Seorang wanita berlari menyusuri lorong sebuah rumah sakit sambil mendekap seorang balita perempuan. Matanya liar mencari tempat bersembunyi dari seseorang. Raut ketakutan begitu jelas terlihat dari wajah cantiknya. Hingga dia menemukan sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Tanpa berpikir panjang wanita itu masuk dan menutup pintu itu dengan cepat. Napasnya tersengal-sengal dan keringat telah membanjiri wajah dan tubuhnya. Beruntung balita perempuan itu tidak terganggu tidurnya oleh goncangan saat sang ibu berlari.
Dialah Amelia wanita tiga puluh lima tahun yang kini sedang menggendong putrinya yang sedang demam. Britney Bryan, gadis kecil berusia empat tahun itu yang memiliki fisik yang lebih lemah dibandingkan saudara kembarnya. Sidney Bryan adalah nama kembarannya.
Segera setelah menebus obat, Amelia bermaksud hendak pulang ke rumahnya. Tapi sayangnya Amelia berpapasan dengan seseorang yang seharusnya Amelia hindari. Dia Cahaya yang merupakan istri dari salah seorang sahabat pria kejam yang telah melukainya lahir dan batin.
Amelia telah memulai hidup baru tanpa bersinggungan dengan masa lalu kelamnya. Menghindari orang orang yang mengenalnya, tapi hari ini setelah lima tahun berlalu Amelia malah tak sengaja bertemu dengan salah satu diantara mereka.
Amelia menatap wajah putrinya yang masih terlelap. Wajah yang tidak akan pernah bisa Amelia lupakan . Wajah pria kejam yang pernah menjadi bosnya lima tahun yang lalu. Maximus Bryan, pria yang memperlakukan nya sebagai budak s*x tanpa perasaan. Yang memaksanya bekerja tak kenal lelah.
Amelia merasa sesak jika teringat masa masa menyakitkan itu. Beruntung dia bisa menutupi kehamilannya hingga kontrak kerjanya berakhir. Hingga Amelia berhasil pergi tanpa diketahui oleh bos arogannya itu dan tanpa melanggar kontrak kerjanya.
"Mom...
Suara lembut dari gendongannya menyadarkan Amelia dari lamunan nya. Mata sayu Britney menjadi objek pertama yang ditangkap oleh indra penglihatan nya.
"Bri, kamu sudah bangun? Masih pusing?" Amelia meraba dahi Britney yang masih terasa hangat.
"No, Mom... aku haus." Jawab Britney.
Amelia langsung membuka tasnya dan mengambil sebuah botol minum yang telah dia siapkan dari rumah . Dan mendekatkan pipet botol ke mulut Britney. Setelah Britney selesai minum Amelia kembali menyimpan botol minum ke dalam tas nya.
Amelia memantau keadaan sekitar ruangan itu. Dia harus segera pulang. Ada Sidney yang dia titipkan pada tetangganya. Dan berlama-lama disini juga berbahaya untuknya. Setelah dirasa aman Amelia segera meninggalkan rumah sakit itu dengan menggunakan taksi.
Sesampainya di depan sederhana yang semi permanen, Amelia menghentikan taksi. Sidney langsung terlihat berlari mengejarnya saat mengetahui Mommy nya telah pulang. Seperti biasa mulut kecil cerewet itu pasti akan mulai protes .
"Mom, kenapa lama? Apa Bri sudah diobati dokter Ying? Kenapa aku tidak boleh ikut? Aku juga ingin berpergian dan bertemu dokter Ying." Protes balita cantik yang mengemaskan itu.
"Sy, bisakah bertanya satu satu, Mommy bingung harus jawab yang mana dulu." Amelia tersenyum lucu melihat anaknya yang cemberut.
"Mom, lain kali bawa aku bersama Bri." Sungut bocah perempuan itu akhirnya.
"Ok, biar Mommy bawa Bri masuk dulu. Kasihan , dia masih sakit." Sidney mengangguk dan berlari membukakan pintu untuk Mommy dan saudarinya.
🍂🍂🍂
Malam harinya setelah menyuapi kedua putrinya, Amelia mengajak keduanya ke kamar. Setelah menggantikan pakaian mereka dengan piyama Amelia menidurkan kedua putrinya dengan membacakan buku cerita. Hingga keduanya tertidur.
Amelia memandang wajah kembar identik itu. Sungguh luar biasa, Amelia masih merasa takjub dengan ciptaan yang sempurna ini. Wajah yang serupa, hobi yang sama, serta makanan dan minuman favorit mereka pun sama. Satu hal yang membedakan mereka hanyalah warna kesukaan mereka berbeda. Britney suka pink sementara Sidney menyukai warna ungu.
Mulai dari warna rambut yang pirang , warna mata hijau kebiruan dan warna kulit putih susu semua adalah turunan Maxim. Hidung mancung dan bibir tipis juga mirip seperti Maxim. Amelia kadang sebel sendiri. Hanya jenis kelamin saja yang mereka ambil dari Amelia . Susahnya hamil sendiri, melahirkan sendiri dan membesarkan sendiri tapi Amelia harus berbesar hati menatap wajah Maxim yang dia benci setiap hari.
Amelia kembali mengingat pertemuan nya dengan Cahaya tadi siang. Rasa takut dan cemas merasuki hati Amelia. Hidup tenangnya selama ini mulai terusik dengan kecemasan yang berlebihan. Andai saja Amelia bisa menghindar sebelum Cahaya melihatnya. Tapi semua sudah terjadi, Amelia hanya bisa berharap Cahaya tidak mengatakan pada suaminya. Karena bisa dipastikan Maxim akan dengan mudah menemukannya.
Helaan napas Amelia kembali terdengar lelah. Bertahan hidup seorang diri dengan membawa bayi kembar di perutnya tidak lah mudah. Amelia menghabiskan semua aset dan tabungannya. Karena Amelia mengalami pendarahan berkali kali selama kehamilannya. Dan membuatnya tidak bisa bekerja sama sekali.
Rasa takut kehilangan kedua putrinya kini menghantui pikirannya. Bagaimana jika Maxim datang dan mengambil kedua putrinya. Cukup sudah Farel putra pertamanya diambil ayah biologis nya. Kali ini Amelia akan mempertahankan anak anaknya dengan sekuat tenaganya.
Dua kali hamil di luar nikah dan dua kali pula Amelia mengandung dan melahirkan sendirian. Masa lalu kelam yang ingin sekali Amelia kubur. Amelia ingin hidup lebih baik, menjadi seorang ibu yang baik dengan membesarkan anak anaknya dengan baik. Hanya itu harapan sederhana nya.
Kegelisahan Amelia membuatnya susah untuk memejamkan mata. Bayangan masa lalu kini menari nari di benaknya. Seakan sengaja mengacaukan kehidupan Amelia yang mulai tertata dengan baik, meski hidup dalam kesederhanaan .
Akhirnya Amelia meraih laptopnya. Lebih baik Amelia mengalihkan rasa cemasnya untuk menulis novel online di sebuah platform. Pekerjaan sampingan yang sudah Amelia tekuni sejak setahun ini. Menjadi seorang manager sebuah Cafe kecil tidak mampu mencukupi kebutuhannya dan anak anak .
Tinggal di pulau Bali yang terkenal dengan mahalnya biaya hidup membuat Amelia harus pintar memutar otak untuk menghemat pengeluaran. Apalagi Britney yang sering masuk rumah sakit karena saya tahan tubuhnya yang lemah. Hidup Amelia tidaklah mudah. Sementara ada bahaya yang mengintainya dan akan merebut semua hidupnya.
🍂🍂🍂
Seorang pria perawakan Eropa sedang menikmati kesendiriannya di sebuah Apartemen. Pria matang yang betah melajang hingga kini usianya telah mencapai empat puluh lima tahun. Hidupnya hanya dihabiskan untuk bekerja dan menyendiri, merenungi dosa masa lalu yang menghukumnya hingga detik ini.
Lima tahun lalu dia masih seorang Casanova yang berganti wanita setiap malamnya. Menghabiskan waktu di Club bersama teman temannya dan di dampingi banyak wanita malam.
Begitulah hidup Maximus Bryan, pria kesepian setelah kepergian asisten pribadinya yang dia perlakukan semena-mena. Tanpa kata dan tanpa kabar apapun hingga Max sudah putus asa mencari keberadaannya.
Asisten pribadi yang dia paksa untuk melayani hasrat lelakinya setiap kali dia inginkan. Dengan ancaman pemutusan hubungan kontrak kerja dengan membayar denda. Wanita malang yang bekerja kompeten dan profesionalitas tinggi.Tak pernah mengeluh maupun marah bila dimaki olehnya bahkan hampir setiap hari. Semata mata demi dolar yang dia kumpulkan agar bisa bertemu dengan putranya.
Entah iblis apa yang memasuki Maxim kala itu. Entah apa kesalahan asistennya itu sehingga dengan teganya Max memperlakukan nya dengan tidak manusiawi. Hanya karena rasa kecewa pada wanita yang menolak cintanya berkali kali dan wanita itu adalah kakak tiri Amelia. Bukan alasan yang tepat sebenarnya untuk menyiksa asisten nya yang notabene nya juga tidak menyukai sang kakak tiri.
Berkali-kali memaksa Amelia memuaskan hasratnya, semakin membuat Maxim menginginkan nya. Tanpa disadari hidup Max selama ini bergantung pada sang asisten sepenuhnya. Dan di saat Amelia tidak lagi di sisinya barulah semua rasa itu terasa menyakitkan.
Rasa rindu yang setiap hari membunuhnya. Rindu aroma menenangkan dari rambutnya. Rindu tatapan dingin dan datar dari mata cantiknya. Bahkan Maxim rindu setiap pagi dibangunkan, dilayani seperti seorang raja. Dan yang membuat Max gila adalah rindu kehangatan tubuhnya.
Terakhir Max merasakan tubuh itu dengan kasar karena mabuk. Membuat Amelia berakhir di klinik kantornya. Membuat wanita itu pingsan dan pendarahan. Akibat perbuatannya dia harus dirawat hingga empat hari. Max tidak tahu jika saat itu Amelia tengah mengandung. Dan sayangnya Max tahu setelah seminggu kepergian Amelia. Saat hasil tes rumah sakit yang terselip diantara beberapa berkas laporan terakhir yang Amelia serahkan padanya.
Dan penyesalan Maxim terasa sempurna saat tahu Amelia pergi membawa benihnya.
Seperti biasa Amelia harus bekerja dari pagi hingga sore hari. Mengurus sebuah Cafe kecil milik putra tetua kampung tempat Amelia tinggal. Pria muda bernama Dewa itu tinggal di Lombok karena memiliki restoran besar di sana. Dan dia menyerahkan Cafe kecil ini untuk Amelia urus.
Selama bekerja Amelia menitipkan kedua gadis kecilnya pada seorang wanita tua yang hidup seorang diri yang akrab dipanggil Nenek Ida oleh masyarakat sekitar tempat tinggal Amelia. Dan Nek Ida lah yang membantu Amelia semenjak hamil hingga si kembar udah sebesar ini.
Nusa Penida, pulau kecil yang berada di tenggara pulau Bali. Meski masih merupakan tempat tujuan wisata tapi pulau ini tidak begitu ramai dibandingkan dengan Bali. Begitu inginnya Amelia menjauh hingga terdampar di pulau kecil ini.
Itulah mengapa Amelia tidak menyangka bertemu dengan Cahaya. Bisa dipastikan Cahaya bersama Doni suaminya. Hal yang paling tidak ingin Amelia bayangkan kelanjutannya. Membuatnya gusar sendiri.
" Tenanglah, Amel... bisa saja pria kejam itu tidak peduli denganmu. Jangan terlalu percaya diri, sadar siapa dirimu. Pria itu hanya menganggap mu wanita murahan. Dia bisa mendapatkan seratus wanita dalam satu malam. Jangan pikirkan yang aneh aneh. Fokuslah pada kedua putri mu... fokus...!!"
Begitulah Amelia mendoktrin dirinya agar tidak terlalu terusik oleh bayangan menakutkan bertemu dengan Maximus Bryan. Pria kejam, arogan dan tidak punya hati yang telah menyiksanya selama setahun lamanya. Dengan alasan kontrak kerja dan gaji dolar yang mengikatnya.
Amelia kembali menarik napas dalam. Kemudian mulai melajukan motor matic miliknya menuju Cafe. Dia harus bekerja agar bisa terus bertahan hidup. Tidak peduli seletih dan sebosan apapun Amelia akan terus berjuang.
🍂🍂🍂🍂🍂
Hai Readers ❤
Sebelum lanjut sebaiknya baca kisah Cahaya dulu ya di 👉 Goresan luka masa lalu 💕 agar tahu awal kisah Amelia ya...
Next... ❤
"Apa kamu yakin? "Pekik Maxim yang sedang bicara dengan seseorang di telpon.
"Tentu saja aku yakin, kamu kira istriku pembohong."
"Sejauh itu? Dia segitu niatnya untuk pergi jauh dariku."
"Ingat, jangan menyakiti nya lagi. Aku sudah berjanji dengan Cahaya, jika kamu berulah aku bersumpah akan aku sendiri yang akan membantunya untuk menghilang. Aku tidak suka melihat istriku bersedih. Ingat itu !"
"*Dasar bucin mani*k. Iya, aku janji. Bilang pada Cahaya, pulau pribadiku miliknya sekarang*."
"Aku tidak mau. Apa kamu ingin Cahaya trauma lagi dengan mengingat peristiwa di pulau itu. Yang lain saja kalau kamu tulus!"
"Baiklah... baiklah! Suruh dia memilih, kamu tahu aset ku ada dimana saja bukan ?"
"Heh... sombong! Ok, asalkan jangan menyesal nantinya."
"Asalkan aku bisa bertemu dengannya dan anakku, aku akan memberikan apapun."
"*Dasar bucin mani*k* ! "
"Tuuut "
Panggilan terputus begitu saja. Maxim tidak peduli, dia langsung menghubungi seseorang lewat ponselnya.
"Yok, aku butuh bantuan mu."
" ..... "
"Nusa Penida, dia di sana. Tolong temukan, dan tolong minta beberapa orang menjaga mereka sebelum aku datang. Jangan sampai terlihat."
" ..... "
"Ok, thanks."
Maxim menatap layar ponselnya setelah panggilan terputus . Sebuah foto seorang wanita yang sedang berbalut selimut putih hingga dada. Rambut yang acak acakan dan terdapat beberapa bekas isapan di leher dan tulang selangkanya yang terekspos. Foto yang sengaja diambilnya saat Amelia tertidur kelelahan setelah melayaninya. Siapa sangka foto itu yang kini dia gunakan sebagai pengobat rindunya.
"Aku menemukan mu, bagaimana kabarmu. Bagaimana kabar bayi kita. Sebesar apa dia sekarang. Apa kamu merawat nya dengan baik. Kamu pasti ibu yang baik, aku percaya itu. Buktinya kamu menahan siksaan ku hanya demi putramu. Kamu ibu yang luar biasa. Aku merindukan mu, Sayang."
Maxim tersenyum, tapi matanya mengeluarkan cairan bening setiap kali mengingat Amelia. Tidak ada yang tahu jika Max seorang Casanova itu sangat rapuh dan cengeng sejak lima tahun yang lalu. Pria yang disegani di dunia bisnis dan ditakuti oleh para karyawan nya. Tapi berubah lemah bila berada di apartemen nya seorang diri. Separuh jiwanya hilang seiring kepergian Amelia tanpa pamit.
🍂🍂🍂
Seminggu berlalu, semua kecemasan Amelia berangsur memudar. Terbukti tidak ada sesuatu pun yang terjadi sejak pertemuan nya dengan Cahaya. Jika memang pria kejam itu mencarinya pasti kini Amelia telah ditemukan nya dengan mudah.
Nyatanya semua hanya ketakutan Amelia semata. Semua berjalan seperti biasa. Amelia kembali menikmati hari harinya seperti dengan damai.Tanpa rasa takut dan merasa terancam lagi. Mungkin dirinya saja yang paranoid. Maxim mungkin sudah lupa dengannya.
Sore ini Amelia pulang dari Cafe dengan mengendarai motor matic nya seperti biasa. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah menyelesaikan laporan keuangan Cafe bulan ini. Tapi dia harus singgah ke rumah Nenek Ida untuk menjemput kedua putrinya
Sesampainya di depan rumah yang bernuansa etnik itu Amelia telah disambut oleh teriakan kedua putrinya. Di belakang putri putrinya seorang wanita tua berusia enam puluh lima tahun menatap dengan senyum.
"Mommy..." Pekik keduanya dengan serempak
"Hai baby, apa kalian menyusahkan Nek Ida hari ini?" Tanya Amelia dengan elusan di kepala keduanya.
"No, kami jadi anak baik hari ini. Iyakan Nek?" Jawab Sidney sambil menoleh ke arah Nenek Ida minta dukungan.
"Iya, kalian baik sekali hari ini." Jawab Nenek ida meluruskan, meski keduanya sangat aktif dan sedikit kesulitan mengawasi mereka. Tapi dia senang karena rumahnya tidak lagi sepi dengan kehadiran kedua bocah itu.
"Maaf, Nek. Aku masih menyusahkan mu menjaga mereka. Setelah mereka sekolah nanti baru agak tenang dan lega."
"Jangan berkata seperti itu terus. Kamu bicara seakan aku ini orang lain saja. Bagiku kamu dan mereka adalah bagian dari hidupku. Tidak usah berpikir berlebihan." Jawab Nek Ida.
"Nenek baik sekali, aku sangat beruntung bertemu denganmu waktu itu." Amelia terlihat berkaca kaca mengingat bagaimana dulu dia bertemu dengan Nenek Ida.
"Sudah jangan mengingat masa lalu jika itu membuatmu sedih. Pulanglah kamu pasti lelah, ini ada lauk untuk makan malam kalian nanti." Nek Ida menyerahkan rantang dua susun pada Amelia.
"Lagi lagi aku merepotkan." Keluh Amelia.
"Tidak merepotkan, itu hasil pancingan para bule bule yang menyewa perahu semalam. Mereka tidak membawa ikannya dan memberikan padaku." Terang Nek Ida.
Nek Ida tinggal seorang diri. Seorang janda tua tanpa anak. Suaminya meninggal karena sakit beberapa tahun lalu sebelum bertemu dengan Amelia. Suaminya mewariskan beberapa perahu yang disewakan untuk para turis. Dengan itulah Nek Ida memenuhi kebutuhannya selama ini. Dan penghasilannya lebih dari cukup untuk dia nikmati sendiri.
Amelia akhirnya pulang membawa kedua putrinya. Hatinya sangat senang karena tidak lagi repot memasak kali ini. Dia memang sangat lelah. Selesai memandikan anak anaknya dan membersihkan diri Amelia menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga.
Sop ikan Nek Ida menjadi menu makan malam mereka. Kedua putrinya makan dengan lahap. Mereka makan sendiri sendiri. Sejak menginjak usia empat tahun ini Amelia mengajarkan mereka untuk mandiri. Makan , mandi dan gosok gigi serta ke kamar mandi sendiri.
"Mom mau cuci piring dan membersihkan meja, kalian boleh menonton televisi sebentar menjelang tidur." Ucap Amelia sambil membereskan bekas makan mereka.
"Ok, Mom." Keduanya segera beranjak ke ruang tengah. Sementara Amelia membersihkan dapur dan mencuci piring.
Tidak lama berselang terdengar ketukan pintu di pintu depan.
"Bri, bisakah kamu buka pintu. Lihat siapa yang datang, mungkin saja itu Nenek, sweety." Teriak Amelia dari dapur.
"Ok, Mom." Britney langsung berlari ke arah pintu dan membukanya segera.
"Anda siapa, Sir?" Tanya Britney pada tamunya.
"Aku teman ibumu, apakah dia ada? "
"Mommy? Dia ada... tapi Mommy tidak punya teman pria. Apakah anda berbohong?"
Pria itu tercekat mendengar penuturan anak perempuan di depannya. Matanya hendak menghamburkan bendungan nya tapi dengan susah payah dia menahannya.
"Kamu pintar sekali, bilang Mommy ada yang mencarinya." Ucap Pria itu sambil menyamakan posisinya dengan Britney.
"Mommy tidak terima tamu pria jika malam hari. Silahkan kembali besok." Britney mendorong pria itu dan berniat hendak menutup pintu. Tapi Sidney datang menahannya.
"Tunggu Bri ....
"Ada apa? Tutup pintunya sebelum Mommy marah." Ucap Britney pada Sidney.
"Lihat Bri, paman itu punya mata dan rambut mirip kita. Mungkin dia masih keluarga kita." Ucap Sidney tanpa mengalihkan pandangannya dari Pria dewasa di depan mereka. Sedangkan Britney mengikuti arah pandang saudarinya.
"Benar..." Gumam Britney yang baru menyadari nya.
Sementara pria dewasa itu sudah tidak sanggup menahan sesaknya. Dengan pelan dia mendekat dan berniat hendak memeluk kedua kembaran itu. Tapi suara lembut di belakang kedua gadis kecil itu menarik ekstensi nya.
"Bri, Shi ... siapa yang ... kau.... !" Tenggorokan Amelia tercekat. Kakinya lemas tidak bertenaga. Tubuhnya gemetar, beruntung Amelia berdiri di sisi sofa dengan segera dia berpegang agar tidak ambruk ke lantai.
Hal yang paling Amelia takutkan kini terjadi. Pelarian nya selama lima tahun berakhir sia sia. Pria kejam itu kini berada tepat di hadapan nya. Sialnya di hadapan kedua putri kembarnya pula. Tanpa diberitahu pun Maxim pasti menyadari jika kedua gadis kecil itu adalah benih miliknya.
" Bri, Shi... masuklah ke kamar kalian. Biar Mommy bicara dulu dengan paman itu. Sebentar lagi Mommy menyusul." Amelia berusaha setenang mengatur suaranya mungkin agar kedua puti pintarnya tidak menyadari ketakutan nya.
"Ok, Mommy. Jangan lama - lama." Ucap Britney, putrinya yang paling sensitif.
"Ok, Sweety." Jawab Amelia dengan senyuman menutupi wajah ketakutan nya.
Setelah kedua putrinya masuk ke kamar mereka, Amelia kembali menatap pria yang sejak tadi mematung di ambang pintu. Amelia yang tadinya ketakutan kini seketika merubah raut wajahnya menjadi datar dan dingin. Jangan lupa tatapan matanya yang penuh kebencian.
"Untuk apa kamu ke sini. Kedatangan mu hanya mengganggu ketenangan kami. Pergilah sebelum aku berteriak memanggil warga ke sini." Ucap Amelia yang berusaha untuk tidak terintimidasi.
"Mereka kembar? Mereka sudah besar." Maxim malah bicara seakan tidak peduli dengan ancaman Amelia.
"Pergilah, Tuan Maxim. Jangan ganggu kehidupan ku lagi." Suara Amelia bergetar karena amarah yang bercampur ketakutan yang luar biasa.
"Bagaimana mungkin aku pergi, setelah begitu lelah mencari asisten ku yang melarikan benihku. Jangan bercanda Amelia." Maxim yang tadi terlihat terharu kini kembali menjadi Maxim yang arogan. Tatapan tajam dan suara yang dingin yang selalu berhasil menggetarkan semua bawahannya.
"Kamu hanya menyumbangkan benih, Tuan . Tapi akulah yang mengandung dan melahirkan mereka. Jangan merasa memiliki setelah Anda memaksa ku untuk menerima sumbangan anda." Amelia bicara pelan rapi penuh tekanan.
"Tetap saja mereka adalah milikku Amelia. Kamu membawa mereka tanpa izin dan memilikinya sendirian selama ini. Sekarang waktunya aku mengambilnya." Jawab Maxim dengan seringai menakutkan.
"Tidak... kamu tidak bisa mengambilnya." Bentak Amelia.
"Tentu saja bisa! Aku punya segalanya. Bahkan pulau ini bisa aku miliki dalam semalam. Sementara kamu punya apa untuk melawan ku." Maxim tersenyum licik.
Sementara Amelia tertegun memikirkan apa yang Maxim katakan barusan. Otak Amelia sesaat blank dan napasnya terasa sesak. Maxim benar apa yang dia punya untuk melawan pria kejam ini.
"Aku mohon, aku hanya punya mereka biarkan aku memiliki mereka. Please.....
🍂🍂🍂🍂🍂
Hai Readers ♥
Happy Reading
Next... ♥
"Aku mohon, aku hanya punya mereka biarkan aku memiliki mereka. Please, Tuan! Jangan terlalu kejam, anggap saja mereka adalah bayaran atas perlakuan buruk anda selama menjadi asisten anda. Aku mohon...!!"
Tidak ada cara lain selain memohon pada Maxim. Amelia memilih untuk merendahkan diri demi kedua putri kembarnya. Cukup sudah dia kehilangan Farel dan tidak untuk Sidney dan Britney. Amelia tidak sanggup.
Tapi Amelia cukup mengenal Maximus Bryan, pria kejam dan arogan , memiliki banyak uang dan kekuasaan . Hanya menjentikkan jarinya maka akan datang orang-orang yang rela mati untuknya. Bagi Maxim Amelia hanya debu yang hilang dengan meniupkan saja.
" Aku sudah membayar mu lebih dari cukup saat bekerja denganku, Amel... " Maxim melangkah mendekat ke arah Amelia. " Aku juga memberikan Black Card ku padamu sebagai bayaran tubuhmu ini, bukan? " Ucap Maxim dengan seringai liciknya.
"Tapi aku tidak pernah memakainya dan aku meninggalkan kartu itu di meja kamarmu." Suara Amelia meninggi, tidak terima ucapan Maxim. Harga dirinya seakan baru saja di hargai dengan sebuah kartu.
"Salah kamu sendiri, kenapa tidak memanfaatkannya. Padahal dengan kartu itu kamu bisa membuat lima restoran besar. Tapi sayangnya kamu lebih memilih untuk bekerja di Cafe kecil." Cemooh Maxim.
"Bahkan aku lebih memilih menjadi pelayan restoran dari pada memakai uangmu setelah kamu memporak-porandakan harga diriku." Amelia gemetar menahan emosinya.
"Terserah apa katamu, yang pasti aku menginginkan milikku kembali padaku. Sidney dan Britney... beautiful name. Dan Terima kasih telah menyelipkan namaku di belakang nama mereka. Bryan... setidaknya kamu mengakui mereka adalah milikku." Maxim berjalan lambat mengelilingi tubuh Amelia dengan tatapan yang sulit untuk Amelia pahami. Sementara Amelia terperanjat mengetahui Maxim tahu segalanya tentang kedua anaknya
Dan tanpa Amelia ketahui tatapan itu berubah sendu saat Maxim berada tepat di belakang Amelia. Pria itu menyembunyikan rasa hatinya. Maxim bisa melihat tatapan kebencian di mata Amelia. Dan hanya satu cara untuk bisa menaklukkan singa betina ini, yaitu kedua putri mereka. Itulah kelemahan.
"Aku punya penawaran untuk mu, Amel . Menikahlah dengan ku, atau kembalilah bekerja seperti dulu dan menjadi simpanan ku. Pilih salah satu, maka Sidney dan Britney akan selalu bersamamu."
Maxim berada tepat di depan Amelia. Menatap dalam wanita yang telah melahirkan putri kembar untuknya. Sambil menelisik reaksi yang Amelia tampilkan untuk menanggapi tawarannya. Dan sesuai prediksi, wajah Amelia memerah menahan amarah yang membuncah.
"Kamu gila, tawaran macam apa itu. Aku tidak sudi menikah denganmu, apalagi menjadi budak s*x mu." Pekik Amelia tertahan untuk tidak memancing kedua anaknya untuk datang mendekat.
"Terserah semua pilihan ada padamu. Aku hanya ingin memberimu satu kesempatan. Bagaimana pun aku masih memikirkan jasamu yang telah bersusah payah menjaga kedua putriku. Aku tidak ingin terlihat tidak punya hati." Maxim tersenyum puas melihat tatapan tak berdaya di mata Amelia.
"Kamu memang tidak punya hati, Tuan Maxim. Kau kejam...!" Amelia tidak lagi bisa bicara, dadanya sesak dan air matanya mulai mendesak keluar. Tapi Amelia bertahan, tidak ingin terlihat lemah dan membuat Maxim merasa menang terlalu cepat.
"Iya... kamu benar, tapi aku tidak mungkin kejam pada kedua putriku, Amel. Lihatlah... putri seorang Maximus Bryan pemilik perusahaan besar se Asia Tenggara tinggal di rumah kayu seperti ini. Ini tidak bagus, Amel! Kamulah yang kejam jika tetap bersikeras. Mereka layak menikmati kekayaan Daddy mereka." Maxim menyerang mental Amelia . Membuat wanita ini merasa bersalah dan akhirnya mengalah.
"Mereka baik baik saja, Tuan. Aku tidak akan pernah membuat mereka kekurangan. Bahkan aku rela bekerja siang dan malam untuk mereka." Ucap Amelia tidak terima.
"Tapi itu tidak cukup, kamu meninggalkan mereka untuk bisa bekerja. Membiarkan nenek tua itu menjaga mereka. Seharusnya mereka dititip di Day care atau belajar di yayasan pendidikan pra sekolah. Agar mereka belajar banyak hal bukan hanya bermain." Maxim benar, Amelia tahu itu.
Tapi pulau kecil ini tidak memiliki fasilitas seperti itu. Walaupun ada hanya sekolah taman kanak-kanak. Itupun hanya dua sampai tiga jam saja. Sementara Amelia tidak bisa bolak balik menjemput mereka karena harus bekerja.
"Aku hanya menawarkan satu kesempatan, Amel. Aku tunggu jawabannya besok. Jangan coba coba lari membawa mereka. Kalian dalam pengawasan ku. Sekali saja kamu mencoba untuk membawa putri kembar ku lagi, penawaran dibatalkan dan aku akan membawa mereka dengan atau tanpa persetujuan mu. Ingat itu!! Aku pergi dulu."
Maxim meninggalkan Amelia yang masih terpaku tanpa bisa berkata kata. Lidahnya kelu dan kepalanya mendadak berputar. Dengan mundur beberapa langkah akhirnya Amelia bisa bersandar pada dinding agar bisa menopang tubuhnya yang mendadak lemas. Akhirnya Amelia menangis meratapi nasibnya dengan menutup rapat mulutnya agar bisa meredam suara tangisannya.
Di luar Maxim masih bisa melihat Amelia dengan deritanya lewat jendela yang tertutup gorden tipis. Sama halnya Amelia, Maxim juga berlinang air mata. Dengan terpaksa Maxim harus berubah menjadi arogan kembali. Tidak ada cara lain untuk mengikat Amelia untuk tetap bersamanya. Walaupun dengan cara memaksa, Maxim harus mendapatkan wanita itu.
Tidak sanggup menatap Amelia yang masih terisak Maxim akhirnya pergi. Tapi sesuai ucapannya ada beberapa orang yang mengawasi rumah Amelia. Maxim tidak mau kecolongan lagi setidaknya dia harus bersabar menunggu hingga besok.
🍂🍂🍂
Pagi harinya Maxim telah sampai di depan rumah Amelia. Mengetuk pintu beberapa kali akhirnya pintu itu terbuka. Sidney yang membukanya. Maxim tersenyum ramah pada putrinya yang dia sendiri belum bisa membedakan antara keduanya.
"Iya Sir... ada apa kemari lagi?" Sidney terlihat tidak menyukai kedatangan Maxim.
"Hai girl... kamu Sidney atau Britney?" Maxim menyamakan tingginya dengan Sidney.
"Sidney...!" Jawabnya singkat." Jangan ganggu Mommy ku, Sir. Dia sedang sakit gara gara menangis." Ucap Sidney ketus.
"Dia sakit? Sorry... tapi aku tidak mengganggunya. Boleh aku masuk melihatnya? Mungkin kita bisa berteman dan membawanya ke dokter bersama." Bujuk Maxim yang mengkhawatirkan Amelia.
"Benarkah? Bisakah kita membawanya ke dokter?" Ucap Sidney yang berubah sumringah. Selama ini tidak ada yang baik pada mereka kecuali Nek Ida. Begitulah pemikiran polos gadis kecil itu.
"Tentu. Ayo kita lihat Mommy." Ajak Maxim sebelum Sidney berubah pikiran.
Sesampainya di kamar sederhana itu, Maxim melihat Amelia terbaring dengan koyo yang menempel di kedua sisi keningnya. Dan Britney berada di sampingnya menatap Mommy nya cemas.
"Mom... ayo kita ke dokter, Paman ini mau membantu kita." Sidney datang menarik tangan Maxim masuk.
"Shi...!" Ucap Amelia lemah dan berusaha untuk duduk setelah melihat Maxim ada di kamarnya.
Sungguh Amelia merasa tidak nyaman Maxim melihat keadaan dalam kamarnya. Amelia tidak ingin mendengar Maxim meremehkan ataupun mengejek keadaannya.
"Tidur saja jika kamu masih pusing. Aku hanya ingin melihat keadaan kamu. Sidney bilang kamu sakit." Maxim terlihat ramah membuat Amelia mendelik malas.
"Pintar sekali dia terlihat seperti dewa penolong di depan kedua anaknya. Modus!" Umpat Amelia dalam hati.
"Hanya demam biasa, Tuan. Anda boleh keluar, saya baik baik saja." Jawab Amelia mengusir Maxim.
"Tapi Mom... badanmu panas, dan paman ini mau membantu bawa kita ke rumah sakit." Ucap Britney yang terlihat khawatir. Britney sudah berkaca kaca di samping Amelia. Putrinya yang satu itu sangat sensitif dan perasa.
"Boleh aku bicara dengan Mommy kalian sebentar?" Maxim mengusap kepala Sidney lembut dengan tatapan memohon.
" Tuan...
"Apa kamu mau aku bicara dekat mereka?" Ancam Maxim pada Amelia. Dia tahu Amelia tidak ingin ditinggal berdua dengannya. Dan Maxim berhasil, Amelia akhirnya bungkam.
"Bisa tinggalkan kami sebentar, aku pastikan Mommy kalian akan mau diajak ke dokter." Sidney dan Britney mengangguk menurut. Bagi mereka tidak ada yang lebih penting dari Mommy mereka. Asalkan Amelia sembuh sudah cukup bagi kedua kembar itu.
Setelah kedua nya keluar, Maxim mengambil kursi kecil di dekat sebuah meja rias sederhana yang ada di sudut ruangan itu. Dan menariknya mendekati ranjang tempat Amelia duduk bersandar.
"Apa Tuan ingin meminta jawaban saya sekarang? Tidak bisakah menunggu sampai saya sembuh." Ucap Amelia yang tidak tahan melihat Maxim hanya diam tanpa bicara.
"Kamu kira kesembuhan mu lebih penting dari pada waktu ku yang terbuang sia-sia di sini?" Tidak, Maxim tidak akan memberikan waktu lebih banyak untuk Amelia untuk mencari sela dan kabur darinya.
"Aku tidak peduli kamu sehat maupun sakit. Aku hanya ingin anak anakku. Mereka pewaris ku. Setuju atau tidak, terima atau tidak aku pasti akan membawa mereka. Sekarang jawab pertanyaan ku. Menikah atau menjadi asisten plus simpananku! Atau lepaskan kedua putriku." Amelia memejamkan matanya menahan sesak dadanya.
Air matanya kembali jatuh seiring tubuhnya bergetar menahan emosi yang tidak bisa dia lampiaskan. Posisinya lemah, dia tidak memiliki apapun untuk melawan pria egois ini. Tidak ada pilihan lagi. Amelia memilih menjadi terhormat meski harga dirinya hancur hingga dasar.
"Now... Amel...!!" Suara Maxim terdengar pelan tapi penuh tekanan. Amelia membuka matanya yang basah. Menatap lekat pria yang mungkin akan dia benci seumur hidupnya. Dan dengan bibir bergetar Amelia berkata...
"Menikah.....
🍂🍂🍂🍂🍂
Happy Reading ♥
Kasi ⭐⭐⭐⭐⭐ kalau suka. Support kalian adalah penghargaan buat Author.
Love you Readers♥
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!