...༻⎚༺...
Seorang perempuan berjalan terseok-seok di koridor hotel. Dia berusaha berpegangan ke dinding yang ada di dekatnya agar tidak jatuh. Perempuan itu bisa dibilang sudah cukup mabuk.
Diva Costanza, itulah namanya. Dia seringkali dipanggil Diva. Memiliki paras cantik jelita serta badan molek menggoda walau sudah bersuami.
Setelah berjalan cukup lama, akhirnya Diva tiba di kamar yang dirinya cari. Dia segera masuk ke sana.
Diva berulangkali menggunakan ponselnya untuk menelepon Bram, lelaki yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Akan tetapi suaminya tersebut tidak kunjung menanggapi panggilannya.
"Dia sedang apa? Kenapa tidak juga menjawab panggilanku?" gumam Diva. Kini dia memutuskan mengirim pesan. Dia memberitahu kalau dirinya ingin bertemu di hotel bintang lima.
Di sisi lain, terjadi keributan di sebuah kamar yang berada di beberapa lantai atas kamar Diva berada. Seorang lelaki berpakaian serba hitam sedang beraksi mengambil barang berharga dari pemilik kamar.
Lelaki berpakaian serba hitam itu bernama Brian Brooks. Dia merupakan penjahat berpengalaman. Brian diketahui sudah ahli mencuri, menipu, dan juga menculik.
Kala itu Brian sendirian. Kedua temannya sudah dia suruh pergi. Brian sekarang bertugas mencari batu berharga langka. Kebetulan korbannya kali ini adalah seorang profesor Antropologi.
"Bri! Kau harus cepat-cepat keluar dari situ! Polisi dalam perjalanan menuju kamarmu!" Suara Erick memberitahu lewat earphone yang menempel di telinga Brian.
"Baiklah!" sahut Brian.
"Kau harus keluar sekarang! Mereka sudah mendekati pintu!"
"Apa?!" Brian kaget sekali. Terlebih dia belum menemukan benda yang dirinya cari. Meskipun begitu, Brian memilih tidak menyerah.
Brian terus cari batu berharga incarannya. Sampai akhirnya dia bisa menemukannya.
"Dapat!" seru Brian kesenangan. Akan tetapi kesenangannya tak berlangsung lama saat terdengar suara pintu terbuka.
"Sial!" umpat Brian. Buru-buru dia mencari jalan keluar lain dari kamar. Yaitu tepatnya ke balkon. Di sana Brian melompat ke bawah.
Karena sudah berpengalaman, dengan mudah Brian menuruni dinding dan turun ke balkon lainnya. Tanpa pikir panjang dia masuk ke sebuah kamar secara acak.
"Sepertinya kamar ini kosong," gumam Brian sembari membuka penutup wajahnya.
"Babe? Kau kah itu?" Suara seorang perempuan sukses mengagetkan Brian. Dia tidak lain adalah Diva. Kamar yang dimasukinya ternyata adalah kamar perempuan tersebut.
"Babe?" Dahi Brian berkerut dalam. Namun bersamaan dengan itu, dia terpaku menyaksikan penampilan Diva yang hanya berlilitkan handuk. Rambut Diva juga tampak basah. Membuat kecantikannya sangat menggoda.
"Aku tadi sengaja membasahi diriku agar bisa lebih sadar dari mabuk. Dan sepertinya cukup berhasil," kata Diva seraya berjalan mendekat. Dia mengira Brian adalah suaminya. Bagaimana tidak? Wajah lelaki itu sangat mirip dengan Bram. Mungkin hanya luka kecil di atas bibir Brian yang menjadi pembedanya.
"Kau mengenalku?" tanya Brian keheranan.
"Astaga, Babe. Apa kau bersandiwara untuk mengerjaiku? Dan lihat pakaian aneh yang kau pakai sekarang. Apa kau berusaha terlihat keren?" timpal Diva.
"Apa?..." Brian semakin bingung. Apalagi ketika Diva sudah berdiri di hadapan dan menyentuh pundaknya.
"Ayolah! Aku tidak mau basa-basi malam ini. Aku pikir kau mungkin bosan dengan suasana rumah," ungkap Diva.
"Maaf. Kau sepertinya salah orang. Aku bukanlah--" ucapan Brian terpotong karena Diva mendadak membekap mulutnya dengan ciuman.
Mata Brian membulat sempurna. Dia yang tadinya ingin cepat pergi, jadi terbuai. Apalagi ketika bibir Diva bergerak dengan intens. Perempuan tersebut juga sengaja menggoda dengan menyentuh area pribadi Brian.
Brian melepas tautan bibirnya dari mulut Diva sejenak. Ia berucap, "Baiklah kalau ini maumu. Pastikan kau tidak menyesal karena melakukannya!"
Brian sendiri adalah lelaki berjiwa bebas. Dia juga merupakan casanova yang sudah berpengalaman menemui banyak wanita. Tentu godaan kecil dari Diva membuatnya tidak tahan.
"Aku--" Diva hendak menjawab, tetapi tidak bisa. Sebab kali ini Brian yang mencium bibirnya. Alhasil terjadilah pergulatan lidah di antara keduanya.
Sentuhan yang di awali dengan ciuman perlahan menjadi lebih intim. Diva dan Brian bahkan saling melucuti pakaian satu sama lain hingga tak tersisa. Malam itu mereka melakukan hubungan intim tanpa mengetahui identitas satu sama lain.
Ketika pagi telah tiba, Diva perlahan membuka mata. Dia tampak acak-acakan dalam keadaan masih telanjang.
Dahi Diva berkerut tatkala tidak menemukan Brian yang dirinya kira suaminya. Lelaki itu menghilang seperti ditelan bumi.
"Mungkin dia ada pekerjaan penting." Diva mencoba berpikir positif. Dia segera mengenakan pakaian.
"Tadi malam Bram sangat luar biasa. Apa dia sengaja minum obat kuat kali ini?" gumam Diva yang mengingat kegiatan panasnya tadi malam. Di akhir dia tertawa sendiri karena merasa lucu.
Memang akhir-akhir ini Bram tidak pernah menyentuh Diva setelah divonis mandul oleh dokter. Sementara Diva sendiri tidak pernah lelah untuk membangun kepercayaan diri suaminya. Dia juga bertekad akan selalu bersama Bram meski mereka tak bisa memiliki anak. Diva berusaha keras menjaga keharmonisan rumah tangganya sebisa mungkin. Sayangnya, Bram seringkali lebih memilih pekerjaan dari pada menghabiskan waktu untuk bermesraan dengan Diva.
Setelah bersiap, Diva pulang ke rumah. Dia bertemu Bram yang hendak pergi bekerja.
"Babe! Ternyata kau--"
"Aku harus pergi sekarang! Ada pekerjaan penting yang harus di urus!" potong Bram yang pergi dengan tergesa-gesa.
"Berhati-hatilah!" ujar Diva dengan senyuman lebar. Dia sebenarnya ingin membicarakan perihal tadi malam, namun urung karena Bram sepertinya tak bisa diganggu.
...***...
Satu bulan berlalu. Selama beberapa hari Diva mengalami mual saat pagi. Sampai di suatu waktu dia kelelahan dan pingsan.
Bram yang cemas, segera membawa Diva ke rumah sakit. Saat itulah Bram mengetahui bahwa Diva hamil.
Dada Bram rasanya menyesak. Bagaimana tidak? Sebagai suami, dia sadar kalau dirinya tak pernah menyentuh Diva akhir-akhir ini. Terlebih Bram menderita kemandulan.
Kesimpulan Bram hanya satu. Diva pasti hamil dengan lelaki lain!
Bram segera mendatangi Diva yang telah sepenuhnya pulih. Perempuan itu tampak sumringah, mengingat dia mengira sedang mengandung anaknya Bram.
"Babe! Kau sudah tahu kan? Aku hamil!" ungkap Diva antusias. Ia tersenyum simpul.
Berbeda dengan ekspresi Bram yang tampak cemberut. "Siapakah ayah dari anak dalam perutmu itu?" tanyanya serius. Akibat keseriusan tersebut, suasana terasa tegang.
Senyuman Diva sontak hilang. "Apa maksudmu? Tentu saja kau ayahnya!" tanggapnya.
...༻⎚༺...
Bram tertawa mendengar pernyataan Diva. Dia merasa kalau istrinya sedang main-main. Namun itu tak berlangsung lama, sebab Bram segera merubah ekspresinya menjadi garang.
"Apa kau sedang bercanda?! Atau jangan-jangan kau sengaja mengejekku?" timpal Bram.
"A-apa maksudmu, Babe? Kenapa kau berkata begitu?" Diva tidak mengerti sama sekali. Itu karena dia sangat yakin kalau orang terakhir yang bercinta dengan dirinya adalah Bram.
"Jangan berlagak bodoh! Kau tahu sendiri kalau aku mandul!" tegas Bram dengan mata menyalang penuh amarah.
Bagaimana marahnya Bram sekarang, membuat jantung Diva berdebar kuat. Dia tidak pernah melihat Bram murka sampai begitu.
"Tapi aku berkata jujur! Malam itu kita bercinta di hotel," ungkap Diva.
"Apa?! Hotel kau bilang? Jadi kau melakukannya dengan bajingan itu di sana?" tanggap Bram. Nafasnya sudah naik turun dengan cepat karena amarah.
"Bajingan? Jelas-jelas aku melakukannya denganmu!" Diva tetap pada pendiriannya.
"Jelas-jelas aku tidak menemuimu malam itu! Apa kau mabuk? Sampai-sampai kau tidak mengenali lelaki yang tidur denganmu?" balas Bram.
Diva seketika tertohok, karena malam itu dia memang dalam keadaan mabuk. Perasaan takut dan gelisah otomatis menghantuinya. Terutama saat Diva mengingat bagaimana anehnya penampilan lelaki yang bercinta dengannya malam itu.
Namun seberapa keras Diva berpikir, dia yakin kalau lelaki yang menidurinya malam itu adalah Bram. Sebagai istri, dia tahu persis wajah suaminya. Terlebih setahunya Bram tidak memiliki kembaran.
"Aku yakin itu kau! Bagaimana kalau kita tes DNA setelah bayi ini lahir?" imbuh Diva.
Bram tidak menjawab. Dia malah pergi begitu saja meninggalkan Diva. Lelaki tersebut sangat kecewa terhadap kenyataan yang dirinya terima. Bram lebih kecewa karena Diva tidak langsung mengaku.
"Bram! Kau kemana? Bram!" Diva berusaha mencegah kepergiaan Bram dengan panggilan. Namun Bram tetap melangkah pergi.
Diva terisak. Dia tidak menyangka sang suami tidak mempercayai perkataannya.
Beberapa saat kemudian, Samuel dan Nathalie datang. Mereka merupakan kedua orang tua Diva.
Keberadaan keluarga Costanza di rumah sakit, begitu menarik perhatian. Itu karena keluarga Costanza adalah keluarga crazy rich dan terpandang. Samuel tidak hanya berkelut dibidang bisnis, namun juga politik. Sementara Nathalie adalah dokter yang memegang posisi direktur di rumah sakit miliknya sendiri.
"Bagaimana bisa Bram tidak mempercayaimu?! Aku akan segera bicara padanya!" ujar Samuel. Dia marah besar karena Bram memperlakukan putrinya dengan buruk.
"Sudahlah, Sayang. Tenanglah dahulu. Lebih baik kita bicarakan semuanya baik-baik." Nathalie berusaha menenangkan suaminya.
"Bagaimana bisa tenang? Jelas-jelas menantumu itu sudah salah!" sahut Samuel.
"Kau sebaiknya duduk dahulu. Kita saja belum bertanya pada Diva betul-betul," kata Nathalie. Dia segera duduk ke samping Diva. Dirinya menyuruh putrinya tersebut untuk menceritakan semuanya.
Diva pun bercerita. Ia juga tak lupa menceritakan kejadian di hotel.
Setelah mendengar cerita Diva, Nathalie menyarankan untuk mencari tahu bukti ke hotel. Dia ingin memastikan siapa yang salah. Apakah Diva atau Bram?
...***...
Rencana Nathalie ternyata didahului oleh Bram. Lelaki itu sudah lebih dulu mendatangi hotel. Ia sekarang sedang memeriksa rekaman CCTV. Dari sana dirinya bisa menemukan seorang pria berpakaian serba hitam keluar dari kamar Diva. Itu terjadi sekitar pukul 4 subuh. Meskipun begitu, Bram tidak bisa melihat dengan jelas wajah pria tersebut. Brian tampak menutupi wajahnya seperti saat sedang melakukan pencurian.
Selain mendapat bukti mengenai kemunculan Brian, Bram juga mengetahui kalau malam itu terdapat kejadian pencurian di salah satu kamar. Pihak hotel menyebutkan kalau pria yang keluar dari kamar Diva adalah salah satu pelaku pencurian itu.
Dengan cemberut, Bram masuk ke dalam mobil. Dia menarik sudut bibirnya ke atas.
"Aku tidak menyangka kau sangat murahan, Diva. Bahkan seorang penjahat pun kau goda. Ternyata begini dirimu yang sebenarnya," gumam Bram yang seolah-olah bicara pada Diva.
Tak perlu waktu lama, Bram langsung mengurus perceraian. Dia juga sudah mempersiapkan bukti kuat kalau pria yang datang menemui Diva ke hotel malam itu bukanlah dirinya.
Sementara itu, Diva tak bisa mengelak mengenai bukti yang diberikan Bram padanya. Dia sangat syok. Apalagi saat mengetahui kalau lelaki yang tidur bersamanya adalah seorang kriminal.
Terisak berat, itulah yang hanya bisa dilakukannya. Terlebih dia mengandung janin dari hasil percintaannya dengan kriminal itu.
Diva benar-benar menyesal atas segala yang terjadi. Harusnya dia tidak mabuk malam itu. Karena terbukti salah, Diva terpaksa menyetujui perceraian yang diajukan oleh Bram.
Diva mendapat kebencian besar dari Bram dan keluarganya. Mereka memandang jijik Diva yang sedang mengandung benih seorang kriminal.
Karena dicerai dan dibenci, mental Diva jadi tertekan. Dia jadi pendiam dan sering mengurung diri di kamar.
Untung saja Nathalie dan Samuel selalu ada untuk Diva. Keduanya dengan lapang dada menerima kesalahan Diva. Menurut mereka apa yang dilakukan Diva adalah ketidaksengajaan yang terjadi di bawah ketidaksadaran. Nathalie dan Samuel berusaha keras menghibur Diva agar bisa tenang.
"Aku ingin menggugurkan kandunganku saja," ungkap Diva, ketika Nathalie datang menemuinya ke kamar.
"Diva... Kau sudah hamil lima bulan. Perutmu sudah besar," kata Nathalie. Berusaha mencegah niat Diva.
"Tidak! Kehadiran bayi ini hanya membawa penderitaan, Mom... Kumohon biarkan saja aku menggugurkannya," isak Diva.
Nathalie menatap iba pada Diva. Dia segera memeluk putri semata wayangnya itu.
"Baiklah. Tapi aku punya syarat. Kau harus memeriksakan diri ke dokter dahulu sebelum menggugurkannya," ujar Nathalie.
Diva pun mengangguk. Dia merasa lega karena sang ibu mengizinkannya.
Pergilah Diva ke dokter kandungan dengan ditemani ibunya. Dia melakukan beberapa pemeriksaan, terutama USG. Saat itulah Diva tahu bahwa bayi dalam perutnya tidak satu, tetapi ada dua.
"Wah, selamat, Nona Costanza. Anda hamil bayi kembar!" ucap dokter yang memeriksa.
...༻⎚༺...
Mata Diva membulat tatkala dia mendengar bayi dalam kandungannya kembar. Itu seperti teguran keras yang sampai ke hatinya.
"Ke-kembar?" Diva membeo tak percaya. Sebenarnya dia merasa berat menggugurkan kandungannya. Namun perasaan itu jadi tambah kuat saat mendengar kalau bayi yang ada dalam kandungannya ada dua nyawa.
Kini Diva dan Nathalie sudah keluar dari klinik. Keduanya baru memasuki mobil.
"Jadi bagaimana?" tanya Nathalie sembari tersenyum. Membawa Diva untuk memeriksakan diri ke dokter kandungan sebenarnya adalah rencananya. Ia melakukan itu agar Diva tidak jadi menggugurkan kandungan.
Nathalie yakin putrinya berhati baik. Sentilan kecil seperti menyaksikan adanya kehidupan di dalam perut kemungkinan besar bisa merubah keputusan Diva.
"Sepertinya tidak, Mom. Aku akan mempertahankan mereka. Rasanya aku tidak sanggup jika harus menggugurkan dua nyawa sekaligus," ungkap Diva. Dia memilih untuk tidak menggugurkan kandungannya.
"Pilihan yang bijak. Kau tidak perlu cemas, aku dan ayahmu akan selalu berada di sisimu. Jadi jangan khawatirkan apapun," tutur Nathalie yang merasa lega mendengar keputusan akhir Diva.
Hari demi hari berlalu. Bayi kembar yang ada dalam perut Diva sudah lahir ke dunia. Mereka diberi nama Alan dan Aron. Jujur saja, kedua bayi itu sangat tampan. Memiliki mata biru, kulit putih bersih, dan hidung mancung. Meski kembar, ada perbedaan yang mencolok di antara keduanya. Yaitu warna rambut. Alan memiliki rambut pirang, sedangkan Aron berambut dengan warna hazel.
Saat melahirkan di rumah sakit, Alan dan Aron bahkan membuat heboh banyak orang karena ketampanan mereka. Banyak orang yang merasa iri dengan rupawannya anak kembar Diva. Hal tersebut berhasil membuat Diva merasa bahagia. Perempuan itu tidak menyesal karena sudah mempertahankan kehidupan Alan dan Aron.
Kehadiran Alan dan Aron merubah hidup Diva secara drastis. Kelucuan mereka membuat dirinya melupakan segala beban hidup. Diva bahkan mulai bangkit dan bekerja seperti dulu. Kebetulan Diva mempunyai pekerjaan di bidang arsitektur. Ia terkadang bisa bekerja di rumah atau di luar rumah.
Sejak kecil, Alan dan Aron terbiasa hidup dengan kemewahan. Itu semua karena kakek dan neneknya sangat menyayangi mereka. Samuel bahkan sudah membelikan mobil untuk Alan dan Aron.
Sekarang usia Alan dan Aron telah menginjak 9 bulan. Keduanya sama-sama memiliki perkembangan yang cepat. Baik Alan dan Aron, keduanya sudah bisa merangkak.
Diva baru pulang bekerja. Dia langsung pergi mendatangi kamar Alan dan Aron. Dua anaknya itu sedang dijaga oleh dua pengasuh.
"Bagaimana mereka hari ini?" tanya Diva.
"Mereka bermain dengan baik seperti biasa, Nyonya," jawab Eva. Salah satu pengasuh Alan dan Aron.
"Kebetulan selama satu minggu ini aku tidak ada kerjaan. Jadi kalian bisa memakai hari itu untuk cuti," kata Diva.
"Nyonya yakin ingin kami cuti?" Sofia memastikan.
"Iya. Lagi pula kalian tahu betapa pintarnya Alan dan Aron. Aku tidak mau kesibukanku membuatku jauh dari mereka. Jadi jika ada waktu, aku ingin berlama-lama bersama mereka," jelas Diva.
"Aku sebenarnya tak masalah tidak cuti. Jujur saja, aku dan Sofia sangat betah menjaga Alan dan Aron. Mereka sangat tampan, pintar dan lucu," ujar Eva.
"Begitulah mereka," tanggap Diva seraya tersenyum puas.
"Menurut anda Alan dan Aron meniru sikap ayah atau ibunya?" tanya Sofia.
Senyuman Diva seketika pudar. Dia selalu risih jika ada seseorang menanyakan perihal ayahnya Alan dan Aron. Apalagi semua orang selalu menganggap si kembar itu adalah anaknya Bram. Tidak ada yang tahu kalau Alan dan Aron adalah anaknya Diva bersama seorang lelaki asing.
"Kalian sebaiknya bersiap!" Diva memilih tak menjawab pertanyaan Sofia. Dia berlagak sibuk mengamati Alan dan Aron yang sedang tidur.
"Baik, Nyonya." Sofia dan Eva segera pergi. Mulai hari itu, Diva akan menjaga Alan dan Aron. Walaupun begitu, dia terkadang dibantu oleh Nathalie.
Setiap sore, Diva rutin mengajak Alan dan Aron jalan-jalan ke taman belakang. Diva tampak menenangkan kedua anaknya yang tiba-tiba menangis bersamaan. Ia cukup kewalahan karena itu. Akan tetapi sebagai ibu, dia terlihat tenang dan sabar menghadapinya.
Dari jauh, seorang lelaki terus mengamati aktifitas Diva bersama bayi kembarnya. Perlahan dia menekan earphone yang terpasang di salah satu telinga.
"Aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk melakukannya," ucap lelaki bersetelan pelayan itu.
"Apa kau pelayan baru?" pelayan lain tiba-tiba datang dan bertanya. Namanya adalah Jordan.
"Aku hari ini menggantikan pamanku. Kenalkan aku Kevin. Aku di sini menggantikan Richie!" jawab pelayan lelaki misterius itu.
"Ah, Richie? Ada apa dengannya?" tanya Jordan.
"Dia kecelakaan kemarin. Dia sangat butuh biaya perawatan, jadi aku menggantikannya sekarang," jawab si pelayan lelaki misterius.
"Oh begitu." Jordan percaya dan segera berlalu pergi.
Sementara sang pelayan lelaki misterius itu kembali fokus dengan tugasnya. Dia tidak lain adalah Brian Brooks.
Tujuan Brian ada di rumah keluarga Costanza sekarang karena dia berencana menculik bayi Alan dan Aron. Lelaki itu berniat akan beraksi nanti malam.
Penampilan Brian sekarang dalam mode penyamaran paripurna. Dia mengenakan kumis serta bantalan perut agar terlihat buncit seperti pria baruh paya.
Brian sendiri sama sekali tak mengenali Diva. Itu karena dia tidak pandai mengingat wajah orang, terutama orang asing. Casanova sepertinya juga tak pernah menganggap sebuah hubungan intim itu hal spesial. Bagi Brian bercinta adalah hal biasa dan kebutuhan yang dimiliki manusia.
Selama satu hari Brian mengamati keadaan terlebih dahulu. Melihat Diva menjaga seorang diri dua anaknya, dia merasa itu adalah momen yang tepat untuk beraksi.
Saat sore, Brian diam-diam meletakkan pengharum ruangan buatannya. Pengharum itu berguna untuk membuat orang yang ada di ruangan tertidur saat menghirupnya. Bahkan pada bayi sekali pun.
...***...
Malam telah tiba. Diva dan bayi kembarnya telah tertidur. Kala itu dia membawa Alan dan Aron tidur bersamanya di kamar.
Semua penghuni rumah jatuh tertidur akibat pengharum ruangan milik Brian. Brian yang merupakan pembuat pengharum ruangan tidur itu tentu tidak menjadi korban. Sebagai pembuatnya, dirinya juga memiliki penawar. Yaitu kopi kuat yang sudah diminumnya lebih dulu sebelum menyebar aroma pengharum.
Perlahan pintu kamar Diva terbuka. Orang yang masuk adalah Brian. Ia masih mengenakan setelan penyamarannya. Brian tampak membawa kereta bayi khusus anak kembar. Perlahan Brian alihkan Alan dan Aron ke dalam kereta.
Sebelum pergi, Brian tak lupa mengambil semua pengharum ruangan yang sempat di pasangnya. Dia juga menyempatkan diri merusak rekaman CCTV. Setelah itu, barulah dia pergi sambil membawa bayi Alan dan Aron. Dua temannya sudah menunggu di depan dengan menggunakan truk berukuran sedang.
Satu malam berlalu. Diva terbangun dari tidur. Hal yang dia cari tentu adalah Alan dan Aron. Akan tetapi dua bayi kembar itu tidak ada. Bahkan ketika Diva mencari ke segala penjuru rumah. Ia juga bertanya pada semua pelayan. Sayangnya tidak ada yang tahu Alan dan Aron dimana.
"Bayi-bayiku..." Diva terisak. Karena begitu kaget dengan menghilangnya Alan dan Aron, dia sampai pingsan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!