"Sudah kubilang aku tidak mau pa, kenapa Papa selalu memaksaku?!!" Emosi Keenan yang memuncak karena permintaan sang papa yang selalu membahas penerus perusahaannya.
"Apa kau tidak mengerti maksud papa, Keenan? Papa tidak menyuruhmu untuk menjadi pengemis di luaran sana, papa hanya ingin menjalankan keberlanjutan perusahaan milik kita, kalau bukan karena perusahaan yang papa bangun dari titik nol itu, saat ini kau tidak bisa menikmati fasilitas-fasilitas yang sedang kamu gunakan saat ini!" Tegas papa Lukman tidak mau mengalah. Hal ini sudah menjadi bahan perdebatan di rumah utama, tidak pandang situasi, papa Lukman selalu mendesak Keenan, orang rumah pun ikut stres dibuatnya, termasuk Mama Rania yang merupakan ibu Keenan dan adik satu-satunya Keenan, Kevin. Keenan menatap wajah papanya dengan penuh kekesalan.
"Sudah kubilang, aku tidak akan mau pa, sampai kapanpun!" Keenan menekan nada bicaranya, tak mau kalah juga.
Melihat hal itu, papa Lukman mendekati putranya, Mama Rania yang sedari tadi hanya duduk di samping suaminya sambil sesekali menenangkan suaminya sangat terkejut melihat suaminya berdiri dan berdiri di hadapan Keenan.
"Pah, tenanglah jangan emosi begini" Ujar Mama Rania takut dengan situasi yang ada di hadapannya, Suami dan putranya bercekcok hebat.
"Apa kamu benar-benar tidak mau, Keenan?"Tanya papa Lukman, nada suaranya sangat pelan namun terlihat sangat memendam emosi.
Papa Lukman adalah orang sangat ambis terhadap misi-misinya, tak heran jika perusahaan yang ia rintis sampai detik ini bisa menghasilkan harta kekayaan mereka berlimpah, dan salah satu misinya yang harus Ia selesaikan adalah membujuk putranya pertamanya yang sedang menatap dirinya penuh amarah dan kekesalan. Keenan ikut berdiri memposisikan tubuhnya di depan sang papa
"Aku tidak mau pah!"
Keenan kembali menekan nada bicaranya, suaranya pun dikecilkan tapi tersirat kemarahan pula di dalamnya.
Melihat hal itu, Papa Lukman sudah tidak bisa mengontrol emosinya, Ia mendaratkan 1 tamparan di pipi kiri Keenan.
*Plakk
Mama Rania terkejut dan sangat takut melihat tindakan suaminya, "Pah!! astaga apa yang Papa lakukan? Kontrol emosi papa!"
Papa Lukman tidak menghiraukan istrinya yang ketakutan, ia kembali menatap nanar putranya yang memejamkan matanya setelah telapak tangannya mendarat di pipi putra sulungnya itu.
"Apa kau masih ingin mengejar mimpimu yang konyol itu Keenan?" Masih tersirat amarah pada kata-kata papa Lukman, Keenan tidak goyang sedikitpun.
"Ya! sampai kapanpun. Kalau Papa ingin mencari penerus perusahaan papa yang papa banggakan itu, ada Kevin yang bisa, kalau aku, aku tidak bisa pa, segala keinginan papa sudah ku turuti, semuanya, dan kalau papa minta yang satu ini, aku sangat tidak bisa, pa. Ku pertegas sekali lagi, aku sama sekali tidak memiliki minat di dunia bisnis, artinya adalah, pandanganku dengan pandangan Papa itu berbeda jauh, oleh karena lebih baik aku pergi dari rumah ini, bila perlu papa tidak perlu menggapku sebagai anak papa lagi" Tutur Keenan panjang lebar, tidak memperdulikan rasa perih di pipinya.
"Aku punya mimpi dan cita-citaku sendiri, dan kalau papa merasa rugi dan merasa sial karena memiliki anak pembangkang sepertiku, aku siap untuk pergi dari kehidupan keluarga ini. Dan tenang saja pa, aku akan mengganti segala apa yang telah papa fasilitaskan untukku, aku berjanji".
Ucap keenan panjang lebar dan meninggalkan Papa dan mamanya, hal itu membuat Mama Riana menitikkan air mata. Langkah lebar Keenan menuju lantai atas sangat memperlihatkan bahwa Ia sudah lelah dengan semua ini.
"Lihat pah! apa yang sudah papa lakukan!? Papa sangat egois sama anak sendiri!! hikss" Mama Rania mengejar langkah Keenan yang hendak memasuki kamarnya, menutup pintu kamar dengan keras.
Sesampainya di kamar, Keenan membanting segala benda yang dilihatnya. Ia sangat frustasi dengan ayahnya sendiri. Ya, seperti yang dikatakan oleh Keenan kepada ayahnya tadi bahwa ia akan meninggalkan kehidupan di keluarganya.
"Aaarrghhh!!!" Keenan berteriak dan membanting vas bunga yang ada di meja kamarnya, suaranya sampai terdengar sampai di pintu luar yang disana terdapat Mama Riana yang menangis melihat keadaan.
"Kenapa dunia sangat tidak adil padaku kenapaaa???!!"
"Aku hanya ingin mengejar mimpiku seperti orang lain mengejar mimpi mereka dan mereka berhasil!"
Keenan duduk di pinggiran ranjang tidurnya sambil berusaha menenangkan dirinya, ia mendengar Mama Rania yang terus mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
"Keenan, nak. Tolong buka pintunya. Mama mau bicara sama kamu sayang"
Keenan tidak menghiraukan suara itu, baginya, Mama Riana juga sama saja, selama ini selalu berpihak kepada suaminya, tidak mendukung keputusan putranya.
Keenan beranjak mengambil kopernya dan menuju lemari pakaian untuk mengambil beberapa pakaian pribadinya dengan emosi yang masih memuncak
"Keenan, mama mohon tolong buka nak" Di luar pintu Mama Rania masih belum menyerah untuk membujuk putranya, Keenan tidak memperdulikannya, Ia telah selesai menyiapkan barang-barang pribadinya, mengambil kunci mobil dan menuju pintu.
*Ceklek..
"Keenan?, nak mama mohon jang..." Pandangan Mama Rania beralih pada Koper yang ada di tangan Keenan.
"Apa yang kamu lakukan Keenan? tolong jangan begini, biar mama yang bicara sama Papa ya, sayang? Tolonglah" Ucap Mama Rania memohon.
Keenan mengeryitkan alisnya, "Bicara sama Papa?, maksudnya membantuku?. Darimana saja mama selama ini? kenapa baru sekarang mau berada di pihakku?"
Mama Rania terdiam mendengar itu, namun ia masih tetap berusaha untuk menghalangi niat Keenan.
"Maafkan mama sayang. Tapi mama mohon jangan pergi, lepaskan Koper itu, mama mohon nak"
Keenan tidak menghiraukan Mama Rania, ia tahu ini berat, namun yang membuatnya kesal adalah kenapa mamanya dari awal tidak membelanya walau sebentar.
Keenan melangkah menghindari mamanya, Mama Rania tidak ingin menyerah, berusaha melepaskan koper yang di genggam oleh putranya, namun usahanya nihil, Keenan melepaskan genggaman itu walaupun tidak terbilang kasar, Keenan cepat- cepat ingin segera menuju tangga ke lantai bawah dan melewati adiknya, Kevin yang baru pulang dari rumah temannya, terkejut melihat kakaknya yang membawa Koper, tanpa menghentikan langkahnya, Keenan berpesan kepada adiknya.
"Jaga mama, Kevin"
Kevin yang melihat kakaknya mengatakan hal itu hanya terdiam karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
"Kak! kakak mau kemana?!" Tanya Kevin sedikit berteriak karena jaraknya dengan sudah cukup jauh, Keenan sudah sampai di parkiran mobil miliknya yang untungnya tidak sedang di parkirkan di garasi, melainkan di halaman yang cukup dekat dengan gerbang rumah.
Keenan langsung membuka mobilnya dengan sangat terburu-buru, khawatir sang Mama masih mengejarnya. Mobil menyala dan Keenan langsung keluar dari melalui gerbang. Kevin yang masih mematung di tempatnya hendak masuk rumah dan langsung melihat mama Rania yang setengah berlari menuju pintu.
"Kevin, mana kakakmu?" Tanya Mama Rania masih dengan tangisan dan mata yang basah.
"Ma, kenapa mama menangis? apa yang terjadi?" Tanya Kevin dengan ekspresi terkejut dan menghampiri sang Mama.
"Mana kakakmu, Kevin?, kenapa kamu tidak menghentikan kakakmu? hiks hiks" Ucap Mama Rania dengan tangisan yang tidak bisa dibendung lagi, tubuh wanita itu bergetar.
Kevin tercengang, ia baru tahu bahwa kakaknya pergi meninggalkan rumah atas kemauannya sendiri, Ia tahu bahwa tadi pasti terjadi sesuatu.
"Ma, sudahlah. Ayo kita duduk dulu"
"Keenan.. Sayang kenapa kamu pergi nak, hiks hiks"
Kevin menuntun Mamanya menuju sofa dan menenangkannya, membiarkannya untuk menyelesaikan tangisannya terlebih dahulu.
"Tidak salah lagi, ini pasti karena cekcok antara Papa dan kak Keenan" Batin Kevin
Keenan sudah berada di jalan raya, hening. Ia masih mengemudi mobilnya dengan perasaan hancur, tidak mengerti mengapa papanya sangat memaksa dirinya.
"Sial!" Kesal Keenan memukul setir kemudi, nafasnya naik turun dengan emosi yang tidak terbendung lagi.
"Aku tidak mengerti kenapa papa bisa seperti itu? bukankah keinginan semua anak harus di dukung oleh orangtuanya? kenapa papa tidak seperti itu?!" Ucapnya kemudian dengan wajah memerah, matanya berkaca-kaca, namun arti air matanya bukan karena ia sedih meninggalkan rumah, melainkan melihat sifat orangtuanya yang menurutnya berbeda dari orang tua pada umumnya. Ya, sepertinya banyak orang tua yang seperti itu, namun menurut Keenan orang tuanya lah yang paling pemaksa.
Keenan termasuk anak penurut, ia menuruti permintaan Papa Lukman yang memintanya untuk bekerja di perusahaan milik mereka sendiri sebagai wakil direktur. Awalnya Keenan menolak, menurutnya jabatan itu terlalu berat baginya apalagi Ia sama sekali tidak memiliki bakat di dunia bisnis, namun Papa Lukman bersikeras kendati mengajarkan Keenan tentang ilmu bisnis, tak tanggung-tanggung Papa Lukman juga membelikannya buku tentang materi-materi bisnis. Keenan menurut saja walaupun Ia sangat ingin untuk menolak. Namun, untuk kali ini Keenan sangat tidak tahan lagi, ia terkejut saat pertama kali Papa Lukman memintanya untuk mempersiapkan dirinya untuk menjadi penerus perusahaan.
*Flashback On
Keenan baru saja selesai menulis quote hariannya, kata-kata bijak di buku catatan khususnya yang nantinya akan ia bukukan jika Ia merasa sudah cukup, Keenan masih dalam proses mencari kata-kata yang kiranya cocok dengan kehidupan manusia, ia berharap rangkaian kata-kata yang ia susun nanti dapat berbuah manis.
*Tok tok tok...
"Keenan? ayo turun, ini sudah memasuki jam makan malam" Panggil Mama Rania diluar kamar milik Keenan, pria itu sedang duduk manis di meja kerjanya sambil melihat catatan miliknya.
"Iya ma, aku akan kesana" Jawab Keenan mengeraskan sedikit suara kemudian menutup Notebooknya, iapun keluar kamar untuk pergi ke ruang makan.
Terlihat anggota keluarga mereka sudah lengkap disana, Papa Lukman, Mama Rania, dan adiknya Kevin. Keenan menarik kursi makan dan bergabung, Mama Rania mengobrol ringan tentang sekolah Kevin, membuat suasana makan malam itu tidak begitu kaku.
"Keenan?" Ucap Papa Lukman membuka obrolan.
"Hm? iya, pa?" Jawab Keenan masih terus mengunyah makanan dan menatap papanya.
"Selesai ini ikut ke ruangan papa, ada yang ingin papa bicarakan" Tanpa melihat ke arah Keenan, Papa Lukman masih fokus pada makanannya. Keenan mengalihkan pandangannya pada sang Papa, ia mengunyah makananya dengan perlahan dan merasa penasaran, apa yang akan di bicarakan oleh papanya?
Sekitar 15 menit mereka makan malam sambil mengobrol obrolan ringan, seperti yang dikatakan oleh Papa Lukman, Keenan ikut ke ruangan Papanya.
Di dalam ruang kerja Papa Lukman, Keenan duduk di sofa sedangkan Papa Lukman duduk di kursi kerjanya.
"Apa yang ingin papa bicarakan?" Keenan membuka suara.
Papa Lukman menarik nafas dan menghembuskan nafasnya perlahan, ia tahu bagaimana reaksi putranya jika menyangkut perusahaan, "Begini Keenan, papa ingin membantumu untuk mempersiapkan diri" Tutur Papa Lukman yang membuat Keenan menautkan kedua alisnya, ia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Papanya.
"Maksud papa?"
"Begini, Kamu tahu bahwa umur papa sudah tua, kamu adalah anak sulung papa, jadi.. Papa ingin membantumu mempersiapkan diri untuk menjadi penerus perusahaan" Ucap Papa Lukman penuh harap, sedangkan Keenan membulatkan matanya mendengar permintaan dari sang Papa.
"Apa?!"
"Ada apa? kenapa kamu begitu terkejut? Kamu bersedia, bukan? Kamu adalah anak pertama di dalam keluarga ini" Tutur Papa Lukman lagi.
"Tidak pa!" Ucap Keenan menekan nada bicaranya sambil menatap kesal Papanya. Papa Lukman sangat terkejut dan mengkerutkan alisnya mendengar respon putranya.
"Kenapa kamu menolak? ini adalah kesempatan yang bagus untukmu, tidak semua orang bisa dengan mudah untuk menjadi direktur utama perusahaan, Keenan." Tutur Papa Lukman memperjelas, ia berusaha meyakinkan putra sulungnya itu.
"Maaf pa, aku tidak bisa untuk hal ini, tolong jangan memaksaku" Ucap Keenan dengan datar kemudian keluar ruangan, langkah lebarnya dapat dilihat oleh siapapun juga bahwa ia sangat kesal saat ini.
"Keenan, dengarkan papa! Siapa lagi yang menjadi penerus perusahaan itu kalau bukan kamu penerusnya" Ucap Papa Lukman sembari mengejar langkah Keenan yang menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras.
"Keenan, Keenan!"
Papa Lukman berhenti melangkah sampai melihat putranya menutup pintu kamarnya.
"Astaga anak ini"
Papa Lukman sudah menduga bahwa putranya tidak akan mau, hal itu bisa Ia lihat dari raut wajah putranya yang nampak tidak bersemangat ketika pergi ke kantor.
*Flashback off
Keenan masih mengemudi dengan perasaan hancur dan kecewa, ia tidak tahu mau kemana. Namun, tiba-tiba Keenan terpikirkan oleh salah satu temannya, yaitu Hino yang tinggal disebuah apartemen.
"Ya, lebih baik aku pergi dengan Hino dulu" Gumam Keenan sembari mengambil ponselnya, hendak menghubungi Hino.
*Memanggil...
*Telepon tersambung...
"Halo, Keen?" Ucap Hino di seberang sana memulai obrolan.
"Hin, Aku butuh bantuanmu". Tutur Keenan masih fokus menyetir.
"Bantuan? Apa kau ada masalah?"
"Nanti akan kuceritakan, malam ini apa boleh aku ke apartementmu dulu? aku di perjalanan sekarang"
"Ya sudah kemarilah, kebetulan aku ada di apartement"
"Baiklah aku kesana, tunggu di apartement dan jangan kemana-mana"
"Iya, akan kutunggu"
"Yasudah"
*Telepon terputus..
Keenan pun langsung menuju dimana apartemen Hino berada.
20 menit kemudian, Keenan sampai dan memasuki Loby apartemen dan menuju lantai 6 dimana Hino berada. Keenan menekan Bell yang ada di samping pintu, tidak lama kemudian Hino keluar.
"Kau sudah sampai? ayo masuk" Sapa Hino mempersilahkan sahabatnya itu masuk.
Keenan masuk dan langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa, Hino dapat melihat bahwa sahabatnya ini tengah lelah, bukan lelah secara fisik tentunya, namun secara batin
"Kau mau minum?" Tawar Hino
"Ah tidak perlu repot, kau sudah seperti nelayani tamu jauh saja"
"Hmm, yasudah kalau begitu? Ada apa? kau ada masalah?" Tanya Hino ikut duduk di sofa sambil menyalakan rokoknya.
Mendengar pertanyaan Hino membuat Keenan menghela nafas panjang, ia bingung harus menjelaskannya dari mana, "Aku di paksa Papa untuk meneruskan perusahaannya" Jelas Keenan menatap ke arah dengan tatapan kosong, dengan tangannya di angkatnya pada sandaran sofa itu. Hino menautkan kedua alisnya mendengar itu, sepertinya itu bukan jadi masalah, begitu pikir Hino.
"Dan... masalahnya apa? bukankah kau harus senang? itu kesempatan yang bagus untukmu, Keen. Wah bay the Way selamat ya" Ucap Hino menepuk- nepuk punggung sahabatnya yang sudah kesal dengan reaksinya.
Keenan menyingkirkan tangan Hino darinya.
"Apa maksudmu? aku tidak mau jadi penerus perusahaan, Hin. Papa sangat memaksaku, padahal umurnya belum begitu tua untuk digantikan, rambutnya saja belum memutih sepenuhnya. Aku tidak mengerti pikirannya, makanya itu aku pergi dari rumah itu, apa kau tidak melihat koperku itu?" Tutur Keenan panjang lebar yang berhasil membuat Hino membelalakkan matanya.
"Apa?!" Hino tercengang mendengar pernyataan Keenan yang ternyata diluar dugaannya, ia terdiam sejenak sambil melihat koper yang dibawa Keenan, ia tidak terpikirkan tentang koper itu sebelumnya.
"M-maksudmu? kau kabur dari rumah cuma karena Papamu memaksamu buat jadi penerus perusahaan?!" Tanya Hino menatap Keenan dengan tatapan memastikan.
"Iya" Jawab Keenan singkat
"APA?! APA KAU SUDAH GILA?? Apa yang ditawarin sama Papamu itu adalah impian semua orang, Keen" Tutur Hino masih tidak menyangka dengan pemikiran sahabatnya ini.
"Ck terserah bagaiamana pendapatmu dan aku tidak peduli. Papa sangat mendesakku, di sisi lain ada Kevin juga yang akan bisa menggantikannya beberapa tahun lagi, toh rambut orang tua itu juga belum sepenuhnya memutih." Tutur Keenan kemudian. Sedangkan Hino masih menatap Keenan memastikan, apakah sahabat yang ada di depannya ini hanya bercanda atau bagaimana.
"Sudahlah, jangan menatapku seperti itu. Lebih baik kau membantuku untuk langkahku selanjutnya, Hin" Hino menyudahi tatapan ketidakpercayaannya.
"Langkah apa?" Tanya Hino.
Keenan diam sejenak dan menipiskan bibirnya ia, menghela nafas panjang.
"Aku ingin keluar kota untuk mencari duniaku yang kuinginkan di sana" Jawab Keenan, Hino mengeryitkan alisnya.
"Writer?"
"Ya"
"Kau udah izin?" Tanya Hino merasa ragu.
"Ck, untuk apa izin kalau orang tuaku tidak mendukungku? yang ada aku seakan dipenjara di rumah itu." Jawab Keenan sedikit kesal, Hino menatap sahabatnya tidak percaya, yang ia tahu Keenan adalah anak yang penurut kepada orang tuanya, tapi untuk saat ini, Hino bisa mengerti dengar keadaannya.
"Baiklah, aku akan membantumu. Tapi aku belum bisa jika hari ini." Ucao Hino kemudian.
"Aku mengerti, Hin. Rencananya besok baru berangkat, malam ini aku ingin menginap di sini dulu, apa boleh?" Tanya Keenan sambil menatap sahabatnya itu.
"Ck, kalau aku tidak mengizinkanmu tidak mungkin akan kubukakan pintu" Jawab Hino menatap Keenan malas, Keenan tertawa melihat ekspresi sahabatnya, sebenarnya Ia juga tahu bahwa Hino pasti akan mau membantunya, tapi Keenan hanya sekedar berbasa basi.
"Kau memang bisa diandalkan". Puji Keenan sambil menepuk-nepuk pundak Hino.
"Hm sudahlah, bawa koper itu ke kamar yang ada di sebelah, di sebelah pintu kamarku, tahu kan dimana?"
"Tahu, baiklah aku akan menyimpannya dulu, biar aku yang memesan makanan untuk makan malam ini." Keenan beranjak sambil membawa koper miliknya.
"Hm terserah kau saja." Hino
Ditempat lain, dirumah keluarga Papa Lukman, Mama Rania terlihat bertengkar dengan sang suami setelah Keenan meninggalkan rumah itu,
"Ini semua salah papa! Coba kalau papa tidak egois seperti ini, Keenan tidak akan pergi pah!" Ucap Mama Rania sedih, marah, dicampur kecewa. Ia masih terus menyalahkan suaminya.
"Cukup Rania!" Bentak Papa Lukman.
"Bukan aku yang egois, tapi anak itu! Kamu selalu memanjakan dia sejak kecil makanya dia jadi anak pembangkang sampai sekarang." Tutur Papa Lukman emosi.
"Keenan adalah anak penurut asal papa tau, dia juga punya mimpi sendiri, masa depan sendiri! Kenapa Papa selalu menuntutnya? Bukankah yang dia katakan juga benar? Masih ada Kevin yang bisa menjadi penerus perusahaan, tidak harus Keenan, Pah" Jelas Mama Rania lagi.
"Aaahh, sudah. Aku sudah muak dengan ini semua. Biarkan anak pembangkang itu pergi, kalau perlu katakan padanya tidak perlu kembali lagi." Ucap Papa Lukman dengan emosi yang meluap-luap sambil melangkah meninggalkan Mama Rania dan juga Kevin yang sedari tadi duduk diam sambil mendengarkan semuanya.
"Apa yang papa katakan?! Pah!" Teriak Mama Rania pada sang suami yang meninggalkan mereka di ruang keluarga.
Mama Rania kini dibuat terkejut oleh perkataan suaminya terhadap Keenan, sungguh ia tidak percaya. Kevin tersadar dan menenangkan Mamanya, hanya itu yang bisa Ia lakukan saat ini. Namun Kevin mengerti bagaimana masalah ini bisa terjadi dan apa yang membuat kakaknya sampai meninggalkan rumah.
"Kamu sudah menelepon kakakmu lagi, Kevin?"
Tanya Mama Rania dengan suara yang lesu.
"S-sudah Ma. Tapi... nomor ponsel kakak sudah tidak aktif" Jawab Keevin dengan perasaan ragu, Kesedihan Mama Rania bertambah mendengarnya. Melihat permasalahan sang kakak dan juga Papanya, Kevin tidak akan tinggal diam untuk masalah ini, Ia tahu bahwa dirinya adalah yang termuda dirumah utama, Namun ia mengerti, ia harus memperbaiki masalah keluarganya.
Di tempat lain, terdengar suara bell di luar pintu, Keenan tahu bahwa itu ada pesanan makanannya, ia berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Selamat malam, apa ini dengan Tuan Keenan?." Tanya seorang food delivery yang mengantarkan makanan yang dipesan Keenan dengan ramah.
"Benar, saya keenan"
"Nasi dengan Steak ayam beserta saus Barbeque dengan sayur-sayurannya? ohya tuan ini ada 2 porsi." Tutur bapak-bapak Food delivery itu lagi.
"Iya, benar"
"Ah ini dia, terimakasih sudah menggunakan jasa saya." Ucapnya sambil menyerahkan bungkusan makanan yang dipesan Keenan.
"Hm, sama-sama" Ucap Keenan sembari Keenan meraih bungkusan itu.
"Baik tuan, Kalau begitu saya permisi dulu." Pamit bapak-bapak itu ddikiti oleh anggukan Keenan.
Keenan kemudian menuju dapur, menemui Hino yang tengah menata piring di meja makan, turut membantu Keenan untuk menyiapkan makan malam.
"Sebenarnya aku sudah makan dari rumah tadi, tapi entah kenapa makanan di lambungku seakan surut " Keenan membuka suara, berniat membuat lelucon, Hino melihatnya, ia menarik sudut bibirnya mendengar pernyataan Keenan.
"Yasudahlah, selesai ini kau makan aja sepuas-puasnya" Ucap Hino.
"Hm tentu saja"
Mereka langsung menyantap makan malam yang di pesan oleh si tamu Hino itu, Hino yang memang belum makan membuatnya makan dengan lahap, Keenan pun demikian, entah mengapa ia kembali merasakan bahwa perutnya lapar setelah berdebat dengan Papanya tadi, mungkin tenaga dalamnya disedot habis-habisan karena keegoisan papanya, begitu kira-kira pikir Keenan.
Sekitar 15 menit mereka membutuhkan waktu untuk menghabiskan makan malam mereka.
"Keen?" Hino
"Hm?" Jawab Keenan hanya berdehem sambil menghisap batang rokok di tangannya.
"Apa kau sudah mengakhiri hubunganmu dengan wanita itu?" Tanya Hino, sedangkan Keenan masih asyik menghisap rokoknya dan menghembuskan asapnya sambil menyerapi pertanyaan yang dilontarkan Hino.
"wanita?"
"Iya, wanita yang katanya break denganmu cuma karena alasan bahwa kau mau fokus kerja sama di perusahaan Papamu.
"Oh wanita itu... Inggit?"
"Nah, benar itu namanya"
"Ya sudah break, memangnya kenapa?"
"Tidak mengapa, aku hanya mengetes kalau kau memang kau tidak begitu fokus pada wanita setelah break dengan wanita itu" Jelas Hino kemudian. Mendengar itu, keenan menghela nafas dan menarik sudut bibirnya.
"Kau pikir aku sepertimu? yang selalu terobsesi pada wanita-wanita malam? cih, yang ada kau terkena HIV nanti" Jawab Keenan sinis melihat tingkah sahabatnya.
Keenan dan Hino adalah sepasang sahabat yang keduanya memiliki karakter yang berbeda-beda. Hino adalah pria yang gila wanita, hampir semua wanita di club-club malam di godai olehnya. Sedangkan Keenan yang sangat malas apabila menemukan wanita yang menurutnya tidak ber value, seringkali Keenan di goda oleh wanita-wanita club malam saat nongkrong bersama Hino, namun Ia merasa jijik dan risih, Mungkin karena sikap ambisnya untuk menggapai impiannya lah yang membuatnya memiliki kriteria khusus dalam memilih wanita idamannya. Makan malam telah selesai, kini mereka kembali ke ruang tamu untuk mengobrol.
"Aku sudah memesen tiket". Tutur Keenan memulai obrolan, Hino terkejut mendengarnya, begitu semangatnya Keenan untuk hal ini.
"Tiket? kau sudah punya ide kota yang jadi tujuan?" Tanya Hino serius.
"Hm" Jawab Keenan hanya berdehem sambil menghabiskan sisa rokoknya.
"Kemana?" Tanya Hino.
"Bandung" Jawab Keenan datar, mendengar itu Hino menyerapi pernyataan yang dilontarkan oleh Keenan.
"Kenapa kau memilih Bandung?" Tanya Hino
Keenan menghela nafasnya.
"Panjang ceritanya, Hin" Jawab Keenan, Hino masih terdiam, merasa tidak yakin dengan keputusan Keenan.
"Ah, sudahlah, Hin. Wajahmu sangat tidak yakin dengan keputusanku"
"Bukan begitu, apa kau yakin ingin kesana? selamanya atau..?"
"Nanti tinggal kita lihat saja, semoga hatiku masih ada rasa ingin pulang ke rumah itu" Tutur Keenan dengan wajah datarnya. Hino tercengang mendengar itu, ia berpikir bahwa saat ini posisi keenan memang cukup sulit.
"Hmm.. baiklah" Ucap Hino mengangguk-ngangguk
"Dan ya, 1 lagi, jangan beritahu siapapun bahwa kau yang mengetahui kemana tujuanku, rahasiakan semua ini" Tutur Keenan menatap sahabatnya dengan serius.
"Baiklah, aku tidak akan memberitahu siapapun" Ucap Hino. Kini Keenan merasa aman sekarang, hanya dengan mengandalkan sahabatnya ia berharap bisa terlepas dari keegoisan Papa Lukman yang menurutnya sangat gila, Keenan berharap bahwa ia bisa hidup tenang dengan berjuang meraih impiannya seperti anak-anak muda pada umumnya. Mereka kembali melanjutkan obrolan lain.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!