Beberapa tembakan terdengar nyaring di sebuah gedung terbengkalai yang ada di sisi jalan sepi. Beberapa pria berpakaian gangster memegang pistol, menembak ke satu arah.
"Siapa dia? Kenapa begitu lihai menghindari peluru?" Salah satu dari mereka tampak kesal ketika mengisi ulang peluru.
"Jangan pedulikan siapa dia, cepat tembak!"
Orang yang memiliki sekelompok gangster tidak peduli siapa pihak lain. Misi mereka kali ini adalah membunuh pemimpin kelompok mafia, Elnathan Deminthor.
Mereka baru saja berhasil membuat jebakan untuk Elnathan, tapi siapa yang tahu pihak lain punya bantuan di kegelapan.
Saat ini, orang yang mereka coba tembaki adalah Clarish, seorang gadis muda dengan pakaian malamnya. Ia bergerak lincah di antara mereka.
Hingga sosoknya tak lagi terlihat.
"Di mana dia?" Mereka waspada.
Tiba-tiba saja, Clarish muncul di antara mereka. "Mencariku?"
Mereka semua sontak berbalik dan langsung menodongkan pistol. Mulailah menembak lagi.
Tapi sosok Clarish kemudian menghilang lagi hingga semua hujan peluru itu menjadi senjata makan tuan bagi mereka.
"Ahhh!" Mereka yang tertembak oleh rekan sendiri langsung tewas di tempat. Puru menembus kepala.
Pemimpin gangster yang melihat ini, sangat marah. "Tidak berguna!"
Karena marah melihat rekan-rekannya tewas, pemimpin gangster itu pun membuang pistol dsn mengeluarkan pisau. Lalu menantang Clarish dengan arogan.
"Jika berani, datanglah dan lawan aku secara langsung!" teriaknya.
Clarish yang sudah berada di belakangnya pun tersenyum ringan. Ia menepuk bahu pihak lain yang lebih tinggi darinya.
Seketika, pemimpin gangster paruh baya itu menegang. Ia melihat jika di bahunya ada tangan ramping seorang gadis.
"Melawanmu secara langsung? Kamu bahkan bukan lawanku."
Kemudian tanpa alasan yang pasti, tangan pemimpin gangster yang memegang pisau tidak bisa dikendalikan. Tangan itu bergerak sendiri ke lehernya.
Pemimpin gangster sudah berwajah pucat. Hingga ketika menyayat lehernya sendiri sampai mati, tidak tahu siapa yang dihadapinya.
Setelah semua anggota kelompok gangster di gedung kosong itu kehilangan nyawa, Clarish pergi ke ruangan lain. Di sana, seorang pria berwajah tampan pingsan berlumuran darah.
Clarish tidak mengatakan apa-apa. Dia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Datanglah ke gedung terbengkalai yang ada di jalan ... Bosmu terluka dan perlu dirawat."
Setelah mengakhiri panggilan tanpa menunggu pihak lain merespons, Clarish segera berjongkok di depan pria yang disandarkan di dinding.
"Jika adikmu tahu kamu akan mati, dia mungkin akan mengorbankan diri memasuki sarang musuh," gumamnya.
Dari kedua telapak tangan Clarish, sebuah cahaya kehijauan muncul samar-samar. Lalu diarahkan pada bagian tubuh yang terluka. Jika orang biasa melihat ini, pasti akan sangat terkejut.
Meski lukanya tidak langsung sembuh, setidaknya akan menghentikan pendarahan yang berlebihan.
Setelah selesai meringankan luka, Clarish bersiap untuk pergi. Dia tidak sadar jika Elnathan yang pingsan karena luka-lukanya, samar-samar mencium aroma parfum yang dikenalnya.
"Clare ...," gumamnya seraya mencoba membuka mata. Tapi yang dia lihat hanya bayangan buram gadis itu berjalan menjauh.
Hingga tak lama, anak buahnya yang lain datang menemukannya.
"Bos!"
.....................
Clarish yang baru saja meninggalkan gedung terbengkalai langsung bersembunyi agar anak buah Elnathan tidak menemukannya. Malam ini, langit cukup mendung. Ia sangat mengantuk karena kurang tidur sejak beberapa hari terakhir hingga bersandar sebentar di batang pohon.
"Dia tidak akan tahu bahwa itu aku kan?" gumamnya.
Memastikan jika orang-orang Elnathan telah melakukan pembersihan sekitar, ia pun pergi diam-diam.
Setibanya di rumah, Clarish melepaskan pakaian malamnya dan membersihkan diri. Sebelum akhirnya menjatuhkan diri ke ranjang dan mulai tidur nyenyak.
Tidak tahu berapa lama tidur, Clarish tidak bermimpi sama sekali. Saat bangun, hari sudah siang. Ia makan siang lebih dulu dan melanjutkan tidur. Malam nanti, ia berjanji pada seseorang untuk menemaninya ke suatu tempat.
Hingga dering ponsel terus menerus mengganggu tidur siang Clarish. Gadis yang menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut perlahan membuka matanya. Tangannya tanpa sadar menyentuh meja nakas, mengambil ponsel.
Dengan ekspresi yang masih mengantuk, ia menjawab panggilan telepon dari sahabatnya.
“Hmm, ada apa?” tanyanya malas.
“Clare! Kenapa kamu tidak membalas semua pesanku? Apakah kamu tidur? Jam berapa ini? Bukankah kamu berjanji akan menemaniku bermain di bar bawah tanah malam ini?”
Suara Sophia agak berteriak di seberang telepon hingga Clarish menjauhkan ponsel dari telinganya.
Clarish mengerutkan kening dan menyingkirkan selimut tebal. Dia bangun dengan ogah-ogahan.
“Bukankah ini masih siang?”
“Siang katamu??!” Sophia berteriak marah di ujung telepon. “D*mn! Clare, apakah kamu serius?! Angkat pant*tmu dan lihatlah ke langit. Jam berapa sekarang! Aku akan menunggu dalam satu jam. Jika kamu tidak datang, aku akan menjemputmu dengan semua pengawalku!”
Kemudian Sophia merendahkan nada bicaranya. “Ngomong-ngomong, aku keluar diam-diam. Jika kakakku tahu, aku akan mati!”
Jelas nada suaranya terdengar ketakutan dan kesal.
Clarish masih belum mencerna semuanya dengan baik dan hanya menanggapinya dengan santai. Setelah Sophia mengakhiri panggilan telepon, Clarish bangkit dari tempat tidur.
Rambut panjang sepunggungnya sedikit kusut. Ia menggeser sedikit tirai jendela. Ternyata hari sudah mulai gelap. Saat melihat jam dinding, sudah pukul enam sore.
Ini masih musim panas sehingga langit masih cerah di negara A.
Clarish segera membersihkan diri dan berdandan sebelum akhirnya pergi ke tempat Sophia berada dengan memesan taksi. Setibanya di sana, Sophia sudah menunggu di depan gerbang rumah.
Ketika Clarish melihat penampilan Sophia seperti bunga mawar merah yang menggoda, mau tidak mau menghela napas.
“Serius, apakah kamu … berniat untuk bertaruh di sana?” tanyanya.
Sophia yang melihatnya datang, sedikit tidak senang. “Bukankah ada kamu? Kamu adalah pemain yang tak pernah kalah! Aku mengandalkanmu kali ini. Lagi pula, aku benar-benar ingin memeras baji*gan itu!”
Dia menghentakkan kakinya yang memakai high heels.
Sophia dan Clarish adalah sahabat sejak kecil. Keduanya jelas berbeda dari segi usia dan status sosial tapi tampaknya tidak peduli sama sekali. Contohnya, Sophia sendiri berasal dari keluarga Deminthor yang berpengaruh di ibu kota. Ia adalah nona muda bangsawan dari keluarga berpengaruh sekaligus terkaya di ibu kota.
Ada pun Clarish sendiri, hanya seorang gadis yatim piatu dari panti asuhan. Nama lengkapnya adalah Clarish Deonal Martin.
Kepintarannya di atas rata-rata tapi tidak pernah menempuh pendidikan sekolah sama sekali. Karena pada saat itu, pihak panti asuhan tidak memiliki banyak dana untuk menyekolahkan semua anak-anak asuh.
Pada akhirnya, anak-anak di panti asuhan hanya mendapatkan pengetahuan dari para pengurus dan guru sukarelawan.
Lalu, bagaimana Sophia dan Clarish bisa bertemu dan menjadi sahabat hingga sekarang?
Oh, ini cerita yang panjang ….
“Cepat, pergi! Jika tidak, kita akan terlambat!” Sophia segera menarik Clarish untuk memasuki mobil miliknya.
Para pengawal Sophia sudah mengenal Clarish dan terbiasa dengannya. Jadi ketika nona muda mereka pergi dengan mobil, mereka memasuki mobil hitam lain dan mengawal mereka selama perjalanan.
Di dalam mobil, Clarish sedikit heran. “Para pengawalmu tampak patuh sekarang?”
“Entahlah!” Sophia juga merasa aneh.
Ketika dia berkata akan pergi ke Bar, para pengawal yang ditetapkan kakak laki-lakinya hanya mengangguk. Ini memang aneh. Tapi karena mereka semua tidak mungkin menyakitinya, jadi dia santai saja.
“Lupakan saja.” Sophia jelas tidak ingin mencari tahu.
Ketika Sophia dan Clarish tiba di bar bawah tanah, penampilan keduanya menarik perhatian beberapa pria kaya generasi kedua. Sophia sendiri mengenakan gaun merah yang menunjukkan semua lekukan tubuhnya.
Clarish sendiri memiliki wajah cantik dan tubuh ramping sejak dulu. Jadi ketika dia berdandan dan memakai gaun seksi, pria mana pun pasti tidak akan bisa berpaling. Belum lagi dia menata rambutnya dengan gaya keriting gantung. Bibirnya terlihat merah merona tapi tidak membuatnya terlihat tua.
Ketika datang ke tempat-tempat seperti bar dan sejenisnya, ia akan berdandan layaknya wanita penghibur untuk membaur dan mendapatkan banyak informasi.
Sophia sudah berjalan cepat menuju ke salah satu pintu ruangan tempat perjudian ketika tiba di lantai dua. Clarish hanya mengikutinya dengan santai.
Sialnya, Sophia harus tersandung kakinya sendiri karena tidak berhati-hati saat melangkah. Tepat ketika ia terhuyung ke depan dan hampir jatuh, rasanya seperti ada sesuatu yang menahannya. Akhirnya ia segera menyeimbangkan tubuhnya dengan rasa penasaran yang dalam.
“Aneh, harusnya aku terjatuh. Kenapa tidak?” Sophia bertanya-tanya tapi jantungnya masih berdegup saat ini. “Clare apakah kamu juga melihatnya?”
Clarish yang baru saja menggunakan sedikit kekuatannya untuk menahan tubuh Sophia, berpura-pura tidak tahu apa-apa.
“Hanya perasaanmu saja.”
“Benarkah?”
“Mungkin karena kamu sedang bersemangat untuk kehilangan uang malam ini.” Clarish memutar bola matanya.
“Itu juga mungkin!”
“...” Clarish tidak menimpalinya lagi.
Melihat Sophia berjalan dengan cepat menuju pintu ruangan yang dituju, Clarish hanya mencoba mengikutinya. Sophia berteriak seraya membuka pintu ruangan selebar-lebarnya, lalu melepaskan kacamata hitamnya.
“Armen! Ayo bertaruh. Aku pasti akan menang kali ini!”
Ada cukup banyak orang di dalam ruangan perjudian, beberapa meja bundar serta tempat duduk.
Orang yang dipanggil Armen adalah pria berpakaian seperti playboy kelas atas. Penampilannya tak kalah dengan tuan muda kaya lainnya. Pria itu tak lain adalah mantan pacar Sophia selama awal masuk universitas.
Clarish tahu tentang pria itu karena Sophia sering bercerita betapa playboy nya Armen. Karena beberapa alasan tertentu, Armen tidak mau bermusuhan dengan mantan pacarnya yang satu itu.
Mungkin karena latar belakang keluarga Sophia. Oleh karena itu, Armen lebih memilih untuk putus secara baik-baik dengan Sophia.
Bahkan setelah itu, Sophia sangat kesal hingga selalu merasa jika memeras uang pria itu adalah cara terbaik melampiaskan kekesalannya.
Kedatangan Sophia menarik perhatian tamu lain. Tapi wanita itu sama sekali tidak peduli. Ia melangkah dengan percaya diri menuju ke salah satu meja judi.
Pencahayaan yang cukup redup membuat suasana di sana lebih menggoda.
Armen Cristopher memegang segelas anggur, duduk di depan meja judi dengan ditemani dua wanita cantik yang seksi. Kedatangan Sophia membuatnya terkejut.
"Sophia? What are you doing here? Bertaruh lagi?"
"Ya! Aku bertaruh lagi. Kali ini aku pasti akan menang!"
Tanpa diduga, Armen tersenyum. "Terakhir kali kamu kalah dan kakakmu yang harus membayar uangnya. Tidakkah kamu khawatir kakakmu akan datang lagi dan membayar uangnya?"
Sophia sangat marah dan dia sama sekali tidak peduli. Kali ini dia sangat percaya diri.
"Armen! Jangan meremehkanku. Kali ini bukan aku yang akan mengalahkanmu. Tapi sahabatku, Clare! Ayo bertaruh seratus juta dollar kali ini!"
Clarish yang baru saja masuk menyusulnya, hampir tersandung kakinya sendiri.
Seratus juta? Kenapa wanita itu begitu percaya diri? Pikirnya.
Seratus juta dollar, bukan uang kecil. Tapi di kasino sendiri, berjudi dengan taruhan besar tidaklah langka. Bahkan jika bar bawah tanah ini tidak dominan dalam perjudian, beberapa orang kelas atas akan melakukannya secara pribadi.
"One hundred million? Sophia, are you kidding me?" Armen terkejut. Yang lain bahkan lebih terkejut.
"Ini tidak seperti aku tidak punya uang!" Sophia sangat marah. Kemudian dia menarik Clarish ke sisinya. "Clare, sayang, kalahkan baji*gan itu untukku! Dengan begitu, aku bisa tidur nyenyak malam ini!"
Clarish sedikit lebih pendek dan kecil dibandingkan dengan Sophia. Usia mereka terpaut empat sampai lima tahun. Dan Clarish baru saja melewati ulang tahunnya yang kedelapan belas beberapa minggu lalu.
Clarish tidak berdaya dengan Sophia yang mulai manja dengannya. Dia menatap Armen dengan ekspresi polos. Ia tidak mau menunda lebih banyak waktu di tempat ini.
"Karena Sophia berkata seratus juta, maka jadilah itu."
Armen sedikit memandang rendah Clarish. Gadis itu bahkan belum mencapai usia dewasa yang matang. Ia tidak tahu kenapa Sophia begitu nekat untuk bertaruh dengannya malam ini.
"Nona ini, apakah dipanggil Clare? Kamu mungkin tidak tahu aku adalah salah satu orang yang sering memenangkan taruhan dalam berjudi. Aku tak terkalahkan. Karena kamu adalah sahabat Sophia, aku akan memberimu sedikit nasihat, jangan melakukannya."
Armen tidak ingin menganiaya gadis itu.
Clarish memutar bola matanya tapi masih terlihat santai. "Siapa yang sebenarnya tak terkalahkan, belum tentu sebelum bertindak bukan?" Ia tersenyum malas.
Armen terdiam sejenak lalu mengusir dua wanita cantik yang menemaninya minum.
"Karena kalian berdua begitu keras kepala, jangan salahkan aku nanti." Ia kemudian menatap Sophia. "Lebih baik kamu jelaskan ada kakakmu saat nanti kalah. Seratus juta bukan jumlah yang kecil."
Meski keluarga Deminthor kaya, mereka tak akan membuang-buang uang untuk perjudian seperti ini.
"Tidak masalah!" Sophia lega karena Armen menerima taruhannya.
Segera, Clarish dan Armen duduk berseberangan. Di depan mereka sudah ada kartu-kartu yang telah dikocok oleh pihak lain. Kemudian kartu dibagikan.
Beberapa tamu berkumpul di sekitar mereka karena ingin tahu hasilnya. Terutama karena taruhannya.
Clarish duduk dengan sikap yang sama sekali tidak seperti orang yang bertaruh seratus juta dollar. Namun jelas ia tampak percaya diri.
Dia sempat memperhatikan Armen cukup lama. Matanya menangkap sedikit keanehan tapi tidak terlalu mempedulikannya.
"Tuan Muda Christopher tidak akan kembali ke kata-katanya bukan? Seratus juta bukan mainan. Aku ingin yang itu ada malam ini setelah menang."
Armen yang memegang beberapa kartu, menatap Clarish dengan sedikit godaan. "Kamu sangat percaya diri. Jangan menangis padaku saat kalah nanti."
"Tidak mungkin. Aku tidak pernah kalah dalam beberapa hal. Termasuk ini."
Clarish meletakkan kartu yang hampir membuat Armen kalah.
Pada akhirnya, Armen tidak bisa berkata-kata. Entah kenapa, semua kartunya sangat sial kali ini. Pada akhirnya, Clarish memenangkan pertaruhan itu.
Armen membelalak dan bangkit dari duduknya. "How is this possible?!"
Kemenangan Clarish dianggap sah. Ini tidak dianggap melakukan kecurangan apa pun karena semuanya dilakukan secara terbuka di depan semua orang. Bahkan beberapa orang yang bersiap menonton Clarish dikalahkan, langsung tertegun.
Sophia yang sudah menduga hal ini langsung berteriak penuh kemenangan pada Armen. Lalu memeluk Clarish dan hendak memberinya ciuman sayang sahabat.
"Sayangku, kamu sangat luar biasa. Jika kamu adalah pria, aku pasti akan jatuh cinta padamu!"
Namun Clarish segera mendorong wajah Sophia dengan ekspresi jijik. "Aku masih gadis normal!"
Armen melihat Sophia yang begitu bahagia serta memeluk Clarish dengan penuh cinta. Lalu bergumam. “Gadis itu tidak sesederhana kelihatannya.”
Armen tidak tahan lagi melihat keduanya bahagia terlalu awal, jadi ia segera mengusulkan permainan lainnya. Ada biliar, dart dan masih banyak lagi. Armen tidak percaya jika dia sendiri tak bisa memenangkan satu pun permainan.
Kehilangan seratus juta sudah cukup banyak baginya. Namun itu tak berarti apa-apa.
“Armen! Kamu benar-benar cabul! Beraninya ingin menantang sayangku!” Sophia marah dan tidak setuju dengan hal itu.
Namun Armen sama sekali tidak terpancing emosi. Ia senang melihatnya kesal. Tidak tahu mengapa dia begitu senang? Armen mungkin tidak menyadari emosi ini sama sekali.
“So what? Kamu tidak akan kehilangan seratus juta dolar yang baru saja dihasilkan. Setiap permainan memiliki hadiahnya tersendiri. Jika aku kalah, aku akan membayar uang untukmu.”
"What if I lose?" Sophia merasa tidak mau, lebih baik lupakan saja.
“Jika kalah … lupakan, aku tidak akan memeras apa pun dari para wanita cantik. Bukankah aku akan terlalu baj*ngan jika benar-benar meminta sesuatu?”
Sophia memutar bola matanya. “Dasar sok baik,” gumamnya. Lalu dia meminta pendapat pada Clarish, berbisik padanya. “My darling, Clare, what do you think? Bukankah ini bagus? Kalahkan dia!”
“....”
Clarish berencana kembali setelah memenangkan permainan kartu. Tapi siapa yang bisa menahan perubahan rencana seperti ini?
Melihat mata Sophia yang memohon seperti anak anjing yang hampir ditinggalkan majikan, Clarish menghela napas tidak berdaya. Lalu dia menatap Armen tanpa adanya fluktuasi apa pun di matanya.
“Aku akan menerima tantanganmu. Tapi hadiah masing-masing dari tantangan bernilai sama dengan permainan kartu ini. Bagaimana dengan itu?”
Armen terkejut. Gadis itu terlihat begitu tenang dan percaya diri. Sulit menebak apakah dirinya sendiri akan beruntung atau sial malam ini. Namun ia masih menyetujui permintaan itu.
“Tidak masalah. Jika kamu bisa memenangkan semua permainan malam ini. Mobil Lamborghini yang kukendarai malam ini akan menjadi milikmu secara utuh.”
Keputusan Armen membuat semua orang yang mendengar hal itu tertegun dan akhirnya menahan napas. Bahkan Sophia membelalakkan mata.
What?
Hadiah utama memenangkan semua permainan ini adalah mobilnya?
Meski Lamborghini bukan mobil paling mahal namun setidaknya hanya orang yang benar-benar punya uang bisa membelinya.
Sial! Bahkan kakakku saja tidak membelikan mobil itu selama ini dengan alasan tidak cocok untuk wanita. Sophia kesal bercampur gelisah.
“Armen, are you serious?” tanya pria yang semeja dengannya, merupakan teman baik.
“Tentu saja aku serius.” Armen menatap Clarish yang tidak langsung menyetujui taruhan.
Sophia merasakan getaran di hatinya. Perasaan yang menyenangkan. Armen mungkin tidak tahu jika Clarish … adalah penggemar uang dan barang mewah serta barang antik.
Tapi …!
Tapi …!
Tapi gadis itu sangat pelit hingga menyebut dirinya sendiri miskin. Uang tunai di dompetnya mungkin hanya ada beberapa dolar saja.
Melihat Clarish yang begitu tenang, justru Sophia punya firasat buruk. Ketenangan sebelum badai.
Benar saja, Clarish tersenyum lebih tulus kali ini. Terlihat seperti gadis yang menyedihkan. Orang lain berpikir jika Armen menganiayanya.
"Okay, aku menerima tantanganmu, Tuan Muda Christopher."
"..." Armen merasa dirinya terlalu impulsif sebelumnya.
Kenapa gadis itu tersenyum seperti baru saja mendapatkan barang kesukaan?
Pasti ada yang tidak beres dengan semua ini. Armen mengalihkan pandangannya ke Sophia lagi. Tapi wanita itu pura-pura melihat ke arah lain. Jelas menghindari tatapannya.
Benar saja, ada yang tidak beres.
"Mari lakukan sekarang. Lebih cepat lebih baik." Clarish bangkit dari duduknya dan meluruskan gaunnya yang sedikit kusut.
Setelah memenangkan taruhan ini, dia bisa pulang dan makan Chinese food. Sempurna!
Armen membawanya ke berbagai permainan yang ada di bar bawah tanah tersebut. Beberapa teman Armen juga mengikuti sebagai saksi serta menonton kegembiraan.
Bar ini tidak menjalankan bisnis ilegal atau berbuat curang. Jadi semua hal yang dijadikan taruhan orang masing-masing pihak ditulis di atas kertas hitam putih oleh pengawas di sana.
"Mari kita lakukan permainan dart lebih dulu. Siapa yang bisa melempar sepuluh panah dart tepat sasaran atau mendekati tengah, maka menang." Armen mengusulkan.
Clarish mengangguk. "OK, no problem."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di rumah sakit, Elnathan mendapatkan laporan dari anak buahnya yang mengikuti Sophia sebagai pengawal. Ia baru saja mengganti perban dan mengecek pesan di ponselnya.
"Bos, apakah kamu yakin tidak akan melakukan perawatan lebih lanjut? Tetaplah di sini satu malam lagi," tanya asistennya.
"Tidak perlu." Elnathan merasa tubuhnya baik-baik saja saat ini.
Mungkin malam itu, dia merasakan perasaan hangat dan sejuk di luka-lukanya ketika Clarish menghentikan pendarahaan.
Ia tidak bisa terus menunggu di sini. Karena orang-orang itu berani menjebaknya, pasti harus tahu konsekuensinya tidak kecil.
"Kembali ke perusahaan dulu."
Setelah Elnathan menyimpan ponselnya, ia bangkit dan berjalan meninggalkan bangsal umum. Asistennya mengikuti. Setelah mengunjungi perusahaan, ia berniat untuk menyusul Sophia.
Bagaimana jika musuhnya itu mengirim sekelompok orang untuk mencelakai adiknya? Walau pun ada Clarish yang mampu di samping adiknya, ia tetap khawatir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ada pun di bar bawah tanah saat ini, Sophia tidak tahu jika Elnathan sedang mengkhawatirkannya sekarang.
Karena sekarang, permainan sudah dimulai. Armen sendiri telah memainkan ini sejak remaja dulu. Menurutnya menyenangkan. Melemparkan panah dart dari jarak tertentu, tidaklah mudah.
Namun ketika Clarish memulai, gerakannya sangat cepat. Sepuluh papan bundar memiliki satu panah dart masing-masing.
Hanya ada satu yang meleset.
"Kenapa yang terakhir meleset?" Sophia bingung.
Hey, Clarish jarang mengalah untuk orang lain. Terutama perihal kecerdasannya.
Yang lain juga bingung.
Clarish melihat papan target ke sepuluh. Dia hanya menjawab dengan santai.
"Oh, itu ... aku merasa kasihan dengan mantan pacarmu."
Jika memenangkan permainan terlalu bersih, bukankah tidak enak?
“...” Haruskah aku berterima kasih padamu, sayang? Sophia tak bisa berkata-kata.
“...” Armen dan teman-temannya juga tak bisa mengatakan apa pun.
Pikiran gadis itu sungguh agak di luar dugaan. Apakah mereka harus berterima kasih atau merasa terhina sekarang?
Bukankah itu berarti bahwa Clarish bisa melemparkan semua panah dart dengan sempurna?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!