NovelToon NovelToon

Bodyguard Cantik Kesayangan

Bab 1 Hukuman

"Pokoknya aku gak mau tinggal di sana!" seru seorang gadis cantik dengan melipat kedua tangan di depan dadanya, dan besungut kesal pada kedua orang tuanya.

"Keputusan Papa sudah bulat. Kamu harus menjalani hukuman dari Papa, tinggal dengan kakekmu di desa selama tiga bulan!" ujar seorang pria dewasa dengan tegasnya.

"Pa, tapi Serena bisa dihukum di sini saja," tutur wanita cantik dengan tatapan memohon pada suaminya yang sedang duduk di sebelahnya.

"Tidak bisa, Ma. Keputusan Papa tidak bisa diganggu gugat. Ini sudah kesekian kalinya Serena melakukan kesalahan yang sama. Jadi, hukuman kali ini harus benar-benar bisa menyadarkannya."

Ucapan tegas dari Tristan membuat Amora tidak bisa membantahnya. Dia berusaha merayu sang suami, agar mau meringankan hukuman untuk anak gadis mereka. Bahkan Serena pun mengiba pada sang papa, agar membatalkan hukuman tersebut, dan menggantinya dengan hukuman yang lain.

Namun, semua usaha ibu dan anak tersebut gagal. Tristan benar-benar tidak bisa dibujuk saat ini. Bahkan ketika sang istri merajuk pun, dia tetap dengan keputusannya.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

"Sudah sampai, Non."

Seketika Serena mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang sedang dipegangnya. Dia menatap pemandangan yang ada di luar mobilnya.

"Sial! Kenapa aku harus berada di pedalaman seperti ini? Menyebalkan!"

Umpatan demi umpatan dikeluarkan dari bibir mungilnya, sebelum keluar dari dalam mobil mewah yang dikendarai oleh sopir keluarganya.

"Silahkan, Non," ucap seorang laki-laki paruh baya seraya membukakan pintu mobil untuk Serena.

Dengan malasnya gadis tersebut keluar dari mobil. Langkah kakinya terasa berat, sama seperti hatinya yang berat meninggalkan rumah, teman, dan hobinya.

"Cucu Kakek yang cantik sudah datang," sapa seorang pria baya yang sedang berjalan menghampiri gadis tersebut.

"Kakek!" seru Serena seraya berlari menghampiri sang kakek.

Serena dan sang kakek berpelukan erat, melepaskan kerinduan mereka. Wajar saja mereka rindu berat, karena keluarga Serena hanya setahun sekali berkunjung ke rumah sang kakek.

"Bagaimana perjalananmu ke tempat terpencil ini? Pasti sangat melelahkan, bukan?" tanya sang kakek seraya tersenyum memandang wajah cantik cucunya.

"Kakek," ucap Serena merajuk pada kakeknya.

Sang kakek tersenyum, dan mengusap punggung cucunya, berusaha untuk menenangkannya.

"Tenanglah Seren. Semua akan baik-baik saja. Di sini tidaklah seperti yang kamu bayangkan. Di sini orangnya ramah-ramah, dan Kakek jamin, kamu pasti betah tinggal di sini bersama dengan Kakek."

'Kakek sih enak ngomongnya. Coba kalau Kakek jadi Serena, pasti Kakek gak bakalan setenang ini,' batin Serena menanggapi penuturan dari sang kakek.

"Ini semua barang-barangnya sudah saya turunkan dari mobil, Non. Apa ada yang perlu saya lakukan sebelum saya kembali ke kota?" tanya sang sopir dengan sopan pada anak majikannya.

Serena melihat semua barang yang ada di dekatnya. Beberapa koper dan tas miliknya benar-benar dikeluarkan oleh sopir tersebut.

"Makan dulu, Mang. Setelah makan, barulah pulang," tutur si kakek pada sopir keluarga anaknya.

"Terima kasih, Kek. Saya makan nanti saja. Ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan setelah ini," ujar sopir tersebut, menolak permintaan kakek Serena.

Serena hanya diam, tanpa berkomentar apa pun. Dia memandang iba pada tas, serta koper miliknya yang menandakan bahwa dirinya benar-benar tinggal di tempat itu.

Setalah makan siang, sang kakek mengajak Serena berkeliling desa tersebut, untuk memperkenalkannya pada warga sekitar, serta menunjukkan pada sang cucu betapa indahnya dan tenangnya desa tersebut.

Hari-hari pun berlalu. Genap tiga minggu Serena tinggal di desa tersebut bersama dengan kakeknya. Tidak ada ponsel, game, dan balap mobil yang menemani hari-harinya. Semua fasilitasnya telah diambil oleh papanya, sehingga Serena merasakan hukuman kali ini begitu berat baginya.

Beruntunglah dia telah menemukan teman untuk mengisi hari-harinya. Benu, teman kecil Serena ketika berkunjung ke rumah kakeknya, kini bertemu kembali dengannya. Betapa beruntungnya Serena, karena teman masa kecilnya itu mempunyai hobi yang sama dengannya.

Kini, hari-harinya dihabiskan bersama Benu dengan bermain game di rumahnya. Rahmat, sang kakek senang melihat cucunya tidak lagi bersedih tinggal di desa tersebut. Bahkan cucu cantiknya itu, tidak lagi mengeluh dan merengek untuk pulang ke kota.

Namun, kebahagiaan Rahmat tidak berlangsung lama. Dia harus kembali pada sang pencipta, ketika Serena genap satu bulan tinggal bersamanya.

Rumah duka itu dipenuhi dengan para warga sekitar yang berduka cita atas kepergian kakek Serena. Banyak orang yang merasa kehilangan atas kepergiannya.

Begitu pula dengan keluarga Serena. Tristan merasa sangat bersalah, karena tidak menyempatkan waktu untuk bisa lebih sering mengunjungi ayahnya. Terlebih lagi saat sang ayah meninggal dunia. Dia sangat menyesal, karena tidak bisa berada di sisinya.

Amora pun merasa sedih dengan kepergian ayah mertuanya. Kesedihannya bertambah ketika mengingat jika anak kesayangannya harus tinggal sendiri di rumah tersebut, karena masa hukumannya belum berakhir.

"Pa, sebaiknya Serena kita ajak kembali ke kota saja," ucap Amora untuk membujuk suaminya.

"Tidak bisa, Ma. Masa hukuman Serena kurang dua bulan lagi," tukas Tristan dengan tegas, tanpa melihat wajah istrinya, berusaha menyembunyikan wajah sedihnya.

"Pa, dia sendirian di sini. Apa Papa tega meninggalkan Serena hidup sendirian tanpa siapa pun di rumah ini? Apa lagi Serena tidak bisa memasak. Dia juga Papa larang untuk membawa uang. Jadi, bagaimana dia bisa hidup?"

Tristan menatap wajah sang istri yang sedang memohon padanya. Tidak dipungkirinya, dia juga mencemaskan anak tunggal mereka yang masih sedang menjalankan hukuman darinya.

"Papa rasa ini saatnya dia untuk belajar bertanggung jawab pada dirinya sendiri, Ma. Untuk makan dam sebagainya, Papa yang mengurusnya. Mama tenang saja. Papa tidak akan menelantarkan anak semata wayang kita."

'Ck! Papa susah banget sih dibujuknya. Harusnya Mama gak boleh menyerah gitu aja. Ayo, Ma. Bujuk Papa. Rayu Papa supaya aku bisa pulang ke kota bersama dengan kalian,' batin Serena ketika mencuri dengar dari balik tembok percakapan kedua orang tuanya.

"Papa jangan terlalu kejam menghukum anak sendiri. Dia tidak hidup di kawasan militer. Apalagi Serena seorang gadis. Dia harus kita lindungi, Pa. Tidak seharusnya dia hidup sendiri di tempat yang jauh dari kita," ucap Amora seraya memegang tangan suaminya, mencoba kembali merayunya.

"Serena tidak selemah itu, Ma. Dia ahli bela diri, dan pastinya lebih jago daripada Papa. Apa Mama meragukan kemampuan anak gadis kita?" tanya Tristan sembari tersenyum bangga mengingat prestasi Serena yang sering memenangkan lomba beladiri.

"Mama sangat bangga pada Serena, Pa. Dia seorang perempuan, tapi sangat tangguh. Ternyata Mama telah melahirkan putri yang sangat hebat," ujar Amora dengan bangganya.

'Sial! Ini pertama kalinya aku menyesali keahlianku. Harusnya aku jadi gadis lemah saja, sehingga aku bisa ikut kembali ke kota bersama mereka.'

Bab 2 Hidup Sebatang Kara

Hening. Keadaan rumah kakek Serena menjadi sepi. Hanya terdengar suara jangkrik yang sudah familiar baginya. Serena menghela nafasnya, dan memperhatikan sekelilingnya.

"Sepi. Papa tega banget sih. Aku kesepian di sini sendirian," rengek Serena di tengah kesunyian malam.

Percuma saja dia merengek ataupun menangis, karena tidak ada seorang pun yang berada di dekatnya. Di dalam rumah tua yang bergaya klasik itu, gadis cantik nan tomboy tersebut, hanya ditemani sebuah televisi di ruang tengah.

"Aku bosan, dan kesepian. Apa yang harus aku lakukan," ucapnya seraya menghentak-hentakkan kedua kakinya, layaknya seorang bocah yang sedang merengek meminta sesuatu.

Tiba-tiba dia teringat akan kakeknya yang selalu mengatakan jika dia sangat bangga padanya. Bangga akan kecantikannya, kepintarannya, dan keberaniannya, sehingga sang kakek memintanya agar tetap tinggal di desa tersebut, untuk mengajari anak-anak desa menjadi lebih maju.

"Cuma Kakek yang menyayangiku. Cuma Kakek yang selalu mengerti aku. Kakek, Serena kangen," gumamnya disertai tetesan air mata kerinduannya pada sang kakek.

"Serena! S-e-r-e-n-a!!!"

Terdengar seruan dari luar rumah tersebut memangil nama si penghuni rumah tersebut.

Seketika mata Serena membelalak, dan tersirat cahaya kesenangan di matanya. Bibirnya melengkung ke atas mendengar suara seorang laki-laki yang tidak asing di telinganya.

Sontak saja dia melompat dari tempat duduknya, dan berlari kecil menuju pintu, seraya berseru,

"Benu!"

"Apaan sih Ser, teriak-teriak? Kuping Benu masih normal," ujar Benu dengan santainya, ketika pintu tersebut sudah terbuka.

Senyum Serena musnah. Bahkan wajahnya yang sumringah, kini terlihat kesal mendengar ucapan dari teman satu-satunya di desa tersebut.

"Masih untung aku sambut kamu dengan teriakan kegembiraan, daripada aku sambit pakai golok, pilih yang mana?" tukas Serena sembari berkacak pinggang.

"Hiiii sereeeem," ucap Benu bergidik ngeri.

Plak!

Sebuah sandal berwarna baby pink, telah mendarat dengan indahnya pada bibir Benu, hingga membuat sang pelempar yang juga merupakan pemilik dari sandal tersebut, bersorak kegirangan.

"Yes! Tepat sasaran!"

"Serena!!!" teriak Benu seolah menggetarkan seisi jagat raya.

Plak!

Sebuah pasangan dari sandal yang sama, kembali mendarat di bibir Benu. Sandal bagian kanan milik Serena, kini telah bertemu pasangannya kembali. Mereka sama-sama tergeletak di lantai, tepat sebelah kaki Benu.

Hidung Benu kembang kempis menahan amarahnya. Dia menatap pada gadis yang sedang menertawakan dirinya. Tawa gadis itu membuat Benu semakin kesal dan marah, sehingga dia tidak bisa lagi menahannya.

"Se-re-na!!!"

Seketika Serena berlari keluar dari rumah tersebut. Dia tertawa riang, karena merasa puas bisa menjahili seorang Benu yang selalu kalah darinya.

"Serena! Sini! Jika kamu tidak menyerahkan telingamu untuk aku jewer, jangan harap kamu bisa ikut aku ke rumah sekarang!" seru Benu dengan bangganya, sambil berkacak pinggang di depan pintu.

"Ke rumah? Maksudnya ke rumahmu?" tanya Serena seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Benu menganggukkan kepalanya, dan tertawa penuh kemenangan. Kemudian dia berkata,

"Ibu menyuruhku memanggilmu untuk makan bersama kami. Sayangnya itu tidak mungkin, karena--"

Secepat kilat Serena bergerak cepat menghampiri Benu. Dia mendekatkan telinganya, seraya berkata,

"Ini, silahkan jewer sepuasnya."

Seketika bibir Benu melengkung ke atas. Dia merasa jika kali ini bisa mengalahkan sahabat tomboy nya itu.

Namun, ketika tangannya akan menyentuh telinga gadis cantik tersebut, tiba-tiba Benu teringat sesuatu. Tangannya berhenti tepat di dekat telinga Serena, dan bertanya padanya.

"Apa kamu benar-benar menyerah?"

Dengan cepatnya Serena menganggukkan kepalanya, dan semakin mendekatkan telinganya pada Benu, seraya berkata,

"Ikhlas. Cepat lakukan. Jangan mengulur-ulur waktu. Aku sudah lapar."

"Kamu gak akan balas dendam, kan?" tanya Benu ragu-ragu.

Pertanyaan Benu membuatnya tertawa. Tanpa sadar, tangan Serena memukul-mukul lengan Benu seiring tawanya.

"Ra, sakit!" seru Benu seraya meringis, menahan rasa sakit.

Namun, seruan Benu hanya sia-sia belaka. Serena masih saja memukulnya. Bahkan tawa gadis itu pun masih menggema di telinganya.

"Kenapa? Kamu takut ya, jika aku membalas dendam?" tanya Serena di sela tawanya.

Merasa semakin kesakitan menerima pukulan di lengannya, dengan cepatnya Benu berjongkok, agar bisa lepas dari pukulan sahabatnya. Hanya cara itulah yang bisa menyelamatkannya, karena sudah bisa dipastikan jika Serena tidak akan pernah melepaskan tawanannya.

Seketika tawa Serena lenyap. Dia memandang heran pada sahabatnya, dan berkata,

"Ngapain kamu ngejogrok di situ?"

Benu menatap kesal pada sahabat cantiknya yang sama sekali tidak merasa bersalah padanya. Dengan kesalnya dia berkata,

"Belum balas dendam saja, badanku sudah kamu buat remuk. Apalagi nanti kalau kamu niat balas dendam? Bisa-bisa jadi almarhum aku nanti."

"Gak usah bacot deh. Ayo cepat bangun. Kasihan ibumu sudah nungguin kita dari tadi," ujar Serena sembari menarik tangan Benu, berusaha menolongnya untuk segera berdiri.

Dengan malasnya Benu berjalan bersama dengan Serena. Dia mengomel seiring dengan langkah kakinya.

"Ck! Bilang saja jika kamu sudah sangat lapar, dan tidak sabar menikmati makanan ternikmat di dunia."

Serena hanya tersenyum lebar menanggapi omelan Benu, tapi dalam hati dia menggerutu.

'Ya jelas dong terenak, gak bayar alias gratis.'

Gadis cantik nan tomboy itu, menarik tangan Benu dengan sangat kuat, sehingga Benu terseret mengikuti langkah kaki sahabatnya.

Sesampainya di rumah Benu, semua makanan sudah terhidang di atas meja makan. Memang makanan sederhana, tapi gadis cantik itu menyukainya. Bahkan dia sangat lahap memakannya.

Setiap hari Serena selalu makan di rumah Benu. Bukan karena tanpa sebab, ibu Benu telah diberikan amanat oleh papa Serena untuk mengurus makanan sang putri tercinta. Tristan telah memberikan sejumlah uang dengan jumlah yang besar pada ibu Benu, karena Serena benar-benar tidak diberikan uang untuk hidup di sana.

"Ser, main PS yuk!" ujar Benu sembari menarik tangan sahabatnya.

"Ben, bisa gak manggilnya jangan Ser? Panggil aja nama lengkap, Serena. Lebih bagus, kan?" tukas Serena sambil berjalan menuju tempat rental PS di sebelah rumah Benu.

"Kenapa?" tanya Benu heran.

"Aku gak suka. Kayak digoyang aja, ser-ser," ujar Serena sambil mencebik kesal.

Seketika Benu menghentikan langkahnya. Dia tertawa terbahak-bahak mendengar kekesalan sahabatnya.

"Yes, menang!" seru Serena layaknya sedang melakukan selebrasi kemenangan setelah mengalahkan Benu pada permainan yang mereka mainkan.

Benu menatap kesal pada sahabatnya yang kini menjadi lawan permainannya. Dia meletakkan stik PS nya dengan kasar, seraya berkata,

"Ck! Bisa gak sih kamu kalah sekali saja, Ser?"

"No way! Gak akan! Serena akan tetap jadi Serena sang pemenang sejati. Lihat saja, namaku akan selalu tertera sebagai pemenang!" ujar Serena dengan bangganya.

"Sana pulang! Aku akan main sendiri tanpa lawan," ucap Benu dengan kesalnya mengusir sahabatnya.

"Sudahlah, kalian berdua jangan bertengkar terus. Serena, ini buatmu."

Bab 3 Penculikan

"Ummm."

Di sebuah ruangan yang gelap dan hampa, duduklah seorang laki-laki di sudut ruangan, dengan mata yang tertutup kain warna hitam, dan badannya terikat kencang menggunakan tali yang sangat kuat, sehingga tidak akan mungkin bisa dilepaskan sendiri olehnya. Dia melenguh merasakan sakit pada sekujur badannya.

Perlahan laki-laki tersebut mulai tersadar. Dia menghirup udara yang terasa lembab dan pengap. Laki-laki itu menajamkan indera pendengarannya, sayangnya dia tidak mendengar suara apa pun.

Dia mencoba menggerak-gerakkan badannya yang terasa sesak, karena terikat dengan sangat kencang. Akan tetapi, usahanya sama sekali tidak membuahkan hasil. Dia hanya bisa mengumpat kesal dalam hatinya.

'Sial! Kenapa aku bisa berada di tempat ini? Kenapa tubuhku bisa terikat kencang seperti ini? Apa aku sedang bermimpi? Apa mungkin sekarang aku sedang melakukan syuting? Mustahil. Seingat ku tidak ada adegan seperti ini.'

'Sepertinya aku harus berteriak meminta tolong agar tau situasi apa yang sedang aku hadapi saat ini,' laki-laki itu kembali berkata dalam hatinya.

"Tolong!"

"Lepaskan aku!"

"Toloooong!"

Brak!

Sontak saja laki-laki tersebut terlonjak kaget, ketika mendengar suara pintu yang dibuka dengan kerasnya oleh seseorang.

"Diam! Atau akan aku hajar kau!"

Terdengar suara tegas dan terkesan menyeramkan di indera pendengaran laki-laki tersebut.

Seketika laki-laki itu terdiam. Dia menelan ludahnya. Tidak hanya itu saja, tubuhnya pun bergetar ketakutan hanya dengan mendengar suara orang yang memperingatkannya. Dalam hatinya berkata,

'Gawat. Sepertinya ini nyata. Apa sekarang ini aku sedang diculik? Pasti orang itu bertubuh besar dan sangat menyeramkan.'

"Sekali lagi kamu berteriak, akan aku habisi sekarang juga!"

Seketika laki-laki tersebut beringsut ketakutan. Dia menundukkan kepalanya dan menempelkan dahinya pada lutut, seolah sedang berlindung dari sesuatu.

Brak!

Suara pintu yang ditutup dengan keras itu, seolah menjadi sebuah peringatan baginya, dan laki-laki di sudut ruangan itu kembali berjingkat kaget. Jantungnya seolah lepas dari tempatnya saat ini.

"Untung aja aku gak diapa-apain. Coba kalau dibunuh saat ini juga, pasti besok langsung ada di dalam berita," gumamnya lirih.

Dia terdiam dan berpikir untuk mencari jalan keluar. Dalam hatinya berkata,

'Teriak lagi gak ya? Gimana kalau mereka langsung membunuhku setelah mendengar teriakanku? Apa aku diam aja ya? Kalau aku diam, siapa yang mau menolongku?'

...****************...

Di tempat lain, ada seorang gadis cantik dan tomboy sedang asyik bermain PS di rental PS yang ada di desa seberang rumahnya.

"Yes! Menang lagi!" seru gadis tersebut sambil berselebrasi merayakan kemenangannya.

Semua pasang mata yang ada di ruangan tersebut mengarah padanya. Tak terkecuali seorang pemuda yang menjadi lawan mainnya. Pemuda itu menatap kesal pada gadis tersebut.

"Apa lihat-lihat? Gak terima?" tanya gadis tersebut sambil menyingsingkan kedua lengan kaosnya seolah sedang menantang pemuda tersebut.

"Ck! Sok jagoan banget sih kamu, Ser!"

Serena, gadis itu memukul pundak pemuda tersebut sambil terkekeh dan berkata,

"Habisnya kamu lihat-lihat kayak mau nantangin aku aja."

"Bukannya gitu. Aku cuma heran aja, kamu kok bisa terus-terusan menang lawan siapa aja. Padahal kamu itu perempuan," tukas Benu dengan tatapan herannya pada sahabat perempuannya

"Siapa dulu dong, Serena! Lagian kenapa juga kalau aku perempuan?" tanya Serena sambil memicingkan matanya menatap pemuda tersebut seolah tidak terima dengan perkataannya.

Pemuda tersebut menepuk pundak Ramona seraya tersenyum dan berkata,

"Biasanya perempuan itu payah main game, dan mereka gak bakalan menang lawan laki-laki."

"Hei Benu bulu. Meskipun aku ini perempuan, tapi bukan sembarang perempuan. Aku ini perempuan yang luar biasa. Ingat itu!" sahut Serena sambil menatap tajam, seraya mengangkat telunjuknya di hadapan pemuda yang bernama Benu tersebut, untuk mengingatkannya.

Merasa mendapatkan tatapan yang menyeramkan dari Serena, Benu mengatupkan kedua bibirnya, dan menganggukkan kepalanya untuk menyelamatkan giginya, agar tidak menjadi santapan kekesalan Serena.

"Serena, sudah malam. Cepat pulang. Tidak baik gadis berkeliaran di luar rumah hingga malam hari begini," seru pemilik rental PS tersebut tidak jauh dari tempat Serena dan Benu berada.

"Nanti aja Bang Ipul. Lagian di rumah sepi sejak gak ada kakek," seru Serena tanpa beban.

Saiful, pemilik rental PS tersebut menghela nafasnya mendengar jawaban dari Serena. Dia merasa iba pada gadis tersebut, karena baru seminggu yang lalu ditinggalkan oleh sang kakek untuk selamanya.

Saiful mendekati Serena, dan memberikan kantong plastik berisikan sebungkus nasi goreng yang baru saja dibelinya.

"Bawa ini, dan makanlah di rumah."

Serena menatap kantong plastik putih bening yang memperlihatkan bungkusan nasi itu. Kemudian dia tersenyum dan berkata,

"Hmmm, dari baunya aku kenal nih. Pasti nasi gorengnya Bang Asep."

Saiful terkekeh dan menganggukkan kepalanya menanggapi ucapan Serena. Dia pun berkata,

"Cepat bawa pulang. Sudah jam sepuluh malam. Jangan sampai jadi cinderella yang kehilangan sepatunya di rental PS ini."

Serena mengerucutkan bibirnya. Dia beranjak dari duduknya, dan menyambar kantong plastik tersebut, seraya berkata,

"Aku pulang sekarang. Awas, jangan ada yang kangen sama aku."

Mereka berdua terkekeh mendengar ucapan Serena, dan bisa dipastikan jika siapa pun tidak berani melawannya.

"Benu, harusnya kamu itu mengantar Serena pulang. Kamu kan laki-laki, gak seharusnya kamu membiarkan perempuan malam-malam begini pulang sendirian. Mana rumahnya jauh, ada di desa sebelah," tutur Saiful pada Benu yang sedang asyik memainkan game nya.

Benu menghentikan game nya. Kemudian dia meletakkan stik PS nya, dan menatap Saiful, seraya berkata,

"Ck! Kalau perempuannya bukan Serena sih Benu takut dia kenapa-napa, Bang. Lah ini yang Bang Ipul khawatirkan itu Mona loh. Gak ada yang bakalan berani melawan dia Bang. Tikus aja gak berani lewat kalau ada dia."

"Tapi rumahnya jauh, Benu. Sudah jam sepuluh malam juga. Kamu gak khawatir sama dia?" sahut Saiful sambil menoyor kepala keponakannya, Benu.

"Enggak," jawab Benu, sambil tersenyum lebar menampakkan deretan giginya.

Saiful kembali menoyor kepala Benu dan berkata,

"Tega banget jadi teman."

"Bukannya tega, Bang. Serena pulangnya gak bakalan lewat jalan normal. Dia pulang lewat jalan tembusan yang melewati bangunan tua kosong tidak berpenghuni. Lah aku kan takut, Bang. Gimana nanti pas aku pulangnya? Kan pulangnya sendirian, gak sama Serena," sahut Bambang sambil bergidik ngeri.

"Dasar penakut!" ujar Saiful sambil menoyor kembali kepala keponakannya, setelah itu dia meninggalkannya.

"Lagian Abang aneh. Sudah tau aku penakut, masih saja disuruh nganterin Serena," seru Benu mengiringi langkah kaki Saiful yang meninggalkannya.

Saiful hanya tertawa sambil menggelengkan kepalanya mendengar jawaban dari Benu, keponakannya yang tinggal di sebelah rumahnya.

\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*

Di dalam rumah tua dan kosong itu, laki-laki yang sedang diculik tadi, merasa jika para penculiknya sudah tidak lagi ada di sana. Dalam hatinya berkata,

'Sepertinya mereka sudah pergi. Lebih baik aku coba berteriak lagi. Siapa tau ada seorang malaikat penolong yang dikirim Tuhan untuk menolongku.'

"Tolong!"

"Lepaskan aku!"

"Tolooooong...!"

Di saat yang bersamaan, Serena dengan langkah kaki ringannya berjalan melewati bangunan tua yang sudah sangat lama sekali kosong dan tidak berpenghuni. Senyumnya tidak luntur sedari tadi karena menciumi bau nasi goreng yang sedang dibawanya.

Tiba-tiba langkah kakinya terhenti, ketika indera pendengarannya menangkap suara orang yang sedang meminta tolong dari dalam bangunan tua tersebut.

Matanya menatap ke sekelilingnya. Dia mencoba waspada, dan mencari sumber dari suara tersebut.

Dengan sikap pemberani dan penasarannya, Serena melangkahkan kakinya sangat hati-hati untuk mendekati sumber suara.

Dia meletakkan nasi gorengnya pada tiang rumah tersebut, dan memanjat jendela rumah itu. Dengan mudahnya dia bisa membuka jendela tersebut yang ternyata tidak dikunci dari dalam.

Beruntung sekali lampu di semua ruangan dalam rumah tua itu menyala, sehingga Serena bisa melihat semua yang ada di dalam rumah tersebut.

Mata Serena tertuju pada seorang laki-laki yang sedang meringkuk di pojok ruangan tersebut dengan mata yang tertutup kain warna hitam, dan badannya terikat kencang dengan tali yang terlihat sangat kuat.

"Apa dia masih hidup?" ucap Serena lirih, sambil berjalan mendekatinya.

"Apa ada orang di sini? Apa kamu penyelamatku? Apa kamu malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untuk menolongku?" tanya laki-laki itu dengan sangat antusias.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!