Anthony Chavez beserta keluarga kecilnya tinggal di sebuah kota kecil yang bernama Colma, yang terletak di semenanjung San Francisco di San Francisco Bay Area, Amerika Serikat. Kota yang terkenal dengan julukan kota sunyi ini, memiliki populasi mayat yang terkubur di bawah kota lebih besar dari jumlah populasi penduduk yang hidup.
Berdasarkan sensus tahun 2020, populasi penduduk kota Colma sekitar 1507, sementara jumlah kuburan mencapai 1.500.000. Perbandingan yang sangat mencolok, yaitu 1000 : 1. Sejumlah tokoh dikuburkan di sini, seperti penjudi legendaris Wild West, pengacara dan penegak hukum Wyatt Earp, penemu denim Levi Strauss, hingga ikon bisbol Joe DiMaggio. Namun penduduk di sana sama sekali tidak terganggu dengan kondisi itu. Mereka mengatakan sangat bahagia bisa tinggal dan menetap turun temurun di Colma.
Tak terkecuali Anthony Chavez dan keluarganya. Anthony lahir, tumbuh dan besar di Colma. Ia adalah anak tunggal dari pasangan Jonathan Chavez dan Barbara yang berprofesi sebagai petani bunga potong.
Setelah dewasa, Anthony menikah dengan gadis pujaan hatinya Dorothy Smith. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai 3 orang anak, yaitu Ethan Chavez, Fred Chavez dan Patricia Chavez. Sebagaimana orang tuanya, Anthony juga bekerja sebagai petani bunga di kota itu. Setelah ayahnya meninggal dunia, ia melanjutkan usaha kebun bunga yang ditinggal orang tuanya itu.
Hari itu seperti biasa, keluarga Anthony tampak meriah dengan aktivitas pagi mereka. Ethan dan Fred yang masih berusia 5 dan 3 tahun berlarian mengelilingi meja makan. Patricia yang masih berusia 8 bulan, asik dengan sarapan paginya. Ia duduk dengan manis di high chair (kursi makan bayi dengan kaki tinggi) miliknya. Sementara ibu Anthony, Barbara, duduk di kursi makannya, di sisi belakang meja sambil meneguk segelas susu hangat yang telah disiapkan sang menantu. Wanita tua yang masih terlihat sehat itu, tersenyum memandang polah tingkah cucu-cucunya yang sangat aktif.
"Ethan, stop menggoda adikmu. Ayo kembali ke tempat dudukmu." Dorothy menegur putra sulungnya sambil terus membuat pancake untuk sarapan keluarga kecil mereka pagi itu. Seakan tidak memperdulikan teguran ibunya, kedua anak lelaki itu, terus saja berlarian di dapur.
Tak lama kemudian, Dorothy membawa sepiring penuh pancake panas dan meletakkannya tengah-tengah meja.
" Ibu, ini pancake miliki mu. Makanlah. " Sambil menaruh 2 slice pancake ke atas piring kosong yang terletak di hadapan ibu mertuanya. Kemudian ia menuangkan sedikit madu di atas tumpukan pancake.
" Terimakasih, Nak." Barbara tersenyum tulus.
" Sama-sama, Bu." Dorothy mengusap pundak ibu mertuanya dengan lembut.
"Ethan, Fred...!! " Dorothy kembali menegur kedua putranya dengan nada suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.
"Fred yang terlebih dahulu mengganggu ku, Bu. " Bela Ethan.
" Mana ada. Kau yang terlebih dahulu menepuk bokongku. " Balas Fred.
" Hem." Anthony berdehem. Pria 36 tahun itu baru saja selesai mandi, dengan wangi aroma sabun yang melekat di tubuhnya, ia memasuki ruang makan merangkap dapur itu. Rambutnya disisir rapi ke belakang, menambah ketampanan pria itu. Mengenakan kemeja flanel motif kotak warna merah dan celana denim overall (ciri khas pakaian petani di Amerika), ayah 3 anak itu menangkap kedua putranya yang berlarian di hadapannya. Ia kemudian mengepit kedua bocah lelaki itu di kedua lengannya.
"Dua jagoan Ayah sedang mengganggu Ibu, ya?" Ethan dan Fred yang berada dalam kungkungan sang Ayah.
Dengan posisi horizontal, berteriak kegirangan. Mereka berdua kompak berkata, "Tidak Ayah !! "
"Hmm.. Kenapa Ayah meragukan kalian berdua. " Dengan roman yang dibuat serius menatap bergantian kedua putranya.
"Sungguh Ayah.. " Ucap Ethan.
"Iya Ayah. Sungguh.. " Fred ikut membela dirinya.
" Hmmm.. " Dengan tetap menggendong ke dua jagoan kecilnya, Anthony melangkah menuju istrinya yang kembali menyibukkan diri membuat sarapan pagi mereka. Ia kemudian mengecup lembut pipi kanan Dorothy.
"Selamat Pagi, sayang. Kenapa hari ini kau cantik sekali? " Bisiknya, sembari memberikan senyum termanis pada ratu rumah tangganya.
"Oh. Sayang. Karena ada suami yang sangat tampan ini di sisiku. " Dorothy mengusap lembut pipi Anthony. Membalas dengan memberikan kecupan di pipi sang suami.
"Kau sangat tampan dengan outfit mu pagi ini, sayang. Duduklah. Ayo Nikmati sarapan mu. "
"Baiklah sayang ku. " Anthony melangkah menuju meja makan kayu dengan 6 kursi itu.
" Dan untuk kalian. Ayah harap, ini tidak terjadi lagi. " Ia meletakkan kedua putranya duduk berdampingan di sisi sebelah kiri meja. "Diam dan habiskan sarapan kalian. " Ucap Anthony tegas.
"Baik, Ayah. " Jawab Ethan dan Fred bersamaan.
Anthony berjalan selangkah ke arah ibunya berada. "Selamat pagi, Bu. Bagaimana kabarmu pagi ini?" Anthony mengecup pipi Barbara kemudian mengusap lembut punggung tangan wanita tua itu. Ia mengulas senyum hangat pada wanita yang telah melahirkannya ke dunia.
"Selamat pagi, Nak. Kabar ku baik. Sangat baik. Kau sendiri bagaimana, sayang?" Tanya Barbara kemudian.
"Seperti yang Ibu lihat. Putramu yang tampan ini sehat dan bugar. " Jawab Anthony sambil mendudukkan tubuhnya di sisi depan meja. Barbara tersenyum lebar mendengar kenarsisan putranya.
"Kau sangat mirip dengan Ayahmu, sayang. "
"Tentu saja, Bu. Aku ini kan putranya." Jawab Anthony bangga.
Perhatian Anthony beralih pada Patricia yang duduk di sisi sebelah kanannya.
"Putri Ayah sedang sarapan rupanya." Anthony mengusap kemudian mengecup lembut pucuk kepala Patricia yang ditumbuhi rambut-rambut halus tipis.
"Pppppbbbmmmm." Bayi 8 bulan itu menjawab ucapan ayahnya sambil mengemut biskuit bayi miliknya.
"Ha.. ha.. Kamu lucu sekali. Pelan-pelan, sayang. Tidak ada seorangpun yang akan merebut makananmu itu."
"Mamamamaamama.. " Patricia kecil merespon ucapan ayahnya.
"Sayang. Ini kopi mu. " Dorothy datang dengan secangkir kopi susu panas di tangannya. Ia meletakkannya dihadapan sang suami.
" Terima kasih sayang. " Ucap Anthony dengan senyuman manisnya.
Dorothy kemudian meletakkan sepiring penuh telur mata sapi dan sosis bakar di tengah-tengah meja makan. Kemudian ia duduk di sisi sebelah kanan meja di samping kanan Patricia dan samping kiri Barbara.
Melihat keluarganya sudah lengkap, Anthony mulai memimpin do'a sebelum mereka menyantap hidangan.
"Ayo kita berdoa dulu." Mereka kemudian saling bergandeng tangan satu sama lain dan menundukkan kepala.
"Bapa di Surga, dikuduskanlah namaMu, terpuji selama-lamanya. Terima kasih bahwa sepanjang hidup kami, Engkau tak lalai dalam mencukupi kebutuhan kami. Kami juga bersyukur Tuhan Yesus atas makanan dan minuman yang masih Engkau berikan untuk kami. Berkatilah makanan dan minuman ini supaya menjadi kekuatan bagi tubuh kami, kesehatan, dan kepintaran. Sehingga makanan ini tidak berakhir sia-sia tetapi boleh kembali menjadi berkat untuk kemuliaan namaMu. Hanya di dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa dan mengucap syukur. Amen. "
Mereka kemudian melepaskan tautan tangan mereka dan melakukan tanda salib kecil yakni menyentuh dahi, bibir, dan dada dengan ibu jari yang digerakkan membentuk salib kecil sambil membisikkan kalimat "Semoga sabda Kristus berdiam dalam pikiran, bibir, dan hatiku". Ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah terancung dan dirapatkan, dua jari sisanya ditautkan dan tertekuk ke telapak tangan.
3 Orang dewasa yang memberikan contoh, diikuti oleh Ethan dan Fred melakukan hal yang sama.
.
.
.
Hari itu berlalu di keluarga Anthony seperti biasanya. Setelah menyelesaikan sarapannya pada pukul sembilan pagi, Anthony terlihat menuju kebun bunga miliknya yang berjarak satu kilometer dari kediamannya, dengan mengendarai mobil pickup Honda Acty keluaran tahun 1997 berwarna merah.
Pada pukul dua belas siang, Dorothy dengan mengendarai sepeda mengantarkan makan siang suaminya yang dibawa menggunakan lunchbox. Ia kembali ke rumah satu jam kemudian.
Pada pukul empat sore, Anthony kembali dari kebun. Ia sempat menyapa Tuan Felix yang berpapasan di jalan, menyapa Nyonya Dolores yang sedang duduk di kursi goyang depan rumahnya dan singgah sebentar ke toko serba ada milik Tuan Davis untuk membeli beberapa bahan makanan, susu dan popok bayi.
Dua hari berlalu sejak saat itu, tidak seorang pun melihat Anthony keluar rumah untuk melakukan aktivitasnya seperti biasa. Hingga suatu hari pada pukul 7 pagi, Helena istri Frank Martinez, yang sedang mempersiapkan sarapan untuk keluarganya, mendengar suara gonggong anjing. Frank Martinez merupakan tetangga Anthony yang rumahnya. berjarak 500 meter dari kediaman keluarga Anthony.
(Perlu diketahui bahwa setiap rumah di kota Colma rata-rata memiliki halaman yang luas. Sehingga jarak dengan tetangga sebelah rumah bisa mencapai 500 meter lebih).
Awalnya Helena tidak menaruh curiga sama sekali. Tetapi setelah gonggongan itu tidak berhenti selama lebih dari 10 menit, ia memanggil suaminya yang berada di depan rumah.
" Frank.. Frank..." Sambil berjalan cepat menuju ke tempat suaminya berada.
Frank yang sedang menaikkan peralatan berkebun ke atas pickup, menjawab panggil istrinya.
" Iya sayang. Aku di sini. " Teriaknya.
Helena yang berjalan terburu-buru mendapati suaminya sedang menutup bak pickup dengan mesin pemotongan rumput telah sedia di atas mobil.
"Frank...Apa kau mendengar suara gonggongan anjing?"
Mendengar perkataan istrinya, Frank terdiam sejenak, sambil menajamkan pendengarannya.
Guk.. Guk.. Guk..
Dari tempatnya berada, sayup terdengar suara gonggongan seekor anjing yang dimaksud istrinya.
"Benar sayang. Sepertinya datang dari arah rumah Anthony."
" Apakah itu suara Bella?" Tanya Helena.
Bella adalah anjing betina jenis Golden Retriever milik keluarga Anthony. Bella kecil dipelihara oleh Anthony sejak pria itu belum menikah. Bella biasa menemani Anthony berkebun. Sejak anak-anak Anthony lahir, Bella seakan-akan menjelma menjadi pengasuh untuk buah hati Anthony dan Dorothy. Ia lebih sering berada di rumah dari pada ikut Anthony ke kebun. Menemani putra putri Anthony bermain.
" Sepertinya begitu, sayang. Biar aku lihat sebentar."
"Aku ikut. " Ucap Helena cepat.
Tanpa menjawab perkataan istrinya, Frank berjalan menuju rumah Anthony diikut oleh Helena di belakangnya. Begitu sampai di depan rumah Anthony, suami istri itu melihat Bella menggonggong dengan wajah menghadap ke rumah.
"Sepertinya ada sesuatu tidak beres yang terjadi pada keluarga Anthony." Ucap Frank. "Biar aku liat ke dalam."
Ketika Frank akan melangkah, Helena dengan cepat menarik lengan suaminya.
"Jangan Frank. Sebaik kita tunggu polisi datang. Kita tidak tahu apa yang telah terjadi di dalam sana. Bisa-bisa nanti kau akan merusak barang bukti."
"Atau aku tenangkan Bella lebih dahulu." Ucap Frank selanjutnya.
"Itu juga jangan, Frank. Bella juga termasuk barang bukti. Kamu mau sidik jarimu melekat di tubuhnya? Dan itu akan menyulitkan polisi untuk melakukan investigasi."
Apa yang dikatakan Helena masuk akal. Dalam hatinya, Frank membenarkan hal itu.
"Kalau begitu kita harus segera menghubungi polisi." Ucap Frank kemudian.
" Ya. Sebaiknya begitu."
" Tapi aku tidak membawa ponselku. Apakah kau membawanya, sayang?" Tanya Frank.
"Aku juga tidak."
"Sebaiknya aku ambil ponselku sebentar. Kau di sini saja."
"Baik, Frank. Pergilah secepatnya."
Baru saja Frank melangkahkan kakinya menuju rumah, dari kejauhan ia mendengar suara motor mendekat. Ternyata Dick Thompson dengan motor custom kebanggaannya, sedang melaju ke arah mereka. Tanpa berfikir panjang Frank segera menghentikan laju kendaraan Dick yang berjalan tidak terlalu kencang itu.
"Dick... Berhenti sebentar..!!!"
Melihat Frank yang merentangkan tangannya di tengah jalan, Dick menekan rem tangannya untuk menghentikan laju motornya.
"Ada apa Frank?" Tanya Dick begitu motornya berhenti.
"Apakah kau membawa ponsel mu, Dick?"
"Ya. Aku ada membawanya. Kenapa?"
"Boleh aku meminjamnya sebentar?"
"Tentu saja." Dick merogoh saku celana. Ia mengeluarkan ponsel miliknya dan memberikan pada Frank. Frank dengan cepat mengambil ponsel yang diberikan Dick. Ia segera menekan nomor darurat. Tak lama kemudian, terdengar suara operator menerima panggilan Frank.
"Kantor kepolisian Colma, ada yang bisa dibantu?"
"Frank Martinez di sini. Bisakah kau mengirimkan sejumlah petugas kepolisian ke rumah Anthony Chavez? Sepertinya terjadi sesuatu dengan mereka."
"Bisa dijelaskan apa yang telah kau lihat, Frank?" Tanya operator wanita itu.
"Bella, anjing Golden Retriever milik Anthony yang bisanya bermain di dalam rumah, sekarang ia sedang berada di luar rumah. Anjing itu menggonggong dengan kencang selama sepuluh menit lebih, dengan wajah menghadap ke rumahnya. Aku khawatir telah terjadi sesuatu pada keluarga itu."
"Baik Frank. Aku mengerti. Bisakah kau menyebutkan alamat lengkapnya?"
Frank kemudian menyebutkan di mana rumah keluarga Anthony berada.
"Oke Frank. Terima kasih atas informasinya. Petugas kami akan tiba bersama dengan pelatih anjing dalam 5 menit. Bisakah kau tetap berada di sana hingga mereka tiba?"
"Tentu saja. Aku akan menunggu kedatangan mereka."
"Terima kasih Frank. Semoga harimu menyenangkan."
"Terimakasih kembali."
Panggil itu pun terputus. Frank segera menyerahkan kembali ponsel milik Dick.
"Terima kasih, Dick."
"Sama-sama, Frank." Dick menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celananya.
"Apa yang terjadi, Frank?"
"Entahlah aku pun tidak tahu. Lihatlah Bella dari tadi menggonggong terus."
Dick yang sedari tadi mendengar pembicaraan telepon yang dilakukan Frank, membenarkan hal itu. Pandangannya pun beralih ke arah rumah Anthony. Ia segera memahami situasi yang tengah terjadi saat itu.
"Sepertinya memang telah terjadi sesuatu dengan keluarga Anthony." Ucap Dick pelan. Sesaat mereka sama-sama terdiam.
"Kenapa kau tidak mencoba menenangkan Bella terlebih dahulu, Frank?" Tanya Dick kemudian.
"Aku ingin melakukannya. Tetapi istriku melarang. Mungkin di tubuh Bella ada sidik jari atau barang bukti. Sentuhan tanganku akan merusak hal itu."
"Oh iya. Kau benar. Aku mengerti."
Seperti yang dijanjikan operator, petugas kepolisian datang 5 menit kemudian. Officer Chris Kohrs beserta beberapa rekannya, turun dari mobil. Mereka segera mengamankan situasi. Melihat Frank dan Dick berada di sana, ia mendekat ke arah mereka.
"Siapa yang telah menghubungi petugas operator kami?"
"Aku Pak. " Jawab Frank
"Bisa kau tetap berada di sini? Kami membutuhkan beberapa keterangan dari mu."
"Baik, Pak."
Setelah berkata begitu, Officer Chris segera bergabung dengan rekan-rekannya yang terlebih dahulu telah memasuki halaman rumah Anthony. Seorang petugas polisi, bernama Lewis Powell, yang berperan sebagai pelatih anjing, segera melakukan tugasnya. Tak membutuhkan waktu lama, ia berhasil menenangkan Bella. Anjing betina berbulu keemasan bergelombang itu, kemudian dibawa naik ke mobil khusus milik polisi.
.
.
.
Chris mendekati pintu depan rumah Anthony. Rekannya Kimberly Potter mengikutinya di belakang. George Floyd, Tim Gannon, bersiaga tak jauh dari sana.
Tok..Tok..Tok.. Tok..Tok..Tok..
Berulang Chris mengetuk pintu rumah Anthony. Tetapi tidak ada terlihat tanda-tanda pemilik rumah akan membukakan pintu.
"Polisi !!! Tuan Anthony. Apakah kau di dalam?"
"Tuan Anthony, Apakah kau bisa mendengarkan aku ?"
Sunyi. Tidak ada jawaban. Chris memalingkan wajah pada ke 3 rekannya. Mereka memberi kode dengan gerakan mata. George dan Tim berputar ke belakang rumah sambil menarik pistol dari sarung yang tersimpan di pinggang mereka. Kimberly sudah siap dengan revolver di tangannya. Chris pun bersiap dengan senjata api genggamnya.
"Tuan Anthony, kami akan masuk."
Chris menghitung dalam hati. Pada hitungan ketiga, dengan bahunya dia mendobrak pintu.
1
2
3
Brak!!!
Pintu terbuka. Suasana dalam rumah tampak sepi. Mereka memindai ruang tamu yang tampak temaram. Chris menarik gorden untuk memberikan akses kepada cahaya matahari masuk ke dalam rumah. Ruang tamu terlihat rapi. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Masih dengan posisi siaga Chris dan Kimberly masuk lebih dalam. Kini mereka berada di area ruang keluarga. Sofa, TV dan mainan anak-anak tampak normal di posisinya. Untuk sementara kesan yang mereka dapatkan, terlihat aneh dan mencurigakan. Rumah itu terlalu rapi untuk ukuran penghuni yang memiliki tiga anak balita.
Chris dan Kimberly melangkah lebih jauh.Tim dan George juga sudah berhasil masuk ke dalam rumah dari pintu belakang. Mereka berempat bertemu di dapur sekaligus tempat yang berfungsi sebagai ruang makan keluarga itu. Semua juga tampak rapi. Rumah itu terkesan telah ditinggalkan oleh pemiliknya, di mana sang penghuni rumah sempat melakukan berisih-bersih terlebih dahulu.
Melanjutkan pemeriksaan itu, mereka menuju ruang tidur. Rumah satu lantai itu terdiri dari tiga kamar tidur. Mereka membuka pintu sebuah kamar yang diduga milik Nyonya Barbara. Di dalam kamar terdapat foto wanita tua itu bersama dengan mendiang suaminya. Semua juga terlihat rapi. Pemilik kamar tidak ditemukan di sana. Begitu juga kamar milik anak-anak Anthony, terlihat bersih dengan dua bed kecil dan deretan mainan yang tersusun rapi di rak. Mereka pun beralih ke sebuah kamar yang terletak paling ujung. Kamar itu merupakan ruangan terakhir yang belum mereka periksa.
Bunyi derap langkah-langkah tertahan berlahan mendekat ke pintu kayu berukir warna coklat alami itu. Begitu tiba di depan pintu, Chris yang berada paling depan, mengulurkan tangan kanannya meraih handel pintu yang berbentuk bulat. Ia kemudian menggenggam dan memutarnya pelan.
Krieeet...
Pintu terbuka perlahan. Seketika aroma tidak sedap menyeruak dari dalam kamar begitu pintu terbuka sempurna.
"Oh My.. !!!" Kimberly berseru. Refleks ia menutup hidungnya dengan lengan kanan bagian atas sambil tetap menggenggam revolver.
Petugas polisi yang lain pun melakukan hal yang sama, begitu aroma pekat yang berasal dari dalam bilik menusuk hidung. Bergegas ke empat petugas merangsek masuk. Kamar tidur itu terlihat gelap karena sinar matahari terhalang gorden jendela yang belum tersibak. Dengan cepat Chris menuju tingkap dengan dua kaca besar setinggi pinggang orang dewasa itu. Ia kemudian menarik kain penutupnya dengan sekali hentakan.
Kreeek...
Begitu tirai terbuka sempurna, terlihat pemandangan yang mengenaskan tersaji dihadapan mereka. 5 jasad terbujur kaku menumpuk di atas tempat tidur dengan kondisi sudah lebam kebiruan.
"Oh my god. Siapa yang telah melakukan ini !!" Seru Chris
Begitu mendapati kenyataan itu, mereka segera bertindak cepat. Chris menghubungi kepala polisi Derek Chauvin, meminta dikirimkan bantuan ambulans dan tenaga penyidik forensik. Rekan-rekan Chris yang lain segera mengamankan lokasi dan memasang garis polisi.
Melihat polisi sigap memasang pita berwarna kuning menyala di sekeliling rumah Anthony, sontak kota kecil yang tenang itu langsung menjadi gempar. Berita tersebar begitu cepat dari mulut ke mulut mengalahkan berita gosip dari lambe turah. Masyarakat berkerumun dengan tertib beberapa ratus meter di luar police line. Mereka menanti dengan sabar pernyataan resmi kepolisian terhadap apa yang telah terjadi dengan keluarga salah seorang warga kota mereka.
Tak membutuhkan waktu lama 5 mobil ambulans pun datang, diikuti oleh sebuah mobil sedan di belakangnya. Petugas medis turun dari dalam mobil ambulans, menurunkan brankar dan mendorongnya masuk ke dalam rumah. Derek Chauvin kepala polisi Colma pun turun dari mobil milikinya, tak beberapa lama kemudian. Ia berjalan di belakang petugas medis, mengikuti mereka masuk ke tempat kejadian perkara.
Satu jam kemudian, satu persatu kantung jenazah dibawa keluar dari dalam rumah. Jenazah dibawa dengan menggunakan brankar ambulans. Frank dan istrinya Helena yang menunggu bersama dengan kerumunan warga menatap tak percaya. Sambil memeluk lengan suaminya ia mengelus dada.
"Oh Tuhan. Frank sebenarnya apa yang telah terjadi dengan keluaga Anthony ?"
"Aku tidak tau, sayang." Frank mengusap punggung tangan Helena yang genggaman tangannya terasa makin erat di lengannya.
Begitu kantung ke lima naik ke ambulans, pertanyaan kembali dilontarkan Helena.
"Frank. Tadi kantung jenazah ada 5 kan?"
"Iya sayang. Kalau aku tidak salah hitung."
"Keluarga Anthony kan ada 6 orang. Apakah ada kemungkinan, salah seorang dari mereka masih hidup ?"
"Bisa jadi, sayang. Semoga benar yang kau katakan itu."
"Apakah kota kita sekarang sudah tidak aman lagi, Frank?"
"Sayang. Kita jangan berspekulasi apa-apa dahulu. Kita tunggu saja pernyataan resmi dari polisi."
"Ya kau benar, sayang."
Sementara itu ke lima jenazah segera dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan analisis forensik.
Dr. Henry Lee yang memimpin dilakukannya otopsi terhadap ke lima jenazah. Ia dibantu oleh dua rekannya Laci Peterson dan Danny Casolaro. Kelima jenazah itu di identifikasi bernama Barbara, Anthony Chavez, Dorothy, Ethan Chavez, dan Fred Chavez
Dari ciri fisik ke lima jenazah memiliki tanda yang sama. Yaitu lebam berwarna hitam kebiruan yang disebabkan oleh racun. Lebam mayat merah terang atau cherry red, biasa muncul 2 jam setelah korban meninggal, bertahan paling lama 12 jam setelah kematian. Namun ke 5 jenazah tidak terlihat lagi berwarna merah terang. Dari ciri tersebut kemungkinan jenazah telah meninggal dunia lebih dari 12 jam.
Untuk memastikan jenis racun yang jadi penyebab kematian para korban, kemudian dilakukan pembedahan. Setelah rongga dada terbuka, terlihat adanya edema paru (paru yang mengalami pembengkakan) dan perdarahan pada alat dalam tubuh. Mereka kemudian mengambil sampel darah, organ dalam dan air seni, untuk dilakukan uji laboratorium.
Hasil laboratorium toksikologi yang keluar tak berapa lama kemudian, menguatkan dugaan para ahli. Warna lebam ini pada umumnya muncul pada mayat dengan sebab kematian racun sianida karena terjadinya peningkatan kadar oksigen dalam pembuluh darah vena.
Berhari-hari polisi melakukan olah tempat kejadian perkara. Polisi menyisir tiap sudut rumah dengan teliti. Berharap menemukan sedikit bukti yang ditinggalkan oleh pelaku di sana.
Keberadaan putri bungsu Anthony, Patricia Chavez, juga menjadi pekerjaan rumah aparat. Bayi berusia 8 bulan itu seakan-akan raib ditelan bumi bersamaan dengan masih misterinya pembunuhan keluarga Anthony. Polisi juga sempat mencurigai sepupu Anthony, Julian Chavez. Karena helaian rambutnya di temukan dalam celah karpet bulu yang ada di ruang keluarga. Namun dugaan itu terpatahkan dengan alibi yang dimiliki oleh Julian. Pada hari naas itu, Julian sedang berada di New York untuk melakukan perjalanan bisnis.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!