"Adalah perkawinan yang SAH ...."
Sebuah pernyataan sekaligus pengumuman yang menjadi awal kehancuran masa depan yang telah lama diimpikan oleh Arumi, juga Arga, pria dingin yang kini memasangkan cincin ke jari manis Arumi dengan tampang datar dan tatapan tajam penuh kebencian.
Air mata Arumi menetes. Lebih karena tak mampu lagi menahan amarah yang teramat dalam di hatinya, dari pada karena perasaan haru dan bahagia atas pernikahannya dengan Arga.
"Senyum dong, Arga. Masa pengantin baru seperti batu es begitu wajahnya," tegur mama Arga, tersenyum lebar.
"Memang wajah Arga seperti ini, Ma. Mama dan papa yang dulu memahatnya, bukan," jawab Arga dingin.
Derai tawa memenuhi ruangan, namun tetap terasa hening dan kosong bagi Arumi. Salaman dan ciuman demi ciuman yang menempel bergantian di kedua pipinya terasa bagai kepulan asap. Senyum Arumi terkembang lebar, namun tatapannya kosong, hatinya kecewa.
Pesta sederhana itu selesai empat jam kemudian. Tamu-tamu undangan yang tak banyak akhirnya pulang, begitupun kedua orang tua Arga dan Arumi. Mereka meninggalkan Arga dan Arumi di sebuah Villa luas yang menjadi tempat resepsi acara pernikahan rahasia keduanya.
Lelah sekali rasanya. Tidak hanya lelah fisik, namun juga lelah hati. Dan beban di dalam hati Arumi, jauh lebih berat dari gaun bertumpuk yang dikenakannya malam ini.
Usai melambai pada tamu terakhir dan kedua orang tuanya, Arumi berjalan setengah berlari menuju kamar pengantin, gaunnya diangkat tinggi agar tidak menghalangi langkah cepat kakinya. Arumi melempar tubuh menelungkup di atas tempat tidur, meraung keras, melampiaskan segala kekesalan hatinya yang sudah sejak pagi ia pendam.
Arumi tidak menginginkan pernikahan ini. Arumi tidak mengenal Arga, apalagi mencintainya. Arumi tidak ingin. Arumi selalu membayangkan bahwa kelak dirinya akan menikah dengan pria yang dicintainya, berdiri anggun di atas Altar, dinikahkan di gereja santa terbesar dengan tamu-tamu undangan yang berasal dari orang-orang yang dia sayang. Keluarga, teman, sahabat, rekan kerja, dan semua yang dia kenal selama ini. Tidak seperti ini. Tertutup, hanya dihadiri beberapa anggota keluarga terdekat, sahabat dan teman-temannya tidak ada yang tahu dia sedang merayakan hari bahagia... dan tidak. Hari ini memang bukan hari bahagia Arumi, melainkan hari kehancurannya.
"Sudah puas menangis? Kalau sudah puas cepatlah keluar dan pergi ke kamarmu sendiri. Baju-baju gantimu sudah ada di dalam koper di kamarmu." Suara datar dan dingin membuyarkan lamunan kesedihan Arumi yang tengah menyelimutinya. Perlahan Arumi bergerak duduk, menatap penuh amarah pria yang kini berdiri di depan pintu, masih lengkap dalam balutan tuksedo pernikahan mereka.
"Siapa juga yang ingin berada satu kamar dengan iblis tua sepertimu! Terima kasih sudah menghancurkan hidupku, Pak Tua!" Arumi berbicara penuh penekanan, tepat di depan wajah Arga, sampai membuat pria itu menahan nafas hanya karena takut aroma nafas bau Arumi mengotori udara yang dihirupnya, karena saking dekatnya Arumi berbicara.
Usai mengatakan kecaman terakhirnya, Arumi berjalan melewati Arga begitu saja. Tetapi langkah kaki Arumi terhenti saat tangan kekar Arga mencengkeram erat pergelangan tangannya, tepat saat Arumi berada di sisi Arga.
"Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini, jadi jangan pernah menuduhku menghancurkan hidupmu!" balas Arga tak kalah dingin.
"Tapi kau menyetujui pernikahan ini! Kalau kau tidak setuju, seharusnya kau menolak mengucapkan janji nikah di depan Pendeta!" teriak Arumi hilang kendali.
Arga tersenyum sinis. "Kenapa bukan kau saja yang menolak pernikahan ini. Kau bahkan mengakui di hadapan Pendeta bahwa kau mencintaiku, bukan?" tanya Arga, satu alisnya terangkat tinggi.
Arumi mengertakkan gigi. Dalam hati berteriak marah. Apa Arga hanya berpura-pura tidak tahu, atau memang berlagak bodoh, bahwa bisnis papa Arumi saat ini berada di tangan ayahnya. Berani Arumi menolak pernikahan ini dan mempermalukan seluruh keluarga, bisa-bisa dia jadi gelandangan pada detik itu juga.
Arga mengendikkan kepalanya sedikit dengan Alis yang masih terangkat, menunggu sanggahan Arumi.
"Aaagrh ...!" Arumi menarik kasar tangannya, memelotot pada Arga, kemudian berlari menjauh.
"Awas jatuh. Gaun mu kebesaran!" teriak Arga datar, yang di telinga Arumi terdengar seolah Arga mengatakan jangan lari, kalau jatuh aku tak mau direpotkan membawamu ke rumah sakit di hari yang melelahkan ini.
Brak!
Arumi membanting keras pintu kamar yang ia tempati, kembali melempar tubuhnya ke atas tempat tidur dan meraung semakin keras, sekali lagi. Amarahnya yang baru saja reda setelah menangis tadi, kini kembali membuncah. Kalau tadi dia sudah ikhlas menerima takdirnya menjadi seorang istri di usianya yang masih sangat belia, kini rasa kecewa itu kembali menguasai dirinya. Arumi tak ingin hidup terikat seperti ini. Arumi belum mau menikah. Semua ini karena papa. Karena papa meminta pertolongan kepada Om Danu, ayah Arga, untuk membantu perusahannya yang berada di ambang keruntuhan, membuat pria itu menikahkan Arga dengannya dengan alasan agar harta keduanya bisa dilaburkan menjadi satu. Meski Arumi tahu bukan itu tujuan sebenarnya dari ayah Arga. Pria itu pasti takut papa Arumi tidak mengembalikan seluruh pinjamannya, jadi dia menjadikan Arumi sebagai jaminan pinjaman dengan menikahkannya dengan Arga, agar harta itu tetap selamat dan akan menjadi milik Arga atau keturunannya kelak. Sayangnya Arga dan Arumi sama sekali tidak ingin hidup bersama, apalagi memberi mereka cucu, calon penerus harta mereka.
Entah sampai jam berapa Arumi masih terus terisak dan menyesali pernikahannya, hingga saat dia membuka mata semuanya tampak buram dan gelap.
Arumi duduk, masih dalam balutan kebaya lengkap, matanya berat karena sembab. Arumi melepas gaun kebayanya dengan susah payah, berjalan ke kamar mandi tanpa menyalakan lampu kamar. Di kamar mandi, Arumi menatap kedua matanya yang terasa berat. Wajah Arumi bengkak, kedua matanya bentol sebesar kepalan tangan.
Arumi menyalakan keran air dingin, mencuci wajahnya berkali-kali, meski tahu itu tidak akan dapat mengurangi bengkaknya. Setelah puas mencuci muka, Arumi masuk ke dalam kamar mandi dan berdiri di bawah pancuran air hangat. Gadis itu kembali menangis di bawah pancuran air, membuang segala penat dan sesak bersama guyuran air dan linangan air matanya.
Esok paginya ....
"Meskipun kau mogok makan selama satu bulan, pernikahan ini tidak akan pernah batal. Jadi jangan merajuk seperti seorang bayi!"
Arumi menggigit bibir bawahnya saat telinganya mendengar teriakan datar Arga dari dalam rumah, sementara dia sedang membaca buku di ayunan taman untuk mengalihkan kesedihannya.
Arumi tidak bergeming, tetap di tempatnya dengan buku yang masih terbuka di pangkuannya. Meski konsentrasinya pada buku itu telah hilang sepenuhnya, buku itu takkan pernah menutup. Bukan Arumi sedang mogok makan atau tidak merasa lapar, tidak. Hanya saja mulutnya rasanya tak ingin terbuka dan Arumi yakin tenggorokannya akan sulit sekali dipakai menelan makanan apa lagi di hadapan Arga.
Arumi menghela nafas panjang, menahan air matanya agar tidak kembali keluar.
Kembali ke sekolah dengan menyandang status baru, bukanlah hal yang mudah bagi Arumi. Kakinya melangkah gontai melewati pintu gerbang, berjalan setengah hati.
"Tumben mukanya kucel begitu. Kan baru liburan," tanya satpam sekolah, menatap aneh pada Arumi.
"PMS!" jawab Arumi ketus, berjalan melewati gerbang menuju bangunan kelas.
"Rumi ....!" Stella, sahabat Arumi melompat memeluk pundak Arumi saat melihat gadis itu berjalan lemas ke bangkunya. Arumi memaksakan senyum lebarnya, menjitak kening Stella yang bergelayut di belakangnya.
"Bagaimana liburanmu?" tanya Stella menggosok-gosok kening.
"Parah," jawab Arumi singkat, melempar tas ke atas meja dan mengeluarkan novel yang bekum selesai dibacanya. Arumi menarik nafas panjang, matanya memejam meski tangannya bergerak membuka halaman novel.
Maafkan aku, Stella. Aku harus berbohong pada kalian, batin Arumi menyesal. Ingin sekali Arumi menceritakan pernikahannya dengan Arga pada kedua sahabatnya, tetapi ia malu. Arumi takut ia nanti akan dijauhi atau bahkan ditinggalkan oleh kedua sahabatnya jika mereka tahu dirinya telah menikah, terlebih dengan guru yang paling mereka benci di sekolah.
"Kau kenapa sih, Rumi? Sepertinya wajahmu kusut dan kau lebih pendiam." Yosi menepuk pundak Arumi yang duduk menunduk sembari membaca novel di pangkuannya saat istirahat pertama mereka.
"Tidak. Entahlah, rasanya aku kurang semangat. Kabur yuk," usul Arumi, malas sekali melihat Arga yang berkali-kali lewat di depannya. Entah disengaja atau tidak, tetapi sepertinya sepanjang jam istirahat pria itu sudah lebih sari tiga kali lewat di hadapan Arumi.
"Nanti saja istirahat kedua. Kalau sekarang, setelah ini pelajaran Pak Kuncoro. Serem ah bolos di jam mata pelajarannya," Stella menggeleng tegas.
"Aku juga tidak mengajakmu sekarang. Nanti setelah jam istirahat kedua, pak Jono biasanya masuk untuk makan siang."
Stella dan Yosi mengangguk setuju.
Kelas terakhir sebelum istirahat kedua mereka lalui dengan bersemangat. Rencana membolos dan melarikan diri selalu membuat ketiga bersahabat itu berapi-api, karena esoknya mereka pasti akan dihadapkan dengan kemurkaan guru tata tertib galak yang sangat mereka benci.
Bel berbunyi usai jam istirahat ke dua. Stella, Yosi dan Arumi tidak menuju kelas berikutnya, melainkan menyelinap ke balik kelas ibadah, muncul di sudut ruang UKS. Dari sana mereka bisa mengamati satpam tambun yang berdiri tegak di tengah pagar, mengamati anak-anak yang berjalan kembali ke kelas mereka masing-masing.
"Sial! Kenapa dia malah masuk ke dalam pos satpam?" desis Yosi, berbisik pelan.
Arumi melirik jam tangannya. "Keburu Pak Darso masuk kelas, nih," katanya.
"Kenapa sih dia tidak pergi ke kantin. Apa sudah makan?" bisik Stella, menatap jendela rendah pos satpam yang memperlihatkan puncak kepala pak Jono.
Arumi menurunkan tas dari punggung, membukanya dan mengaduk-aduk isinya mencari sesuatu.
"Biar aku mengatasinya!" pekiknya tertahan, tangannya melambaikan kertas putih lusuh yang ia keluarkan dari dalam tasnya.
"Rum ...!" Yosi ingin menahan sahabatnya, tetapi terlambat. Arumi sudah melompat keluar dari persembunyiannya dan berjalan melenggang menuju pos satpam.
"Kamu! Kenapa belum berada di kelas?!" tanya pak Jono kaget, saat melihat Arumi berdiri di pintu pos jaga.
"Saya dsri ruangan Pak Arga." Arumi melambaikan kertas di tangannya, yang langsung dikenali Pak Jono sebagai surat panggilan siswa.
"Lalu?"
"Saya mau kembali ke kelas, tetapi pak Arga meminta saya memanggil Bapak untuk menemuinya di ruangannya."
"Ada perlu apa?"
"Ya masa saya mau tanya, Pak Arga ada perlu apa memanggil pak Jono?" Arumi menjawab dengan nada suara yang di buat-buat. "Kalau pak Arga bilang 'Kepo!', bagaimana?" tanya Arumi, membelalak kesal.
Satpam tambun di depannya menyeringai, tangannya menggaruk kepala.
"Ya sudah. Kamu kembali ke kelas dulu."
"Terima kasih!" kata Arumi, melengos pergi.
"Ya, ya. Terima kasih sudah memberi tahuku."
"Sama-sama!" teriak Arumi, menjawab malas sembari melangkah pergi.
Tepat di tangga turun menuju kelas bawah, Arumi berlari ke ujung kiri setelah memastikan mata jeli pak Jono tidak mengikutinya, dan ia kembali pada Yosi dan Stella.
"Apa yang kamu lakukan?" desis Stella, wajahnya tampak cemas.
"Ssst. Lihat, dia pergi. Tetapi kita harus cepat karena dia tidak akan lama."
"Apa yang ...."
"Ayo!" Arumi memotong pertanyaan Stella, memimpin pelarian, menyelinap ke balik pos satpam dan dengan gesit melompati pagar. Asal pak satpam tidak berada di tempat, pos satpam itu bisa menjadi penghalang praktis bagi anak-anak yang ingin kabur, dari pandangan langsung ruang guru.
Mendarat di luar pagar, ketiganya berlari ke tempat parkir sekolah di luar area bangunan. Melambaikan selembar uang berwarna merah pada penjaga parkir, Yosi, Stella dan Arumi bisa dengan mudah mengeluarkan mobil dari areka parkir dan meluncur ke jalan.
"Rumi! Itu Pak Arga dan Pak Jono." Pekik Stella, menunjuk dua sosok pria yang berdiri di depan gerbang uatma sekolah dengan tatapan marah.
Arumi tersenyum sinis melihat ekspresi marah di wajah Arga, dan bersiap mengerjainya agar lebih parah.
Di depan gerbang sekolah, Arumi sengaja menurunkan kaca mobil sembari mengurangi kecepatan, lalu membungkuk sopan pada Arga dan Pak Jono yang menatap murka.
"Permisi, Pak. Saya duluan," katanya tenang dengan senyum miring menjengkelkan, lalu mengedipkan sebelah matanya pada Arga sebelum meluncur pergi dengan deruman kencang.
"Rumiii ...." Stella merengek, keluar dari persembunyiannya di balik kursi.
Arumi terbahak keras, disusul Yosi yang duduk di sampingnya.
"Kau berani sekali, Rumi. Kita pasti akan dijemur seperti kerupuk udang besok," kata Yosi, masih tergelak.
"Kalian ini ... bagaimana kalau Pak Arga benar-benar marah, besok," cicit Stella dengan suara bergetar.
"Bukankah dia memang sudah terbiasa arah setiap hari. Masa kamu bekum terbiasa menghadapi kemarahannya sih, Stell." Yosi melirik ke belakang.
"Dihukum mah ya kita jalani aja, Stella. Kenapa mesti merengek seperti itu. Tenang saja, kita tidak akan dikeluarkan." Arumi menatap stella dari kaca spion, tertawa geli melihat ekspresi ketakutan Stella.
"Kalian ini benar-benar deh!" gerutu Stella kesal.
Yosi, Stella, dan Arumi keluar dari mall setelah puas bermain di pusat permainan, nonton bioskop, dan karaoke. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam saat mobil mereka meluncur keluar dari area parkir.
"Wow, sudah gelap," kata Yosi, menatap langit dengan tawa lebar.
"Padahal kita belum jadi makan steak."
"Kalian bener gak mau aku antar pulang?" tanya Arumi, menatap kedua sahabatnya.
"Enggak apa-apa, Rumi. Kita masih mau makan malam. Kamu beneran gak lapar?" tanya Yosi.
"Lapar sih, tapi kalian baca sendiri kan wa bokap. Aku bisa dikunciin pintu kalau belum sampe rumah dalam 20 menit," keluh Arumi cemberut.
"Tumben banget sih bokap kamu kek gitu, Rumi?" Stella ikut cemberut.
Arumi hanya bisa mengangkat bahu dengan kecewa. Sebenarnya bukan ayah Arumi yang mengirim pesan, melainkan Arga. Pria itu sudah sampai di rumah dan belum melihat mobil Arumi, jadi ia mengirimnya pesan dan memintanya pulang saat itu juga.
"Ya sudah, mungkin bokap kamu lagi pingin makan malam sama anak gadisnya yang manja. Jarang-jarang kan dia makan malam di rumah. Dah pulang sono gih, turunin kita di steak grumpy di depan sana." Yosi tersenyum lebar.
"Kalian hati-hati, ya. Maaf meninggalkan kalian di sini, padahal aku yang membawa kalian bolos." Arumi cemberut saat kedua sahabatnya turun dari mobil di depan warung steak kegemaran mereka.
"Aah, sudahlah. Jangan pikirkan kami. Cepat pulang, atau kamu tidak bisa sampai di rumah tepat waktu." Yosi merunduk, melambai pada Arumi.
"Oke. Aku pergi dulu, ya. Bye...!" Arumi melambai pada kedua temannya.
Sepuluh menit kurang 30 detik, mobil yang dikemudikan Arumi dengan kesetanan di jalan, berhenti di pelataran rumah Arga. Arumi turun, berjalan cepat memasuki rumah.
Ceklek!
"Cepat mandi dan ganti pakaianmu, lalu makan." Suara dingin menyambut kedatangannya dari arah dapur. Arumi mendengus keras. Langkah kakinya berat menaiki anak tangga demi anak tangga. Sungguh tinggal di sini sangat memuakkan.
Arumi masuk ke dalam kamar, membuang tasnya di atas tempat tidur lalu masuk ke dalam kamar mandi. Arumi berendam, membuang segala penat yang memenuhi kepalanya sejak dua hari yang lalu.
"Mandi saja seperti orang mati. Lama sekali." Arga menggerutu saat melewati tubuh Arumi di pintu dapur. Kepalanya tegak ke depan, seolah dia sedang mengomeli binatang alih-alih istrinya.
"Heh! Suka-suka aku dong. Mau mandi satu jam, dua jam, tiga jam ...." Arumi berbalik, memelotot ke belakang kepala Arga yang bergerak menjauh, namun senyum iblis tiba-tiba terkembang di bibir merahnya yang tipis. "Ooh, atau kau menungguku untuk makan malam bersama? Rindu menatap wajahku di meja makan rupanya?!" tanya Arumi sinis.
Arga menoleh, mendengus pelan, lalu kembali berjalan meninggalkan Arumi seorang diri di meja makan.
Arumi makan seperti wanita kesetanan. Ia mengunyah makanan dengan kasar, seolah setiap butir nasi di dalam mulutnya telah membuat berjuta kesalahan yang selama beberapa hari terakhir ini menimpanya.
Usai makan Arumi mencuci piring. Untungnya Arga juga telah mencuci peralatan makan yang usai digunakannya, sehingga Arumi tidak perlu mengotori tangannya untuk mencuci piring dan gelas bekas mulut Arga.
Arumi berjalan keluar, berniat untuk langsung mengurung diri di dalam kamar. Tetapi melihat Arga yang sedang bertelepon sambil menonton televisi dengan wajah yang jauh lebih ramah dari biasanya, rasa penasaran Arumi mengoyak isi kepalanya, memaksa pengendali seluruh anggota gerak itu untuk memerintah tubuhnya agar menjahili Arga.
Arumi berjalan ke arah sofa tempat di mana Arga duduk menonton televisi. Dengan gerakan santai Arumi duduk di samping Arga, meraih remote tv di atas meja dan mengganti salurannya. Tahu Arga memperhatikannya dengan heran, namun Arumi berlagak seolah tak melihat Arga di sana.
"Hei! Apa kau tidak melihat aku sedang menonton siara bola?" tanya Arga dingin. "Oh, tidak. Maaf El, aku mungkin akan ke rumahmu besok, kalau tidak sibuk. Ku usahakan. Bye," lanjutnya berbicara di telepon, lalu mengakhiri sambungan.
"Sini!" Arga merebut remote tv di tangan Arumi, lalu mengembalikan channel tv ke siaran bola yang tadi di tontonnya.
Arumi tersenyum miring, tatapan iblis matanya menyorot tajam ke arah televisi yang menampilkan acara sepak bola.
"Akan ku buat kau tidak betah berada di rumahmu sendiri, Arga. Lihat saja, kalau kau tidak menceraikanku dalam waktu tiga bulan ke depan, jangan panggil aku Arumi! batin Arumi marah.
Arumi menonton siaran sepak bola dengan penuh semangat. Tubuhnya membungkuk di atas sofa, menatap tajam siaran televisi layar lebar di hadapannya. Arga yang bersandar tenang, tersenyum mencibir melihat tingkah Arumi yang sok mengerti bola.
"Pelanggaran! Bo*oh! Ke mana wasitnya!" teriak Arumi keras, seolah dia sedang berada di tengah lapangan bola. Arga mengerutkan kening. Itu tadi memang pelanggaran, tetapi sangat tipis. Bahkan sebelum teriakan dia orang penonton di tribune teratas, hampir seluruh penonton di stadion tidak menyadari bahwa itu sebuah pelanggaran.
"Apa anak ini benar-benar mengerti aturan permainan bola, atau hanya berteriak setelah melihat dua penonton yang berteriak di atas tribune?" batin Arga, melirik Arumi dalam diam. Meski Arga menyadari Arumi berteriak satu detik lebih cepat dari tampilan dua penonton di televisi, tetapi mengakui Arumi mengerti tentang permainan bola agaknya terlalu memalukan bagi Arga.
Arga kembali menatap layar televisi, menunggu-nunggu saat momen pelanggaran kecil seperti tadi terulang lagi, namun hingga waktu habis tidak ada lagi pelanggaran yang membutuhkan ketelitian seperti yang terjadi di awal tadi.
Di sepanjang pertandingan, Arumi berkali-kali berteriak. Arga berkali-kali hampir ikut berteriak, namun selalu menahannya tepat waktu. Berteriak bersama seorang Arumi, memalukan sekali rasanya, meski dia dapat merasakan euforia yang sangat tinggi saat menonton bola bersama Arumi, di banding seorang diri.
Usai acara bola, Arumi naik ke kamarnya, menyerah. Arga ternyata benar-benar patung es yang tak tergoyahkan. Entah introvert model apa dia, bisa-bisanya menonton pertandingan bola seperti tadi tanpa bergerak sedikit pun, apa lagi berteriak. Dia hanya duduk diam bersandar dengan tenang, seperti sedang menonton sinetron yang sangat tidak menarik baginya.
Sepeninggal Arumi, Arga meraih ponsel. Membuka satu media sosial miliknya dan mengaktifkan mode private sebelum mengakses sosial media yang sama atas nama Arumi. Arga menatap bulatan hijau yang menampilkan stori Arumi, namun kosong. Arga menunggu, menatap bulatan hijau itu tanpa berkedip, hingga....
Bulatan hijau menyala terang, menandakan si pemilik akun telah mengunggah ceritanya. Cewek, biasanya akan menumpahkan perasaannya di akun media sosial, dan Arga ingin tahu perasaan Arumi setelah dia gagal mengerjainya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!