Malam Ahad, 22 November lalu.
Saat pertama kali aku bertemu dirinya; lelaki yang bernama Bintang Samudera Ananta. Dia yang sengaja kunikahi dengan siasat pembalasan dendam untuk saudari ku, Laras. Memang sungguh kuakui dia tak pantas mendapat getah atas perbuatan saudara kembarnya, terlebih lagi karena sikapnya yang merubah pandanganku pada sosok pria. Gambaran lelaki yang sangat jauh dari penilaianku sebagai pendamping hidup, tapi demi saudari ku, aku menutup mata dan berpura-pura buta. Ibarat; mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Dia menyakiti saudari ku, maka kusakiti saudaranya.
Dan selama hidup bersamanya aku dapat gambarkan dia secara ringkas; seseorang yang dapat ku ibaratkan seperti pantulan cahaya misterius yang mengundang keinginan seseorang untuk dapat mengenalnya lebih dalam, seperti namanya; Samudera... Lautan yang luas. Nampak mudah ditaklukan namun nyatanya terlalu dalam untuk diselami.
Untuk menjelaskan gambaran jasmaninya, tentu saja tak akan mudah untukku. Tapi, paling tidak dia telah membuka segala kemungkinan yang memampukan kita melakukan visualisasinya secara khayal, tentang sesosok pria dengan wajah tampan berpenampilan kaku, garis rahang yang sensual, dan jakun menonjol menunjukkan kerasnya dia menempuh jalan kelelakiannya. Sebuah keindahan pria yang citranya bukan terbatas tentang kesempurnaan dalam arti duniawi, namun terlengkapi pula secara keseluruhan, luar dan dalam. Pria yang membuatku terancam dengan seragam tentaranya.
Meski dengan segala keindahannya itu, tak lantas akan membuat jalanku berubah atas keinginan Laras, ya, tentu saja. Laras memang bukan saudari kandungku, namun kerasnya hidup yang sudah kami tempuh bersama tanpa orang tua, Laras telah menempa hatiku untuk merangkulnya sebagai keluarga.
Sehari setelah kudapati kabar dia tinggal di jeruji, kuketahui bagaimana hidupnya kacau balau karena seorang pria bernama Angkasa, pria yang lahir sebagai saudara kembar dari Samudera. Hatiku terenyuh saat ku lihat bagaimana Laras menangis di hadapanku, tiap tetes air matanya sudah menjelaskan hancurnya dia karena cinta.
"Kalaupun aku harus mati, satu permintaan ku pada Tuhan, jangan biarkan orang-orang seperti mereka hidup bahagia. Balas dia, Berlian. Hidupku berantakan karena mereka." Laras berkata padaku.
Masih kuingat betul bagaimana lisan dan ekspresinya bicara saat itu. Sungguh aku bersumpah, hatiku membara, dadaku bergejolak begitu dendam Laras tertanam dalam jiwaku.
"Mentang-mentang orang kaya, lantas mereka pikir dengan harta dan jabatan itu mampu menginjak orang sengsara seperti kita."
Demikianlah setelah Laras menggoreskan takdirnya padaku, aku berjalan pada poros yang membawaku pada keluarga besar Samudera. Kusembunyikan hubunganku dengan Laras, mantan pegawai toko kue ibu kandung Samudera. Sebulan, dua bulan. Kujalani dengan penuh kebohongan, sampai aku bisa mendapatkan hati dan perhatian ibu kandungnya.
Ada alasan kuat yang membuat Ibu Samudera akhirnya ingin meminang ku untuk anaknya, awalnya kupikir karena ibunya khawatir Samudera masih belum bisa melupakan mantan kekasihnya yang sekarang sudah menjadi ipar. Ketakutan bahwa itu akan menjadi bom waktu yang membuat Samudera terpuruk, Ibunya memintaku untuk menjadi menantu. Saat itu, aku merasa sangat berjaya, karena berhasil menipu satu keluarga dengan kebaikan palsu.
Membalas prajurit seperti mereka itu tidak akan mempan dengan fisik, balaslah mereka dengan batin, nikahi lalu tinggalkan! bunuh mereka dengan siksa rasa cinta! Hancurkan keluarganya. Sekali lagi aku teringat pada perkataan Laras yang membuatku tak boleh gentar.
Ku hela napas dalam-dalam ketika Samudera ternyata dengan mudah menerima perjodohan kami. Tak ada sedikitpun yang membuatku curiga atas sikapnya, walaupun memang agak sedikit aneh, seorang tentara dewasa sepertinya masih manut dengan keinginan orang tua dan menikahi perempuan asing dan tidak dikenal dengan baik, hanya karena karakter malaikat yang kutunjukkan. Sempat aku tertawa dan meremehkan lelaki seperti dia. Lelaki manja, persis seperti binatang peliharaan yang terlalu disayang dan akan selalu menurut kehendak tuannya.
Mas Sam, begitu aku memanggilnya setelah dia melepaskan kalimat, "Saya terima nikah dan kawinnya Azizah Berliana dengan mas kawin tersebut, tunai!" dan orang-orang menyambutnya dengan teriakan; "SAH!", Aku sudah resmi mendadak menjadi istrinya.
Dengan segala penilaianku pada Mas Sam, tak pelak bagiku sungguh mudah menginjak lelaki baik hati ini. Oh sungguh meski pernikahan ini bukan pernikahan impian, aku menikahinya karena dendam dan dia menerima ku karena perjodohan, Aku berjanji akan membuatnya mencintaiku dan bertekuk lutut di hadapanku, lalu setelah aku berada di puncak hatinya, akan kutinggalkan dia bagai sampah, kusiksa batin dan raganya dengan kecewa. Biarlah ku balaskan dendam ini dengan membunuhnya oleh cinta.
Akan tetapi, kebaikan hati dan kelembutan yang dimilikinya, justru tak lantas menjadikan dia Tentara dungu yang menarik hanya karena seragam dan wajahnya yang tampan dan mapan. Dia tahu, apa yang harus diambilnya dan bagaimana ia akan menjalaninya. Itu sudah menjadi celah yang membuatku kecolongan.
Sungguh di luar perkiraanku, dia memiliki alasan lain yang membuatnya mudah menerimaku menjadi separuh hidupnya. Alasan yang ia simpan dengan baik, seolah itu adalah rahasia terpenting yang patut ia pendam dari siapa pun. Tentang alasan yang akhirnya membuat ku paham bahwa tak ada pria sebodoh Bondowoso yang gagal karena dikelabui wanita dan cinta.
Aku memang tak sehebat dan sepintar dia. Hingga aku memahami bahwa sebelum aku melangkahkan kaki ini untuk membalasnya, dia sudah jauh mengibarkan sayapnya untuk sesuatu hal di pernikahan kami. Mas Sam, sudah menyiapkan putih yang jauh dari bayanganku. Sungguh suatu hal yang tak terduga, banyak hal yang dia korbankan untuk akhirnya menerimaku, hampir sama banyaknya dengan yang ku balaskan untuknya.
"Kamu memiliki alasan untuk menikah denganku, begitupun Aku."
Aku masih belum menyadari mengapa kata itu bisa keluar dari mulut Mas Sam, mungkinkah dia memang telah menyadari aku siapa? Dan tujuanku apa? Tetapi itu sudah tidak penting, karena pertanyaan yang membuatku tak mampu tidur nyenyak adalah; mungkinkah dia pula memiliki tujuan lain dengan menikahi ku?
Ia tertarik padaku justru karena alasan tertentu dan hanya dia yang tahu. Sebab bila dibandingkan dengannya, pikiran, perasaan, pendidikan, harta, jabatan, diriku ini jauh berada di bawahnya. Tentara 28 tahun yang menikahi gadis sederhana seperti ini. Pernikahan ini ternyata memiliki alasannya tersendiri.
Rupanya aku terlalu cepat menarik kesimpulan, dan kisah ini, tentu saja akan menunjukkan bagaimana dendam ini akan berjalan. Tentang segala kebohongan yang kulakukan dan dia dengan segala rahasianya. Tentang batas kemampuan ku dan gambaran dirinya yang terlampau sempurna untuk wanita sepertiku yang jauh berada di bawah kufu-nya.
"Siapa yang akan terbunuh karena cinta? Aku atau kamu?"
Mas Sam, membuatku tersesat. Dia lebih pandai bersikap yang menunjukkan bagaimana ia lahir dan dibesarkan.
Menikahi tentara untuk pembalasan dendam, dan tentara yang menerimaku dengan sebuah alasan. Hidupku bersama dengannya dimulai dari sini...
"Berlian?"
Aku segera menoleh saat panggilan lembut dari Ibu Kania memanggilku, suaranya khas dibalut nada suara yang rendah membuatku tak mampu memandang matanya yang masih cerah.
"Ya, bu." Sahutku, masih dengan ekspresi kepura-puraan. Berpura-pura baik dan sama lembut dengannya, lebih tepatnya.
Ibu Kania duduk di kursi pelanggan toko, dan aku tidak terlalu bodoh untuk mengerti bahwa dia menginginkan aku untuk duduk di sebelahnya saat itu.
Aku segera menarik kursi. Lalu Ibu Kania mengutarakan niatnya padaku, seolah memberi berita yang teramat penting untuknya.
"Menikah?" timpal ku sambil mengerutkan dahi.
"Ya," jawabnya. "Ibu tahu Berlian baru kerja di sini, dan kita belum terlalu mengenal baik. Tapi, tiga bulan bagi Ibu sudah cukup untuk memantapkan keyakinan. Ibu memiliki satu orang putra lagi yang masih lajang sama seperti Berlian, niatnya Ibu mau menjodohkan kalian."
"Maaf bu," sergahku ragu-ragu, walaupun sebenarnya di dalam hati memang ini lah yang aku tunggu. "Tapi... Berlian takut ga cocok sama anak Ibu. Bukan maksud yang lain Bu, tapi Ibu juga tahu Berlian ini orang yang seperti apa. Bukan anak sekolahan, bukan juga dari keluarga terpandang seperti Ibu dan Bapak Anta ... "
Ibu Kania hanya tersenyum, dan meraih kedua tanganku di atas meja. Dia menggenggam ku begitu lembut dan tenang, nampak seperti Ibu kandung sungguhan.
"Berlian belum tahu anak Ibu kan? Atau sudah pernah lihat?"
"Belum, Bu," ujarku. "Belum pernah ketemu."
"Nanti ketemu, sore ini dia kemari." Sahutnya percaya diri. "Anak Ibu baru pulang dinas kemarin."
Aku hanya bisa mengangguk, mengangguk pelan, sebagai tanda kuterima tawaran Ibu Kania yang memang kuinginkan.
Hari ini, setelah mendapat kabar perjodohan kami itu, Ibu Kania pamit dan memberikan ku kesempatan untuk bersiap sampai nanti sore. Karena itu aku langsung bergegas merapikan toko. Tidak lupa, sedikit berdandan feminin untuk memberikan kesan pertemuan yang baik dengan anak majikanku itu. Kukenakan pakaian terusan dengan rok di bawah lutut agar tampak sopan dan sedikit terhormat. Sebuah dress warna biru pastel yang kubeli menjelang tahun baru di sebuah toko busana super murah.
Sialnya, bahkan setelah jam menunjukkan pukul 17.00 belum ada yang datang ke sini. Bosan, rasanya seluruh bedak yang kukenakan mulai luntur. Semangatku sedikit pudar, meski mungkin kedatangan mereka tertunda karena hujan yang turun sepanjang sore ini.
"Sepertinya tidak jadi."
Aku menghela napas dengan perasaan malas, dan bangkit dari kursi untuk menutup gorden jendela.
"Oh! Aku lupa memasukkan papan menu ke dalam!"
Sekali lagi aku kewalahan, penantian membuat ku lupa soal barang-barang. Hujan hampir mengguyur habis papan menu yang terpajang di luar toko. Dengan cepat aku keluar, melawan angin yang memukul badanku lewat udaranya yang dingin dan basah.
"Awas!"
Tiba-tiba datang suara pria dalam jarak yang sangat dekat.
Aku hampir tidak menyadari keberadaan pria itu sebelum dia menarik ku ke arahnya. Dia merangkul tubuhku dan bisa kurasakan kepala ku ditutup oleh lengan besar agar aman.
Sempat aku membeku dalam pelukannya, sebab ini baru pertama kali aku bersentuhan langsung dengan pria.
Aku langsung menengadah. Melihat ke atas. Menelusuri sepasang tangan berotot yang terpahat halus dengan kulitnya yang berwarna cokelat. Perut yang rata dan dada bidangnya terbungkus kemeja hitam berlengan panjang yang digulungnya rapi sebatas lengan. Sepasang mata gelapnya menatapku tanpa berkedip.
"Maaf Pak, tokonya sudah tutup." Kataku gelisah.
Pria itu mengernyit, mengedarkan pandangannya ke jalanan tanpa memperdulikan ucapan ku, kemudian kembali menatap ku. "Perhatikan sekitar. Banyak benda terbawa angin, kalau benda ini mengenai kepalamu----" Katanya.
Dia melepaskan tubuhku, dan aku langsung memandang benda plastik semacam tutup kotak sampah kecil yang ada di tangannya.
Aku meneguk liur kasar, kemudian menatap pria itu lagi. "Terima kasih, Pak."
Dia melewati ku dan membungkuk mengambil papan menu yang tadi ingin kuambil. Pada saat itulah pula perhatianku teralihkan pada sesosok pria yang tadi menyelamatkanku, pria dengan tubuh tinggi tegap yang sepertinya berumur hampir tiga puluhan.
Tanpa sadar aku terus mengamati pria ini, dia tampak sangat kuat, dan sejenak kupusatkan pandangan pada anatomi tubuhnya yang berotot. Lekuk maskulin yang sensual itu seakan menyelinap ke dalam diriku, membuat tubuhku meremang.
"Jangan melamun lagi. Masuklah, di luar sini angin sangat kencang." Tanpa kusadari pria itu kembali menyapa, menyadarkan aku dari lamunan.
"O-oh maaf. Sekali lagi Terima kasih Pak." Sahutku tergagap layaknya gadis ingusan yang kasmaran.
Dengan kaki yang melemas, aku buru-buru masuk ke toko. Tetapi dalam sekejap pula aku kembali terkejut karena pria itu menyusul ku dari belakang.
"Maaf Pak, tapi tokonya sudah tutup." Kataku.
"Aku tahu," jawabnya. "Aku ke sini bukan untuk membeli kue."
Mata pria itu memancarkan warna keperakan yang meluluhkan, dan sekali lagi tubuhku gemetar akibat dalamnya sorot mata itu.
"Aku anak Ibu Kania; Bintang Samudera. Kamu sudah tahu aku akan ke sini kan?" Katanya, dan Aku langsung terdiam.
"Bisa buka kan pintunya?"
Aku tidak dapat mendengar suara pria itu, rasanya aku tidak dapat bereaksi apa pun sampai beberapa saat pria ini menggenggam tanganku lewat celah pintu yang belum tertutup sempurna. "Nona?"
"Anak Ibu Kania." Kataku tergagap. Sekarang aku sudah tahu nama pria yang akan menjadi target pembalasan dendam ku dan Laras. Tapi, aku sungguh terkejut saat berhadapan dan bertemu langsung dengannya, ternyata begitu menyihir dan indah, dan saat ini tolong .... sadarlah, Berlian.
"Pak Samudera."
Langsung ku bukakan pintu dengan cepat. Sungguh berdebar.
Ketika dia duduk di bangku paling tengah toko, aku datang mengantar kopi dan kue pukis lumer untuknya. Rasanya lezat dan hangat, cocok untuknya yang kedinginan.
"Aku tidak tahu kalau Bapak akan ke sini, sepanjang sore ini hujan deras. Jadi aku pikir batal ke sini."
Dia hanya diam sambil mengelap badannya dengan handuk kecil saat aku kembali menyapa.
"Ya, maaf karena terlambat." Sambutnya lembut, tapi juga dingin, sedingin udara sore ini.
Kami saling berpandangan, menduga-duga dan saling bertanya-tanya, seolah di kepala ini penuh hujaman yang menginginkan kami untuk segera akrab.
"Aku sudah memberitahu siapa diriku, tapi sampai sekarang aku belum tahu siapa nama mu?"
"Oh, aku Berlian, Pak. Azizah Berliana." Jawabku sambil tersenyum dan mengulurkan tangan padanya.
Dia kembali diam, hingga untuk kesekian kalinya kami kembali hening dan kaku. Tangan ku perlahan-lahan ku tarik kembali, karena ia tak membalas jabatan tangan yang kutawarkan.
Seperti orang gila, aku bertanya-tanya dan benar-benar dilema, dipanggang kebingungan yang amat sangat ketika dia hanya memilih untuk mendiamkan aku.
Mungkinkah dia tak tertarik padaku? Atau kesan pertama ku sangat jelek di matanya? Lalu bagaimana perjodohan kami, kalau dia menolak? Rencanaku jelas akan gagal.
"Kamu tahu tentang keinginan ibuku?" Tanyanya.
Sontak aku langsung menaikkan wajah, menatapnya. "Ya, Pak?"
"Aku pria yang lebih tua 8 tahun darimu, kita pun baru satu kali bertemu. Apakah tidak masalah untukmu menikah dengan ku?"
...****************...
...Visual...
...Bintang Samudera Ananta...
...Azizah Berliana...
"Seharusnya aku yang bertanya begitu pada Pak Samudera. Aku ini hanya gadis biasa, cuma pegawai toko kue Ibunya Pak Samudera. Bukan anak sekolahan---"
"Itu tidak menjawab pertanyaan ku sama sekali," sahut Pak Samudera memotong pembicaraanku. Lalu dia bangkit dari kursi dan berkacak pinggang. "Langsung intinya saja."
Aku menyaksikan bagaimana berwibawanya Pak Samudera saat berdiri dan berbicara saat itu, untuk sejenak aku harus mengakui bahwa aku terpesona pada sosoknya yang demikian.
"Aku tidak keberatan Pak---" Jawabku pelan.
Kami sempat diam beberapa saat, tepat saat Pak Samudera memandangku, seseorang datang dari pintu depan dan masuk menghampiri kami.
"Sam?"
Ibu Kania datang bersama suaminya, Pak Anta Reza. Dia sibuk merapikan bajunya yang sedikit basah terkena hujan.
"Mama dan Papa khawatir karena di luar hujan lebat. Syukurlah ternyata Sam memang ke sini, ketemu dengan gadis yang Mama ... " Lanjut Ibu Kania.
"Kami sudah ketemu dan mengobrol sebentar." Jawab Kak Sam sambil sekilas melirik ku. Sementara aku masih merasa canggung dan bingung harus memberi reaksi yang bagaimana.
"Jadi bagaimana?"
Pak Anta dan Ibu Kania tersenyum pada ku, aku yakin mereka pun menantikan jawaban yang sama seperti kuharapkan. Ingin sekali aku mendahului untuk kukatakan 'Mau Bu'. Tapi sayangnya aku masih harus menjaga harga diriku sekarang. Apalagi nampaknya Pak Samudera kurang cocok denganku, dia nampak tak tertarik sama sekali, aku khawatir kalau dia akan menolak.
"Aku bersedia." Tiba-tiba Pak Samudera menyahut dari sampingku.
Mendengar jawaban Pak Samudera, aku terkejut. Lantas segera kunaikkan pandangan dan memandang wajahnya. Kusadari bahwa tatapannya yang tegas menelusuri penglihatan di dalam mata kedua orang tuanya dan ucapannya yang blak-blakan menyiratkan bahwa ia yakin dengan pilihannya.
"Bu---Berlian buatkan teh di belakang ya," sahutku tergagap karena canggung.
Ibu Kania melirik ke arah ku, aku yakin di dalamnya dia menyiratkan bahwa ia menginginkan juga jawaban dari ku.
"Samudera yakin dengan Berlian? Mama tidak akan paksa untuk cepat-cepat. Kalian boleh saling mengenal dulu,---"
Pak Samudera menjawab hanya dengan senyuman. Aku tahu, mungkin dia melakukan ini dengan alasan menghormati ibunya. Mau menikahi ku karena tidak ingin melawan kehendak orang tuanya.
"P-pak, anda tidak perlu ambil keputusan terlalu cepat. Yang dikatakan Ibu Kania benar, kita bisa saling mengenal atau pendekatan dulu."
Namun, Pak Samudera diam, seolah telinganya tak mampu mendengar apa yang aku katakan. Sungguh menyebalkan diperlakukan seperti itu. Kalau bukan demi Laras, saudariku, aku pun enggan menghabiskan waktu dan masuk ke keluarga ini.
"Bagaimana dengan keluargamu, minggu depan bisa ikut aku pengajuan?" Ujar Pak Samudera, yang ditujukannya padaku.
Sempat aku kebingungan dan hampir ku jawab tentang Laras. Beruntung alam masih mengingatkan ku.
"Sebatang kara, Pak. Tidak punya siapa-siapa lagi." Jawabku pelan.
Ibu Kania tanpa terduga menjabat tangan ku dengan bangga dan penuh haru, mungkin baginya belum pernah menemui gadis semalang diriku, sendirian dan hidup apa adanya. Mengadu nasib sampai nanti dipanggil kembali oleh yang maha kuasa. Mungkin tidak pernah terbesit di pikiran Ibu Kania bahwa aku adalah gadis jahat yang ingin membalas dendam untuk hidup saudariku yang sudah hancur karena ulah anak kandungnya. Karena alasan itu pula mungkin ia meyakinkan diri untuk menjodohkan putranya padaku.
Akhirnya beberapa minggu setelah itu, tanpa desakan dari manapun pernikahan antara aku dan Pak Samudera berlangsung. Sejujurnya aku merasa bersalah, karena menerima pinangan dari pria lain yang tidak ku cintai sama sekali hanya untuk membalas perbuatan saudara kembarnya. Terlebih, Pak Samudera sendiri memang tak memiliki kesalahan apa pun pada saudariku.
Setelah menikah, Aku ikut tinggal di rumah dinas Pak Samudera yang letaknya jauh dari rumah mertua tapi justru lebih dekat dengan penjara tempat saudariku Laras, ditahan. Ini hal yang menguntungkan aku bisa menjenguk dan bicara dengannya lebih mudah dibanding biasanya.
Dan pada malam pertama kami sebagai sepasang suami istri...
Aku duduk di kursi rias sambil memikirkan bagaimana agaknya kami akan bersikap, mungkinkah aku akan menyerahkan dan mengorbankan diriku secara totalitas untuk ini? atau mungkin aku perlu mencari alasan agar kami menunda malam pengantin?
Saat menikmati lamunan itu, tanpa kusadari rupanya pintu kamar terbuka, jantungku berdebar kencang saat ku lihat Pak Samudera yang masuk. Dia mengenakan kaus putih yang ketat sehingga menampakkan lekuk badannya yang berotot di padu celana santai yang panjang. Perawakannya yang sangat bagus membuatku tak henti untuk terus mengamatinya. Seperti para anggota pertahanan negara pada umumnya, dia jangkung, sedikitnya mungkin hampir 190 sentimeter.
Dia berjalan ke arah ranjang dan mengambil posisi sebelah kanan, aku begitu berdebar meski dalam hati ku pahami dia memang tak memiliki perasaan apa pun padaku. Dan kurasa sudah cukup ketakutan tentang malam pertama, jangankan menyentuh ku, melirik ku malam ini saja dia enggan.
"Lelah ya Pak? Mau kupijat sedikit atau kubuatkan susu jahe?" kataku gugup.
"Boleh panggil aku Bapak, tapi nanti setelah punya anak." Sahutnya sambil memejamkan mata. "Kalau sekarang cari panggilan yang sesuai saja."
"Oh, maaf." Kataku hampir tersedak saliva. "Mas?"
Dia kembali diam.
"Maaf Mas, soal tadi---mau kubuatkan susu jahe tidak untuk mengembalikan tenaga?"
"Tidak perlu. Aku cuma ingin tidur sekarang."
"Mas," Sahutku dengan nada kecewa, entah untuk hal apa. "Mas, belum bisa menerima ku, ya?"
"Bukankah sudah jelas kukatakan di depan kedua orang tuaku, aku terima dirimu." Jawabnya. "Pikiran kita berbeda. Aku tidak menganggap pernikahan itu mainan. Kalau sudah menikah, artinya aku menginginkan kamu ada di sampingku."
Kali ini bukan dia yang terdiam. Sebaliknya, akulah yang gugup setengah mati. Mas Sam berkata seolah menyindirku secara langsung. Tapi---bagaimana mungkin?
Dia kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan menatap mataku dengan ekspresi datar. "Tidur lah, sudah malam." Katanya lembut, tak bisa ku terka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!