Seorang penulis Novel terkenal asal prancis bernama Rempis Pieter mark, terpaksa harus mendekam di salah satu rumah sakit gangguan jiwa yang terletak di kota Le Mans.
Rumah sakit jiwa yang jaraknya jauh dan sangat terpencil itu bernama The Crazy Hospital. Insiden tahun 2004 silam, mengharuskan Niki sebagai seorang istri lebih memilih untuk mengirimkan sang suami ke rumah sakit gila di banding harus kehilangannya.
Sebelumnya Rempis telah di tuntut hukuman mati, namun karena perjuangan Niki yang luar biasa, Rempis dikirim ke RSJ dengan masa tahanan yang tak tau sampai kapan.
Bagi Rempis sendiri, memilih mati atau RSJ itu sama saja, tak berbeda. Meski mendekam, ambisi gila Rempis dalam menciptakan sebuah karya demi melawan ketidak adilan bagi hidupnya tak pernah pupus.
Disana, ia bertemu dan mengenal dokter harian bernama Reus dan asistennya bernama Wuri. Dari sekian waktu panjang Rempis bertaruh antara hidup dan mati melawan pemerintahan, Reus dan Wury lah kunci pemegang konflik utama.
***
Disebuah kota Le Mans bagian prancis, hiduplah sepasang suami istri bernama Rempis Pieter Mark dan Niki Zevizi.
Mereka diberkahi dengan kehidupan mewah dan sangat bergelimang harta. Profesi Rempis ialah sang seniman paling terkenal di negara tersebut.
Meski keduanya belum di berkahi seorang anak, keduanya tetap bahagia menjalani hidup tanpa memikirkan tiap masalah yang ada.
Namun, dari sekian banyak hasil karya naskah yang Rempis buat, tak luput dari banyaknya kontra ke pemerintahan setempat. Terlebih lagi, karya yang ia buat sangat berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat sekitar.
Dimulai dengan karya politik, perdagangan manusia, narkoba, pornografi, psikopat, scandal dan masih banyak jenis lainnya.
Minggu, 13-06-2004, Rempis dan Niki sedang menyaksikan hukuman mati seorang wanita malam yang telah membunuh kliennya serta merampas harta klien tersebut demi memenuhi kebutuhan hidup.
Hal itu juga ia angkat langsung menjadi sebuah karya, tak lama setelahnya langsung mengedarkannya ke penerbit.
Setelah kian maraknya kasus pendemo silih berganti menentang ketidakadilan pemerintah, dengan sigap pemerintahan melarang karya terbitan apapun dari Rempis.
Penerbit yang melanggar, akan langsung di tindak hukum secara keras dan beresiko hukuman mati. Namun tetap saja, ada satu penerbit yang tetap berani mempublish karya Rempis secara diam-diam.
"Manusia memiliki sepasang mata, namun buta akan kebenaran. Manusia juga memiliki sepasang telinga, namun tuli akan teriakan keadilan. Manusia juga punya bibir untuk bebas berucap, namun bungkam ketika ketidakadilan merajalela! Sampah!" Pekik Rempis berjalan meninggalkan lokasi eksekusi.
"Kamu ingin pergi kemana?" ucap Niki berjalan mengikuti.
"Mencari yang memang harus kucari dan menulis yang harus kutulis."
Rempis melangkah memasuki mobil diikuti Niki, bergegas menuju sebuah villa di puncak kota. Setibanya di villa tersebut, Rempis langsung mengeluarkan pena bulu lengkap dengan buku catatan miliknya.
"Ada ide baru? Mau kamu lanjutin menulis itu? Bukankah pemerintah telah memperingatkanmu?" ujar Niki melepas mengganti pakaian.
Rempis terduduk melamun, tangannya tak berhenti bergetar menggenggam sebuah pena dan sesekali coba menggigit bibir.
"Sayang...jangan terlalu memaksakan diri. Kita sudah hidup cukup bahagia dengan semua yang kita miliki saat ini," lanjut Niki berbaring di tempat tidur.
"Menyuruh penulis berhenti, sama saja seperti membunuhnya secara perlahan. Tahukah kamu sayang, dunia akan tetap berjalan meski tanpa seniman. Namun, isi dunia itu sendiri bergantung dari warna atau coretan sang seniman di dalamnya."
Niki bangkit berjalan mendekati Rempis, kemudian memeluk hangat dari belakang," Aku gak ingin kehilangan kamu, kamu penyebab utama aku mengerti apa itu cinta. Walau aku baru tau setelah membaca kisah romantis milikmu."
"Cinta ibarat sebuah pena, bahkan membunuh seseorang melalui tulisan bukan lagi hal yang tabuh. Kamu gak perlu khawatir, Tuhan selalu melindungi mereka yang memiliki tingkat imajinasi."
Disisi lain kantor pemerintahan pusat.
"Panggil adams kemari!" jelas Delson.
Delson ialah panglima tertinggi yang bertugas di bidang keamanan kota Le Mans (Police).
"Siap pak!" balas salah seorang prajurit.
Berselang setengah jam, Adams tiba di kantor tersebut langsung menghadap Delson.
"Permisi, Pak."
"Silahkan duduk," pinta Delson.
"Baik pak!" Adams melepas topi, kemudian terduduk.
"Kamu tau...kenapa saya panggil secara mendadak keruangan ini?" lanjut Delson berjalan berdiri di samping Adams.
"Maaf, tapi saya belum tau, Pak."
Adams ialah ketua regu unit Intelegensi yang langsung bekerja di bawah perintah Delson. Ketika sedang melaksakan tugas menangani kasus tertentu, Adams bukanlah seorang yang bisa di ajak diskusi.
Terlebih ketika ia sedang menyiksa seseorang, bahkan perbuatannya lebih keji dari seekor binatang buas.
Delson berbalik arah, berjalan ringan menuju sisi jendela kaca membelakangi Adams, "Keributan dan kegaduhan yang di sebabkan Rempis kian merajalela. Kedamaian di kota ini seketika hampir hilang...punah hanya karena sebuah karya."
"Bukankah itu tak lagi menjadi masalah baru, Pak? Ditahun-tahun sebelumnya, setau saya, dia juga kerap menimbulkan kontra terhadap pemerintahan."
Delson melirik Adams, tersenyum tipis, kemudian berpaling muka kembali, "Bahkan bila perlu, di negara maupun setiap sudut kota ini, orang seperti dia harus di bungkam sedalam mungkin. Kehadirannya sebuah kesalahan Tuhan dalam menciptakan manusia."
"Tapi Pak, sebagai penegak hukum tertinggi di negara ini, kita sendiri cukup tau jika undang-undang negara masih berpihak padanya. Tanpa alasan kuat, jika kita langsung menangkap menjatuhi hukuman berat, hanya akan menimbulkan masalah baru di kalangan masyarakat."
"Persetan dengan itu semua! Inilah alasan kenapa aku sampai memanggilmu datang kemari. Aku ingin, kamu membereskan masalah ini secepat mungkin dengan cara apapun, demi mengembalikan nama baik instansi pemerintahan! terkhusus unit kepolisian!"
Adams bangkit berdiri, "Siap, Pak!"
Seminggu setelahnya, beredar lah di surat kabar seluruh kota Le Mans bahwa, telah terjadi kasus pembunuhan serta bunuh diri sepasang kekasih di sebuah hotel mewah bernama Star Hotel.
Setelah ramai menjadi perbincangan publik, polisi kota bersama tim investigasi perkara bergegas menuju lokasi. Setibanya di lokasi, langsung mencari bukti sebab akibat.
"Dengarkan semuanya! Harap kepada seluruh tamu untuk keluar menuju halaman gedung dengan segera!" Tegas Adams.
Setelah para tamu hotel keluar, Adams, Miller dan seluruh jajarannya bergerak cepat mencari petunjuk disetiap sudut kamar.
Hingga akhirnya, salah seorang prajurit menemukan robekan buku karya Rempis berbalut percikan darah di atas meja.
Kasus seperti itu sebenarnya bukan hal baru, hanya saja pihak Delson dan Adams sendiri membuatnya terlihat sangat viral. Bahkan dengan sengaja mereka mengundang serta membiarkan para awak media meliput bebas kondisi saat itu.
Kasus tersebut semakin membesar membajiri daily news Prancis dengan menyangkut pautkan nama Rempis, sebagai sumber sebab akibat kasus itu terjadi.
Setelah dirasa cukup, Adams dan Miler bergerak menuju mobil langsung dan masuk kedalamnya.
"Gimana? Apa semua yang kita lakukan ini sangat real terlihat nyata...tanpa rekayasa?" ucap Miler cukup percaya diri.
"Sangat sempurna! Aku gak nyangka kamu bakal buat sejauh ini. Tapi, bagaimana caramu melakukannya? Terlebih manusia-manusia bedebah itu tanpa pikir panjang sanggup mengakhiri hidupnya."
"Mereka-mereka itu ialah manusia sampah yang tak bernilai dimanapun keberadaanya. Aku hanya perlu sedikit mendoktrin saja."
"Terus?"
"Yah karena dasarnya mereka pengkonsumsi berat narkoba, aku berikan saja mereka Opiat / opium. Itu loh, narkoba berjenis zat berbentuk bubuk yang dihasilkan oleh tanaman bernama Papapver Somniferum. Belum lagi kandungan morfin dalam bubuk itu sendiri biasa digunakan untuk menghilangkan rasa sakit."
"Hebat kamu. Gak sia-sia jika aku selalu menjadikanmu rekan terbaik di setiap menangani segala kasus," jelas Adams menatap kagum.
"Kamu terlalu berlebihan, aku hanya sedikit membantu saja, selebihnya itu ide brilian kamu sendiri," balas Miler memantik api menyalakan cerutu di tangan.
"Baiklah, kalau begitu kita hanya perlu menyerahkan berkas ini ke pusat, agar si bedebah itu segera di proses dan di jatuhi hukuman yang sangat berat. Bila perlu di jatuhi hukuman mati!" kecam Adams memacu laju mobil.
Disisi lain Rempis yang sedang menikmati terik panas matahari, berbaring di pinggir pantai.
"Sayang! Kamu sudah dapat kabar belum?" ujar Niki berjalan mendekat.
"He'em? Kabar apa?" balas Rempis perlahan membuka mata.
"Itu, kasus pembunuhan yang baru-baru ini terjadi."
"Dikota ini, kasus seperti itu terlalu sering terjadi dan bukanlah hal yang mengejutkan lagi," jelas Rempis kembali memejamkan mata.
"Iya aku tau itu. Masalahnya sekarang itu, media menyangkut pautkan membawa-bawa nama kamu! Mereka berkata jika kasus ini ada kaitanya denganmu!" balas Niki mulai khawatir.
Mendengar peryataan tersebut, sedikitpun Rempis tak merasakan panik ataupun ketakutan berlebih, melainkan ia tertawa cukup keras.
"Hah..ah..aha! Sebegitu takutnya mereka dengan sebuah buku? Atau terlalu mengerikannya aku dimata mereka?"
Rempis tau jika Niki sangat mengkhawatirkannya, namun sekali lagi, tak ada satupun manusia yang sanggup membunuh ambisi gilanya dalam menulis.
Rempis menoleh menatap Niki dengan tatapan tajam, sembari kedua tangannya menyentuh lembut setiap sisi pipi Niki.
"Terkadang seseorang harus menjadi gila, agar mereka mengetahui betapa gilanya manusia saat berebut suatu hal...demi memenuhi rasa rakus dalam diri!"
Rempis kemudian melepas sentuhannya, bangkit berbenah pakaian. Sedangkan Niki, masih termenung tertunduk cemas, takut jika hal yang paling ia takuti pada akhirnya kan terjadi.
"Ayo kita pergi, aku ingin menikmati kembali Diva Vodkaku yang berharga," jelas Rempis berjalan menuju parkir mobil.
Rempis ialah seniman buruk dalam hal menyayangi kesehatan tubuh. Ia suka bermabuk-mabukan, merokok bahkan sesekali memakai bahan terlarang seperti kokain.
Meskipun kelakuan buruknya seperti itu, sikap dermawan dalam dirinya yang suka membantu sesama makhluk hidup, tak perlu di ragukan lagi.
Bukan satu dua kali ia menyumbangkan jutaan dollar untuk para korban bencana di setiap kota atau berbagai belahan negara. Ia juga membantu menciptakan lapangan kerja melalui kritik dari karyanya dan memenuhi semua kebutuhan puluhan rumah fakir miskin di setiap bulannya.
Banyaknya pujian datang silih berganti tertuju padanya, tak membuat sikapnya goyah serta langsung berubah arah.
Hal itu membuatnya disukai di kagumi beberapa kelompok yang mendukungnya, selaras dengan banyaknya jumlah pengutuk pembenci dirinya.
Setibanya kembali di Villa, Rempis dan Niki telah di sambut seorang resepsionis.
"Permisi Pak, ini ada surat titipan."
Rempis mengambil surat tersebut, kemudian membaca mengamati setiap isi didalamnya.
Pikiran Niki yang masih belum tenang, semakin menjadi ketika ia juga mengetahui perihal surat kabar.
"Sayang......" lirih Niki memeluk lembut Rempis.
"Buang-buang waktuku saja! Bagaikan kawanan srigala lapar yang panik ketika tak mampu menerkam mangsa di depan mata!" pekik Rempis membuang surat tersebut.
Keduanya kini kembali melangkah memasuki kamar. Resepsionis yang masih berdiri, terlihat bingung akan umpatan yang Rempis tujukan.
"Jadi ngeri sendiri liat sikap seorang seniman. Apa semua seniman memiliki kegilaan pola pikir seperti itu ya?"
Kembali kesisi Adams dan Miler yang telah bersantai di salah satu ruangan kantor pusat, setelah pihaknya telah selesai memberikan seluruh keterangan yang terjadi di lokasi.
"Mari, kita bersulang bersama akan selesainya permasalahan ini," ujar Delson menggenggam menyodorkan gelas berisikan alkohol.
Adams dan Miler menyambut sulang tersebut dengan senyum sumringah.
"Oh iya, ngomong-ngomong, apa surat itu telah di tujukan pada alamat yang benar?" lanjut Delson meneguk minumannya.
"Mereka tidak mungkin salah mengkonfirmasi dimana Rempis berada, Pak," jelas Adams.
"Tapi Pak, maaf sebelumnya, hal apa yang membuat anda begitu sangat-sangat membenci Rempis? Saya tau jika banyak dari masyarakat membencinya, tapi berbeda dengan sikap anda padanya," cetus Miler menyahuti obrolan.
"Begini, secara diam-diam, saya bekerjasama dengan beberapa pihak di bisnis ilegal, yah seperti distribusi narkoba atapun perdagangan manusia. Tapi kini, beberapa bisnis kami tersorot kamera dan boom! Hancur lebur karena ulah karya yang ia terbitkan!"
"Bisa sampai seperti itu, berarti pengaruhnya cukup kuat yah?" balas Miler mengangguk-angguk.
"Yah mau gimana lagi, kalian tau sendiri profesi kita seperti apa. Bermain seperti itu sudah hal lumrah di kalangan kita," jelas Delson perlahan duduk.
"Tapi, aku masih penasaran. Jika dia bisa mengangkat serta mengungkap semua bisnis itu menjadi sebuah karya, berarti informasi itu ia dapat dengan cukup jelas. Pertanyaannya, siapa yang telah memberikan informasi itu padanya? Apakah ada penyusup diantara kalangan yang anda maksudkan itu, Pak?" sahut Adams berpikir sejenak.
"Itu yang masih saya cari tau. Jika aku mengetahuinya, aku pastikan hukuman mati untuk pengkhianat tersebut!" kecam Delson menggenggam erat gelas di tangan.
Ketika sedang membahas secara detail masalah yang ada, seorang anggota kepolisian datang.
TOK....TOK...TOK!
"Permisi, Pak. Mau melapor," ucapnya dari luar ruangan.
"Silahkan masuk," singkat Delson.
Berjalan mendekati Delson, "Saya mau melapor, barusan saya mendapat telpon dari salah satu resepsionis dimana Rempis berada. Ia mengatakan, bahwasanya Rempis telah membuang surat pemanggilan dirinya dan dengan sengaja mengabaikan panggilan tersebut.
Delson bangkit berdiri, melirik kesisi Adams juga Miler, "Jemput paksa dia sekarang! Bila perlu siksa sekejam mungkin! Tapi pastikan jangan sampai mati terlebih dahulu!"
"Siap, Pak!" sambut keduanya memberi hormat beranjak pergi.
Adams dan Miler yang saat itu sangat antusias, langsung bergerak menuju Villa di tempat Rempis berada. Sedangkan Rempis, lagi asik seorang diri menikmati anggur kelas miliknya.
Walau keseharian Rempis terlihat monoton dalam kehidupan sehari-hari, di dalam imajinasi liarnya, dia tak pernah mengenal kata sepi.
"Aghhhhhhh...... Maha karya Tuhan telah menciptakan serta memberikan hidup yang begitu indah, walau banyak pecahan kaca maupun duri di dalam ciptaan itu sendiri," ujarnya kembali menuang botol minuman.
"Kamu sudah terlalu banyak minum hari ini sayang dan lihat kondisi kamu sekarang, kamu sudah sangat-sangat mabuk. Lebih baik kamu istirahatkan dahulu tubuhmu itu," sahut Niki yang baru keluar dari kamar mandi.
Rempis tertawa kecil, kemudian menenggak kembali minuman dalam genggamannya.
"Tidur? Apa itu tidur? Jika aku bisa, dalam 24 jam disetiap harinya, aku gak ingin tertidur satu detik pun. Sebab, ketika aku tertidur, taman mimpiku kian memudar," balasnya memantik api menghisap cerutu.
Siuuuuuuuuuu......(Hembusan asap).
Niki menaikan sebelah alis, menghela nafas kasar melihat prilaku sang suami.
"Bahkan malaikat dan iblis sekalipun, akan terlihat sama baiknya jika mereka mendekat kepada orang-orang yang mengangguminya," lanjut Rempis kembali menuang gelas kosong.
"Hem, mulai lagi," batin Niki lanjut memakai pakaian.
Rempis kembali menggoyangkan botol anggurnya yang telah habis sembari berdiri, "Jika sosok malaikat sangat istimewa di mata suatu kaum, iblis pun juga sama istimewanya di mata para pengikutnya. Sekarang pertanyaannya adalah, ketika dua kaum tersebut berbenturan, apa yang akan terjadi? Yah, benar, yang terjadi adalah, botol minuman ini habis," jelasnya seketika jatuh tersungkur di lantai.
Mendengar ocehan Rempis karena mabukan dan terjatuh di lantai, Niki menggeleng kepala berjalan mendekat, membantu melepaskan sepatu serta pakaian Rempis.
Hal tersebut tak mengherankan Niki, karena hal itu sudah sering terjadi kala Rempis dalam keadaan mabuk teramat parah.
Setelah membantu membopong Rempis ke tempat tidur, Niki kembali berjalan mendekati meja dimana Rempis menuangkan imajinasinya, berniat membersihkan tempat tersebut.
Meja yang saat itu terlihat berantakan, belum lagi coretan-coretan gambar porno maupun kisah-kisah pembunuhan, membuat Niki sedikit bingung tentang sisi lain perilaku suaminya.
Masalahnya, apa yang Rempis tulis, dalam waktu singkat di kemudian hari akan terjadi. Bahkan, kepada sang istri sendiripun ada hal yang masih di sembunyikan oleh Rempis.
Satu jam setelahnya, adams dan Miler tiba di lokasi. Keduanya bergegas turun dari mobil, masih berpakaian dinas lengkap, langsung menggenakan kacamata, berjalan menuju meja resepsionis.
"Selamat datang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Kami sedang menjalankan tugas untuk menemui sekaligus menjemput seseorang bernama Rempis. Apa benar dia tamu di tempat ini?" jelas Adams menunjukkan surat penangkapan.
"Benar, Pak. Sekitar 2 jam lalu, beliau baru tiba dan mungkin sekarang lagi beristirahat."
Setelah mendapat informasi lengkap, pihak Villa membiarkan Adams dan Miler pergi menemui Rempis yang berniat segera menjemputnya.
"Sebaiknya, dia mengikuti apa yang kita inginkan tanpa ada perlawanan! ketus Adams terhenti di depan pintu lift.
"Ya itu lebih baik karena kita gak perlu membuang energi terlalu banyak tuk sekedar menanggapi alasannya," sahut Miler berjalan mengikuti Adams memasuki lift.
Disudut lain desa kota Le Mans, berjarak 33 km arah barat laut bernama Sille le guillaume, memiliki bangunan istana bersejarah yang berasal dari abad ke-11.
Di tempat tersebut, terdapat satu gedung bangunan tua yang telah lama terbengkalai karena peristiwa kelam masa lalu.
Kini, bangunan tersebut telah disulap pemerintah setempat menjadi tawanan rumah sakit gila di abad modern.
Dihuni oleh sekitaran 20 pasien kejiwaan, baik itu gila karena korupsi, narkoba, kemudian karena kemiskinan, lalu gila karena pembunuhan dan gila karena psikopat seks.
Dibalik itu, pemerintahan setempat hanya menyerahkan tanggung jawab kepada seorang pria bernama Reus Phoenix untuk mengelola secara sukarela tanpa imbalan gaji.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup lingkungan tersebut selain mengurus ternak domba, Reus hanya berharap pada uluran tangan seorang dermawan yang membagi atau membantu sumbangan seadanya. Baik itu berupa bantuan pangan, pakaian ataupun santunan dana.
Sebagai kepala pengurus yayasan yang bertugas serta bertanggung jawab akan tempat tersebut, ia hanya di bantu beberapa pekerja saja, diantaranya seorang wanita bernama Wury yang menjadi asistennya.
Hal sukarela juga berlaku pada pekerja lainnya, ada yang bertugas sebagai pembersih ruangan bernama Deria, pencuci pakaian bernama Helena, Wury yang bertugas memasak sekaligus membantu Reus dan Arthur sebagai kuli pikul juga mengurus ternak domba atau berhubungan dengan hal berat lainnya.
Nasib sama yang mereka alami dengan Reus, hanya hidup sebatang kara, mencoba membangun keluarga dalam lingkungan yang ada. Hingga sampai saat ini, kedekatan mereka antara satu dan lainnya melebihi dari sekedar teman ataupun rekan kerja.
Menjalani kehidupan sehari-hari sekaligus menjadi tempat tinggal di yayasan kejiwaan tersebut, tak membuat Reus dan lainnya bersedih maupun meratapi nasib.
Berbekal ilmu medis yang ia pelajari secara otodidak bersama rekan lainnya, Reus justru bangga akan profesi itu. Terlihat dari aura cukup senang dengan kegiatan sehari-seharinya kala berbaur dengan para kerabat maupun para pasien.
Tekad bulatnya membantu memulihkan kejiwaan para pasien, ia tanamkan dari kecil ketika kedua orang tuanya meninggal karena gangguan yang sama.
Meski banyaknya jumlah pasien yang menghuni tempat tersebut, anehnya, para penderita gangguan kejiwaan itu sangatlah baik, patuh, terlebih sangat mengerti tentang perintah apapun yang Reus ucapkan.
Saat ini Reus sedang berada di sebuah ruangan kosong, bekas gudang yang terbengkalai bersama Arthur dan Wury.
"Bagusnya apa yang akan kita buat pada tempat ini ya?" ujar Reus memperhatikan sekitar sembari mengusap ringan debu-debu dinding.
"Jangan terlalu rumit memikirkan itu, ada baiknya untuk sementara kita cukup perlu membersihkannya. Aku yakin, suatu hari nanti bisa jadi tempat yang...yah paling tidak ada manfaatnya," sahut Wury mengambil pecahan-pecahan bingkai di lantai.
"Andai saja kita kedatangan tamu seorang bangsawan atau apa gitu yang memberi bantuan dalam jumlah besar, mungkin lebih cocok ruangan ini di bangun sebuah museum bersejarah atau paling gak hiburan layar lebar," balas Arthur terduduk sembari menggoyang-goyangkan kursi tua.
"Semoga saja nantinya ada, jangan berpasrah begitu," jelas Wury membersihkan lemari bersarang laba-laba.
Mendengar keduanya saling beradu pikiran antara Wury dan Arthur, Reus terdiam merenung dengan tangan memangku dagu.
"Oh iya, dana uang kas bulan ini sudah semakin menipis, terlebih biaya kebutuhan kita semakin tinggi. Apa yang harus kita lakukan?" lanjut Wury melirik Reus.
Reus menghela nafas, sedikit tersenyum, "Aku berniat menjual beberapa domba ternak kita untuk menutupi kebutuhan kedepan."
Wury berjalan mendekati Reus, menyentuh serta mengusap lembut bahu Reus,"Kami akan selalu berdiri bersamamu. Apapun yang kamu putuskan, itu yang terbaik untuk semuanya."
Tak lama setelahnya, ketiganya sangat bersemangat membersihkan gudang tersebut di iringi gelak canda tawa.
Kembali ke sisi Adam dan Miler yang telah berdiri tepat di depan kamar Rempis dan Niki.
"Permisi!" ujar Adams mengetuk pintu kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!