Cerita ini dari setahun lalu aku buat, baru sempat publish sekarang, mudah-mudahan pada suka.
Happy reading.
Situasi IGD salah satu rumah sakit, mendadak ramai dengan kedatangan sekelompok siswa berseragam putih abu-abu.
"Sus, tolongin temen saya, perutnya tertusuk," ujar salah satu remaja.
Perawat yang sedang bertugas, segera mempersilahkan remaja itu, untuk menempatkan temannya yang terluka, disalah satu brankar yang ada di sana.
Dokter beserta perawat segera melakukan tindakan kepada remaja laki-laki yang terkena tusukan pisau di pinggang sebelah kanannya.
Saat temannya sedang ditangani, salah satu perawat menyuruh para remaja itu, untuk keluar dari IGD, agar tidak menggangu kerja dokter dan perawat dalam menangani pasien, perawat juga menyuruh salah satu dari mereka, untuk mendaftarkan pasien di loket pendaftaran.
Beberapa saat kemudian remaja yang terluka itu sudah selesai di tangani dan di tempatkan di salah satu ruang rawat.
"Anak-anak udah pada balik?" Tanya remaja yang bernama Olsen kepada sahabatnya, ketika dirinya baru saja membuka mata setelah sempat tertidur, akibat pengaruh obat yang diberikan padanya.
"Udah tadi, begitu Lo masuk ke ruangan ini, mereka balik, tapi ngomong-ngomong, kok bisa Lo kena tusuk sama si brengsek itu sih?" tanya remaja bernama Julian.
Olsen menghela nafas, "Itu juga yang bikin gue bingung, kenapa si Billy tiba-tiba nusuk gue, sambil bilang kalau gue itu penghianat, terus gimana tuh anak?"
"Kata Emil, tadi di angkut sama anak-anak ke kantor polisi," jelas Juli, biasa ia di panggil.
"Ngapa pake bawa polisi segala sih? Kan ribet," protes Olsen.
"Gila lu ya! Itu orang udah hampir bikin Lo mati, terus Lo diemin aja, nggak bisa gitu Olsen," sahut Julian keberatan, mana bisa tindakan kriminal itu, mereka biarkan begitu saja.
"Ya gue kan cuman kena dikit, masa ia sampai polisi segala, maksud gue damai aja gitu,"
"Serah Lo deh Sen, yang penting sekarang Lo sembuh dulu," ujar Julian final.
*****
Sudah beberapa hari Olsen hanya berdiam diri di atas ranjang rumah sakit, ia dilanda kebosanan hanya berdiam diri saja, memainkan ponselnya terus-menerus membuat matanya lelah, sedangkan teman-temannya tak mungkin menjaganya terus, mereka juga harus bersekolah.
Jangan tanyakan soal keluarganya, anak yang di anggap sebagai pembawa sial itu, sudah lama memutuskan hubungan dengan keluarga besar ayahnya, karena Olsen lah ibunya meninggal, saat melahirkannya.
Ayahnya yang sangat mencintai istrinya tentu sangat terpukul dengan kematian istrinya.
Namun sekitar setahun yang lalu, ayahnya menikah dengan seorang janda beranak satu, itupun asal desakan keluarga besar Blade, terpaksa Rudolf Blade menerima perjodohan itu.
Janda beranak satu yang bernama Kamila memiliki anak perempuan bernama Bella, yang usianya berbeda dua tahun dari Olsen.
Bella adalah gadis yang diincar Billy sejak masa orientasi adik kelas mereka beberapa bulan yang lalu, melihat kedekatan Bella dengan Olsen membuat remaja itu cemburu, tanpa meminta penjelasan pada sahabatnya, Billy nekad menusuknya.
"Bosen banget gue rebahan doang, mana masih jam segini, Emil sama Juli pasti masih pada di sekolah, main game Mulu, mata gue pegel," Keluh Olsen saat dirinya sendirian, berada di ruang rawat VIP rumah sakit itu.
Tok....tok...
"Selamat pagi, saya suster Hasya, saya akan mengganti perban anda," Ujar suster dengan seragam ungu muda itu.
Untuk sesaat, Olsen terpesona dengan senyum manis perawat yang baru memasuki ruangan, sambil membawa baki stainless steel berisi obat dan peralatan medis.
Suster dengan lesung pipi itu, mendekatinya dan meletakan baki itu tepat di sebelah Olsen, "Maaf Tuan, saya akan memeriksa luka di perut anda, bisakah anda menyingkap baju sedikit," Pinta suster Hasya ramah.
Olsen hanya menurutinya saja, ia menyingkap baju pasien berwarna biru muda yang remaja itu kenakan.
Bagaimana mungkin remaja SMA, bisa memiliki perut kek roti sobek gini, Hasya mengatakannya dalam hati.
Olsen yang melihat perawat itu terdiam setelah ia menunjukan perut kotak-kotak nya, menyunggingkan senyumnya, "Ada apa, suster? Apa luka saya masih belum kering?" tanyanya.
Seketika Hasya gelagapan, "Em.. maaf," Perawat itu langsung melakukan tindakan, "Luka anda sudah hampir mengering, tapi, anda jangan terlalu banyak bergerak, tadi saya sudah mengoleskan salep dan mengganti perbannya, lalu jangan lupa di minum obatnya, setelah makan," Katanya sambil merapihkan alat-alat yang tadi digunakan.
"Biasanya perawatnya laki-laki sus, tumben sekarang perempuan," ucap Olsen.
"Perawat Budi sedang cuti hari ini, sedang yang lain nanti masuk sif siang dan malam," Jelas Hasya yang sudah menyelesaikan pekerjaannya, "Kalau begitu, saya undur diri dulu, mari.." pamit Hasya, namun belum sampai pintu, Olsen sudah memanggilnya kembali, "Suster Hasya, bisa saya minta tolong,"
Terpaksa Hasya berbalik menuju ranjang tempat dimana pasien sedang terbaring, "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
"Bisa bantu saya ke toilet? Saya kebelet," pinta remaja tampan itu.
Hasya Memapah lelaki itu menuju kamar mandi, ia sedikit kesulitan, mengingat tubuh pasien itu jauh lebih besar darinya, dengan susah payah, akhirnya Hasya berhasil membawa remaja itu sampai di toilet, ia bahkan ikut masuk ke dalam toilet sambil membawakan tiang infusan.
"Saya keluar dulu, nanti kalau sudah selesai, anda bisa panggil saya di luar," Ucap Hasya berlalu keluar dari toilet itu.
Beberapa menit berlalu, remaja itu memanggil Hasya kembali, "Sudah selesai?" Tanya perawat itu, melihat pasien sedang membenarkan celananya,
"Sudah sus, tapi saya mau sikat gigi sama cuci muka, bisa bantu saya?" pinta Olsen.
Hasya hanya mengangguk, ia membantu menaruh pasta gigi pada sikat gigi yang tersedia, dan memberikannya kepada Olsen, "Tapi tangan kanan saya lagi di infus, jadi susah kalau mau sikat gigi, jadi bisa tolong saya," ucap Olsen menunjukan punggung tangan kanannya, yang tertancap jarum infus.
Perawat itu menarik nafas panjang dan menghembuskan nafasnya pelan, mau tidak mau Hasya menuruti kemauan pasien itu.
Karena perbedaan tinggi, sehingga membuat Hasya kesulitan menggapai mulut remaja itu, Olsen duduk di atas kloset, agar suster dengan mudah untuk membantunya untuk menyikat giginya, dengan telaten Hasya membantu remaja itu untuk menyikat giginya.
Hasya sempat terpana dengan bibir milik remaja itu, yang tebal berbelah tengah dan berwarna merah muda itu, dengan susunan gigi yang rapih juga putih bersih.
Selesai membantu menyikat gigi, Olsen meminta perawat itu untuk membantu mencuci wajahnya, dengan facial wash yang tersedia di sana.
Hasya tak menyangka, remaja itu sangat tampan, dengan alis tebal, mata setajam elang berwarna hitam, dan berhidung mancung serta rahang tegas, sempat membuat dirinya grogi, karena jarak mereka yang terlalu dekat, tanpa dirinya sadari, Olsen menyunggingkan senyumnya.
Setelahnya Hasya kembali membawa remaja itu menuju ranjang pasien, menyelimutinya barulah ia undur diri dari ruangan itu.
Jangan lupa dukungannya.
"Huh..." Hasya menghembuskan nafasnya kasar, ketika dirinya baru saja duduk di kursi ruang perawat, lantai empat khusus ruangan VIP.
Suster Amelia salah satu rekan kerjanya pagi itu, dibuat heran, "Kenapa Lo?" tanyanya.
Hasya menatap rekan kerjanya, "Emang yang biasa urus pasien kamar empat nol delapan, siapa?" tanyanya kesal.
Amelia terdiam sejenak, lalu menyahut, "Kata ibu kepala ruangan, Pasien sendiri yang meminta, agar perawat laki-laki yang memeriksanya, cuman karena hari ini Br. Budi ijin cuti, dan perawat dilantai lain pada nggak bisa, ya terpaksa kita perawat cewek yang gantiin, emang kenapa si? Apa ada masalah?" tanyanya heran.
"Gila ya, masa gue di suruh sikatin giginya sama bantuin itu bocah cuci muka, seumur-umur tiga tahun gue jadi perawat, baru kali ini, gue disuruh sampai kayak gitu, paling banter seka pasien, tapi itu kan cewek, lah ini cowok, ya walau masih bocah," keluh Hasya.
Amelia terkekeh melihat ekspresi kesal rekan kerjanya, "Udah sih nikmatin aja, gue denger tuh bocah ganteng, nikmati aja, toh bisa cuci mata,"
Hasya memutar bola matanya malas, "Tapi males aja gitu, gue ini perawat, bukan baby sitter, kalau Lo mau cuci mata, entar elu aja yang masuk ruangan itu, gue jengah,"
"Iya-iya, gue mah senang-senang aja," Sahut Amelia dengan senyum konyolnya.
"Kenapa lo senyum-senyum?" Tanya suster Novi yang baru saja memasuki ruang perawat, sambil membawa peralatan medis dan obat yang diambilnya dari apotik bawah.
"Lia lagi seneng, gara-gara gue suruh dia gantiin urusin pasien empat nol delapan," sahut Hasya sambil menulis laporan pasien.
"Oh cowok ganteng itu ya, bukannya maunya di urus sama perawat cowok?" Tanya Novi sibuk memasukan beberapa alat ke lemari kaca.
"Kan Br. Budi cuti," sahut Amelia.
"Yakin Lia mau masuk?" tanya Novi ragu.
"Kenapa emang? Hasya aja bisa, masa iya gue nggak bisa," jawab Amelia percaya diri.
"Nggak masalah sih, Lo coba aja sendiri," ucap Novi, tau akan watak rekan kerjanya yang satu itu, ia memilih diam.
Ketiganya melanjutkan obrolannya sembari beberapa kali mengecek keadaan pasien di lantai khusus VIP itu.
Bel panggilan untuk perawat berbunyi, lampu kecil di bawah angka empat nol delapan menyala, "Tuh nyala, katanya Amelia yang mau urus itu pasien ganteng," celetuk Hasya, menunjuk lampu berwarna merah di mesin yang terhubung dengan bel dari masing-masing kamar pasien.
Amelia merapihkan penampilannya sebelum pergi, bahkan ia melangkah sambil bersenandung ria, namun belum sampai dua menit, Amelia kembali dengan wajah kecewa.
"Kenapa muka Lo? Tadi senyum-senyum sekarang malah manyun," Ledek Novi yang sebenarnya tau alasan rekannya seperti itu, karena beberapa hari yang lalu ia pernah mengalaminya.
Amelia berdecak kesal, "Sya, itu pasien maunya sama elu, sekalian nih, ganti infus nya," Ucapnya sambil memberikan botol infus yang diambilnya di lemari penyimpanan.
"Udah si elu aja, bilang gue lagi sibuk apa gimana kek, pinter-pinter elu kasih alasan," tolak Hasya.
"Udah sana elu aja, jangan sampai elu kena masalah, sana gih," Ujar Novi sambil mendorong rekannya itu.
Terpaksa Hasya menuruti rekannya, perawat itu mengetuk pintu sebelum masuk, "Maaf saya akan mengganti infusan anda," Ujarnya sambil mengganti botol infus dengan yang baru.
Olsen mengamati suster yang sedang mengamati tetesan infus, "Kenapa tadi bukan suster Hasya yang masuk?" tanyanya.
"Maaf tadi saya sedang sibuk," jawab Hasya beralasan.
"Mulai sekarang aku minta, suster yang mengurus semua keperluan aku," Kata remaja itu dengan tatapan tajam, tak mau dibantah, dengan terpaksa Hasya, mengangguk dan menuruti kemauan remaja labil itu.
*****
Waktu menunjukkan pukul dua belas siang, para perawat bergantian untuk istirahat siang itu, Hasya, Amelia dan Novi mendapat jatah istirahat pukul satu siang bergantian dengan dua rekan lainnya yang beristirahat terlebih dahulu.
Sedang sibuk-sibuknya menulis laporan pasien, bel panggilan dari kamar empat nol delapan kembali menyala, terpaksa Hasya bangkit dari duduknya menuju kamar pasien itu.
Seperti biasa Hasya mengetuk pintu dulu sebelum masuk, "Bisa saya bantu tuan?" Tanya perawat itu ramah,
"Suster Hasya sudah makan siang?" tanya balik Olsen.
"Nanti saya baru makan pukul satu, bergantian dengan perawat yang lain," jawab Hasya jujur.
"Apa suster tidak lapar?" tanya remaja itu lagi.
"Belum, em..., ada apa anda memanggil suster? Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Aku hanya ingin makan siang bersama dengan suster Hasya,"
"Maaf tuan, tapi saya makan siangnya nanti jam satu, apa anda belum makan siang?"
Olsen hanya menggeleng, "Tidak ada yang menyuapi aku, temanku belum datang,"
"Oh kalau begitu saya undur diri dulu," pamit Hasya, namun belum sempat menyentuh gagang pintu, Olsen sudah memangilnya.
"Apa suster Hasya tidak bisa membantu aku untuk makan, kalau aku tidak makan, maka obatnya tidak bisa aku minum, bukankah suster tau, kalau tangan kanan saya di infus," Olsen menunjukan infusan yang menempel di tangan kanannya.
Dengan terpaksa, Hasya mulai menyiapkan makanan yang disediakan, lalu mulai menyuapkannya kepada remaja itu.
Tidak ada pembicaraan diantara keduanya, namun tatapan mata elang milik Olsen selalu menatap wajah Hasya, dengan tatapan sulit diartikan, hal itu membuat perempuan itu salah tingkah.
"Suster hasya pulang jam berapa?" Tanya Olsen ketika dirinya sudah menyelesaikan makan siangnya dan meminum obat yang di berikan padanya.
"Saya lanjut sampai malam," Jawab perempuan dengan seragam warna ungu itu.
"Kalau begitu aku minta suster yang mengurus aku, walau nanti ada perawat laki-laki sekalipun,"
"Baiklah, kalau begitu saya undur diri dulu," ujar Hasya benar-benar berpamitan.
Tak mungkin baginya, membantah pasien kelas VIP, bisa-bisa ia tegur oleh kepala ruangan dan yang paling parah, dipanggil oleh pihak manajer personalia, ia masih ingin bekerja di rumah sakit ini.
Sesampainya di ruang perawat, "Lama bener, ngapain Lo sama ABG labil yang sayangnya ganteng," ledek Novi melihat rekannya baru saja duduk,
"Gue di suruh nyuapin, emang biasanya gimana si? Emang dia minta disuapin juga sama perawat cowok ya?" Ucap Hasya heran.
"Setau gue sih enggak, paling cuman tensiin, ukur suhu, sama cek lukanya doang, kalau ganti infus biasanya siapa aja, dia nggak masalah" Novi menjelaskan,
"Terus selama ini yang nyuapin sama bantuin dia bersih-bersih siapa?" Tanyanya lagi,
"Nggak tau, kadang ada temennya yang dateng, tapi itupun sore kalau nggak malem,"
"Terus kenapa sama gue kayak gitu,"
"Pengen manja-manja sama lo kali," ledek Amelia yang baru saja dari kamar perawatan.
"Dih apaan si, ABG gitu," ujar Hasya,
"Kali aja tuh ABG sukanya sama tante-tante macam elu," ledek Novi.
"Apa dia cuman iseng ya? Kurang kerjaan dia, huh... Dah lah, gue shalat duluan ya, entar kalau Erina sama Melly dah dateng, lo berdua nyusul gue ke kantin," ucap Hasya sambil berlalu dari sana.
Jangan lupa tinggalkan jejak.
Olsen benar-benar membuat Hasya kerepotan, walau sif siang sudah ada Br. Ardi yang bertugas, tetap saja, remaja itu hanya mau di tangani oleh Hasya.
"Pegel ya neng?" Ledek Ardi saat melihat Hasya sedang memijat betisnya.
"Apaan si lu mas, harusnya itu kerjaan elu, itu kan pasien cowok," ujar Hasya kesal, Sedari tadi ia harus mondar-mandir menuju kamar rawat yang ditempati pasien remaja berusia delapan belas tahun itu.
"Udah nikmatin aja, lumayan nanti juga dapet uang jajan," ujar lelaki berusia tiga puluhan,
"Emang lu pernah di kasih berapa sama dia mas?" Heni ikut nimbrung, perawat berhijab itu, baru saja selesai berkeliling membawa tensimeter dan stetoskop.
"Kemarin pas gue jaga siang, pulangnya gue dikasih warna biru, si Budi pas gantiin elu, malah di kasih warna merah, nah si Putra juga paginya di kasih warna merah, apa nggak semangat ngurusnya, biar ABG gitu, tapi kayaknya tajir bet dah, royal banget," ujar Ardi menjelaskan.
"Pantesan kemarin gue di jajanin mie ayam sama mas Budi, nggak taunya baru dapat rejeki ya," Tika menyela.
"Wah kalo gitu siap-siap besok pas jaga malem bawain kita cemilan ya Sya, kayaknya elu bakal dapet paling gede nih," ucap Heni sembari bertepuk tangan.
"Apaan sih lu pada, kalo di kasih, kalo nggak gimana?"
"Kalo misal dikasih, lu ingat kita, minimal beliin gorengan lah," tutur Tika.
"Iya-iya," ucap Hasya.
Waktu hampir menunjukan pukul sembilan malam, saatnya pergantian dari sif sore dan sif malam, para perawat sif sore melakukan operan kepada perawat sif malam.
Hasya sedang menjelaskan kondisi pasien dan apa saja yang harus dilakukan oleh perawat sif malam, tiba-tiba bel panggilan berbunyi kembali, siapa lagi kalau bukan berasal dari kamar ABG labil itu, Hasya menghentikan penjelasannya, bersiap menuju kamar empat kosong delapan, tapi pundaknya ditahan, "Udah gue aja, Lo terusin jelasinnya," ujar Ardi.
Tidak sampai dua menit, Ardi kembali lagi, "Nggak mau sama gue, maunya sama elo sya,"
"Ya udah entar aja, nanggung, gue bentar lagi selesai jelasin kok," ujar Hasya, dia kembali melanjutkan penjelasannya kepada perawat sif malam.
Selesai menjelaskan tentang lanjutan pekerjaan yang harus dikerjakan rekan sif malam, Hasya pamit, "Udah ya, gue balik,"
"Eh temuin dulu tuh ABG labil, bisa berabe entar," Ardi mengingatkan.
"Iya ini gue mau ke sana dulu," sahut Hasya sambil memakai jaket baseball berwarna hijau lumut, tak lupa Sling bag berwarna hitam.
Tika dan Heni sudah pulang terlebih dahulu, sedangkan Ardi akan menunggunya pulang, untuk mengantarkannya, "Gue tunggu di parkiran Sya," Kata Ardi saat mereka berpisah di depan lift.
Hasya menemui pasien di kamar Empat nol delapan, "Ada yang bisa saya bantu tuan?" Tanyanya, memasang senyum ramah.
Melihat perawat itu sudah memakai jaket, Olsen paham jika perempuan itu sudah bebas tugas, tetapi tentu itu tidak ia pedulikan, "Bisa bantu aku ke toilet?"
Mau tak mau Hasya menyanggupi, sebagai pasien VIP harus dilayani sebaik mungkin, sama seperti tadi pagi, ia menunggu remaja itu di depan pintu, ketika pasien buang air kecil, membantu menyikat gigi tak lupa mencuci muka dengan facial wash.
"Ada yang bisa saya bantu lagi tuan?" Tanya Hasya ketika ia sudah selesai melakukan tugasnya.
"Emang suster mau melakukan apa yang aku minta?" tanya Olsen dengan tatapan penuh arti.
"Saya akan berusaha melayani anda dengan baik," jawab Hasya dengan senyum khasnya.
"Kalau begitu temani aku tidur, sini," Pinta Olsen sambil menepuk sisi ranjangnya yang kosong.
"Maaf kalau itu tidak bisa," tolak Hasya mundur satu langkah.
"Bukankah tadi suster yang bilang akan melayani aku dengan baik,"
"Sekali lagi saya minta maaf, tapi saya tidak bisa, kalau gitu saya undur diri, permisi," pamit Hasya.
"Tunggu, apa kamu Marah? Ayolah suster Hasya, aku hanya bercanda, jangan dimasukan hati,"
Hasya berbalik dan tersenyum, "Saya tidak marah tuan, hanya saja saya sudah ditunggu,"
"Apa itu pacar atau suami kamu?" tanya Olsen dingin, ia mendadak kesal.
"Bukan, hanya teman sesama perawat yang mengantarkan saya pulang menuju tempat tinggal"
"Syukur deh, em.. apa suster Hasya sudah memiliki pasangan?" tanya Olsen lagi.
"Maaf tuan, itu privasi saya, ada lagi yang bisa saya bantu?"
"Tolong mendekat lah," perintah Olsen, Hasya hanya menuruti saja, "Lebih dekat lagi," Hasya mencondongkan tubuhnya, "Lebih dekat lagi suster Hasya," Sekali lagi, perempuan itu benar-benar mencondongkan tubuhnya sangat dekat dengannya dan cup..., Olsen mengecup sudut bibir milik suster itu, tentu saja Hasya terkejut, dengan tindakan remaja itu, "Terima kasih suster Hasya yang cantik,"
"Apa yang tuan lakukan? Jangan kurang ajar, ini pelecehan," Hasya kesal diperlakukan seperti itu.
Dengan senyum konyolnya, Olsen berkata, "Tentu saja, aku hanya berterima kasih dengan perawat cantikku, baru sudutnya aja udah manis banget, gimana semuanya,"
"Mohon jaga sikap anda, kalau tidak saya akan melaporkan tindakan anda kepada pihak keamanan," Ancam gadis yang mengenakan jaket baseball itu.
"Aku tunggu suster Hasya," tantang Olsen dengan seringainya.
Hasya berlalu dari ruangan itu, ia kesal, bagaimana bisa ABG itu merebut ciuman pertamanya, sepanjang perjalanan menuju parkiran perempuan itu terus menggerutu.
"Kenapa Lo? Manyun aja, bukannya seneng dapet merah-merah," Ledek Ardi mulai memasang helmnya.
"Merah-merah dari Hongkong, kesel gue, pokoknya gue nggak mau ngurus ABG labil itu," Hasya kesal.
"Kenapa si?"
"Udahlah, balik yuk, gue pengen tidur," Ardi menurutinya.
Tidak sampai sepuluh menit, mereka sudah sampai di tempat kos, "Thanks ya mas, besok gue beliin seblak gocengan deh,"
"Serah Lo, gue balik ya Sya, bye...," Ucap Ardi sambil berlalu.
Begitu sampai di kamar kosnya Hasya langsung membersihkan diri, ia ingin segera tidur, bekerja dua sif membuat tubuhnya sangat lelah.
Namun baru saja ia merebahkan tubuhnya, ponselnya bergetar, terlihat ada pesan masuk baru.
+8139001xxx
Sudah sampai suster cantikku?
Hasya Kurniawan
Maaf ini siapa ya?
+8139001xxx
Yang tadi kasih kecupan sayang buat suster cantik.
Hasya Kurniawan
Maaf tuan ini diluar jam kerja saya, dan saya hendak tidur, selamat malam.
Hasya mematikan ponselnya dan mencharge nya.
Disisi lain, diruang rawat empat nol delapan, Olsen senyum-senyum sendiri, baginya sangat mudah mencari tau nomor ponsel suster cantik itu.
"Ngapa Lo senyum-senyum sendiri? Kesambet Lo," ucap Julian, ketika memasuki ruang rawat sahabatnya.
"Nggak, gue lagi lihat drama lucu," jawab Olsen asal.
"Gimana kata dokter?"
"Udah bagus sih, lusa gue balik, gimana sama Billy?"
"Masih di kantor polisi lah, nyokap tiri Lo yang nuntut dia,"
"Ngapa emaknya Bella ikut-ikutan si,"
"Eh emaknya Bella itu perhatian sama elu, hargain dong,"
"Males ah"
"Btw tadi Jessica nanyain elu, dia sebenarnya pengen besuk elu, lagian dia wa, nggak Lo bales, telpon nggak diangkat, tanggapi kek, kasihan tau,"
"Lo aja sana, males gue nanggepin dia, cewek kok ngejar-ngejar cowok,"
"Ya karena dia suka sama elu dan itu yang disebut kesetaraan gender, hargai dong, wajar dong dia kasih perhatian, lagian cewek bening begitu Lo tolak, mata Lo katarak apa gimana si?"
"Gue nggak suka cewek agresif Julian,"
"Serah Lo deh,"
Mereka melanjutkan mengobrol hingga kantuk datang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!