan hijab jika ada acara di rumah keluarga.
"Na, kenapa begitu cepat. Kak Lin rindu kamu,' batin Relin tidak bisa menhan air matanya.
Ibu Relin jatuh pingsan berkali-kali tidak sanggup ditinggalkan putri bungsunya, tidak sanggup menemani Ratna sampai ke tempat peristirahatan terakhir.
''Kat Lin, Ratna sudah menjadi penghuni syurga," ucap Bibi Relin yang mengusap punggung perawan tua yang sibuk bekerja.
Segala prose pemakaman dilakukan, Ifal menatap wajah istrinya untuk terkahir kalinya, dia melihat wanita yang paling dicintainya pergi untuk selamanya.
Relin mengusap wajah adiknya, masih belum rela ditinggalkan oleh Ratna. Tidak ada yang memahami dirinya selain Ratna, dia satu-satunya orang yang tidak akan bertanya kapan menikah, sudah tua belum berumah tangga, nanti tidak punya anak dan banyak perutnya yang terasa seperti sindiran.
"Sudah Lin, ikhlaskan. Bibi memeluk Relin agar membiarkan kain kafan menutupi Ratna seutuhnya.
Air mata Ifal jatuh di pipinya, matanya terpejam masih teringat senyuman istrinya yang begitu indah, wanita surga yang sellau ada di hatinya.
"Aku sangat mencintaimu Na, tapi Allah lebih sayang kamu. Terima kasih sudah berjuang memberikan kesempatan aku menjadi seorang ayah." Bibir Ifal bergetar mengusap air matanya.
Hujan gerimis turun, tapi tidak mengurungkan proses pemakaman Ratna yang dilakukan cukup cepat. Tidak ada keluarga yang harus ditunggu karena seluruh keluarga hadir.
"Na, kakak pasti akan merindukan kamu," batin Relin memeluk batu nisan.
Ifal juga duduk mengusap gundukan tanah. Saat ini dia tidak bisa memeluk wanita yang dicintainya lagi, hanya kenangan yang tersisa.
"Sayang, aku rindu. Ratna aku sangat merindukan kamu," batin Ifal yang meletakkan kepalanya di gundukan tanah.
Pertama kalinya bagi Relin melihat wajah Ifal suami adiknya dari jarak yang begitu dekat, dia wanita yang sangat cuek dan tidak menyukai pria sebaik apapun.
"Ifal ikhlas, jangan ditangisi lagi." Ibu Ifal mengusap punggung anaknya yang memeluk erat makam istrinya.
"Sekarang Ifal harus bagaimana Bu, aku harus mulai dari mana?"
"Ibu tahu kamu sedang berduka, tapi pikirkan juga nasib anakmu. Dia juga sama sedang kehilangan," tegur Ibu yang kasihan terhadap cucu perempuannya.
Mata Ibu menatap Relin yang masih duduk meremas tangannya, terlihat ada gelang yang Relin genggam. Hubungannya dengan Ratna begitu dekat membuatnya begitu kehilangan.
"Jangan menangis, kamu pasti Relin yang sering Ratna ceritakan. Kakak perempuannya yang paling baik," puji Ibu yang mengusap wajah Relin lembut,
"Maafkan segala salah dan khilaf Ratna ya Bu, doakan adik kesayangan Relin dilapangkan kuburnya, ditempatkan di sisi orang yang beriman." Tangisan Relin pecah, dia tidak kuasa menahan kesedihannya lagi sampai ambruk pingsan
Ibu kaget meminta Ifal segera bangun membawa Relin yang jatuh pingsan ke mobil. Cepat Ifal berdiri mengusap air matanya menggendong Relin yang akhirnya pingsan setelah berjuang untuk kuat dan menahan diri untuk ikhlas meskipun itu sulit.
"Fal, Ibu tahu ini bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya, tapi ibu harus mengatakan. Kenapa kamu tidak menikahi saudaranya Ratna, dia satu-satunya yang pantas untuk menjaga putrimu dan Ratna," ucapan Ibu yang mengejutkan Ifal dan bapaknya mata Relin masih belum sadarkan diri di mobil.
"Bu, apa yang kamu katakan," tegur Bapak tidak setuju.
"Apa Ifal bisa menjaganya sendiri, apa Bapak rela anaknya Ratna dijaga orang lain, apa Bapak dan Ifal bisa terima jika anak itu tubuh tanpa seorang ibu." Tatapan ibu serius meminta Ifal memikirkannya.
***
Follow Ig vhiaazaira
Perebutan hak asuh bayi menjadi perdebatan hangat antar dua keluarga, Ibu Ratna memaksa cucunya tetap bersamanya, sedangkan ibunya Ifal juga ingin mengambil bayi anaknya.
Tidak ada yang memahami perasaan Ifal yang baru saja kehilangan istri tercinta. Tidak ada yang punya hak atas bayinya selian dirinya sendiri.
"Sayang, Ayah memberi kamu nama Rania. Nama yang sudah ibu siapkan, kamu akan tetap bersama Ayah." Ifal memtuskan mengurus anaknya sendiri.
"Tidak bisa Ifal, kamu tidak mungkin mampu membesarkan seorang diri. Apalagi harus sibuk bekerja, jangan membuat cucuku sengsara," bentak Ibu Ratna dengan nada tinggi.
"Aku bisa membantu Ifal untuk mengurus Rania, lagian dia ayahnya punya hak penuh," balas Ibu Ifal tidak ingin kalah.
Pintu kamar terbuka dan dibanting kuat, mata Relin sembab, tatapannya marah mendengar keributan sampai ke kamar.
"Apa yang kalian ributkan, makam Ratna saja belum kering. Tidak bisakah menunggu sampai suasana tenang dari rasa duka ini?" air mata Relin mengalir di pipinya.
Ibu Ifal meminta maaf, dia tidak bermaksud menyinggung atas berpulangnya Ratna, jujur dia juga kehilangan menantu yang sangat baik.
Dibalik kehilangan Ratna ada masa depan Rania yang harus jelas, Ifal punya hak atas anaknya.
"Mungkin saat ini Ifal masih berduka, tidak ada yang tahu tahun depan, bulan depan, secara tiba-riba Ifal memutuskan menikah, bagaimana Rania? Mampukah istrinya menerima cucuku, di sini kami yang sangat kehilangan," tegas Ibu Ratna meminta pengertian.
Luka kehilangan Ratna belum sembuh, tidak bisa menjamin keluarga Ifal mampu menerima si kecil yang belum sempat melihat ibunya.
Relin berjongkok melihat bayi yang mirip adiknya, menyentuh pipi si kecil yang malang. Relin tahu betul betapa bahagia Ratna saat tahu hamil, sampai sujud syukur.
"Hanya ada satu solusi, semoga kalian bisa mempertimbangkan. Ini terdengar lancang, tapi hubungan kita selama ini baik semoga ini solusi terbaik." Ibu Ifal menyarankan keputusan untuk meminang Relin menjadi istri Ifal.
Awalnya keluarga Relin terkejut, mereka sangat mengenal Relin yang gila kerja, tidak mungkin dia bersedia menikah apalagi dengan mantan suami adiknya.
"Solusi itu tidak buruk, asla Relin dan Ifal bersedia, kami sebgagi orangtua setuju," ucap Bapak menatap Relin yang meneteskan air mata menggendong Rania.
"Relin, Ibu pikir ini jalan yang baik untuk kamu dan Ifal, Rania membutuhkan sosok ibu yang bisa mencintainya setara dengan ibu kandungnya." Ibu mengusap punggung Relin yang sangat menyayangi adiknya Ratna.
Sedari kecil keduanya tidak suka bertengkar karena terpaut usia cukup jauh, Relin sangat bahagia saat dia berusia delapan tahun baru punya adik.
"Bagaimana Ifal?" tanya Bapaknya.
"Aku serahkan semua kepada Kak Relin, kalian juga pasti tahu jika aku sangat mencintai Ratna," balas Ifal yang sedang menegaskan jika dia tidak mencintai Relin.
Kedua orangtua Relin saling pandang, menatap mata Relin yang masih berderai air mata, mengecup pipi Rania yang masih tidur.
"Aku tidak butuh cinta, pernikahan ini hanya untuk Rania." Relin melangkah pergi ke kamarnya membawa Rania.
Jawaban Relin sudah menjadi jawaban atas keputusan pernikahan ini, dia tidak menginginkan Ifal sebagai cinta, tapi dia bersedia menikah demi Rania.
Ibu Ifal memeluk putranya yang harus berbesar hati, saat ini kebahagiaan Rania jauh lebih penting. Perlahan waktu, hubungan Ifal dan Relin pasti akan berjalan baik.
Air mata Ifal menetes, dia melangkah pergi menyerahkan semuanya kepada keluarga. Ifal menangis sesenggukan di dalam kamar Ratna memeluk erat foto pernikahannya bersama sang kekasih beberapa tahun lalu.
"Ratna, kenapa kamu meninggalkan aku dan anak kita," gumamnya dengan tangisan yang tidak terbendung.
Foto pernikahan basah air mata, Ifal hanya mencintai Ratna sampai kapanpun Ratna akan menjadi wanita satu-satunya yang paling dicintainya.
"Kamu pemilik hatiku Ratna, tunggu aku di surga ya sayang, kita pasti akan dipertemukan kembali." Ifal memeluk erat sampai ketiduran.
***
Rasanya waktu berjalan begitu cepat, pernikahan Ifal dan Relin diadakan sederhana yang disaksikan oleh kedua orangtua dari kedua belah pihak juga masyarkat sekitar yang mendukung pernikahan.
"Fal, sebentar lagi ijab kabul dimulai," ucap Bapak memberikan peringatan.
"Iya Pak, aku tahu," balas Ifal yang berdiri dari duduknya berjalan ke tengah ramainya orang yang menjadi saksi pernikahan.
Pernikahan hanya diadakan secara kekeluargaan tanpa mengundang rekan kerja baik dari Relin maupun Ifal.
"Kasihan Ratna baru saja meninggal sudah ditinggal menikah," ucap seorang wanita iba, tapi menyindir.
"Lebih kasihan Ifal yang kehilangan istrinya, da harus menikahi perawan tua," timpal seorang wnaita yang menggunakan banyak perhiasan.
"Kenapa kalian tidak kasihan kepada Relin?" tanya bapak-bapak.
Kepala Ibu-ibu geleng-geleng, tidak ada yang prihatin kepada Relin, dia dianggap wanita yang beruntung karena mendapatkan suami muda, gagah. Relin juga rela jadi perawan tua demi bisa mengambil suami adiknya.
Tatapan orang kepada RElin sangat beda kepada Ratna, Relin gadis pendiam yang jarang berkomunikasi dengan masyarakat, dia hanya sibuk bekerja, sedangkan Ratna wanita yang sangat ramah.
"Bu, jaga mulut. Relin juga tidak mau kehilangan adiknya, dan mengambil suami saudarinya," ucap wanita yang dulunya satu sekolah dengan Relin, bedanya dia sudah menikah dan punya tiga anak, sedangkan Relin masih betah lajang.
Sekalinya menikah demi menggantikan adiknya yang sudah meninggal, dibalik nasib baik kesuksesan Relin, dia gagal di percintaan.
"Baiklah, kita bisa mulai ijab kabulnya," ucap penghulu yang menatap Ifal dan Bapaknya Relin saling berjabatan.
"Nak Ifal siap?" tanya bapaknya.
"Insyaallah Pak," balas Ifal yang sedang meminta maaf kepada Ratna di dalam hatinya.
Dia sangat mencintai Ratna, terpaksa dirinya menikahi Relin demi menjaga hubungan dua keluarga dan tidak memperebutkan Rania.
"Saya terima nikah dan kawinya Relin Adisty Halim dengan mas kawin ... Dibayar tunai," ucap Ifal hanya satu kali saja langsung disahkan oleh penghulu dan para saksi.
Semua orang mengucap Alhamdulillah, tidak sabar lagi menunggu Relin keluar dari kamarnya menemui suaminya.
"KIra-kira Relin cantik tidak ya, dia setiap hari menggunakan make up untuk menutupi keriput di wajahnya," bisik ibu-ibu arisan yang sangat kepo.
"Astaghfirullah al azim." Bapak-bapak yang mendengar pembicaraan di belasan mengucap istighfar.
Relin keluar dari kamarnya didampingi ibunya, berjalan ke tengah banyak orang yang menatapnya pangling, Kecantikan Relin terpancar dari baju kebaya yang dikenakannya, hiasan wajah yang begitu cantik.
'Wow, cantiknya, apa Relin operasi hidung?" tetangga heboh melihat Relin lebih cantik dari Ratna.
Ifal menatap Relin yang meneteskan air matanya, hatinya sakit sekali menikahi adik iparnya sendiri.
"Jangan menangis Kak, maafkan Ifal," bisiknya merasa bersalah.
Relin menyentuh tangan Ifal, mengecup telapak tangannya dengan sopan karena lelaki yang dulu dicintai adiknya menjadi suaminya.
Tangan Ifal berada di atas kepala Relin, mendoakan rumah tangganya bahagia. Teringat kebiasaan saat bersama Ratna setiap sholat menyentuh kepala istrinya.
"Ya Allah aku sangat mencintai istriku, tapi engkau lebih mencintainya," batin Ifal yang tidak kuasa menahan rasa sedihnya sampai air matanya jatuh.
***
Follow Ig vhiaazaira
Air mata Ifal menetes saat melihat rumahnya sekarang sunyi tanpa suara Ratna yang biasanya menyambut kepulangannya.
"Di mana kamar Relin, Fal."
Cepat Ifal mengusap air matanya yang jauh, mencoba tenang karena tidak ingin membuat Relin juga sedih.
"Mbak Relin, Ifal mau minta maaf sebelumnya karena melibatkan dalam maslaah ini. Ifal sangat mencintai Ratna, tidak mudah digantikan ...."
"Aku tidak menggantikan siapapun Fal, keberadaan ku di sini bukan untuk kamu, bukan menggantikan Ratna sebagai istri, tapi aku hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang kakak." Mata Relin berkaca-kaca, dia tidak bisa menjadi istri yang baik karena tujuan pernikahan bukan untuk melanjutkan rumah tangga, tapi mengurus Rania.
Jika nanti ada wanita yang bisa membuat Ifal siap melanjutkan hidupnya, siap menikah lagi dengan wanita pilihannya maka Relin siap menceraikan.
Tugas Relin hanya membesarkan Rania, sisanya masih sama seperti sebelumnya. Dia wanita mandiri, sudah biasa mengurus hidupnya.
"Di mana kamar aku?" tanya Relin kedua kalinya.
"Mbak tidur di kamar Ratna bersama Rania, sedangkan Ifal di kamar satunya. Rumah ini hanya ada dua kamar."
"Kamu saja di kamar Ratna, aku yang mengunakan kamar satunya. Lebih baik kamu istirahat," pinta Relin yang bisa mengurus segalanya.
Bayi kecil yang baru hitungan minggu diletakkan di atas ranjang yang lusuh, lama Relin menatap wajah Rania yang begitu malang.
"Nia, kamu tidak lahir dari rahim Bunda, tapi percaya Bunda akan mencintai kamu seperti Ibu Ratna." Air mata Relin jatuh kembali, bohong jika dirinya kuat, sungguh hati Relin tidak baik-baik saja.
Pernikahan yang seharusnya tidak terjadi harus dijalaninya, tapi siapa yang bisa dirinya salahkan.
"Ya allah, ujian ini terlalu berat." Dada Relin sedak kehabisan udara.
Tangisan Rania terdengar, langsung ditepuk pelan agar tidur kembali. Rani tidak rewel sejak bayi, jika dia menangis pasti karena kainnya basah atau haus.
"Tidak ada waktu lagi untuk menangis, sekarang harus fokus mengurus kamu." Kecupan mendarat di pipi Rania yang sudah tidur kembali.
Ketukan pintu kamar Ifal terdengar, dia memang tidak tidur karena merindukan Ratan masih memeluk fotonya erat.
Foto langsung disimpan di bawah bantal, Relin melangkah pergi karena pintu lama terbuka.
"Mbak membutuhkan sesuatu?" tanya Ifal.
"Sampai kapan kamu akan menangis, Rania saja tidak cengeng," tegur Relin yang langsung melangkah pergi sambil membawa botol susu.
Semalaman Relin terjaga membuat desain baju karena dia menjalankan bisnis butik, sekaligus menjadi desainer utama di butik pribadinya.
"Apa Rania rewel, Mbak?"
"Tidak, aku hanya tergantung suara lamu yang tidak kedap suara, kamar kita bersebelahan jadi berisik," balas Relin yang terlihat baik-baik saja.
Tidak heran dia disebut wanita tangguh karena sangat hebat menutupi sakitnya, terlihat kuat dengan banyaknya pekerjaan dan masalah.
"Kamu kerja tidak hari ini? Jangan terlalu lama libur nanti dipecat," tegur Relin yang sebenarnya tidak tahu Ifal kerja apa.
"Aku shif malam Mbak, apa Mbak Relin mau kerja, Rania bisa tinggal bersamaku," ucap Ifal yang merasa tidak enak merepotkan.
Sesuatu diletakkan di ranjang, Ifal mengambil kertas yang tertulis daftar kebutuhan Rania dan rumah.
"Besok ada Mbak Atik yang akan membantu di sini karena dia sebelumnya pernah kerja di rumahku, kebetulan rumahnya dekat sini."
"Maaf Mbak, Ifal harus jujur soal keuangan yang tidak baik-baik saja. Motor Ifal masih kredit, jika harus bayar pembantu dan membeli bahana makanan ini sepertinya tidak cukup," ujarnya jujur karena kehidupannya dengan Ratna begitu sederhana.
Helaan napas Relin terdengar, dia tidak mempermasalahkan berapa gaji Ifal, tapi jangan pernah melarangnya untuk bekerja, dan Rania menjadi prioritas utama Relin.
"Soal pembantu aku yang urus soalnya biaya makan kamu yang urus, kita bisa bagi rata."
"Mbak, Ifal bertanggung jawab atas keperluan Mbak, dan Rania ...."
"Tidak perlu menghiraukan aku, penuhi tanggung jawab kamu sebagai ayah. Aku sudah biasa menanggung hidup sendiri." Relin meminta Ifal menjaga Rania, dia pulang siang.
Kepala Ifa tertunduk, duduk dipinggir ranjang dengan perasaan sedih. Dirinya yang terlahir dari keluarga biasa, hanya lulusan SMA apa pantas hidup bersama Relin yang lulusan S2.
Ratna banyak cerita soal hebatnya Mbak Relin yang sudah pintar sejak kecil, dia lulus kuliah menggunakan beasiswa hingga lanjut S2 di luar negeri punya bisnis sendiri, meskipun Ifal tidak tahu kerja apa.
"Ya allah, aku tidak mampu menafkahi keluarga, apa layak dibilang suami," batin Ifal yang ingat beberapa kali Ratna meminjam uang kepada Relin, terkadang Relin yang datang memberikan uang dan kebutuhan pokok.
Selama Ratna hamil, Relin berperan besar memenuhi segala kebutuhan, dan dia yang membelikan semua kebutuhan baby yang akan lahir.
"Fal, sarapan sudah aku siapkan di dapur, kamu makan dulu. Jam delapan Rania bangun, jangan lupa dimandikan, minum susu. Smeuanya sudah aku siapkan."
"Iya Mbak, hati-hati di jalan." Ifal tersenyum mantap Relin yang sudah rapi untuk ke kantornya.
Di depan rumah sudah menunggu ibu mertua Relin yang tersenyum lebar. Rumahnya tidak terlalu jauh sehingga dia langsung datang.
"Kamu mau kerja, Lin?"
"Iya Tante, aku permisi dulu."
"Nia sudah mandi belum, bagaimana jika Ibu tinggal bersama kalian?"
"Ibu, kenapa ke sini?" tanya Ifal.
Relin menatap Ifal, Ibunya ingin tinggal di rumah yang sangat kecil, hanya punya dua kamar hal yang mustahil.
Belum sempat Ifal mengiyakan, Relin langsung menolak. Dia tidak bisa banyak orang di rumah.
"Besok ada Bi Atik yang datang untuk menjaga Rania, jadi tidak butuh tambahan orang." Relin tersenyum menolak secara langsung.
"Itu catatan apa Fal, coba ibu lihat."
"Lin rasa tidak perlu tahu Bu, ini urusan rumah tangga." Senyuman Relin terlihat meminta Ifal menolak melalui matanya.
Ifal menyembunyikan kertas yang berisikan daftar kebutuhan bulan yang membuat ibu ibunya ingin tahu.
Relin pergi bersama mobilnya, tatapan sinis ibu nampak melirik Ifal yang melangkah masuk kembali.
"Rumah kecil begini, apa butuh pembantu, dulu juga Ratna mengurusnya sendiri," tegur Ibu yang tidak ingin gaji Ifal habis untuk biasa asisten rumah tangga.
"Relin sibuk kerja Bu, dia tidak punya waktu mengurus rumah. Nanti biar Ifal yang berkemas." Belum jamnya bangun, Nia sudah rewel karena merasa risih dengan tubuhnya yang gatal bau ompol.
Ibu hanya menatap Ifal yang mencoba melemaskan kain penutup, tidak ada sedikitpun niat ibunya membantu.
"Bu, bisa bantu Ifal memandikan Rania tidak, soalnya masih takut melihat tali pusarnya belum lepas."
"Ibu ini sudah tua Fal, tangan ibu nanti gemetaran dan membahayakan Nia, lebih baik kamu usap saja tubuhnya jangan dimandikan, lagian di masih bayi belum bisa main dan berkeringat." Ibu pamit pulang karena dia harus ke pasar untuk belanja kebutuhan rumah.
Sikap ibu berubah total saat di depan Relin dan depan Ifal, saat bersama Ratna dulu ibunya baik dan tidak ragu membantu Ratna.
"Apa karena aku tidak punya uang sampai semua orang menjauhiku," batin Ifal tetap berusaha untuk memandikan putrinya.
Dia bisa mengurus anak, harus bisa. Nia tanggung jawabnya sebagai orang tua. Tidak boleh merepotkan orang lain.
"Maafkan Ayah Nia belum bisa mengurus dengan baik, ini pertama kalinya bagi ayah. Nia jangan khawatir karena Ayah akan terus belajar." Pelan-pelan Ifal memandikan putrinya sampai selesai.
Benar kata Relin jika Nia bayi yang sangat baik. Dia tidak rewel saat mandi, tidak menangis saat dibajui.
"Assalamualaikum Fal, kamu lagi apa?"
"Mengenakan Nia baju Pak, dia baru selesai mandi."
"Mana Relin, bukannya Relin yang mengurusnya tidak becus sekali, beda dengan Ratna yang bisa melakukan banyak hal." Kepala Bapak geleng-geleng langsung ke belakang mencari makan.
"Ternyata sarapan sudah disiapkan, rasanya cukup enak."
"Kenapa Bapak ke sini, tumben sekali."
"Kamu punya rokok tidak?"
"Ifa tidak merokok, tidak baik juga karena ada bayi di sini." Mata Ifal melihat makanan yang disiapkan oleh Relin diambil semua.
Bapak menegur Ifal untuk tidak terlalu lebay, Nia tidak mungkin celaka hanya karena terkena asap.
Sesekali lelaki itu harus tegas kepada istri agar menurut, Ifal jangan mau diminta mengurus anak sedangkan istrinya pergi keluyuran.
"Relin bekerja Pak, jangan bicara buruk tentangnya."
"Memangnya kamu tahu pekerjaan Relin, coba ingat-ingat gosip kampungnya soal Relin. Dia dijuluki gadis tua karena apa?"
"Pak cukup, Ifal tidak ingin tahu." Wajah Ifal tiba-tiba kesal, dia tidak menyangka bapaknya bersikap seratus delapan puluh derajat.
Sebelum menikah dia selalu bersikap baik kepada Relin, dan sekarang menjelekkan. Sebenarnya seperti apa watak orangtuanya terhadap Ratna.
Baru saja Ifal ingin ke kamar, bapak menghentikannya meminta uang rokok. Ifal menarik napas panjang karena dia beberapa hari ini tidak bekerja karena mengurus pemakaman.
"Pak, uang simpanan Ifal habis karena biaya lahiran, sekarang Ifal lagi tidak punya uang," ucapnya.
"Bagaimana bisa, istrimu kaya. Dia punya mobil, rumahnya bagus, memang dasar pelit. Beda sekalian dengan Ratna yang selalu memberikan uang rokok," ketus Bapak bergegas pergi.
Kening Ifal berkerut, Ratna tidak pernah cerita kepadanya jika bapaknya sering minta uang rokok.
Tiap kali Ifal tanya Ratna selalu mengatakan uang bulanan cukup, dan tidak pernah mengeluh kurang.
"Ratna, apa keluargaku memperlakukan kamu dengan baik," batin Ifal yang merasa bersalah.
Dia bekerja pagi pulang malam, kadang pergi sore pulang pagi. Keluarganya nampak begitu bahagia, belum satu bulan kepergian Ratna watak kedua orangtuanya sungguh keterlaluan.
"Apa bapak tidak kasihan kepadaku, kenapa mereka memaksa menikahi Relin." Jantung Ifal berdegup kencang, ternyata dirinya tidak mengerti Ratna sama sekali.
Sara salam dari luar terdengar, Ifal masih menggendong putrinya membuka pintu melihat ojek mengantarkan makanan.
"Dari siapa Pak?"
"Ibunya Ratna, dia bilang Relin jarang masak makanya diantar makanan untuk kamu." Ojek yang biasanya mengantar Ratna pulang ke rumah orangtuanya ikut berduka dengan kepergian Ratna.
"Terima kasih Pak, jika ketemu Ibu katakan terima kasih juga. Relin sudah masak dari pagi." Senyuman Ifal terlihat membawa makanan dari mertuanya.
Ada banyak makanan dan kebutuhan Rania, perlakukan mertua dan orangtuanya sungguh beda, air mata Ifal sampai jatuh tidak bermaksud membandingkan, tapi sungguh terasa bedanya.
***
Follow Ig vhiaazaira
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!