Tik! Tik! Tik!
Suara rintik hujan yang jatuh di atas atap membuat seorang anak laki-laki hendak membuka matanya. Namun, dia sama sekali tidak bisa melakukannya karena matanya tertutup oleh kain. Bocah itu ingin bergerak, tetapi terkejut ketika menyadari kalau kedua tangan dan kakinya diikat.
‘Dimana aku? Bukankah aku sedang melakukan eksperimen penanaman chip?’
Pada saat bertanya-tanya, bocah tersebut tiba-tiba merasakan rasa sakit luar biasa di kepalanya. Saat itu juga, kenangan yang bukan miliknya tiba-tiba muncul dalam benaknya, membuatnya tiba-tiba merasa bingung.
‘Apa ini? Dunia lain? Putra pelayan yang dijual? Penyihir?’
Setelah menyerap semua kenangan, bocah itu kembali terdiam di tempatnya. Dia merasa agak aneh, bahkan sedikit takjub karena hal ajaib terjadi padanya.
Sebelumnya, orang itu adalah seorang profesor muda, peneliti jenius yang membuat berbagai penemuan. Dia sama sekali tidak percaya dengan hal-hal yang tidak realistis dan berkonsep abstrak. Namun, pada akhirnya hal semacam itu malah terjadi padanya.
‘Sebagai permulaan, bisa dibilang ini adalah awal yang sangat buruk.’
Bocah tersebut mengingat berbagai kenangan dalam kepalanya. Dia adalah putra dari seorang marquis di kerajaan kecil. Hanya saja, bukan putra dari istri, tetapi putra dari pelayan marquis tersebut.
Bocah itu bisa dibilang setengah bangsawan, tetapi tidak ada yang memedulikannya. Sebaliknya, hidupnya bisa dibilang tragis. Bahkan, akhirnya dia ditangkap oleh pengawal ketika berada di kota lalu dijual ke penyihir yang berada jauh di luar kerajaan.
Penyihir di dunia ini berbeda dengan apa yang bocah itu ingat di kehidupan sebelumnya. Tidak ada mengayunkan tongkat kecil di tangan, atau melakukan hal-hal yang ajaib hanya dengan beberapa patah kata.
Menurut ingatan tubuh barunya, penyihir memang bisa melakukan hal-hal ajaib, tetapi ada berbagai persyaratan untuk melakukannya. Bisa dibilang, itu sesuatu yang sangat sulit dipelajari. Lebih tepatnya, tubuh baru yang dia ambil alih beserta ingatan tersebut bahkan tidak mengetahui apa itu penyihir karena mereka terlalu misterius.
Satu hal yang pasti. Jumlah mereka tidak banyak, tetapi sangat kuat. Bahkan sebuah kerajaan biasa tidak berani menentang seorang penyihir.
Hanya saja, itu malah menjadi masalah baginya. Penyihir sangat misterius dan kuat, sebuah fakta yang menakjubkan. Namun, sekarang dia dijual ke penyihir.
Untuk apa? Jelas untuk melakukan eksperimen kepadanya.
Itu berarti, sementara ini penyihir tersebut bisa dibilang berada di kubu musuh. Musuh yang terlalu kuat berarti kehidupannya akan menjadi terlalu sulit. Bisa dibilang, hampir putus asa karena harapan untuk bebas nyaris nol persen.
“Hiks! Hiks! Mama, aku ingin pulang.”
“Tolong! Tolong aku!”
“...”
Mendengar suara anak-anak di sekitarnya, bocah itu tersadar dari lamunannya. Saat itu juga dia menyadari kalau bukan hanya dirinya, tetapi banyak anak yang ditangkap dan dijual kepada penyihir.
Suara rintik hujan dan ratapan putus asa anak-anak membuatnya merasa tidak nyaman. Belum lagi, sekarang dia berada di dalam gerbong kereta yang melaju entah ke arah mana. Yang jelas, pergi ke tempat penyihir itu berada.
Kereta kuda yang melaju cepat membuat gerbong berguncang, tubuh kecil yang lemah itu saling mendorong, sesekali membentur kayu pembatas.
Suhu lembap, udara dingin yang bertiup, dan aroma asam kuat bercampur bau jamur membuat bocah itu mengerutkan kening. Benar-benar membuatnya ingin muntah, tetapi masih bisa dia tahan.
Suara putus asa anak-anak di sekitarnya membuat bocah itu merasa sangat tidak nyaman. Hal tersebut membuatnya semakin bingung.
‘Mereka jelas menutup mata, mengikat kaki dan tangan. Namun kenapa mereka tidak menyumbat mulut anak-anak yang ditangkap?’
Dalam sekejap, sebuah pemikiran muncul dalam benaknya.
‘Jangan bilang, mereka sengaja melakukannya karena menikmati suara putus asa dari anak-anak yang mereka jual?’
Memikirkan hal tersebut membuat bocah itu bergidik ngeri. Dia langsung mengerti kalau otak orang-orang itu benar-benar sudah tidak waras. Pikiran mereka jelas sudah kacau.
Hal tersebut membuat pikirannya semakin kacau. Para pencuri, perampok, atau bandit ini saja sudah memiliki otak yang begitu bengkok. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana penyihir yang misterius dan menakutkan itu akan bertindak. Berbagai kemungkinan saja membuatnya semakin putus asa.
‘Lupakan soal System atau hal semacamnya. Bukankah para transverser biasanya datang ke dunia lain dengan latar belakang yang baik? Paling buruk, menjadi yatim piatu lalu memulai petualangan dari awal.’
Membandingkan dirinya dan orang-orang lain dari cerita yang pernah didengarnya membuat bocah itu tersenyum masam. Pada akhirnya, dia hanya bisa memejamkan matanya. Mengistirahatkan tubuh kurus dan rapuh yang sudah sangat lelah.
Tidak tahu berapa lama waktu berlalu, kereta kuda akhirnya berhenti.
Suara langkah kaki terdengar. Saat itu juga, gerbong kereta kuda yang awalnya berisik tiba-tiba menjadi tenang.
“Tidak! Tolong! Tolong turunkan aku!”
“Mama! Aku mau pulang!”
“...”
Jeritan anak-anak kembali terdengar. Baru saja terjaga, bocah yang sebelumnya memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya merasa kalau kerah di belakang lehernya ditarik. Tubuhnya terangkat dan dia tidak bisa merasakan pijakan di kakinya.
Detik berikutnya, bocah itu merasa tubuhnya jatuh terbentur. Merasakan tanah berlumpur dan bau rumput di sekitarnya, dia sadar kalau baru saja dirinya dilempar keluar dari gerbong kereta.
Daripada memperlakukan dia dan anak-anak sebagai manusia, tampaknya orang-orang itu memperlakukan mereka sebagai barang. Barang yang akan dijual dengan harga yang tidak terlalu tinggi karena tidak perlu dirawat dengan hati-hati.
Bocah itu hanya bisa mengatupkan gigi ketika merasakan sensasi sakit di sekujur tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, dia mendengar beberapa langkah kaki yang menginjak tanah berlumpur diiringi dengan suara tawa bahagia.
“Sepertinya kali ini benar-benar banyak barang yang bagus. Harganya pasti jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya.”
“Dibandingkan berbisnis dengan para bangsawan sombong yang berpura-pura mulia itu, para penyihir jelas lebih murah hati.”
“Hahaha. Aku tidak tahu berapa banyak yang akan kita dapatkan kali ini.”
Mendengar suara orang-orang itu, banyak anak yang mulai menangis. Bukannya marah atau menghentikan mereka, orang-orang itu malah tertawa. Mereka kemudian mulai berkeliling.
Bocah itu merasakan salah satu orang berjalan ke arahnya. Kakinya tiba-tiba dipegang. Secara refleks dia mencoba menolak, tetapi sesaat kemudian dia terdiam ketika merasakan tali yang mengikat kakinya dilepas.
Sesaat setelah itu, penutup mata yang menutupi pandangannya dibuka. Pada akhirnya, bocah itu bisa melihat pemandangan di sekitarnya.
Pada pandangan pertama, bocah itu melihat tanah lapang luas penuh rerumputan. Di situ terlihat banyak anak-anak berusia sekitar 10-12 tahun yang tampak putus asa. Dari pakaian yang dikenakan, kehidupan mereka jelas tidak lebih baik darinya.
Mendongak sedikit, dia melihat langit yang ditutupi awan kelabu. Rintik hujan turun membasahi dunia. Angin dingin menerpa, menerbangkan dedaunan kering dari pohon-pohon besar yang berada di depan tanah luas tersebut.
Seolah sedang berkabung, bersedih atas nasib yang menunggu anak-anak tersebut.
Saat itu juga bocah tersebut melihat hutan gelap dan suram tidak jauh di depannya. Di sana, tampak sebuah menara.
Menara hitam misterius yang membuat orang merasa penasaran sekaligus ketakutan.
“Bangun Nak!”
Seruan tersebut membuatnya sadar dari lamunan. Dia melihat ke arah pria yang membawanya, sosok seperti bandit dengan wajah muram. Dia pun berdiri tanpa mengeluh ataupun melakukan hal sia-sia seperti mencoba melarikan diri.
Pedagang gelap tersebut mengangkat alisnya, terkejut ketika melihat bocah yang begitu tenang seolah sudah pasrah atas nasibnya. Memegang perkamen di tangannya, dia bertanya, “Nama?”
“Ethan ...”
Bocah itu menjawab dengan nada datar yang agak kekanak-kanakan.
“Ethan Waldstein.”
>> Bersambung.
Suara angin melolong, berembus menerbangkan dedaunan di hutan yang gelap dan suram.
Seorang bocah tampak sedikit mencolok di barisan anak-anak yang digiring menuju ke hutan. Rambut hitam seperti tinta dan tampak acak-acakan layaknya sarang ayam bergoyang ditiup angin. Wajahnya tampak tampan, tetapi ekspresi tenang di wajahnya benar-benar berbeda dengan rekan-rekannya yang panik.
Kulit putih pucat bocah itu penuh dengan debu dan kotoran. Dia jelas anak yang sangat tampan, tetapi sayangnya penampilannya jauh berkurang karena tubuhnya sangat kurus dan kotor.
Bocah itu, tidak, Ethan memiliki penampilan yang luar biasa karena diwarisi dari kedua orang tuanya. Hanya saja, dia sama sekali tidak terlihat senang.
Pertama, bocah itu bahkan tidak mengetahui penampilannya yang sekarang. Namun dari tubuh kurus dan lemah itu saja, dia merasakan banyak sekali kekurangan.
Kedua, bahkan jika Ethan tahu kalau dirinya tampan, itu sama sekali tidak berguna. Berbeda dengan dunia sebelumnya dimana paras bisa dijual, di sini, hanya ada hukum rimba. Manusia yang lemah sama sekali tidak berbeda dengan semut, yang bisa mati karena diinjak tanpa sengaja.
Ethan terus berjalan dalam antrian sambil menatap ke tangan yang diikat. Bocah itu kemudian melirik ke arah salah satu pedagang gelap yang sebelumnya berbicara kepadanya.
‘Aku tidak tahu apakah itu adalah secercah harapan, atau sebuah kepalsuan yang datang sebelum keputusasaan. Namun, setidaknya ada sedikit kemungkinan untuk lolos dari situasi buruk ini.’
Ethan menarik napas dalam-dalam, mencoba membuat dirinya tetap tenang. Tidak ingin terlalu berharap, karena semakin besar harapan, semakin besar juga keputusasaan yang akan ditanggung ketika gagal.
Sembari berjalan, Ethan mengamati jalan setapak dengan serius. Di jalan setapak penuh lumpur setelah hujan tersebut, terlihat banyak sekali bekas jejak kaki.
‘Aku jelas berada di barisan tengah. Termasuk kereta kuda lain, jumlah anak yang dibawa adalah 50. Langkah 25 anak tidak mungkin menyisakan bekas seperti ini. Berarti-‘ Mata Ethan menyipit. ‘Ada batch lain yang datang sebelum kami?’
Ethan merasa otaknya berantakan. Dia sama sekali tidak menyangka kalau yang disebut penyihir itu membeli banyak anak-anak seperti memasok kebutuhan pokok. Bocah itu tidak bisa membayangkan betapa bengkok pikiran para penyihir tersebut, yang bahkan memperlakukan anak-anak sebagai kelinci percobaan.
Tidak tahu berapa lama berjalan, akhirnya pemandangan di depannya berubah.
Ethan tampak sedikit bingung. Di depannya, ada sebuah cekungan besar. Tidak bisa dikatakan sebagai lembah, karena di tengah cekungan raksasa seperti mangkuk tersebut terdapat sebuah bukit. Di atas bukit tersebut terlihat sebuah bangunan megah. Sebuah menara hitam yang tampak sangat kuno dan misterius.
Fokus Ethan berubah dari menara hitam tersebut ke arah cekungan di bawahnya. Di sana tampak hutan. Bukan hutan biasa karena dia melihat banyak hal yang tidak dikenalnya di sana.
Ethan kembali mengalihkan pandangannya. Kali ini, dia melihat ke arah jalan setapak, atau lebih tepatnya anak tangga dari batu yang mengarah ke dasar lembah. Namun, terdapat orang yang menunggu di depan jalan tersebut.
‘Ada 50 anak, dari penampilannya saja sudah dipastikan kalau mereka juga dijual. Sedangkan belasan anak itu-‘
Ethan menatap ke arah belasan anak berusia 10-12 tahun yang terlihat cantik dan tampan. Bukan hanya memiliki penampilan mengesankan, mereka juga memakai pakaian indah layaknya seorang bangsawan. Di dekat mereka, tampak beberapa ksatria, jelas mereka memiliki alasan lain datang ke tampat ini.
“Karena semuanya telah berada di sini, mari kita mulai saja.”
Suara wanita melayang di udara. Saat itu, Ethan menoleh ke arah sumber suara. Tubuhnya tiba-tiba gemetar tak terkendali.
Di sana terlihat sosok yang memakai jubah penyihir berwarna hitam legam. Bahannya tidak diketahui, tetapi tampak jauh lebih halus daripada pakaian para bangsawan. Desainnya yang polos tidak terlihat buruk, tetapi menambah kesan misterius.
Sosok wanita itu mengenakan topi penyihir yang besar sehingga hampir seluruh wajahnya tertutup. Namun Ethan masih bisa melihat rambut putih panjang, dan sepasang mata merah bagai rubi di bawah topi besar tersebut.
Hanya saja, bukan penampilannya yang membuat Ethan gemetar. Keberadaan wanita itu sendiri terlihat cukup mencolok, tetapi sebelumnya benar-benar datang dengan langkah tanpa suara. Bahkan aura keberadaannya tidak bisa dirasakan.
Baru ketika wanita itu berbicara, keberadaannya terungkap. Benar-benar seperti hantu yang muncul begitu saja.
“Maaf membuat anda kerepotan, Lady Catherine,” ucap seorang ksatria yang maju dan membungkuk hormat pada wanita tersebut.
“Tidak perlu berbasa-basi. Uji saja. Jika memiliki bakat, biarkan saja tinggal. Jika tidak, bawa saja kembali.” Lady Catherine berkata dingin, lalu mengeluarkan sebuah bola kristal seukuran kepalan tangan.
Ksatria tersebut kemudian menerima bola kristal sambil berlutut dengan satu kaki, tampak begitu rendah hati. Dia kemudian membawanya menuju ke belasan anak bangsawan dan menyuruh mereka berbaris.
Anak bangsawan di barisan depan memegang bola kristal tersebut. Melihat tidak ada reaksi apa-apa, dia dengan enggan berkata, “Biarkan saya mencobanya lagi, mungkin-“
“Berikutnya,” ucap Lady Catherine dingin.
Ksatria itu tidak berani membuat wanita tersebut marah, jadi langsung meminta bocah itu berbaris ke sisi lain. Beberapa anak berikutnya mencoba, tetapi sama sekali tidak ada yang terjadi. Namun, sebuah perubahan tiba-tiba terjadi pada peserta ke tujuh.
Seorang gadis kecil berambut pirang dan memiliki mata bagai zamrud memegang bola kristal. Saat itu, bola kristal di tangan gadis kecil itu menyala. Dalam bola kristal, terlihat warna merah cukup terang dan hijau muda yang sedikit pucat.
“Oh? Bakat tingkat menengah, hampir mencapai tingkat tinggi. Sayang sekali, padahal sedikit lagi. Namun jauh lebih baik daripada anak-anak sebelumnya.” Lady Catherine tampak sedikit terkejut. “Siapa namamu, Gadis kecil?”
“N-Nama saya Veronica, Lady Catherine,” ucap gadis itu sambil gemetar.
“Kamu berdiri di belakangku,” ucap Lady Catherine sambil mengisyaratkan ksatria itu melanjutkan penilaian. Dia kemudian menoleh ke arah anak-anak yang dijual sambil mengeluarkan kristal yang sama.
Di bawah tatapan bingung seratus anak, wanita itu kembali berkata, “Aku akan memberi kalian kesempatan untuk mencoba. Jika kalian memiliki bakat sihir, maka kalian akan diterima sebagai murid. Naik dari neraka ke surga. Bukankah para penyihir itu sangat baik?”
Mendengar ucapan Lady Catherine, anak-anak yang sebelumnya putus asa menjadi sangat bersemangat.
Sementara itu, Ethan gemetar tak karuan. Belum lagi ketika dia mendengar kata-kata terakhir pihak lain. Nada main-main itu membuatnya yakin kalau pikiran wanita itu agak bengkok. Dengan kata lain-
Dia sudah gila!
‘Hehehe. Baik? Aku bahkan curiga apakah mereka yang disebut penyihir lebih baik daripada iblis?’
Ethan mencibir dalam hati. Di permukaan, tampaknya mereka memberi kesempatan dan harapan. Namun jika diperhatikan baik-baik, para anak bangsawan yang sudah dipersiapkan dan dipilih oleh keluarga pun memiliki kemungkinan sangat rendah, apalagi mereka yang dipungut secara acak.
Jelas pihak lain memberi harapan agar mereka semua jatuh ke dalam jurang keputusasaan.
Rasanya seperti iblis yang memaksa berjudi. Dengan satu lemparan dadu, ganjil atau genap, neraka dan surga dunia begitu mudah ditentukan.
>> Bersambung.
Di bawah langit berkabung, tampak seorang penyihir yang mengulurkan tangan dengan sebuah bola kristal indah dalam genggamannya. Puluhan anak-anak bergegas ke arahnya dan mencoba meraih kristal tersebut. Menciptakan sebuah gambaran seolah sang penyelamat mencoba menyelamatkan orang-orang putus asa dari gelapnya.
Sebuah gambaran yang membuat bulu kuduk seseorang merinding jika mengetahui alasan aslinya.
“Tidak! Ini pasti salah! Menyingkirlah, ini pasti karena kalian juga memegangnya!”
“Tidak mungkin! Ini milikku. Milikku!”
“Lepaskan tangan kotormu! Menyingkir jika sudah mencoba!”
Puluhan anak saling berebut sebuah bola kristal sementara sosok Lady Catherine telah menyingkir, berdiri di pinggir lapangan sambil menatap penuh minat dengan mata bagai rubi di bawah topinya.
Anak-anak saling mendorong, mencakar, dan berusaha meraih kristal tersebut seolah itulah satu-satunya harapan terakhir mereka. Beberapa anak bahkan terdorong jatuh ke tanah berlumpur dan diinjak-injak, tetapi tidak ada yang peduli.
Para pedagang gelap menonton di pinggir sambil menggeleng ringan waktu ke waktu.
“SUDAH CUKUP!”
Saat itu, suara teriakan anak laki-laki mengejutkan semua orang. Membuat mereka semua menoleh ke arah suara, termasuk Ethan yang diam-diam berjalan menyingkir dan mengawasi dalam diam dengan tatapan kosong.
Di sana tampak seorang anak. Berbeda dengan anak-anak kurus lainnya, dia sedikit lebih tinggi dan tegap. bocah berusia sekitar 12 tahun itu memiliki rambut coklat pendek sedikit bergelombang dan kulit sedikit gelap. Dari penampilannya yang kuat, dia sepertinya terlatih dengan baik sejak kecil.
“Apakah ada yang salah dengan kepala kalian? Tidakkah kalian sadar kalau kalian sudah melakukan hal bodoh, bahkan membunuh seseorang?” teriak bocah itu sambil berjalan maju melewati kerumunan dengan wajah suram, “Setiap orang memiliki kesempatan, jadi tunggu saja giliranmu dengan tenang! Berbarislah!”
“Oh?” Lady Catherine menatap ke arah bocah tersebut. Sudut bibirnya sedikit terangkat.
Ethan juga melihat ke arah bocah itu. Dia langsung menyadari kalau pihak lain adalah anak yang memiliki pemikiran yang lebih dewasa daripada rekan sebayanya.
Anak-anak pun akhirnya sadar kalau mereka telah menginjak beberapa orang. Bahkan jika tidak mati, kebanyakan dari mereka terluka cukup parah. Setelah ketakutan, mereka segera mundur ketakutan. Bahkan melupakan bola kristal yang jatuh di tanah berlumpur.
Di bawah tatapan penasaran para penonton, bocah sebelumnya berjalan melewati anak-anak yang mundur ketakutan. Dia kemudian mengambil bola kristal tersebut dan memegang erat dengan kedua tangannya. Beberapa saat kemudian, warna kuning agak kecoklatan muncul di kristal tersebut, membuat bocah itu tampak lega.
“Siapa berikutnya?!” teriaknya.
Mendengar teriakannya, anak-anak saling memandang. Satu per satu anak berjalan mendekat. Tidak seperti sebelumnya, kali ini mereka berbaris dengan rapi. Melihat keberhasilan dalam sekali mencoba, banyak anak menjadi penuh harap.
Hanya saja, kenyataan pahit menampar mereka dengan keras. Puluhan orang berikutnya sama sekali tidak bisa mengubah warna kristal. Mereka langsung berjalan ke samping dengan tatapan putus asa, gerakan mereka terlihat kaku seperti jiwa yang didorong ke api penyucian.
Ethan bahkan melihat seorang gadis kecil yang langsung jatuh ke lumpur, pingsan setelah menangis histeris karena tidak bisa mengubah warna kristal tersebut.
“Sepertinya Ray benar-benar beruntung. Omong-omong, dia adalah salah satu anggota bandit dari kota kecil aku tinggal.”
Ethan sedikit terkejut, lalu menoleh ke sumber suara. Tidak jauh darinya, terlihat seorang bocah kurus yang duduk bersila di tanah berlumpur. Rambut pirang cukup panjang menutupi separuh wajahnya. Berbeda dengan kebanyakan orang yang putus asa, dia tampak biasa-biasa saja.
“Kamu?” ucap Ethan dengan ekspresi agak bingung.
“Aku hanya pencuri kecil, dan namaku tidak penting. Lagipula, hal semacam itu tidak dibutuhkan bagi tikus percobaan seperti kita. Daripada nama, mungkin lebih mudah menyebut angka,” ucap bocah itu dengan nada bercanda.
“Kamu tidak peduli dengan hasilnya?” ucap Ethan heran.
“Tidak perlu berharap, biarkan mengalir begitu saja.”
Melihat bocah itu, Ethan semakin terkejut.
‘Bocah ini-‘
(Tidak merasa kalau dirinya sendiri juga bocah.)
Ethan terus berusaha untuk tidak berharap, tetapi hal semacam itu memang sangat sulit dilakukan. Namun bocah tidak jauh di sampingnya benar-benar bisa melakukan hal semacam itu dengan mudah.
Setelah beberapa waktu, banyak anak telah mencoba keberuntungan mereka. Namun, hanya ada dua tambahan lain yang cukup beruntung. Sebenarnya ada juga dua orang lain yang mengubah warna kristal, tetapi karena sangat sedikit, mereka dianggap tidak berbakat dan tetap dinyatakan gagal.
Hal tersebut membuat Ethan merasa semakin tidak nyaman. Awalnya dia merasa kalau keberuntungan seperti melempar sebuah dadu, tetapi ternyata lebih buruk dari itu.
Jika sebelumnya hanya dihitung dari ganjil dan genap. Misalnya angka 1,3, dan 5 gagal. Angka 2, 4, dan 6 berhasil. Maka sekarang satu angka lagi harus dibuang. Dari angka 2, 4, dan 6 hanya dua yang terakhir yang berhasil.
‘Probabilitasnya menjadi semakin kecil.’
Ekspresi Ethan tampak semakin suram. Pada saat itu, bocah yang awalnya duduk tidak jauh darinya berdiri. Karena antrian semakin sedikit, bocah itu berjalan ke depan. Dia tanpa sadar juga mengikutinya.
‘Dari sikap percaya diri bocah ini, mungkinkah dia sudah mengetahui bakatnya dalam sihir?’
Ethan menatap bocah di depannya, dan merasa kalau dugaannya masuk akal. Hal tersebut membuatnya menghela napas panjang. Namun, beberapa saat kemudian kenyataan kembali menamparnya.
Bocah itu berdiri di depannya sambil tersenyum santai, tetapi kristal di tangan bocah itu tidak berubah warna. Meski begitu, dia tetap tersenyum santai seolah itu bukan apa-apa, dan memberikan bola kristal tersebut kepada Ethan.
Jantung Ethan berdebar kencang, napasnya agak berat, dan tubuhnya sedikit gemetar. Dia mengulurkan kedua tangannya.
Lalu memegang bola kristal indah yang terasa dingin ketika menyentuh telapak tangannya.
>> Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!