Siang ini warteg kecil di pinggir kota itu nampak ramai,tempat tinggal sekaligus mata pencaharian budhe Diah. Seperti biasa para pekerja kantoran maupun anak muda menghabiskan waktu makan siangnya untuk menikmati masakan budhe Diah yang sudah tak asing di telinga orang-orang.
Aku yang sibuk kesana kemari melayani pelanggan sedangkan budhe Diah sibuk menyiapkan hidangan untuk mereka, tiba-tiba dua orang laki-laki berbadan besar dan sangar masuk ke dalam warteg. Dengan raut wajah sedikit ketakutan aku menghampiri mereka berniat menanyakan pesanan, namun salah satu dari laki-laki itu justru menggebrak meja dan membuat semua orang yang disana terkejut
"Heh kamu tahu tujuan kami kesini bukan untuk makan melainkan mau menagih hutang Anton yang sudah terlewat tanggal" ucap pria berjambang sangar itu
Tanpa menjawab akupun langsung menghampiri bj Diah yang masih berdiri di belakang etalase
"Budhe di depan ada dua orang mencari mas Anton" ucapku dengan ekspresi panik
"Siapa ndok?" tanya budhe Diah yang penasaran karena selama ini Anton anak satu-satunya itu tidak pernah terlihat bergaul dengan siapapun
"Arra juga tidak tahu budhe, mereka bilang katanya ingin menagih hutang pada mas Anton"
Masih dengan wajah penasaran budhe melangkah keluar dan menemui mereka
"Maaf mas-mas ini cari siapa ya? "
"Mana Anton? kurang ajar sekali dia cuma bisa janji-janji saja"
"Untuk apa mas-mas ini mencari anak saya? "
"oh jadi si Anton itu anak kamu? dia berhutang pada bos kami, dia juga janji akan melunasinya tetapi sudah seminggu ini kami tidak melihat batang hidung manusia tengik itu"
"Apa? Anton punya hutang? "
"Benar dia menjaminkan rumahnya jika tidak sanggup melunasi"
"Itu tidak mungkin, anak saya selama ini bekerja bahkan tidak pernah bergaul dengan lintah darat manapun"
"Jika anda tidak percaya silahkan lihat ini" Laki-laki itu menyerahkan selembar kertas yang berisi surat perjanjian hutang mas Anton dan bos mereka
Budhe mendadak lemas, aku buru-buru menarik kursi dan memintanya duduk. Aku melihat angka fantastis di atas kertas itu, aku tidak menyangka mas Anton yang terkenal pendiam itu berani meminjam uang pada lintah darat.
"maaf sebaiknya mas-mas ini pergi dulu, bukan maksud mengusir tetapi kami juga tidak tahu menahu soal hutang mas Anton. Biar nanti kami beri tahu pada mas Anton ketika pulang" jawabku mencoba meredam amarah mereka
"Sampaikan pada Anton jika besok dia belum juga melunasinya maka kami akan menyita rumah ini" ucap mereka sebelum pergi
Aku ke belakang mengambilkan segelas air putih untuk budhe, sementara mbak Yayuk karyawan budhe yang membantu cuci piring ku minta untuk melayani para pembeli terlebih dahulu.
"Budhe ini di minum dulu" ucapku seraya memberikan segelas air putih
Setelah meneguknya budhe berdiri dan memintaku untuk menutup warung lebih awal, aku hanya mengangguk mengikuti perintahnya. Sebelum jam 17.00 warteg budhe sudah ku tutup, setelah mbak Yayuk berpamitan untuk pulang aku pergi menemui budhe di kamar sembari membawakan nampan berisi nasi. Sedari tadi siang budhe sama sekali belum makan karena warung yang ramai apalagi di tambah masalah para penagih hutang itu.
"Budhe makan ya ini Arra bawakan nasi dan sayur soto kesukaan budhe"
"Tidak ndok budhe tidak nafsu makan, budhe hanya tidak habis pikir kenapa kakakmu bisa memiliki hutang pada lintah darat seperti mereka" ucap budhe Diah lirih
"Budhe yang sabar ya, mungkin mas Anton punya alasan sendiri"
Tak lama setelah itu ada suara pintu terbuka ku lihat dari depan pintu kamar budhe mas Anton baru saja pulang dari tempat kerjanya yang gak jelas itu.
"Anton sudah pulang ndok? " tanya budhe yang sudah berdiri dari pembaringannya
Aku menangguk sembari menggandeng tangan budhe yang masih sedikit lemas itu, mas Anton yang melihat kami berdua langsung menghampiri
"Bu ibu kenapa? sepertinya terlihat kurang sehat"
"Ibu mau tanya sama kamu Anton"
"Soal apa bu? "
"Apa benar kamu menggadaikan rumah ini pada lintah darat? "
Mata mas Anton membelalak bercampur dengan raut wajah yang ketakutan
"Ibu ngomong apasih? mana mungkin Anton berani menggadaikan rumah peninggalan almarhum bapak"
"Lalu ini apa? " ucap budhe sambil menunjukkan kertas salinan perjanjian hutang
"I ibu dapat dari mana? "
"Tidak usah banyak tanya, jawab ibu!! buat apa uang sebanyak itu Ton? "
"Ma maafkan Anton bu, Anton tergiur dengan penawaran usaha dari teman tempat Anton bekerja. Ia meminta Anton berinvestasi pada perusahaan milik pamannya yang ternyata semua itu hanyalah kebohongan, ia juga menipu beberapa karyawan lain kemudian menghilang begitu saja"
"Mas, mas bagaimana sih kenapa bisa begitu ceroboh? kenapa tidak minta pendapat ibu terlebih dahulu" ucapku sembari mengelus pundak budhe yang sedang menahan amarahnya
"Untuk apa? pasti ibu tidak akan mengizinkannya apalagi sekarang pengeluaran bertambah sejak kamu tinggal disini. Aku juga ingin berpenghasilan besar seperti teman-temanku, aku bosan tinggal di gubug ini"
"Astagfirullah Anton, ini harta satu-satunya peninggalan bapak kamu. Maafkan ibu jika selama ini belum bisa memberikan kamu tempat tinggal yang nyaman dan mewah"
"Salah ibu sendiri memungut Arra yang hanya menghabiskan uang untuk biaya sekolahnya itu. Coba saja jika kita tidak menampung dia pasti rumah ini sudah berubah menjadi rumah mewah dan juga ibu bisa berangkat umroh secepatnya"
Plaakkkkk...
sebuah tamparan mendarat di pipi mas Anton
"Benar-benar anak tidak tahu untung kamu, selama ini kurang apa bapak sama ibu ke kamu? masih saja menyalahkan orang lain. Semua ini karena diri kamu sendiri yang selalu tidak jelas pekerjaannya, mana hasil kerja kamu selama ini? Ibu perhatikan bukannya menghasilkan tetapi diam-diam kamu malah menggadaikan rumah ini" ucap budhe yang sudah memuncak emosinya
"Sudah budhe sudah, jangan sampai tekanan darah budhe naik lagi. Mas maafkan Arra jika selama ini menjadi penghalang kesuksesan mas Anton dan kesejahteraan budhe" ucapku merasa bersalah
"Nggak ndok, semua ini bukan salah kamu. Memang Anton saja yang selama ini terlalu di manjakan sehingga budhe lalai dan mengikuti semua kemauannya"
"Bu jangan terus terusan membela dia, mau sampai kapan dia numpang terus sama kita? kamu juga Arra, cari kerjaan gitu biar bisa bantu aku menebus rumah ini"
"Anton, semua ini salah kamu! kenapa justru Arra yang kamu salahkan. Harusnya kamu berterima kasih kalau tidak ada Arra siapa yang mau bantu ibu mengurus warung? Tempat ini sumber kehidupan kita satu-satunya tetapi sekarang terancam tutup karena ulah kamu"
"Budhe, sekali lagi Arra minta maaf. Arra akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari kerja dan membantu mas Anton menebus rumah ini"
"Nah gitu dong, kenapa gak dari dulu sih mikir seperti ini? " ucap mas Anton yang lalu pergi meninggalkan kami
"Ndok maafkan budhe ya, gara-gara Mas mu itu kamu jadi harus ikut menanggung bebannya"
"Budhe, sama sekali ini bukan beban buat Arra. Arra juga sadar selama ini keluarga budhe sudah sangat membantu Arra semenjak ayah meninggal dan mama juga memilih laki-laki itu. Kini saatnya Arra membalas kebaikan keluarga ini meski mau sampai kapanpun itu tidak akan cukup"
Budhe Diah tersenyum dan memeluk tubuhku, kami saat ini benar-benar bingung bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu sehari.
...Rainarra Joscelyn...
Seperti biasa aku dan budhe sudah bersiap di balik etalase penuh makanan di ikuti matahari yang mulai menyingsing menunjukkan pesonanya, setiap pagi pelanggan kami adalah ibu-ibu yang sekedar hanya membeli sayur untuk mereka yang menjadi ibu karir tak sempat memasak di rumah. Ada juga yang sekedar membelikan bekal untuk putra putri mereka ke sekolah, di tengah hiruk pikuk suara ibu-ibu yang sedang memilih lauk tiba-tiba dia orang yang menagih hutang kemarin datang dengan suara lantang.
"Anton keluar kau, bayar hutang-hutangmu"
sontak pandangan ibu-ibu yang berada disana menatap ke arah mereka, aku segera berlari menghampirinya untuk meminta menunggu sembari aku memanggilkan mas Anton yang masih tertidur.
"Mas tolong tunggu sebentar disini biar saya panggilkan mas Anton"
"Cepatlah, dan pastikan kakakmu itu membayar hutangnya"
Aku hanya bisa meneguk salifa mendengar suara garang itu.
*
Aku menghampiri kamar mas Anton dan ku ketuk pintu kamarnya lumayan lama, namun tak ada sahutan dari dalam. Ku beranikan diri masuk karena fikir ku mungkin mas Anton tidur terlalu lelap, namun alangkah terkejutnya aku tak ku temui batang hidung laki-laki berusia dua puluh delapan tahun itu.
Aku berusaha mencari kesana kemari namun tak ku temui nya, aku kembali ke depan dan melihat dua orang itu masih menunggu. Ku hampiri mereka dengan rasa takut, takut mereka akan mengamuk seperti kemarin
"Mana Anton? "
"Maaf mas, mas Anton tidak ada" ucapku lirih
"Tidak ada bagaimana? Jangan-jangan kamu kerjasama dengan dia ya? "
"Ti tidak mas, sama sekali tidak"
"Ga itu si Anton dia berusaha melarikan diri" ucap teman si penagih hutang itu
"Sial, ternyata kau mencoba mengalihkan pandangan kami supaya Anton bisa kabur kan" teriaknya lagi sembari keluar mengejar kakakku itu
Aku dan budhe langsung berlari ke depan melihat kondisi mas Anton yang kejar kejaran dengan para preman tersebut, ku lihat wajah budhe penuh khawatir. Aku mencoba memenangkannya
"budhe tunggu sini biar Arra yang mengejar mereka" ucapku sembari berlari meninggalkan warteg
*
Mas Anton tertangkap dan kedua preman itu memukulinya, semua orang yang melihat tidak berani melerainya karena takut akan ikut kena pukul. Aku maju menutupi tubuh mas Anton yang hampir sempoyongan babak belur
"Tolong tolong stop memukuli kakak saya, beri kami waktu lagi untuk membayar hutang-hutang itu" ucapku mencoba menenangkan para preman
"Ah kamu sama saja dengan kakakmu, hanya bermulut manis"
"Saya janji akan melunasinya secepat mungkin" ucapku dengan nada memohon
"Gimana ini Ga?" tanya preman itu pada temannya
"Pasti bos akan marah jika kita tidak mendapatkan uangnya hari ini"
Tanpa pikir panjang preman itu mendorong ku dan kembali memukuli mas Anton, aku yang sedikit kesakitan mencoba melerai mereka. Hampir saja aku kena pukul jika tangan seseorang tidak menepis tangan preman itu
"Siapa kau? jangan ikut campur" ucap preman itu yang membuat ku membuka mata yang sedari tadi tertutup rapat karena takut preman itu akan memukul ku
"Pantang bagi seorang laki-laki memukul perempuan" ucap pria tersebut
"Alah jangan sok jadi pahlawan loe"
Tanpa basa basi preman itu menyerang laki-laki yang membela kami, namun dalam sekejap mata dua preman itu telah dikalahkan olehnya. Mereka tergeletak di tanah sembari memegangi bagian yang sakit, tiba-tiba laki-laki lain menghampirinya
"Tuan ada apa ini? " ucapnya pada laki-laki yang menolongku
"Tidak apa aku sudah membereskannya"
Preman-preman itu berdiri sembari menunjuk ke arahku dan mas Anton
"Awas kau Anton besok aku akan kembali dan siap menyeret keluarga mu dari rumah itu" ucapnya sembari berjalan tergopoh-gopoh
Setelah mereka pergi aku mengucapkan terimakasih pada laki-laki yang menolong kami tadi
"Terima kasih om" ucapku dengan membungkukkan sedikit badan
"Siapa namamu? "
"Saya? "
"Iya kamu"
"Saya Rainarra"
"Kalian tinggal dimana kalau boleh tahu? "
"Di rumah dekat ujung jalan itu, sebuah warung makan kecil"
"Bisa saya berkunjung kesana? "
"Embb boleh" ucapku dengan raut kebingungan
Kami berjalan bersama menuju warung, aku memapah mas Anton yang mau pingsan di bantu oleh teman laki-laki yang menolong kami. Di depan nampak budhe yang masih menunggu dengan wajah khawatir
"Ya Allah Anton kamu kok sampai begini" ucap budhe yang langsung membawa mas Anton masuk ke dalam rumah
"Silahkan duduk om, biar saya ambilkan minum"
Aku segera masuk ke dalam membuatkan minuman untuk mereka berdua lalu meletakkannya di atas meja
"Jadi ini rumah makan kalian? "
"Iya om"
"Sudah lama? "
"Alhamdulillah sudah berjalan sepuluh tahun ini"
Ia tersenyum sambil menatap sekeliling
"Bukan maksud saya mau ikut campur masalah kalian, tetapi saya dengar dari percakap preman-preman itu kakakmu memiliki hutang pada mereka"
Aku mengangguk pelan
"Kalau boleh tahu berapa? "
"Maaf om, tapi untuk apa ya om bertanya soal ini? "
"Sayang juga kalau rumah makan yang sudah berdiri lama harus tutup karena hutang, jika sudah berdiri selama itu berarti kalian mempunyai banyak pelanggan bukan? "
Aku kembali mengangguk
"Akan saya beli rumah makan ini supaya kalian bisa membayar hutang-hutang itu, sebagai gantinya kalian tetap bekerja disini seperti biasa"
"Tapi itu bukan hak saya untuk memberi keputusan om, warung ini milik budhe"
"Kalau begitu kamu bicarakan dengannya, ini kartu nama saya jika kalian setuju hubungi saja"
Laki-laki itu berpamitan lalu pergi meninggalkan secarik kertas kecil di atas meja.
*
Setelah menutup warung aku langsung masuk ke dalam rumah, aku hanya menemukan mas Anton duduk di depan televisi sembari memeluk toples camilan.
"Mas, budhe dimana? "
"Di kamar"
"Mas, apa mas Anton sudah menemukan solusi untuk melunasi hutang itu? "
"Belum"
"Lalu bagaimana mas jika besok preman itu benar datang dan menyita rumah ini? "
"Alah mereka tidak akan berani, mereka itu hanya rentenir ilegal tidak ada hukum"
"Mas jangan begitu, mereka saja berani memukuli kamu sampai seperti ini"
"Sudahlah tidak usah kamu pikirkan, sekarang pikirkan saja bagaimana cara kamu untuk bisa membantuku melunasi hutang-hutang itu"
Aku pergi tanpa bergeming lagi, rasanya hatiku sakit setiap mas Anton mengungkit tentang perihal aku yang masih belum bisa membalas semua kebaikan-kebaikan keluarganya.
*
Setelah mandi aku menemui budhe yang berada di meja makan menyiapkan hidangan, mas Anton yang baru bangun tidur nyelonong duduk dan mengambil piring.
"Ton sebaiknya mandi dulu sebelum makan" suruh budhe
Namun ucapan beliau seperti tak di indahkannya, mas Anton tetap melanjutkan mengambil lauk lalu duduk dengan sebelah kakinya yang di angkat ke atas kursi. Aku hanya menatap budhe yang sudah terbiasa dengan sikap mas Anton
"Budhe ada yang ingin Arra katakan"
"Ada apa ndok? "
"Budhe ingat dua laki-laki yang menolong mas Anton tadi? "
"Iya kenapa ndok? "
"Mereka menawarkan bantuan untuk melunasi hutang mas Anton"
"Bantuan apa Ra? " tanya mas Anton yang langsung menghentikan makannya
"Mereka mau membeli rumah ini untuk melunasi hutang kamu mas, tetapi mereka meminta agar warteg tetap jalan seperti biasa. Sebagai gantinya Arra dan budhe tetap berjualan dan keuntungan akan di bagi dua"
"Baguslah kalau begitu jadi kita tidak perlu pusing mikir hutang sekaligus cari tempat tinggal lain"
"Tapi rumah ini satu-satunya peninggalan bapakmu Ton" ucap budhe yang kembali dengan raut wajah sedihnya
"Lalu mau bagaimana lagi bu? apa ibu punya solusi lain untuk melunasi hutang-hutang itu? "
"Lain kali kalau kamu mau ambil keputusan bicarakan dulu sama ibu Ton"
"Anton sudah tahu pasti ibu tidak akan setuju, makanya Anton tidak membicarakannya dengan ibu"
Budhe sudah kehabisan kata-kata dan memilih meninggalkan meja makan, aku hanya dapat menghela nafas menghadapi sikap mas Anton yang terus menerus membuat ibunya sedih.
"Mas apa tidak kasihan sama ibu? "
"Kamu lagi Ra, ngapain juga harus bingung mikir solusinya kalau semuanya sudah ada di depan mata. Lagi pula kita masih bisa tinggal dirumah ini kok meski sudah di jual"
"Tapi kan beda mas rasanya"
"Kalau begitu kamu saja yang bayar hutang-hutang itu kalau tidak ingin rumah ini terjual, selama ini kamu sama sekali tidak ada kontribusi membantu keluarga ini. Apakah kamu tidak berfikir biaya kuliahmu itu tidaklah sedikit belum lagi kamu tidak menggunakan gelarmu itu untuk mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan"
"Bukannya tidak mau menggunakannya untuk mencari pekerjaan mas, tapi dari pada budhe harus membayar jasa karyawan lebih baik Arra yang membantunya saja"
"Halah banyak alasan kamu, dasar tidak tahu balas budi" ucapnya seraya mendorong kursi dan berlalu pergi
Aku hanya bisa tertunduk meneteskan air mata, menutup mulutku agar tak mengeluarkan suara. Andai saja mama tidak selingkuh dan meninggalkan ayah pasti aku tidak akan menjadi beban untuk orang lain, tetapi apa daya nasi sudah menjadi bubur.
...BU DIAH...
Seperti biasa pukul 03.00 aku sudah bangun untuk menemani mbak Yuyun ke pasar sebelum nanti membantu budhe memasak, tetapi ketika aku memasuki dapur tidak ada aktivitas seperti biasa. Budhe tidak ada disana begitu juga dengan mbak Yuyun, apa mungkin ia kesiangan.
Aku segera kembali ke kamar dan mengambil ponsel untuk menghubunginya, lama sekali mbak Yuyun tidak menjawabnya
"Halo mbak Arra"
"Halo mbak, mbak Yuyun kesiangan ya? kok jam segini belum datang? "
"Lho mbak bukannya hari ini libur? "
"Libur?" aku melirik kalender di samping pintu namun angkanya masih berwarna hitam
"Mbak ini tidak hari Minggu kenapa libur? "
"Lho mbak Arra tidak tahu? semalam ibu telfon katanya besok warung tutup saja karena katanya beliau tidak enak badan"
Aku terdiam sejenak, memang sejak kejadian di meja makan budhe tidak lagi keluar kamarnya hingga sekarang
"Ya sudah mbak kalau begitu, maaf kalau Arra mengganggu waktu tidur mbak Yuyun"
"Tidak apa-apa Ra"
Aku kembali ke kamar setelah menutup telefon mbak Yuyun, ingin rasanya pergi ke kamar budhe namun aku juga tidak ingin menganggu waktu istirahatnya apalagi budhe sedang tidak enak badan. Akhirnya aku putuskan kembali tidur sejenak sebelum alarm sholat subuh berbunyi.
*
Keesokan paginya setelah mandi dan menyiapkan sarapan aku masih tidak melihat budhe keluar dari kamar, aku memutuskan untuk membawakan sarapannua ke kamar. Ku ketuk pintu dan masuk meski tak ada jawaban, terlihat budhe duduk di tepi ranjang sembari memandang foto paman dan dirinya di depan rumah ini.
"Budhe" panggil ku pelan
Ia menoleh dan tersenyum kepadaku
"Ndok hari ini warteg tutup saja ya? kita istirahat sejenak"
"Iya budhe, ini Arra bawakan nasi goreng dan juga obat"
"Makasih ndok"
"Budhe masalah rumah ini biar Arra cari solusi, Arra akan meminta pada om itu untuk memberikan kita waktu supaya rumah ini bisa di tebus kembali suatu hari nanti"
Budhe hanya tersenyum kecil, nampak kesedihan di wajah yang sudah tak lagi muda itu. Setelah mencoba menenangkan budhe aku pamit keluar untuk sarapan juga, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari luar rumah. Aku keluar dari pintu samping dan melihat dua preman kemarin yang sudah membawa satu alat berat di depan rumah kami.
"Anton keluar kamu" teriaknya
Aku berlari kedalam rumah dan segera membangunkan mas Anton yang masih tertidur pulas
"Mas, mas Anton bangun"
"Ada apa sih Ra ribut-ribut pagi begini?"
"Itu mas, para preman-preman itu datang lagi"
"Sudah biarkan saja mereka hanya ingin menggertak kita"
"Tidak mas, mereka serius dengan ucapannya kemarin. Mereka membawa alat berat di depan rumah"
"Alat berat? "
"Iya mas.. "
Mas Anton segera beranjak keluar kamar aku mengikutinya yang pergi menghampiri preman-preman itu
"Sekarang kalian kemasi barang-barang kalian, rumah ini akan aku hancurkan" ucap salah satu preman itu
"Bang tolong beri kami waktu sedikit lagi, saya janji besok saya akan bayar bahkan saya antarkan uangnya ke bos"
"Halah Janji-janji saja kau ini"
"Benar bang saya berani sumpah, jika saya bohong ambil saja sekalian nyawa saya ini"
"Mas Anton, mas Anton apa-apaan sih?" teriakku
"Awas ya kau Anton, jika besok belum juga kau bayar siap-siap saja kehilangan nyawa" jawab preman itu
Aku dan mas Anton menghela nafas lega setelah melihat mereka pergi, namun alat berat itu tetap di tinggalkan didepan rumah kami.
"Mas bagaimana mas Anton bisa berkata seperti itu, mereka tidak macam-macam dengan ucapannya"
"Lalu bagaimana lagi Ra? sudah kamu hubungi saja om-om yang katanya mau membeli rumah ini"
"Tapi mas, budhe belum menyetujuinya"
"Ibu pasti setuju daripada harus kehilangan nyawa putra semata wayangnya ini"
*
Kami sampai di depan pintu samping terlihat budhe berdiri di sana dengan air mata yang sudah membasahi pelupuk matanya
"Ndok kamu hubungi saja orang yang mau membeli rumah ini"
"Tapi budhe"
"Sudah dari pada preman-preman itu terus mengganggu kita, apalagi budhe malu sama tetangga jika terus terusan seperti ini"
"Sudah cepat hubungi Ra, lagi pula ibu sudah mengizinkan kok kalau rumah ini di jual"
Aku hanya bisa mengangguk pasrah mengikuti perintah budhe, aku masuk kedalam kamar dan mengambil ponsel serta kartu nama laki-laki itu.
Di depan budhe dan mas Anton aku menghubunginya
"Halo om? "
"Halo siapa ini? "
"Ini saya Arra perempuan yang om tolong kemarin"
"Oh iya, bagaimana sudah mempertimbangkan saran saya? "
"Sudah om, budhe menyetujuinya"
Belum selesai aku berbicara, mas Anton langsung menyahut ponselku
"Halo bro, kalau kamu minat dengan rumahku sebaiknya hari ini segera kita selesaikan transaksinya"
"Baiklah saya akan datang kesana"
"Oke saya tunggu"
Budhe hanya diam menatap keluar pintu, rumah ini banyak kenangan di dalamnya. Rumah yang paman bangun untuknya, rumah yang menjadi tempat berpisah mereka pula.
"Sudahlah bu, lagi pula bangunan rumah ini sudah tak sekuat dulu lagi. Lain kali kita bisa beli rumah kecil-kecilan jika sudah ada uang"
"Mas, harga rumah tidak seperti harga cabai di pasar. Apalagi seiring berjalannya waktu pasti akan semakin mahal"
"Nah itu kamu tahu, makanya kamu juga harus cari kerja supaya bisa bantu kita buat beli rumah lagi. Selama ini kita juga tidak pernah merasakan sedikitpun hasil kerja keras kamu"
*
Suara mobil terdengar berhenti di depan warung, aku segera keluar menemui om itu lewat pintu samping. Nampak ia datang bersama temannya yang kemarin dengan membawa koper di tangannya
"Om silahkan masuk" ucapku
Budhe dan mas Anton sudah menunggu di ruang tamu, nampak jelas wajah budhe yang sedih sembari memegang surat rumah ini di tangannya.
"Halo bro, seperti yang sudah anda bicarakan dengan adik saya kemarin. Kami menyetujuinya" ucap mas Anton yang penuh semangat
"Budhe, budhe yakin untuk menjual rumah ini? " tanyaku sekali lagi
"Sudahlah Ra jangan mempersulit keadaan, kita tidak punya banyak waktu. Kamu sendiri juga yang bilang kalau preman-preman itu tidak akan main-main dengan ucapannya"
"Tapi mas, bagaimanapun rumah ini menyimpan banyak kenangan budhe dan paman. Apa mas Anton tidak merasa sedih harus kehilangan rumah ini? "
"Kalau memang sudah takdirnya kenapa harus di bantah? "
"Sudah ndok budhe tidak apa-apa"
"Kalau begitu silahkan tanda tangan disini, tuan Daniel sudah memberikan harga lebih dari yang kalian jaminkan untuk rentenir itu" ucao teman om yang di panggil dengan sebutan Daniel itu
Mas Anton mengambil kertas tersebut, matanya membelalak melihat harga yang di tuliskan dua kali lipat dari angka yang ia jaminkan. Tanpa ragu ia menandatangani surat tersebut namun om Daniel menghentikannya
"Tunggu.... "
"Ada apalagi? " tanya mas Anton yang sudah tidak sabar
"Apa kamu sudah yakin akan menjual rumah ini? "
"Tentu saja, kenapa anda bertanya lagi? "
"Saya rasa apa yang adik anda katakan ada benarnya juga, rumah ini mempunyai banyak kenangan bersama keluarga apakah tidak sayang jika harus dijual? "
"Jika saya berpikir begitu lalu bagaimana hutang-hutang itu bisa lunas"
Ruangan hening sesaat, om Daniel memandangi ku cukup lama kemudian kembali berbicara
"Kalau begitu saya akan melunasi hutang-hutang anda tanpa harus menjual rumah ini, sebagai gantinya nikahkan saya dengan adik anda"
Ucapan om Daniel membuat semua yang ada di ruangan itu terkejut, terutama teman yang duduk di sampingnya itu.
"Boleh juga, dengan begitu ibu tidak perlu kehilangan rumah ini dan kenangannya"
"Anton, apa-apaan kamu? kamu korbankan Arra sebagai pengganti membayar hutang-hutang mu itu" ucap bu Diah
"Sudahlah bu ini jalan yang terbaik, ibu akan tetap memiliki rumah ini dan Anton tidak akan di kejar-kejar lagi oleh preman-preman itu"
"Mas, mas Anton tega memilih opsi kedua ini? "
"Ayolah Ra, anggap saja ini sebagai bentuk balas budimu kepada keluargaku. Mau menunggu sampai kapan lagi kamu bisa membayar semua yang sudah keluargaku berikan selama ini? "
Lagi-lagi mas Anton mengungkit masalah itu, aku selalu merasa kalah jika ia sudah berkata demikian.
"Baiklah jika itu yang bisa Arra lakukan untuk menebus semua kebaikan-kebaikan yang sudah mas Anton dan keluarga berikan pada Arra"
"Jangan ndok, merawat kamu sudah menjadi amanah ayah kamu pada almarhum suami budhe"
"Budhe, Arra tidak mau seumur hidup harus terbaysng-bayang dengan semua hutang budi yang mas Anton berikan. Lagi pula mas Anton benar, mau sampai kapan Arra bisa membalas kebaikan budhe sekeluarga? Arra tidak akan bisa budhe"
"Budhe mohon ndok, jangan korbankan masa depan kamu demi hal yang tidak kamu lakukan"
"Sudahlah bu, lagi pula Arra juga setuju. Katanya ibu tidak mau kehilangan rumah ini tetapi ibu melarang Arra menikah dengan dia"
"Budhe, tidak apa. Arra dengan senang hati melakukannya, ini semata-mata supaya budhe tetap memiliki rumah ini dan semua kenangan di dalamnya"
"Baiklah jika itu sudah keputusan mu ndok, maafkan budhe tidak bisa berbuat apa-apa lagi"
"Nah gini kan sama-sama enak, rumah tetap jadi milik kita dan hutang pun lunas" imbuh mas Anton
"Kalau begitu besok saya akan kembali lagi dengan surat perjanjian baru dan membawa orang tua saya untuk melamar adik anda, dan ini cek senilai hutang anda"
"Baiklah kalau begitu Terima kasih"
Mas Anton mengantarkan mereka berdua keluar, budhe segera menghampiriku yang masih duduk diam di ujung ruangan.
"Ndok maafkan budhe, seharusnya budhe bisa mencari solusi lain tanpa kamu harus mengorbankan masa depan yang masih panjang ini"
"Tidak apa budhe, mungkin ini memang sudah takdirnya seperti kata mas Anton"
Budhe memeluk tubuhku yang rasanya lemas dan ingin menangis, aku tak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya nanti. Cita-cita yang ingin ku gapai masih belum terwujud, namun aku sudah harus menikah dan harus mengabdi kepada orang yang baru ku kenal kemarin.
...ANTON...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!