NovelToon NovelToon

Rahim Yang Dikontrak 2

PERTEMUAN YANG HANGAT

PRAAAAANG!!

Sebuah kaca jendela pecah berantakan ditonjok oleh Tuan Densbosco ketika sampai di rumah tidak ada satu pun yang menyambut kedatangannya.

Satu-satunya istrinya yang masih ada, yakni Wena Ayu Eriyan juga tidak kelihatan.

Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa Tuan Densbosco melakukan kasus penembakan dengan motif cemburu. Kasus itu membuat gempar seluruh masyarakat di kota "J".

Sebagian besar orang menyesalkan kenapa dia melakukan penembakan. Sehingga istrinya Meli Aldina tewas seketika. Sedangkan lelaki yang menyelingkuhi, Dermawan Wibisana menderita luka di bagian punggung.

Kini Tuan Densbosco telah selesai menjalani hukuman. Lelaki seram itu keluar dari pintu penjara dengan mulut menyeringai seperti kuda yang lepas dari istal. Badannya yang tambun menyusut sekian kilogram setelah menjalani hukuman beberapa tahun. Matanya tajam memandang semua orang seolah sebagai musuhnya. Langkahnya mantap menuju ke mobil yang sudah stanby membawanya pulang.

"Kenapa dia tidak tinggal di rumah, Jeni!" teriaknya keras menohok jantung semua orang yang mendengarnya.

Kepala asisten rumah tangga yang masih setia bekerja di rumahnya itu buru-buru menunduk menyembunyikan wajahnya karena takut.

"Mengapa tidak kau beritahu bahwa hari ini aku pulang, hah?!"

"Maaf, Tuan. Kami tidak tahu. Tidak ada yang memberitahu kami kalau Tuan pulang hari ini."

"Goblok! Kalian semua memang sudah tidak peduli padaku. Kalian maunya aku terus tinggal di dalam penjara, kan? Terus kalian bisa menikmati hartaku suka-suka, kan?!"

"Tidak, Tuan. Kami senang Tuan pulang kembali ke rumah ini. Kami masih tetap setia kepada Tuan." Jeni mencoba membuat dingin kembali suasana hati lelaki sangar itu.

"Tapi apa nyatanya. Tidak ada satu pun yang menjemput aku! Sopir dan ajudan mungkin juga tidak akan datang kalau tidak aku telepon!"

"Maaf kami salah, Tuan.... Kami minta maaf...." Jeni menunduk sampai duduk di lantai.

"Terus kemana wanita yang telah aku kontrak rahimnya itu. Apakah kamu tahu, Jeni?"

"Dia baru saja keluar dengan ibunya, Tuan. Sejak Tuan tidak ada mereka kadang tinggal di rumah ini, kadang di rumahnya sendiri. Katanya tadi cuma mau jalan-jalan sebentar. Karena jenuh berada di dalam rumah terus."

"Dengan siapa mereka keluar?"

"Selama ini selalu dengan sopir, Tuan. Nyonya Wena tak pernah keluar sendiri tanpa didampingi sopir," papar Jeni.

"Bagus! Mereka berarti menjalankan apa yang aku inginkan."

Tidak ada satu jam setelah Densbosco pulang ke rumah. Wena Ayu Eriyan dan Wigati datang. Mata Densbosco yang sudah kangen dengan istri mudanya itu membulat penuh arti memandang ke arahnya.

Wena dan ibunya yang tidak tahu bila Tuan Densbosco sudah pulang kaget sebentar. Lalu kekakuan sikap mereka memudar seketika melihat Densbosco tersenyum lebar dan membentangkan tangannya menyambut kedatangan dua wanita cantik itu.

Wena tahu apa maksud dari Tuan Densbosco membentangan tangannya. Dia kemudian mendekat dan membiarkan lelaki itu memeluknya penuh kerinduan.

Sedangkan Wigati tak ayal merasa terharu juga melihat anaknya dan menantunya itu saling mendekap erat.

"Ups! Jangan disini, Tuan," ucap Wena melihat Tuan Densbosco akan mencium bibirnya.

Wigati melihat gelagat Densbosco ingin mencurahkan kerinduannya itu tahu diri segera ngeloyor pergi meninggalkan mereka.

"Kamu kok tambah cantik dan wangi, sayang?" tanya Densbosco setelah berada di dalam kamarnya.

"Saya baru dari salon tuan," jawab Wena jujur.

"Pantas kamu kelihatan lebih cantik dan wangi. Saya senang kamu mau menyambut kepulanganku dengan berdandan seperti ini."

Wena ke salon sebenarnya bukan untuk menyambut kedatangan suaminya. Karena dia tidak tahu kalau suaminya bebas dari hukuman penjara hari itu. Tapi karena dia iseng saja karena di rumah merasa jenuh dan bosan.

"Kamu ingat tidak waktu aku ajak main bersama Meli di kamar ini. Waktu itu kamu lari. kanapa waktu itu kamu itu lari?"

"Aku tidak pernah melakukan begituan tiga orang bersama dalam satu ranjang," Wena nyungir mengingat kejadian itu kembali.

"Sudahlah tidak perlu kau ingat lagi kejadian itu. Sekarang di kamar ini cuma ada aku dan kamu istriku yang paling cantik," ucap Debsbosco seraya menyentuh dagu Wena dengan ibu jari dan telunjuknya.

Wena merasa ada perubahan menghadapi Tuan Densbosco kali ini dengan sebelum-sebelumnya. Kali ini Wena merasa ringan, tidak gugup dan hasratnya juga muncul secara normal. Mungkin karena sekarang hanya dia sendiri istrinya. Karena Nyonya Meli Aldina telah meninggal. Sedangkan Queen Santana sudah cerai.

"Kita mulai darimana ya, Sayang? Aneh saya kok merasa seperti menghadapi seorang gadis pertama kalinya," kata Densbosco setengah merayu.

"Terserah, Tuan. Aku sudah siap Tuan perkosa," ucap Wena berani. Ia melihat Densbosco tidak segalak seperti dulu. Padahal dia dipenjara cukup lama. Mestinya orang baru lepas dari penjara kelihatan rakus mencumbu wanita. Tapi ini kok emosinya cukup tertata dengan baik.

"Masa sih aku memperkosamu. Kamu sekarang kan sudah menjadi istriku sepenuhnya. Aku ingin kamu melakukannya dengan kesadaran penuh sebagai istri yang menyenangkan suaminya," kata Densbosco sangat membius hasrat Wena makin naik.

Maka tanpa menunggu lama Wena langsung merangkul tubuh besar yang hanya mengenakan CD itu. Maka kedua CD bertemua karena Wena sudah melepaskan gaunnya.

Wena duduk menantang di atas tubuh Densbosco. Kedua tangannya bertumpu di dada Densbosco yang bidang. Sedangkan kedua kakinya menekuk ke belakang. Lalu ia bergerak seperti orang mendayung sampan. Maju mundur dengan pelan-pelan.

Densbosco merasakan sensasi yang berbeda dengan saat bermain yang pertama kalinya dengan Wena. Kedua matanya memejam. Perasaannya terfokus pada bagian bawah yang mulai merangkak naik dan agak basah dari CD Wena.

"Kamu sudah basah, sayang...." suara Densbosco menggetarkan seluruh sendi tubuhnya dan gerakan sampan itu makin kencang bergerak maju mundur.

"Oooh...Kamu tambah pintar, sayang...," suara serak berat itu terdengar lagi.

Wena lalu merebahkan badannya ke samping. Densbosco tahu apa maksudnya. Apalagi hasratnya itu sudah naik dengan sempurna. Dia kemudian ganti berada di atas.

Wena melenguh sebentar ketika merasakan ada yang menusuk ke dalam. Dia ingat apa yang diinginkan Densbosco terhadap dirinya. Yaitu memiliki seorang anak. Maka seluruh perasaannya ia curahkan kesana. Ia pompa semangatnya agar Densbosco dengan tepat membuahi telur-telur yang sudah meranggas menunggu disirami.

Densbosco juga merasakan hal yang sama dengan Wena. Ia merasa kini sudah semakin tua. Takut apabila keinginannya itu tidak kesampaian. Maka dia pun serius menggarap Wena. Hingga pada detik yang tepat ia curahkan seluruh kekuatannya bersamaan jeritan halus dari mulut Wena yang cantik.

"Hemmmm..., lega rasanya hati ini. Semoga usaha ini akan mewujudkan impian, Tuan," ucap Wena.

"Saya juga berharap yang sama," balas Densbosco.

Pada saat mereka sedang memadu cinta bersama itu, di luar rumah sedang terjadi kekisruhan kecil antara seorang tamu wanita dengan penjaga pintu gerbang.

Siapa dia?

TANTANGAN GILA

Hidup ini memang tidak pernah mulus jalannya. Selalu saja gangguan datang. Begitu yang dirasakan oleh Wena Ayu Eriyan. Ia pikir di rumah Tuan Densbosco yang bergelimang harta itu kini hanya ada dirinya saja. Tanpa pesaing yang menyakitkan. Namun ternyata kini muncul lagi sebuah ancaman yang lebih sengit.

"Kenalkan, Namaku Aldina Muszart. Masih cling belum pernah menikah," wanita muda yang baru datang di rumah Densbosco itu memperkenalkan diri kepada Wena Ayu Eriyan.

Melihat wajah dan bentuk tubuhnya, wanita ini mirip dengan Meli Aldina. Karena memang dia adik bungsu almarhum Meli yang tewas ditembak oleh Densbosko karena ketahuan berselingkuh dengan Dermawan Wibisana.

"Aku kecewa dengan penjaga pintu gerbang tadi. Memangnya mereka itu tidak mengenali wajahku yang hampir tidak ada bedanya dengan Kak Meli," kata wanita itu lagi.

"Sudahlah.... tidak usah kau permasalahkan lagi petugas jaga pintu yang tidak mengenalimu. Mereka memang kusuruh selektif mengijinkan tamu masuk untuk bertemu denganku," kata Tuan Densbosco yang menemuinya setelah baru saja mandi junub.

"Wena kamu mandi sana. Gantian aku yang menemani dia," suruh Densbosco setelah beberapa menit Wena menemui Aldina Muszart di ruang tamu.

"Oh itu to wanita yang Abang kontrak rahimnya," kata Aldina setengah mengejek setelah Wena pergi untuk mandi juga.

"Sekarang dia bukan lagi wanita yang rahimnya aku kontrak. Tapi dia sudah menjadi istriku sepenuhnya," kata Densbosco meluruskan pengertian Muszart.

"Abang sangat menyayangi dia?" ucap Muszart lebih terkesan mencemooh.

"Iya, saya bahkan sangat mencintainya," balas Densbosco penuh percaya diri.

"Abang percaya dia bisa hamil?" cemooh wanita muda itu lagi.

"Pada dasarnya semua wanita itu bisa hamil. Tinggal kapan dia akan menerima anugerah itu dari Tuhan."

"Luar biasa...! Ternyata abang sekarang sudah banyak berubah. Mungkin karena banyak mendengarkan ceramah agama di penjara ya, Bang?"

Densbosco sekarang memang berusaha bersikap baik. Emosinya yang sering muncul tiba-tiba selalu ia rem agar tidak keluar. Termasuk ketika mendengar pujian Aldina Muszart, emosinya ia tahan untuk tidak menempeleng mulut yang selalu menyemburkan kalimat menyindir itu.

"Tahu apa kamu tentang penjara, orang belum pernah mengalaminya," lunak sekali Densbosco menanggapi kalimat adik iparnya itu.

"Maaf Bang aku bukan bermaksud mengejek tapi Abang memang pantas aku puji begitu."

"Aku tidak butuh pujian. Karena biasanya orang yang memuji itu punya maksud tertentu," kata Densbosco kesal. Belum mengatakan maksud adik iparnya itu datang ke rumahnya tiba-tiba sudah memujinya.

"Ok, aku kesini bukan untuk bermusuhan dengan Abang. Walaupun Abang telah membunuh kakak kandungku. Aku kesini bermaksud untuk mohon maaf serta memperbaiki citra Kak Meli yang buruk itu."

Kata-kata gadis itu tidak lebih dari bersilat lidah. Karena sebenarnya dia punya maksud tersembunyi yang hanya dirinya sendiri yang tahu.

"Baguslah kalau kau punya niatan baik seperti itu. Terus apa rencanamu sekarang?"

"Agar tidak putus hubungan silaturachim dan kekeluargaan yang selama ini telah terjalin baik, aku ingin tinggal disini beberapa waktu saja. Sekalian aku ingin mempraktikan ilmuku dengan bekerja di perusahaan Abang."

"Kamu sudah lulus sarjana? Baguslah. Mulai besok saja kamu masuk ke jajaran manajemen. Sesuai ilmumu itu kan?" Densbosco menyambutnya dengan baik.

"Betul Bang?! Saya senang sekali Abang kasih di bagian itu. Mudah-mudahan kehadiranku bisa memberikan angin segar bagi perusahaan Abang."

Maka Aldina Muszart menjadi anggota keluarga baru di rumah Densbosco. Pembawaan gadis itu yang selalu ceria dan lincah serta pandai berbicara, beberapa hari kemudian menjadi cepat akrab dengan semua orang yang ada di rumah Densbosco.

Tapi ada satu orang yang tidak suka dengan Aldina Muszart. Yaitu Wena Ayu Eriyan. Bukan karena Wena sirik dengan keadaan gadis itu yang lebih muda dan cantik. Namun sikap gadis itu yang selalu ingin bermusuhan kepada Wena.

Lima hari setelah tinggal di rumah dan bekerja di perusahaan Densbosco, Aldina Muszart sudah terang-terangan mengatakan ingin berkompetisi dengan Wena. Apa yang dimaksudkan kompetisi itu tidak lain adalah bertarung untuk merebutkan perhatian dari Densbosco.

"Aku tidak ingin bertarung karena Densbosco sekarang sudah menjadi milikku. Kenapa mesti susah-susah bertarung denganmu?" Kata Wena ketika mereka ada kesempatan bicara empat mata di kantor.

"Pengecut! Tidak usah banyak bacot. Kamu takut kalah bertarung denganku, kan?" Aldina berusaha memancing emosi Wena.

"Aku tidak takut kalah. Tapi buang-buang energi saja untuk suatu hal yang tidak penting itu," Wena masih tetap tenang.

"Halaah! Bilang saja kamu menyerah dan Densbosco akan saya suruh kamu meninggalkan tempat ini," serang Aldina sengit.

"Wanita tidak tahu malu! Mau merebut suami orang dengan cara tidak sportif," Wena mulai terpancing emosinya.

"Saya sportif. Buktinya aku terang-terangan mengajak kamu berkompetisi. Bukan diam-diam menohok dari belakang."

"Memangnya tidak ada pria yang lebih baik lagi dari Densbosco di otakmu. Sampai mati-matian mau kau rebut dariku?"

"Kamu tidak paham maksudku. Aku mengajakmu berkompetisi bukan untuk merebutkan Abang iparku. Tapi untuk merebutkan keturunannya. Siapa diantara kita yang bisa hamil lebih dulu. Aku atau kamu," Muszart menjelaskan tujuannya mengapa dia mengajak bertarung dengan Wena.

"Kamu sama liciknya dengan kakakmu. Bilang saja kalau kamu ingin memiliki Densbosco beserta harta kekayaannya. Tidak perlu berdalih macem-macem merebutkan keturunannya."

"Ya boleh saja kamu bilang aku licik. Tapi kamu sendiri lebih licik dari Kak Meli."

"Darimana kamu melihat aku lebih licik dari kakamu. Aku ini malah jadi korban kelicikan kakakmu."

"Kamu tidak licik bagaimana. Pura-pura menyodorkan tubuhmu hanya untuk dikontrak rahimnya. Tapi sebenarnya kau ingin menguasai semuanya yang dimiliki Densbosco."

"Meli meninggal bukan karena diriku. Queen cerai juga bukan karena aku. Semua terjadi karena sudah takdir Illahi. Bukan karena atas rekayasa atau kelicikanku. Ngawur kamu kalau bicara," Wena emosi.

"Sudah tidak perlu banyak bicara kamu siap tidak berkompetisi?"

Jengkel juga melihat Aldina terus ngotot begitu. Tapi Wena pesimistis melayani tantangan itu. Bagaimana tidak. Sejak pertama berhubungan dengan Densbosco belum nampak dirinya akan hamil. Kenyataan itulah yang membuatnya keder ditantang Aldina Muszart.

"Bagaimana kau terima tantanganku?"

Gila! Benar-benar gila gadis ini, gumam Wena.

"Ok. Tapi pertandingan itu harus berjalan sportif," jawab Wena akhirnya.

"Maksudmu?"

"Bisa saja kamu hamil lebih dulu dengan lelaki lain tapi mengakunya dengan abang iparmu. Mudah kan wanita seperti kamu melakukan perbuatan seperti itu. Sama juga almarhum kakakmu."

"Gila kamu! Aku masih perawan dan keperawananku tidak akan kuberikan kepada siapa pun kecuali suamiku!"

"Siapa yang bisa tahu kalau kamu masih perawan. Bisa saja di KTP statusmu gadis padahal sudah tidak perawan." Wena terus memojokan Muszart.

"Setan! Sialan kamu, Wen!" Serunya seraya beranjak meninggalkan ruang yang tadi untuk berdebat.

Sebuah ruangan yang tertutup dan kedap suara. Ruangan itu biasa digunakan untuk rapat penting para staf dan Tuan Densbisco. Sehingga bisa dipastikan tidak akan ada orang yang melihat atau mendengar pembicaraan mereka.

BERSAMBUNG

P R O V O K A S I

Satu bulan berada di Densbosco Corporate Aldina Muzart sudah seperti pemilik perusahaan itu.

Pembawaannya yang judes dengan suaranya yang lantang membuat semua karyawan takut dan lebih baik menghindar darinya daripada bermasalah.

Sementara Wena Ayu Eriyan sebagai CEO malah kalah power. Tapi kedua wanita itu karena sebagai wakil atau kepanjangan tangan dari bos besar Tuan Densbosco, maka masih tetap dihormati oleh seluruh karyawan.

Perbedaannya apabila Aldina Muszart memimpin dengan tangan besi, Wena Ayu Eriyan menjalankan tugas yang diserahkan kepadanya dengan tangan dingin dan hati sejuk.

Hari itu Muszart memanggil dua anak buahnya Agung Putra Sengkuyung dan Nandia ke kantornya.

Mereka didamprat habis-habisan tanpa mereka mengerti apa kesalahan mereka. Bahkan diancam akan dikeluarkan dari perusahaan bila tidak bisa memperbaiki diri dalam waktu singkat.

"Apa Maksudnya kamu bertindak sewenang-wenang begitu?" tanya Wena dengan sikap kesal di depan meja kerjanya.

"Ya tidak apa-apa," jawab Aldina santai.

"Mereka itu salah apa sampai diancam akan kau pecat?" tanya Wena lagi.

Kali ini Wena sudah tidak mau toleransi lagi kepada Aldina Muszart yang semakin menjengkelkannya itu.

"Tidak perlu kau ikut campur dalam urusanku. Selain memegang manajemen saya diperintahkan sebagai HRD. Jadi wajar kalau saya memanggil mereka sebagai pembinaan," kata Muszart beralasan.

"Mestinya kau sampaikan dulu apa kesalahan mereka. Jangan ada karyawan yang tidak bersalah kau damprat yang tidak jelas. Kau tahu mereka semua itu karyawan senior. Tidak seperti kamu yang baru sebulan disini gayanya sudah seperti pemilik perusahaan ini," omel Wena sengit.

"Memang sekarang aku bukan pemilik. Tapi sebentar lagi mereka semua akan tunduk kepadaku. Termasuk kamu," Muszart menunjukan sikap arogansinya kepada Wena.

"Tunduk? Tunduk apa? Ini yang kau maksud tunduk!" kata Wena dengan menonjok muka gadis itu.

Wena memang sudah sangat emosional. Bagaimana tidak. Agung Putra Sengkuyung adalah kakak kandungnya. Sedangkan Nandia adalah teman akrabnya. Jelas sekali bahwa Aldina Muszart tendensius dalam menjalankan jabatannya. Sengaja memilih karyawan yang dekat dengan Wena untuk ia buat mainan.

Aldina malah senang melihat Wena tersinggung dan marah. Ternyata provokasinya berhasil. Dengan menonjok muka Aldina hal itu justru menjadi senjata ampuh untuk melumpuhkan Wena di depan Densbosco.

Benar. Sepulang kerja dia langsung menemui Densbosco di rumah. Sedangkan Wena belum pulang. Karena masih menyelesaikan tugas-tugasnya lebih dulu di kantor. Dia bekerja lebih serius daripada Akdina Muszart yang punya tujuan lain bekerja di Densbosco Corporate.

"Abang lihat merah muka saya ini. Dia sudah menjadi wanita bar bar di kantor. Abang harus usir dia dari perusahaan. Kalau perlu pulangkan saja ke rumah ibunya," kata Aldina Muszart dengan sikap arogan. Tidak berpikir apakah abang iparnya itu suka atau tidak suka dengan sikap arogansinya itu.

"Aku tidak percaya Wena yang lembut itu bisa memukulmu seperti itu. Kalau kamu tidak cari gara-gara lebih dulu tidak mungkin dia akan menonjokmu ," kata Densbosco dengan suara datar.

"Tanyakan sendiri nanti kepadanya kalau Abang tidak percaya." Kata Aldina seolah Densbosco itu lebih dari kakak iparnya.

Tidak lama setelah itu nampak Wena pulang. Dia melangkah ke dalam rumah dengan muka cemberut. Melihat Densbosco sedang duduk dengan gadis yang baru ditonjoknya itu ia cuek saja masuk ke dalam kamarnya.

"Lihat! Abang tahu sendiri. Angkuh sekali kan sekarang sikapnya. Abang yang suaminya sendiri saja dicuekin. Apalagi saya," ungkap Aldina Muszart memprovokasi Densbosco.

Dikatain begitu tentu saja perasaan Densbosco langsung terusik. Dia lalu berdiri dari kursinya dan menyusul Wena yang sudah berada di kamar.

"Kamu ada masalah apa dengan dia, sampai kamu tonjok mukanya?" tanya Densbosco langsung.

"Dia cuma saya peringatkan agar bersikap baik kepada karyawan. Jangan sewenang-wenang menghukum karyawan yang tidak bersalah dan sudah bekerja dengan baik selama ini."

"Kenapa sampai kau tonjok. Bukankah bisa kau ingatkan dengan cara lain," Densbosco tak suka kekerasan terjadi lagi di dalam keluarganya.

Kekerasan yang dilakukannya terhadap Meli Aldina hingga dia dipenjara sudah cukup baginya. Jangan sampai terulang lagi peristiwa itu sekarang ini.

"Tapi dia menjengkelkan sekali. Dia sudah mengajakku berantem sejak datang ke rumah ini pertama kali. Bahkan dia mengajak berkompetisi denganku."

"Kompetisi? Apa maksudnya itu?"

"Tuan pasti tidak percaya Aku sendiri tidak tahu apa maksudnya. Dia menantang aku siapa yang hamil duluan apabila dia menikah dengan Tuan. Apa tidak kebangetan itu," Wena sangat emosional bicara sehingga matanya sampai berkaca-kaca.

"Sudah..., sudah. Jangan menangis. Dia itu masih kekanak-kanakan sifatnya. Tidak perlu kau tanggapi dengan serius," Densbosco berkata sambil membelai rambut Wena.

"Sekarang terserah, Tuan. Mau percaya padaku atau dia. Saya sudah muak melihat mukanya," air mata Wena tumpah sudah melampiaskan kejengkelannya di depan Densbosco.

"Tentu saya lebih percaya kamu. Sungguh saya tidak tahu kenapa dia mengajak kompetisi seperti itu. Terus kalau dia hamil, memangnya aku yang menghamili? Kamu saja sampai sekarang belum bisa hamil."

Wena tidak mau menanggapi hal itu karena lebih menyakitkan kalau dijelaskan. Masalah yang sensitif baginya bila disinggung soal kehamilan.

Dulu ketika keputusan menikah itu diambil, yakin bahwa dia bisa hamil lebih cepat. Karena setelah melahirkan anak dia akan bebas dari Densbusco. Tapi kenyataan sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan hadir generasi penerus keturunan Densbosco.

Persoalan itu memang tidak lagi dibahas oleh lelaki kaya raya itu. Tapi tidak tahu bagaimana isi hatinya yang sebenarnya.

"Sudah sekarang kamu istirahat saja. Besok rencananya aku ingin mengajakmu rekreasi ke tempat kita dulu bercinta yang pertama kali. Aku sangat ingin mengenang lagi situasi waktu itu," rayu Densbosco.

"Selama dia ada disini lebih baik aku tinggal di rumah saja, Tuan," kata Wena sambil menangis.

Lalu tanpa menunggu tanggapan dari suaminya itu Wena beranjak keluar dari kamarnya.

"Hai! Tapi sebentar kamu tinggal di rumah Ibumu, Ya?"

Wena tak menjawab terus membuka pintu kamar melangkah keluar dan menutupnya kembali.

Densbosco termangu melihat sikap protes Wena atas keberadaan Aldina Muszar di rumahnya yang kini diharapkan lebih damai sebelum dia dipenjara.

Hingga Wena pergi dia cuma menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal di kamarnya.

Ketika keluar kamar Densbosco tidak melihat Aldina Muszart lagi. Mungkin sudah masuk ke kamarnya. Begitu perkiraan Densbosco sebelum Jeni datang mengabarkan bahwa Aldina Muszart keluar dari rumah dengan mengatakan akan mencari hiburan.

"Kenapa tidak kau cegah pamit dulu denganku?" tanya Densbosco.

"Sudah saya tanya tapi dia bilang Mbak Jeni saja yang bilang kepada, Bos."

Senut-senut juga Densbosco memikirkan Wena dan Muszart. Dua wanita di rumahnya itu tiba-tiba seperti boldoser yang akan melindas dirinya sampai gepeng.

Densbosco kemudian menugaskan beberapa anak buahnya untuk mencari Aldina Muszart. Sedangkan dia sendiri menghubungi sejumlah teman dekatnya di tempat-tempat hiburan.

Densbosco jadi teringat kata-kata pedas keluarga Meli Aldina. Kematian istri pertamanya itu menyebabkan keluarga istrinya menuduhnya sebagai lelaki sangat kejam. Tidak berperi kemanusiaan.

Maka kali ini dia tidak ingin ada apa-apa dengan Aldina Muszart. Maka dikerahkannya seluruh anak buah mencarinya.

Sampai kemudian pada pukul 9 malam seorang temannya di tempat hiburan mengabarkan bahwa Aldina Muszart berada di tengah kerumunan sebuah geng.

"Bencana apa lagi ini yang akan datang??" Densbosco mengumpat dalam hati.

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!