NovelToon NovelToon

Lost In Mission

LOST IN MISSION #01

Valencia, Spain. 23 December, 9.00pm

"Ya Tuhan... Sudah 15 menit, tidak ada satu pun taksi yang lewat." Keluh Carolina seraya menatap arlojinya.

Musim gugur di penghujung tahun dengan suhu kurang dari 15°C membuat kebanyakan orang lebih betah beraktivitas dalam bangunan, mengakibatkan sepanjang jalan kota Valencia nampak sepi. Tumpukan salju tampak mengganggu kelancaran lalu lintas sehingga menyulitkan kendaraan untuk bergerak.

Kembali Carolina mengeratkan mantel tebalnya untuk menghilangkan rasa dingin dari udara yang berhembus kencang.

Tidak lama kemudian...

"Ah, akhirnya." Ucap Carolina ketika manik hazelnya melihat taksi yang bergerak pelan ke arahnya. Segera ia melambaikan tangan, membuat transportasi roda empat itu berhenti di depannya.

"Hotel Vacia Center Sir, " ucap Carolina begitu ia masuk, dan mendaratkan bokongnya di jok penumpang.

"Baik nona, " balas sang sopir menginjak pedal kendaraannya membawa Carolina ke tempat tujuan.

Sepanjang perjalanan Carolina terdiam, memperhatikan sisi jalan yang ramai dengan hiasan ornamen natal. Tiba-tiba, ia teringat awal pertemuan dengan kekasihnya. 7 tahun yang lalu tepatnya tanggal 23 Desember, pertama kali mereka bertemu di restauran hotel ketika Carolina sedang menemui pelanggannya. Pertemuan singkat karena berpapasan membuat mereka saling jatuh cinta pada pandangan pertama.

Terdengar suara ponsel dari dalam tas, mengalihkan perhatiannya. Carolina segara mengeluarkan benda pipihnya lantas tersenyum sebelum ia memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. My dear... Panjang umur.

"Ya halo, sayang." Sapa Carolina setelah ia menerima sambungan telepon dari kekasihnya.

"Apakah kau sudah sampai, Carolin?" Carolina semakin melebarkan senyumannya mendengar suara bariton yang di rindukannya. Sosok pria yang sangat ia cintai.

"Um... Sebentar lagi aku akan sampai sayang," balasnya bersemangat. Carolina menggigit bibir bawahnya, ia tidak sabar ingin bertemu dengan pria yang sudah menjadi kekasihnya selama enam tahun.

Namun, hubungan mereka terhalang restu orang tua dari sang kekasih yang merupakan orang terpandang di Valencia. Berbeda jauh dengan Carolina, yang hanya seorang anak yatim piatu, asal usulnya tidak jelas, dan ia juga mantan pekerja komeersial. Itulah yang menjadi penyebabnya.

Hubungan yang tidak direstui, membuat Carolina tidak pernah menuntut kekasihnya untuk menikahinya. Masih bisa berkomunikasi, dan bertemu, untuknya sudah lebih dari cukup.

Desaah napas terdengar dari seberang sana membuat Carolina sedikit takut. Carolina kembali membuka suaranya. "Ada apa? apakah kau tidak jadi menemui ku?" percayalah Carolina tidak tenang sama sekali. Selama sebulan, ia sangat menantikan hari ini.

"Tentu aku akan menemui mu sayang, hanya saja aku masih di perjalanan." jelasnya, melegakan perasaan Carolina. "Kau tidak keberatan jika harus menungguku?" tanyanya. "Mungkin sekitar 30 menit lagi aku akan sampai."

Kalimat dari kekasihnya, mengembalikan senyum Carolina. "No problem, aku akan menunggumu di kamar hotel." Semangatnya pun hadir lagi.

"By the way, ada sesuatu yang kau inginkan? mungkin saja kau lapar. Aku bisa mampir sebentar ke kedai membelikan sandwich untukmu."

"Tidak sayang," tolaknya. Carolina menjeda kalimatnya sebentar. "Umm, aku--- aku hanya menginginkan dirimu." Bisiknya yang nyaris tidak terdengar membuat pria yang sedang duduk di belakang stir mobil tertawa.

Hal yang paling disukai pria itu, mengenai Carolina Rachquel.

Bukan karena service yang Carolina berikan untuknya, bukan, melainkan kalimat-kalimat yang diucapkan wanita itu kerap mengundang tawa. Sedikit nakal, dan yaa dia sangat terhibur.

"Apakah kau sedang merayuku, Carolin?" tanya pria itu disela tawanya.

Carolina pun ikut tertawa. "Bukankah itu yang kau sukai, tuan? hmm."

"Oh astaga sayang, aku tidak sabar ingin bertemu denganmu."

"Aku juga, " balas Carolina seraya mengedarkan pandangannya, kendaraan yang di tumpanginya sudah berada di area hotel.

"Sayang aku sudah sampai." Carolina menyematkan tas di bahunya. "Aku tutup sambungan teleponnya. Ingat, berhati-hatilah berkendara. See u honey," ucapnya di akhiri kecupan jauh, lalu ia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas.

Carolina pun turun di depan lobi hotel setelah ia membayar tarif taksi. Segera ia menaiki anak tangga. Melewati pintu utama hotel, kedua kaki jenjangnya mendekati meja resepsionis untuk meminta kunci kamar yang di reservasi kekasihnya.

"Vvip 709 nona. Ini kuncinya." Ucap wanita berseragam hitam seraya memberikan kunci kepada Carolina.

Carolina meraih kunci tersebut. "Terimakasih, " jawabnya dengan mengembangkan senyumannya. Ia pun melanjutkan langkahnya menuju lift.

Kini Carolina sudah berada di lantai 7. Ia melintasi lorong yang hanya ada barisan pintu di satu sisi. Kaki jenjangnya melangkah anggun, ia pun berhenti di depan pintu yang terdapat papan berbentuk unik bertuliskan angka 709. "Akhirnya sampai juga, " ucap Carolina seraya membuka pintu.

Tepat pintu terbuka, ia melangkah masuk ke ruangan yang besarnya melebihi besar kamarnya. Carolina menyapu pandangan ke setiap sudut kamar yang di dominasi putih itu, di dapatinya tempat tidur super king size terletak di tengah ruangan, juga terdapat dua buah sofa di dekat jendela. Bahkan di dalam kamar yang akan di tempati bersama kekasihnya, hanya dalam beberapa jam ke depan, terdapat home teater, dan ada mesin pemanas juga.

Carolina hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kekasihnya sang pengusaha itu terlalu berlebihan, menurutnya.

Ia melepas mantel, dan syal yang melingkar di lehernya, lalu di letakkan kedua benda itu diatas sofa, kemudian ia mendekati jendela besar yang sejak tadi menjadi atensinya. Ia menyingkap tirai berwarna putih yang menjuntai, manik indahnya di suguhkan pemandangan indah kota Valencia saat malam hari.

Hingga suara bel berbunyi membuat Carolina berbalik untuk menuju pintu. "Dia sudah datang, " yakinnya jika yang datang adalah kekasihnya. Ia merasakan detak jantungnya memompa lebih cepat.

Carolina berlari kecil dengan senyuman kembali terukir. Segera Ia menarik handle pintu, sehingga pintu terbuka. "Sayang," Carolina terdiam karena tidak ada seseorang di depannya. Ia maju dua langkah, lalu menoleh kanan kiri. "Astaga, pasti orang jahil." Carolina membalikkan tubuhnya bermaksud menutup kembali pintu kamar. Tiba-tiba...

Hump.....

Carolina meronta di saat ada seorang yang membekap mulutnya dari belakang, dan mengunci tangannya di sisi tubuhnya.

Pria itu memaksa masuk membawa tubuh Carolina. Lantas, ia menutup pintu menggunakan kakinya.

Carolina masih berusaha memberontak, menggunakan siku tangannya untuk melakukan perlawan. "Kau diamlah sayang, agar ini tidak terlalu sakit." Perintahnya seraya menekan pisau pada sisi kiri tubuh wanita yang ia cintai.

"Umm..." Carolina menggeleng kepala, ketakutan. Air mata mengalir membasahi pipinya. Ia merasakan kesakitan luar biasa ketika benda tajam meenusuk pinggangnya semakin lama semakin dalam.

"Ucapkan selamat tinggal padaku sayang, dan berbahagialah dalam keabadian. " Bisiknya penuh penekanan serta seringai yang tersungging di bibirnya.

Perlahan tubuh Carolina melemah, dan darah segar pun keluar dari tubuhnya.

Zrakk.. Argh....

LOST IN MISSION #02

"Terimakasih dokter anda telah menolong putra saya." Ucapan tulus dari orangtua pasien ketika dokter keluar dari ruangan operasi.

"Semoga putra anda lekas membaik, nyonya. Saya permisi dulu." Balas gadis yang memiliki manik hazel indah dibalik kacamatanya. Kemudian ia melangkahkan kaki jenjangnya melintasi koridor rumah sakit menuju ruangannya dengan perasaan bahagia atas pencapaiannya. Ia baru saja melakukan tindakan operasi terhadap pasiennya untuk pertama kalinya, dan operasinya berhasil.

"Siang dokter Elea," sapa para perawat yang berpapasan dengannya. Gadis bernama lengkap Eleanora Davidson itu hanya tersenyum sembari mengangguk membalas sapaan itu, lalu ia melanjutkan langkahnya.

"Elea! " panggil Micaela, rekan sekaligus teman Eleanora saat mereka sama-sama menjadi mahasiswa kedokteran salah satu universitas yang terletak di Madrid.

Eleanora yang sudah berada di depan ruangannya, menoleh, dilihatnya Micaela berjalan mendekatinya.

"Bagaimana operasi pertamamu?" tanya wanita berasal dari Italy itu dengan antusias.

Eleanora melengkungkan bibirnya seraya membuka pintu ruangannya "Sesuai dengan harapanku, Micaela. Operasi pertamaku berjalan dengan lancar." Jawabnya. Eleanora pun masuk di ikuti Micaela.

"Wow.... you are so smart, Elea!" pekik Micaela kagum. "Awal mula yang sangat baik, dan kau sangat mengagumkan. Jujur aku sangat iri padamu."

"Jangan memujiku berlebihan, Micaela." Ucap Eleanora, kemudian ia menutup pintu ruangannya yang didominasi berwarna putih.

"Kau selalu saja bersikap rendah diri. Ck." Micaela menduduki sofa panjang yang berhadapan dengan meja kerja Eleanora.

Eleanora melepas jas putih yang dipakainya, kemudian ia mengaitkan jas di tiang yang terletak di sudut ruangan sebelum ia menduduki kursi kerjanya.

Lunch box...

Eleanora menghembuskan napasnya, menatap kotak makan yang berada di atas meja, dan mengambil secarik kertas yang terletak di bawah kotak tersebut.

'Aku membawakan Ic pilav untukmu, makanlah.' 😉 Zafer

Dokter Zafer, gumam Eleanor mengambil kotak makan tersebut, dan mendaratkan bokongnya di sofa yang sama dengan rekannya itu. "Kau sudah makan siang, Micaela?"

"Sudah, tadi bersama Edward. By the way, apa dokter tampan itu yang memberikan makan siang lagi untukmu?" tanya Micaela, ketika manik coklatnya melihat kotak makanan yang berada dipangkuan Eleanora.

"Ya... Kau benar," jawab Eleanor sembari membuka penutup kotak yang berisi makanan khas Turki.

"Um.. Ku rasa, dokter Zafer memiliki perasaan khusus untukmu, Elea." Eleanora menatap Micaela dengan memasang wajah serius.

Sepemikiran, Elea juga merasakan jika Zafer memiliki perasaan khusus untuknya. Pria blasteran Spanyol Turki itu kerap memberikan perhatian yang lebih untuknya. Seperti sekarang ini, pria itu berinisiatif membawakan bekal makan siang untuknya, sering menghubunginya. Bahkan akhir-akhir ini, Zafer sering mengajaknya pulang bersama.

Eleanora segera menepisnya. "Itu hanya perasaanmu saja," elaknya bermaksud untuk mengakhiri pembicaraan mengenai Zafer. Eleanora tidak tertarik sama sekali.

Ia pun mulai memakan makanan yang berbahan nasi itu, bergumam lezat setelah ia merasakan rempah-rempah dari makanan tersebut

"Jika pernyataan ku benar, bagaimana?" tanya Micaela "kau akan membuka hati untuknya, dan belajar mencintainya??"

Eleanora bergeming. Membuka hati? Cinta? entahlah, Eleanora tidak mempercayai apa itu cinta  setelah kepergian ibunya 16 tahun yang lalu,  meninggalkan duka yang mendalam untuknya.

Gadis itu mengedikkan bahunya, tidak perduli. "Sebaiknya kita membahas pekerjaan saja, Micaela." Jawab Eleanora kembali ia menikmati makan siangnya.

"Oh ayolah, Eleanora. Kau tidak tertarik sama sekali dengan dokter Zafer?" Eleanora menggeleng.

"Astaga! kau adalah gadis yang paling beruntung mendapatkan perhatian dari dokter Zafer, di saat para wanita berjuang untuk merebut perhatian darinya, tapi kau malah mengacuhkannya." Cicit Micaela, gemas.

"Tujuanku menerima pekerjaan di rumah sakit ini, karena ingin mengejar mimpi ku Micaela, bukan mencari jodoh."

Micaela memutar bola matanya. "Kau sangat keras kepala sekali Eleanora Davidson!" Eleanora hanya tersenyum, tidak menanggapi serius ucapan Micaela.

Tok... Tok... Suara ketukan pintu mengalihkan mereka. Tidak lama kemudian, seorang pria muncul dari balik pintu, lalu tersenyum. Dokter Zafer Savas.

"Masuklah dokter Zafer." Eleanora sudah menyelesaikan makan siangnya, lalu ia meletakkan kotak bekal yang sudah kosong ke atas meja.

Zafer yang baru masuk, semakin melebarkan senyumannya melihat bekal yang ia berikan untuk Eleanora telah dihabiskan gadis itu. "Ini untukmu Elea," ucapnya seraya memberikan segelas ice kopi latte yang langsung diambil alih oleh Eleanora. "Selamat atas keberhasilan mu."

"Terimakasih dok, " balas Eleanora tersenyum lembut, menciptakan ledakan-ledakan kecil di hati Zafer. Senyum yang sangat manis.

"Sama-sama, Elea." Zafer membalas senyuman Eleanora. Senyum tulus yg terlihat menawan, selalu menjadi pusat perhatian semua mata wanita yang memandangnya. Yeah.... Senyum yang terbentuk di garis bibir pria itu menampakkan lesung pipi yang membuat wajah tampannya semakin rupawan.

Micaela yang melihat kedua insan itu, ikut tersenyum. "Untukku tidak ada dokter?" celetuk Micaela hanya menggoda.

Zafer terkekeh pelan menanggapi pertanyaan polos Micaela. "Sorry, aku tidak mengetahui jika kau berada disini. Tapi sebagai gantinya, bagaimana jika kita makan malam bersama di restauran untuk merayakan keberhasilan Eleanora."

Jawaban Zafer sontak membuat Eleanora menatap lagi ke arah pria yang sempat menjadi pembimbingnya ketika ia masih menjalankan program kedokteran di rumah sakit yang terletak di ibu kota Malaga. Disanalah awal mereka saling mengenal. "Itu tidak perlu, dokter." Timpal Eleanora dengan perasaan sungkan.

Zafer menoleh, manik coklat yang di miliki pria itu membalas tatapan Eleanora. "Kau tidak perlu sungkan Eleanora, aku senang melakukannya untukmu." Jawab Zafer tulus.

Eleanora pun menghembuskan napas panjang. "Baiklah dokter ," Eleanora maupun Zafer sama-sama tersenyum.

"Ah, ajaklah kekasihmu juga Micaela, siapa namanya?"

"Edward, dokter." Jawab Micaela.

"Oh ya Edward... Nanti aku akan mengirimkan alamat restauran ke nomer ponsel mu."

"Siap dok, " balas Micaela seraya berdiri, sontak membuat Eleanora membulatkan matanya, seolah meminta penjelasan. "Aku ingin kembali ke ruanganku, aku permisi dulu dokter, hmm Elea."

"Mi-- Micaela," bermaksud untuk mencegah Micaela untuk pergi, namun ucapannya terhenti ketika rekannya tetap berjalan mengabaikannya, dan meninggalkannya bersama Zafer.

Haish, dia sengaja meninggalkanku.

"Hari ini kau praktek sampai jam berapa, Elea?"

"Jam tiga dokter," jawab Eleanora. Tangannya bergerak merapikan kotak bekal milik Zafer.

"Bagaimana jika kita pulang bersama?"

Eleanora meluruskan pandangan menatap Zafer yang berdiri, dan bersandar di meja kerjanya. "Um... Bagaimana ya," Eleanora nampak berpikir.

"Please, jangan menolak tawaranku lagi. Lagipula arah rumah kita sejalan." Tutur pria berusia 28 tahun itu, memasang wajah memelas, dan memohon.

Eleanora kembali tersenyum. "Bukan seperti itu dokter. Hanya saja, sepulang dari rumah sakit, aku berencana mengunjungi ibuku."

"Aku akan mengantarkan mu kalau begitu. Dan kau harus menerima tawaranku."

Eleanora mengangguk seraya tersenyum. "Anda selalu menang dokter Zafer."  Zafer terkekeh mendengar penuturan Eleanora. "Oh ya, dokter. Terimakasih bekal makan siangnya. Aku makan dengan lahap dan habis tanpa tersisa."

Zafer mengangguk. "Kau menyukainya?"

LOST IN MISSION #03

"Kau menyukainya? eghm, maksud ku menyukai bekalnya." Zafer tidak melepas pandangannya dari wajah Eleanora. Ya, sejak tadi pria itu, memandangi keindahan yang berada di depannya. Gadis sederhana yang telah mencuri perhatiannya.

Eleanora mengangguk, "Apa anda juga yang memasak makanan tadi, dok?" tanya Eleanora menelisik wajah Zafer, pria itu tersenyum membuat Eleanora mengerti jika Zafer yang telah memasak makanan untuknya.

Nilai plus lagi untuk Zafer Savas, selain tampan, pintar, dan memiliki sifat yang hangat, pria itu juga pandai memasak. Tidak heran, jika banyak wanita tergila-gila padanya, dan mengincarnya. Bahkan pria berhidung mancung itu sudah menjadi idola gadis gadis halu. 🤭 Ayo ngaku....

Terkecuali Eleanora. Wanita itu seolah menutup hatinya, bersikap acuh, tidak perduli. Bukan terhadap Zafer saja ia bersikap seperti itu, akan tetapi ke semua pria yang mencoba mendekatinya.

Masa lalu yang menimpa ibunya yang telah membuat Eleanora tidak percaya dengan adanya cinta. 24 Desember, 16 tahun yang lalu, ibunya ditemukan tewas mengenaskan disalah satu kamar vvip sebuah hotel bintang lima. Sampai kini, kasus kematian ibunya, belum terungkap bahkan penyelidikan sudah dihentikan pihak kepolisian. Terkesan kasusnya sengaja ditutupi oleh pihak kepolisian.

Setelah mendiang ibunya di kebumikan, ada seseorang yang membawanya pergi ke kota terpencil, Casares yang terletak di bagian selatan, dan meninggalkannya di sana. Kala itu beruntung Eleanora bertemu dengan Robert Birdie, pria paruh baya yang telah banyak membantunya dengan menjamin kehidupannya sampai ia bisa menyelesaikan pendidikannya berhasil meraih gelar dokter spesialis bedah.

"Anda memiliki tangan yang ajaib dokter. Masakanmu sangat lezat. Tidak seperti masakanku, mengandung raacun." Keluh Eleanora.

"Raacun?" tanya Zafer mengembangkan senyumannya.

"Ya dokter, " balas Eleanora "Micaela pernah dilarikan ke rumah sakit karena memakan masakanku."

Kejadian itu terjadi, ketika Micaela berulang tahun. Bermodalkan ilmu dari website, Eleanora mencoba membuat lasagna. Makanan favorit Micaela. Rencana, ia ingin membuat Micaela terkesan, tapi faktanya masakan yang dibuatnya membawa petaka, dan membuat Micaela harus merayakan ulang tahunnya di rumah sakit, mengenaskan.

Eleanora menceritakannya kepada Zafer membuat pria itu harus meredam tawanya sampai wajahnya memerah.

"Gadis yang malang. Apakah anda bisa menebak apa yang diucapkan Micaela setelah dia pulang dari rumah sakit?"

Zafer menggeleng. "Apa yang Micaela ucapkan?"

"Terimakasih Eleanora sayang, berkat masakanmu, aku berhasil menurunkan berat badanku sebanyak 6 kg." Zafer akhirnya pun tergelak, ia tidak sanggup menahan tawa yang sudah menggelitiknya sejak tadi.

"Ya Tuhan!! selama tiga hari, aku di relung rasa bersalah, dan dia dengan hebohnya mengucapkan terimakasih. Heh. "

"Lalu, kau menjawab apa?" tanya zafer, dengan menumpangkan kedua tangan di atas perutnya.

Eleanora membuang napasnya. "Aku menjawab, aku akan memasak makanan lagi untuknya, dan dia harus menghabiskannya." Eleanora pun mengudara tawanya mengingat raut wajah Micaela setelah mendengar penuturannya.

Inilah sisi lain dari Eleanora yang tidak pernah ditunjukkan ke semua orang, hanya orang-orang terdekat yang mengetahuinya. Dulu pertama kali Zafer bertemu dengan Eleanora, gadis itu sangat pendiam, dan irit berbicara terkesan angkuh. Namun semakin lama ia mengenalnya, ternyata Eleanora sosok gadis yang hangat, dan juga menyenangkan.

Zafer memeriksa arloji di pergelangan tangannya. "Sudah pukul satu, aku harus memeriksa pasien ku Elea."

Eleanora mengangguk mengerti. "Baiklah, dokter."

"Nanti aku akan menghubungi mu. Sampai berjumpa lagi, Elea."

Tidak memudarkan senyumannya, Zafer berjalan mundur masih ingin memandang Eleanora. Detik berikutnya, ia pun berbalik membuka pintu lantas ia keluar, membawa kakinya menuju ruangannya yang hanya selisih tiga pintu dengan ruangan Eleanora sesudah ia menutup pintu.

Bertepatan pintu tertutup, Eleanora mendekati meja, dan mengambil bingkai foto mendiang ibunya. Ia menatap dengan lekat wajah wanita yang melahirkannya itu.

"Aku merindukanmu, ibu." Cairan bening nampak menggenang di pelupuk matanya, dengan segera Eleanora  menepis rasa sedihnya. "Aku berjanji padamu, aku akan segera menemukan sosok yang telah membunuuhmu."

🍂🍂🍂

Eleanora, bersama Zafer sudah berada di dalam mobil.

"Eghm, " Eleanora berdeham membuat seseorang yang berada duduk di belakang kemudi pun menoleh ke arahnya. "dokter Zafer bisakah kita mampir ke toko bunga sebentar?" tanya Eleanora sedikit ragu. Ini pertama kalinya, ia menerima tawaran Zafer untuk pulang bersama. Gadis itu masih merasa sungkan.

Zafer tersenyum tipis "Sudah pernah aku katakan, jika berada di luar panggil namaku saja."

Ya ini sudah ke lima kalinya Zafer mengingatkan Eleanora. Namun, lagi dan lagi Eleanora mengulanginya.

"Baiklah Za- Zafer. Astaga, ini sulit sekali." Keluh Eleanora mengundang tawa, Zafer dibuat tergelak.

Hah, sesulit itukah gadis itu menyebut namanya.

"Kenapa anda tertawa?" protes Eleanora, alisnya yang tebal sedikit menukik dengan memicingkan matanya "memangnya ada yang lucu? "

Zafer melipat bibirnya untuk mereda tawanya. "Seringlah berlatih Eleanora, agar kau mudah memanggil namaku." Sahut Zafer, mengalihkan pertanyaan Eleanora. Syukurlah gadis itu tidak menuntut jawaban atas pertanyaannya.

Untuk jawaban pertanyaan Eleanora, jelas jawabannya sangat lucu. Terlebih ekspresi wajah yang Eleanora tampilkan, terlihat kesal, dan menggemaskan di mata Zafer.

"Katakan dimana lokasi toko bunganya?" tanya pria itu, fokusnya kembali menatap ke depan.

"Sebentar lagi akan sampai," Eleanora memperhatikan sisi jalan. "Berhentilah di depan sana, dokter! " Eleanora menunjuk toko bunga yang tidak jauh dari persimpangan jalan.

"Zafer, Elea." tukas Zafer menarik kedua sudut bibirnya. "Coba, ulangi lagi."

Eleanora menarik napas panjang. Oke fine, sepertinya ia harus banyak bersabar. "Berhentilah di depan sana, Zafer Savas." Ulangnya dengan senyuman yang dibuat-buat. Tapi, seorang Eleanora tidak menyadari jika tingkahnya membuat Zafer semakin mengaguminya. Ihay... 💃

Zafer akhirnya menepikan mobilnya di bahu jalan. Tepat di depan toko bunga, sesuai yang di katakan Eleanora tadi. Flor Amor, nama toko bunga tersebut.

"Anda tidak apa jika aku tinggal sebentar?" tanya Eleanora seraya melepas sabuk pengaman, untuk memastikan lagi.

Zafer menggelengkan kepalanya. "No problem, aku akan menunggumu disini."

Eleanora menyematkan tali tas di bahunya sebelum ia membuka pintu, kemudian ia turun dari mobil Zafer. Ia pun berlari kecil.

"Selamat datang Eleanora!" sambut baik pemilik toko bunga, bernama Estelle begitu melihat kedatangan Eleanora.

Wanita paru baya itu pernah menolong Eleanora, memberikan tumpangan tempat tinggal ketika Eleanora menginjakkan lagi kakinya di Valencia.

Ketika itu, Eleanora sedang mencari alamat motel yang ia ingin tempati sementara. Malam, hujan lebat melanda Valencia membuat Eleanora menghentikan perjalannya, dengan meneduh di depan toko bunga milik Estelle. Sampai pertengahan malam hujan tidak mereda. Beruntung, Gilberto suami Estelle melihat keberadaannya, dan memberi tawaran kepada Eleanora bermalam di rumahnya yang terletak di belakang toko milik mereka.

Eleanora lantas tersenyum. "Terimakasih atas sambutannya, bibi Elle."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!