NovelToon NovelToon

Protective Friend

CHAPTER 1– [ Seseorang ]

[ NOTE: Novel ini adalah versi remake dari "Hogo no Yuujin". Di sini ada beberapa yang diubah, tapi tidak dengan karakternya & alurnya. Jadi yang sudah baca di tempat sebelumnya, boleh baca lagi versi terbarunya, Hehe ... dan New Reader are welcome ^^ ]

[ Mohon maaf kalau ada kesamaan nama tempat, nama karakter & rupa karakter. Itu ga disengaja :v Memberikan Krisan untuk novel ini sangat membantu saya untuk berkembang & tolong beritahu jika ada typo/kata" yang kurang mengenakkan, akan saya perbaiki ^^ ]

[ Selamat Membaca! ]

*

*

*

Musim hujan telah tiba. Kini seorang pemuda telah berulang tahun yang ke 18. Tapi di hari yang seharusnya membahagiakan ini, justru menjadi sebaliknya.

Ia hanya merayakan hari jadinya seorang diri.

Namun ia tidak benar-benar sendirian. Ia ditemani oleh seekor burung kakak tua yang dia pelihara. Burungnya bernama Coki. Burung itu adalah hadiah ulang tahunnya 4 tahun yang lalu sebelum wafat kedua orang tuanya. Sekarang ia hanya tinggal sendirian di rumah. Sebenarnya, ia masih memiliki seorang kakak perempuan, tapi saat ini, kakaknya itu sedang bekerja di luar kota.

“Ulang tahun yang menyebalkan!”

Dia mendorong kue ulang tahun yang bertuliskan namanya di sana. Kue itu jatuh dari atas meja dan hancur berantakan di lantai.

“Aku sangat kesal!”

“Kenapa di hari yang seharusnya terasa menyenangkan ini, malah berakhir menjadi kebalikannya?!”

“Kakak tidak peduli lagi padaku. Dan sekarang, Burung Kakaktua itu mengoceh sendirian. Benar-benar membuatku risih!”

Coki, adalah makhluk satu-satunya yang ada di rumah. Dia lah yang selalu menemaninya di rumah itu. Kehadirannya telah membuat rumah itu menjadi tidak sepi, karena ocehan si Coki yang sangat berisik.

Dylan Leviano.

Itulah namanya. Lelaki itu tidak menyukai namanya tersebut. Hidupnya benar-benar hancur. “Apa bagusnya jika hidup hanya ditemani oleh seekor hewan saja?”

“Aku makhluk sosial. Tidak sepantasnya aku hidup sendirian. Kesal rasanya....”

“Huh, aku tidak tahu, kapan hidupku akan berubah menjadi lebih baik....”

Karena tak kuat, ia pernah mencoba ingin bunuh diri, tapi ia masih memikirkan hal itu.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Chapter 1: [ Seseorang ]

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

TING TONG~

[ Sesaat lagi, kereta anda akan sampai di stasiun 5. Stasiun 5. ]

“Oh, sudah sampai, kah?”

[ Stasiun 5. Hati-hati, pintu akan terbuka! ]

“Apa aku harus keluar di sini? Semoga tempat ini aman. Ah! Aku harus keluar ....”

Banyak orang yang keluar dari dalam kereta itu. Tak lama kemudian, setelah semua orang keluar, kereta itu kembali jalan menuju ke stasiun berikutnya.

Seorang anak berusia 15 tahun, baru saja turun dari kereta itu. Rambut putihnya berkibar diterpa angin begitu ia keluar dari kereta. Merasa asing dengan lingkunganya saat ini, anak itu celingak-celinguk sambil mengamati sekitarnya. Ia melihat banyak orang yang berjalan dengan cepat menaiki tangga di sana. Karena bingung, jadi anak itu mengikuti gerombolan orang-orang itu saja.

Tangga itu membawanya sampai ke dalam gedung stasiun. Ia masih berjalan mengikuti beberapa orang di sana. Ia ingin mencari jalan keluar dari dalam gedung stasiun tersebut. Karena sebenarnya, anak itu baru pertama kali menaiki Kereta Api sendirian. Di dunia barunya.

Anak itu melihat orang-orang menuju ke tempat Loket tiket. Mereka menempelkan tiketnya pada mesin agar bisa keluar. Ia pun merogoh saku celana pendeknya. Sampai akhirnya ia mendapatkan tiketnya sendiri.

Lalu anak itu juga melakukan hal yang sama seperti orang-orang yang ia lihat tadi. Tapi sayangnya, ia tidak bisa melakukannya. Lalu tak lama kemudian, seorang petugas penjaga Loket itu pun datang menghampirinya.

“Apa ada masalah?” tanya petugas itu.

“A–anu ...” Ia meneleng, tak mengerti.

“Apa ada masalah?” tanya petugas itu lagi.

Anak itu menggendong tasnya ke depan, membuka resleting tasnya dan mengambil sesuatu di dalam. Mengeluarkan sebuah buku kecil. Ia pun membuka buku kecilnya dan mencari-cari halaman yang ingin ia temukan.

Akhirnya dapat.

“Ba–bantu saya dengan ini.” Jawab anak itu dengan gugup sambil menunjukkan tiket kereta yang ia pegang.

Petugas itu pun mengambil tiket yang diberikan anak itu padanya.

“Hmm ... biar saya bantu!”

CLIK!

“Nah, sudah terbuka. Sekarang maju ke depan untuk keluar.”

Secara perlahan, anak itu mengikuti arahan dari petugas. Ia akhirnya bisa menggunakan mesin Loket itu untuk keluar. Setelah keluar, anak itu membalikkan badannya, menghadap ke petugas dan membungkukkan badannya.

“Ah! Terima kasih.”

“Iya.”

Petugas itu kembali memberikan tiket milik anak itu kepada pemiliknya. Ia menerima tiketnya kembali, lalu berbalik badan dan berjalan perlahan sambil celingak-celinguk ke sekitarnya.

Anak itu mencari pintu keluar dari gedung itu. Ia mendongak ke atas dan akhirnya, ia menemukan tulisan kata “Keluar/Exit” di atasnya itu. Dia berada tepat di depan tangga menuju ke bawah. Ia menuruni tangga itu. Sampai akhirnya, ia berhasil keluar dari dalam gedung stasiun.

Anak itu berjalan ke depan sambil memperhatikan sekitarnya. Ia masih merasa asing berada di tempatnya saat ini. Karena baru saja tiba dan melihat orang-orang berlalu lalang. Ada juga yang memperhatikannya dari jauh karena penampilannya paling beda dari yang lain.

Ia tak mempedulikan siapapun, ia melanjutkan perjalanan. Kemudian ia berhenti sejenak. Di sana, ia melihat ada sebuah pohon beringin besar. Ia mendekat dan berdiri dihadapan pohon beringin tersebut. Semua orang yang ada di sekitarnya merasa aneh dengan anak yang sedang memandang pohon beringin itu dengan tatapan takjub.

“Wah ...” gumamnya.

Tak lama anak itu bergumam-gumam sendiri, tiba-tiba ia terkejut. Tentu saja ada yang membuatnya terkejut. Karena ia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Duduk di atas pohon tersebut.

Setelah itu, secepatnya ia menjauh dari pohon tersebut. Ia berlari ke jalan di depannya untuk mencari tempat aman baginya.

...****************...

“Hei, lihatlah! Itu si penyendiri. “

“Aku heran dengan anak itu. Wajahnya lumayan cakep, tapi kenapa hidupnya seperti itu? “

“Menjijikan. Ditinggal orang tuanya dan kakaknya sendiri. Dia juga nolep banget, emosian anaknya dan gila. Dia suka berbicara dengan dirinya sendiri. Aneh, kan? Kalian jangan berteman dengannya! “

“Iya, deh. Eh! Dia menengok ke arah kita. Ayo kita pergi! “

“Huh, aku tidak peduli dengan omongan mereka itu. Terserah, mereka ingin bilang apa. Ini hidupku. Aku yang urus semua.

“Mereka seharusnya jangan ikut campur dengan kehidupanku. Ingin rasanya aku membalas omongan mereka itu. Tapi entah kenapa, hatiku selalu berkata kalau aku harus selalu bersabar.”

Dylan sedang berjalan mendekati gerbang sekolah sambil memainkan ponsel. Lagi-lagi para murid lainnya selalu memandangnya dengan aneh dan menyebarkan rumor tentang dirinya yang membuat ia kesal.

“Sudahlah, ini waktunya pulang sekolah.”

Ia teringat sesuatu. Sebelum pulang ke rumah, Dylan ingin pergi ke toko buku untuk membeli komik terbaru yang ia sukai.

Ia mendapatkan info tentang terbitnya buku komik baru itu di situs web yang ia temukan di ponsel. Sekarang juga ia akan berangkat. Pergi memburu komik baru.

Akhirnya sampai.

Tempat itu adalah toko buku terbesar di kota. Tempat kesukaannya. Dylan pun masuk ke dalam. Langsung saja ia berjalan ke tempat khusus komik. Di sana, ada beberapa rak buku yang berisi penuh komik. Ia pun mulai mencari komik yang sedang ia incar, sebelum kehabisan.

Satu per satu, rak buku di sana ia periksa semua. Satu sampai dua rak di sana, ia masih belum menemukan komik yang dicari. Tidak ada sampul komik yang mirip seperti gambar yang ada di situs web itu.

Ia yakin, komiknya pasti sudah terbit di toko buku itu.

“Di mana buku itu? Sampulnya seperti ini, kan?” Sesekali ia melirik ke layar ponsel. Memperhatikan baik-baik gambar sampul komik yang ada di dalam ponselnya.

Masih terus mencari dan mencari. Tapi tetap saja komik itu tidak bisa ia temukan. “Apa aku kurang teliti dalam mencari?”

Ia sudah sampai di ujung rak komik dan masih belum menemukan incarannya. Karena ia sangat menginginkannya, jadi ia akan mengulang pencariannya dari pertama lagi. Ia pun memulai mencari komik itu dari awal rak pertama.

Benar-benar teliti.

Sangat teliti!

Setiap judul dan sampul komik di sana, ia lihat dengan matanya secara detail. Lalu tak lama kemudian ....

“Nah! Itu dia!”

Pada Rak ke-4, akhirnya ia menemukan komik itu. Dylan akan mengambil komik baru tersebut secepatnya.

Namun ....

“Eh?”

Saat ia mengambil komik itu, tiba-tiba saja, ada seseorang yang datang dan menggenggam tangannya. Dylan menoleh ke arah orang yang ada di depannya dengan heran.

Ternyata ada seorang anak berambut putih pendek sebahu. Dia sepertinya menginginkan komik itu juga. Dylan pun menarik tangannya perlahan dan mencoba untuk melepaskan tangan anak itu darinya. Tapi anak itu hanya menelengkan kepalanya dan membuka matanya lebar-lebar.

“Eh, maaf. Ini komik milikku!”

Tetap saja, anak itu tidak ingin melepaskan tangannya. “Dia menginginkan komik ini, kan? Kalau mau, dia bisa ambil lagi di rak itu. Masih banyak komik yang sama di sana. Kenapa dia tidak mengambilnya kembali, dan malah memegangi tanganku?” batin Dylan yang mulai geram.

Anak berambut pendek berwarna putih itu, terlihat sangat imut dengan mata biru besarnya yang indah. Rambutnya agak sedikit acak-acakan. Memakai sweater dengan corak berbentuk hati dan gambar kucing bertuliskan Nyan Neko. Ia sedikit membuka mulutnya, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak berani.

“Apa dia bisu? Atau ia benar-benar tidak berani bicara padaku? Apa jangan-jangan, dia–”

“Apa?”

Dylan tersentak mendengar anak itu bergumam.“Oh, bisa ngomong ternyata– Tunggu, apa maksudnya ‘apa’?!”

“Bisa kau lepaskan tanganmu?” Sekali lagi, Dylan menarik tangannya, tapi tak kunjung dilepaskan. Ia masih menariknya dengan lembut.

Tak lama terdiam, akhirnya anak itu pun buka mulut. “Anu, bisa saya mengambil buku ini?”

Dylan sedikit melebarkan matanya. Lalu anak itu akhirnya melepaskan tangan Dylan. Dia mengambil sebuah ponsel dari dalam tasnya. Sesekali melirik ke Dylan, lalu kembali ke ponsel, seakan ia sedang membandingkan sesuatu.

Dylan merasa aneh dengan anak itu. Karena tak mau membuang waktu banyak, ia akan pergi. Tapi tiba-tiba anak itu kembali mengeluarkan suaranya.

“Maaf. A–apa saya bisa mengambil buku ini?” Anak itu ternyata mengulangi kalimatnya.

“Bahasa Indo-nya baku banget.” Gumam Dylan, lalu ia memandang gadis itu. “Ya, kau bisa mengambilnya lagi di rak itu. Kalau ini udah jadi milikku!”

Anak itu kembali membesarkan matanya dan menatap bingung padanya. Kemudian anak itu sedikit bergumam sambil kembali melirik ke ponselnya sembari berkata, “Emm ... saya malas mengambil buku itu.”

“Kenapa? Padahal tempatnya gak jauh dari tempatmu berdiri, loh!” timpal Dylan.

“Saya hanya malas saja. Saya hanya ingin komik yang anda pegang itu.”

“Tidak boleh!” Dylan menegaskan. “Aku yang menemukannya duluan. Jadi, ini milikku!”

Anak itu kembali melihat ponselnya, lalu menunduk.

“Hmm ... baiklah kalau begitu. Saya mengambil yang baru saja!” katanya sambil mengambil satu komik di rak no.4 itu. Setelah mengambil buku itu, ia tidak pergi. Dia terus saja memandangi Dylan.

Dylan merasa aneh pada sikapnya. Ia jadi berwaspada. Lalu tanpa mengatakan apa-apa lagi, Dylan pun berbalik badan dan pergi duluan meninggalkan anak aneh itu.

Dylan senang akhirnya bisa mendapatkan komik edisi terbaru yang sudah ia tunggu-tunggu. Ia segera berjalan ke depan kasir toko buku itu untuk membayar langsung komiknya.

“Aku mau beli ini saja, Sit!” katanya sambil memberikan komik pilihan pada seorang kasir yang akan siap untuk melayaninya.

“Hanya ini saja? Tumben banget.” Kata kasir di depannya itu.

"Uangku pas-pasan."

Dylan sudah mengenal kasir itu. Dia adalah teman kakaknya. Namanya Siti Afwani. Dia sangat baik. Tapi dia tidak akan baik pada Dylan kalau soal komik. Dylan berharap dia bisa memberikan diskon besar pada komik yang ia beli. Tapi ternyata tidak boleh.

“Hmm ... oke. Seperti biasa, harganya Rp.25.000,-“

“Kasih diskon dikit, dong.” gumam batinnya sambil merogoh kantung celana. Ia sedang mencari dompet. Tapi ia tak merasakan sesuatu selain ponselnya. “Ke mana dompetku?!”

“Apa ada masalah?” tanya Siti pada Dylan yang terlihat gelisah.

“Ah! Dompetku hilang. Haduh, bagaimana ini?”

“Sungguh? Apa kau sudah mencarinya ke seluruh kantung celanamu?”

“I–iya. Tidak ada!”

"Duh, dompetku ke mana?? Apa jatuh di jalan tadi? Apa jangan-jangan ada yang mengambilnya??? Ah! Itu gak mungkin. Tapi ke mana hilangnya dompetku itu?”

“Biar saya saja yang bayar!”

Lagi-lagi suara itu. Dylan menengok ke arah samping. Ia terkejut karena tiba-tiba saja, anak yang ia lihat di rak komik nomor empat tadi muncul lagi di hadapannya. Ia memberikan uangnya pada Siti.

“Eh, tunggu! Apa dia ingin membayarkan komikku ini? Tapi kenapa ia ingin membantuku? Dari tadi sikapnya juga aneh, apa dia merencanakan sesuatu?”

Seketika banyak pertanyaan yang muncul di benak Dylan saat melihat gadis itu membelikan komiknya.

“Ini.”

Anak itu benar-benar membelikan buku yang Dylan mau. Sampai lelaki itu sedikit terharu. “Ya ampun, baik banget. Eh? Beneran, nih? Mungkin saja, nanti dia malah minta ganti padaku. Berarti aku berhutang pada orang ini, dong?”

SREK!

Anak itu memberikan kantung plastik berisik komik terbaru itu pada Dylan. Dengan ragu, lelaki itu pun menerimanya.

Sebelum pergi, Dylan pun mengucapkan “terima kasih” padanya, lalu tanpa berkata hal lain lagi, ia langsung berjalan meninggalkan anak itu di sana.

Dylan meninggalkan toko buku dengan perasaan malu karena anak asing itu sudah membelikannya komik. Tapi tetap saja, ia merasa senang karena berhasil mendapatkan komik yang sedang diincarnya.

“Ah, aku masih bingung. Ke mana hilangnya dompetku itu?”

Sembari berjalan di pinggir trotoar, Dylan iseng-iseng membuka bungkus lapisan plastik pada komik baru. Gambarnya bagus sekali. Ia benar-benar menyukainya. Apalagi aroma dari komik baru, benar-benar enak.

Sambil berjalan pelan di pinggir jalan, Dylan mencoba membaca sedikit isi komiknya. Tapi entah kenapa, ia merasa tidak tenang saat membaca komiknya. Ada yang mengganggu pikirannya saat ini.

Dylan merasa kalau ada seseorang yang sedang mengikutinya dari belakang. Ia pun menoleh menengok ke belakang, tapi tidak ada siapa-siapa.

“Haduh ... kenapa perasaan seperti ini selalu muncul disaat aku sedang berada di tempat sepi seperti ini? Kebiasaan!”

Rumahnya hampir dekat. Untung Dylan berjalan cepat. Tidak ada yang terjadi padanya selama ia berjalan di tempat sepi seperti tadi.

Wajar jika jalan di sana itu terlihat sepi, karena hari mulai gelap. Biasanya, jalan di sana cepat sepi karena banyak terjadi kejahatan di daerah itu. Seperti pembegalan dan perampokan hingga kejahatan kriminal yang menjijikkan. Semua selalu terjadi di tempat itu. Makanya, jarang ada orang yang lewat sana karena takut.

Tapi betapa tidak beruntungnya Dylan Karena jalan itu adalah jalan satu-satunya untuk berangkat sekolah, bahkan pulang sekolah. Makanya ia selalu berhati-hati dan berwaspada saat melewati jalan itu.

“Beruntung, Tuhan masih melindungi ku. Karena selama ini, aku gak pernah mengalami kejadian buruk di tempat ini.”

Sampai akhirnya Dylan pun tiba di rumah kesayangan yang hampa.

*

*

*

To be continued–

CHAPTER 2– [ Takana Utsuki ]

Saat sampai di rumah, Dylan langsung pergi ke kamar. Melempar tasnya ke atas tempat tidur, lalu mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi.

Setelah mandi, rasanya memang sangat menyegarkan. Ia mengganti pakaian. Setelah itu, ia mengambil kembali komik yang baru saja dibeli tadi. Lebih tepatnya, anak berambut putih itu yang membelikan komik ini untuknya.

Dylan pun mulai membaca komik itu sambil memeluk guling kesayanganya. Kalau soal membaca komik, ia paling cepat. Tiba-tiba saja ia sudah sampai di halaman ke-40 dan hampir tamat. Lalu pada saat Dylan membuka halaman berikutnya, ia terkejut.

Terkejut saat melihat ada karakter baru yang muncul di dalam komiknya. Ternyata di panel tersebut, muncul sosok anak kecil berambut putih.

“Eh! Benar-benar mirip! Sangat mirip.”

Dari model rambut dan warnanya. Hingga mata besarnya berwarna biru dan postur tubuhnya, juga sangat mirip. Wajahnya juga terlihat persis digambarkan seperti anak tadi.

“Apakah anak tadi itu sedang Cosplay menjadi karakter ini? Tapi kan komik ini baru saja liris. Bagaimana gadis tadi bisa tau wujud dari karakter baru ini? Apa komikusnya berteman dengan gadis itu, apa komikusnya yang membuat karakter ini terinspirasi dari gadis tadi?” batin Dylan panjang lebar memikirkannya.

Dylan tidak begitu yakin dengan pemikirannya. Tapi ia masih terheran dan mulai menutup bukunya setelah selesai membaca komik tersebut. Ia penasaran dengan kelanjutannya dan juga penasaran dengan peran si karakter yang baru muncul tersebut.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Chapter 2: [Takana Utsuki ]

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Keesokan harinya–

Pagi-pagi seperti ini, Dylan sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Tapi sebelum itu, ia memberi makan Coki terlebih dahulu, agar dia tidak bawel.

Setelah itu, berjalan ke pintu depan. Memakai sepatu, menggendong tas, mematikan lampu rumah, memutar kenop pintu dan membukanya. “Saatnya memulai hari baru yang membosankan!”

...****************...

Di sekolah–

Kelas 3-A, adalah kelasnya Dylan.

Kelas ini adalah kelas ternakal, tergaduh, dan paling berisik satu sekolah. Sudah sampai memecahkan rekor kelas buruk terbaik. Kelas itu dipenuhi oleh anak-anak berandalan. Entah itu laki-lakinya atau perempuan juga sama saja.

Saat ini, Dylan sedang duduk di tempatnya, memandang keluar jendela yang ada di samping sambil menopang dagu. Sekalian juga, sambil menikmati kebisingan di kelas dan juga menunggu bel masuk berbunyi.

PUK!

“Ugh ....”

Seseorang baru saja melemparkan segulung kertas ke arah Dylan. Semua anak di kelas langsung memandangnya dengan tatapan mereka yang membuatnya muak.

“Eh! Sorry~ Gw kira, lu tempat sampah, haha....”

“Hei, dia memang tempat sampah, loh. Karena sudah pernah tertulis di mejanya. ‘Buanglah sampah pada temannya’ haha....”

“Lawak lu. Tapi ya juga sih, hahaha!”

“Lagi-lagi mereka!” geram Dylan dalam hati sambil meremas kertas tersebut. “Dua cewek yang sangat nakal. Kenapa mereka tidak pergi dan mati saja?”

Sampah yang mereka berikan pada Dylan tadi, langsung ia pungut dan buang ke tempatnya. Sekali lagi, Dylan menahan diri. Ia harus sabar. Almarhum ayahnya selalu bilang kalau ia tidak boleh membalas dendam pada siapa saja yang sudah menghinanya. Biarkan perbuatan mereka dibalas oleh Tuhan saja.

“Untung saja mereka anak cewek!”

Dylan pun kembali ke tempat duduknya. Kelas itu semakin berisik saja. Ada yang main lempar-lemparan kertas, merokok di dalam ruangan, dan bercanda secara berlebihan, juga berbicara kasar seenaknya. Dylan berharap ia bisa pindah dari kelas itu. Tapi entah kapan dan bagaimana caranya.

KRIIIING... KRIIIING....

Pada akhirnya, waktu ketenangan datang juga. Jika bel masuk berbunyi, semua murid di kelas langsung diam dan kembali ke tempat duduknya masing-masing. Walau mereka nakal, mereka masih takut dan menghormati guru.

GREEEKKK....

Pintu kelas pun bergeser dan terbuka. Terlihat di sana, seorang guru yang cantik datang. Itu wali kelasnya Dylan. Namanya Bu Aprilia.

Dylan selalu memanggilnya Bu April. Beliau sangat baik hati dan selalu sabar dalam menghadapi murid-murid nakal di kelasnya. Intinya, dia guru terbaik yang Dylan miliki.

Bu April berjalan mendekati mejanya. Diikuti oleh seorang anak baru di belakangnya.

“Eh! Tunggu dulu.” Dylan terkejut. Murid yang dibawa Bu April itu ternyata adalah anak yang bertemu dengannya saat di Toko Buku kemarin.

“Kenapa dia ada di sini? Apa dia murid baru? Tapi kalau memang murid baru, kenapa ia datang saat pertengahan semester. Lalu ... bagaimana anak seumuran dia bisa sekelas denganku?!” Lagi-lagi pikiran Dylan dipenuhi oleh tanda tanya.

Bukan waktunya yang tepat untuk anak itu datang. Karena mendadak sekali. Tak lama lagi ujian akhir semester 1. Tidak punya banyak waktu untuk belajar bersama di kelas. Semua materi pelajaran telah dibahas.

“Selamat pagi, anak-anak!” sapa Bu April.

“Pagi, Bu!” sahut semua murid. Mereka semua melirik ke anak baru itu.

“Anak-anak, hari ini kita punya teman baru.” Bu April menengok ke samping kirinya. “Ayo, perkenalkan dirimu!”

“Ha–halo! Nama saya Takana Utsuki. Saya murid pindahan dari Tokyo. Yoroshiku onegaishimasu! “ ucap Takana sambil membungkukkan badannya.

“Eeehhh?” Semua anak menelengkan kepalanya karena bingung. “Apa yang dia bicarakan itu?”

“Oh, Takana ini berasal dari Jepang. Jadi mohon bantuan kalian, ya. Dia mungkin agak kesulitan dalam bahasa kita, tapi kalian bisa coba untuk akrab dengannya.” Jelas Bu April.

Semua murid mengangguk paham.

“Nah, sekarang, Takana duduk di ....”

“Di sana saja, bu! Dekat dengan si anak nolep itu!” Salah satu anak menunjuk ke arah Dylan. Dylan terkejut begitu ditunjuk. Tapi memang benar kalau di sampingnya itu ada kursi kosong. Karena tak ada yang ingin duduk di dekatnya.

“Ah! Kenapa kebetulan sekali, sih?” Sekali lagi ia menggerutu dalam hati.

“Ah, iya. Itu ada kursi kosong di belakang sana. Takana duduk di sana, ya?” kata Bu April sambil menunjuk ke arah kursi kosong yang ada di samping Dylan.

Takana mengangguk paham. Lalu ia berjalan ke arah tempat yang ditunjukkan Bu April tersebut.

Saat sampai di tempat duduknya itu, Takana memeriksa keadaan meja dan kursi yang ia miliki. Lalu setelah itu, ia meletakkan tasnya di samping meja dan dirinya menduduki kursi tersebut.

Dylan berusaha untuk membuang muka dari orang Jepang itu. Bukan bermaksud sombong padanya, tapi entah kenapa ia tidak mau memandang anak itu. Karena anak itu benar-benar mirip dengan karakter imut di komik yang ia baca kemarin.

“Eh, hei! Anda!”

Dylan mendengar suaranya. Secepatnya ia menengok ke arahnya dan terkejut. Tiba-tiba saja anak yang bernama Takana itu berada dekat sekali di depan wajahnya. Wajah putih yang mulus dan imutnya itu membuat Dylan memanas.

"Woy, woy ... jangan dekat-dekat!"

Dylan mendorong Takana secara perlahan untuk menjauhkan pandangannya darinya. Akhirnya lega. Tapi tetap saja, dia masih menatap Dylan dengan mata biru yang besar.

“A–apa yang kau inginkan?” tanya Dylan dingin.

“Anu ... apa anda orang yang kemarin di toko buku itu?” tanyanya balik.

Dylan hanya mengangguk cepat dengan ekspresi wajah yang masih sedikit memerah.

“Oh, gitu ...” gumamnya. “Apa anda sekolah di sini?”

“Iya, lah, dasar bodoh! Kau bisa lihat sendiri aku berada di tempat ini, kan?!” Entah kenapa tiba-tiba Dylan membentaknya. Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca.

“Eh? Apa dia akan menangis karena aku sudah membentaknya?”

Namun sepertinya tidak. Saat Dylan perhatikan, mata Takana itu tidak melirik ke arahnya. Melainkan ia sedang melirik ke arah lain yang ada di dekatnya. Matanya melirik ke belakang pundak Dylan. “Apa yang dia lihat?”

“Oni!” teriak Takana tiba-tiba.

Lalu ia melompat ke arah Dylan dari tempat duduknya. Ia memukuli kepala Dylan dengan buku yang ia pegang. Semuanya terkejut dan langsung menengok ke arahnya. Semua mata terpaku pada Dylan dan sikap Takana yang aneh.

“ONI! ONI! ONI! “

Kata-kata itu yang selalu ia katakan sambil memukul Dylan. Lelaki itu sendiri juga tidak tahu apa artinya “Oni” itu.

“Aduh! Aduh! Hei, berhenti!” bentak Dylan lagi. Tapi semakin ia membentak dan memberontak padanya, maka semakin kuat pukulannya. “Masa aku harus diam saja? Sakit tau!”

Bu April menghampiri untuk melerai mereka berdua. Dia berusaha untuk memisahkan Dylan dengan Takana. Lalu tak lama kemudian, akhirnya Takana bisa tenang juga.

“Aw ...” Kepala Dylan terasa pusing. Takana kembali duduk di tempatnya dengan tenang. Tapi ekspresi wajahnya benar-benar tegang dan ketakutan.

Seketika, satu kelas menjadi berisik karena kejadian ini. Murid baru itu benar-benar aneh. Karena gadis itu tidak melakukan hal tersebut sekali saja, tapi berkali-kali.

Kadang, sejam sekali, Takana mengamuk pada Dylan. Jam olahraga, Dylan dikejar-kejar olehnya. Saat di kantin, Takana selalu ribut dengannya. Sampai akhirnya, ia dibawa ke ruang kesehatan sekolah.

“Ini sangat menyebalkan!”

Dylan benar-benar tidak mengerti dengan anak baru asal Jepang itu. Tapi kalau ia perhatikan, tampang anak itu saat sedang memukulinya, benar-benar berekspresi seperti orang ketakutan.

“Tunggu! Apa aku terlalu menakutkan untuknya? Eh, tidak mungkin. Dia pasti melihat sesuatu yang tidak bisa kulihat dengan mataku. Tapi apa itu?”

Pukul 2 siang–

Saat ini, Dylan sedang berada di dalam ruang kesehatan untuk beristirahat. Kepalanya diperban sedikit karena mendapat benturan dari benda tumpul.

Tentu saja semua itu gara-gara anak yang bernama Takana. Dialah yang menyebabkan Dylan jadi seperti itu. Lelaki itu sendiri jadi merasa tidak nyaman berada di dekat anak baru itu. Hari ini, kehidupannya tidak jadi menyenangkan seperti yang ia harapkan.

GREEKK....

“Eh?”

Dari atas ranjang, Dylan menengok ke arah pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya. Lalu dari balik pintu itu, muncul seseorang yang masuk.

Itu Takana.

“A–anu ... Dylan? Boleh aku masuk?” tanyanya sambil mengintip dari balik pintu itu.

Dylan mendesah berat dan mengangguk tanpa menatap anak itu. Takana merasa senang. Lalu ia berjalan cepat menghampirinya.

“Apa yang kau inginkan?” tanya Dylan dengan tatapan dingin padanya.

“Umm ... apa anda ingin menjadi temanku, Dylan?” Takana menekuk kedua telunjuknya ke depan.

“Gak.” Dylan menolaknya mentah-mentah. Ia membuang muka. “Setelah apa yang kau lakukan padaku, dan sekarang kau tiba-tiba ingin menjadi temanku? Huh!”

“Ung! Saya tidak sengaja melakukan itu.” Ucapannya merasa tidak enak dan menyesal. Tapi Dylan merasa tidak nyaman saja dengan gaya bicaranya.

“Ikh! Bahasamu terlalu baku. Jangan gitu, dong. Bisa bicara kek biasa aja?”

“Tapi di dalam kamus saya, semua berkata seperti ini.”

“Apa itu kamus Bahasa Indonesia mu?”

“Ya, saya membuatnya sendiri.”

“Oh?”

“Iya.”

Seketika jadi hening kembali. Dylan turun dari atas tempat tidurnya, dan berjalan mendekati jendela. Tubuhnya mulai berenergi kembali. Ia membuka jendela di sana, cahaya dan angin sejuk masuk ke dalam ruangan.

Takana kembali membuka beberapa halaman buku kamusnya. Berusaha untuk mencari kata-kata terjemahan yang akan ia ucapkan. Setelah ketemu, Takana kembali membuka mulutnya. Tapi sebelum ia mengatakan sesuatu, Dylan sudah menyela duluan.

“Apakah Jepang mempelajari Bahasa Indonesia?” tanyanya.

Takana mengangguk. “Tentu! Saya sangat menyukai bahasa Indonesia, tapi saya masih belum bisa untuk menguasai Bahasa itu.” Jelas Takana.

“Oh, apakah susah?”

“Iya, begitulah. Tapi saya akan berusaha sampai bisa!”

Dylan mengangguk paham. Lalu kembali memandang keluar jendela. Menatap beberapa anak yang sedang bermain bola di lapangan.

“Anu ... apa aku boleh menjadi temanmu?” tanyanya lagi.

“Hmm... kenapa kau ingin menjadi temanku?”

“Karena... watashi wa anata no hogo yuujin desu! “

Dylan menelengkan. “Hah? Apa artinya itu?”

“Maaf, aku tidak bisa memberitahumu.”

“Lah?”

“Sekarang, terimalah aku menjadi temanmu!” Takana kembali memohon.

Dylan menggeleng pelan. “Kalau kau ingin menjadi temanku, kau harus memberitahu arti kata-kata yang kau ucapkan itu dulu. Baru aku terima!”

“Tidak, aku tidak bisa memberitahu mu!” tegas Takana.

“Oke kalau begitu, terserah kau saja. Sudahlah, aku ingin kembali ke kelas. Jangan dekati aku lagi, cewek aneh!” tegasnya sambil berjalan keluar dari ruang kesehatan itu. Sementara Takana masih berdiri di depan pintu sambil memandang Dylan yang sedang berjalan di lorong.

...****************...

Di lapangan sekolah, sedang ada pertandingan bola basket. Banyak murid lain yang sedang menonton. Entah itu dari atas gedung sekolah atau menonton dari pinggir lapangannya langsung.

Kalau di pinggir lapangan ini, sepertinya kebanyakan adalah murid perempuan. Karena mereka memperhatikan salah satu dari pemain basket yang hebat itu. Dia bernama Kei Sebastian.

Dia cukup popular karena wajahnya yang tampan dan gayanya yang keren dalam bermain basket. Orangnya benar-benar hebat, pokoknya.

Tapi kalau Dylan, menganggap orang itu biasa saja.

“DYLAN AWAS!”

Seseorang meneriakinya. Dylan terkejut dan segera menengok. Ternyata ada sebuah bola basket yang datang cepat ke arahnya. Tak sempat menghindar, refleks Dylan hanya melindungi kepalanya dengan lengan.

HAP!!

Seseorang telah menyelamatkannya dengan cepat. Orang itu adalah Takana!

“Eh?!”

Dengan cepat, ia muncul di hadapan Dylan dan langsung mengambil bola basket itu. Tangannya sangat kuat. Lalu tak lama kemudian, Takana berlari melewati para pemain sambil membawa bola basket itu. Lalu saat dirinya sampai di dekat tiang ring basket, ia langsung melompat tinggi.

Sangat tinggi!

Takana memasukan bola itu ke dalam lubang ring-nya. Ia berhasil. Menakjubkan. Semua orang bertepuk tangan dan bersorak kagum untuk Takana. Padahal tubuhnya kecil, tapi ia bisa melompat setinggi itu.

Kei yang melihat kejadian itu juga merasa takjub dengan kehebatan Takana dalam bermain bola basket. Padahal di mata Kei, dia hanya seorang anak perempuan dan tinggi tubuhnya hanya 150 cm saja.

Kei yang sadar kalau mulutnya itu ternga-nga, langsung menutupnya kembali. Lalu setelah itu, dengan cepat Kei berlari menghampiri Takana.

“Wow, permainanmu hebat sekali!” puji Kei pada Takana.

Takana menjawabnya dengan mengangguk dan tersenyum.

“Hei, aku benar-benar sangat takjub dengan kehebatan dan kekuatanmu itu. Jadi, maukah kau menjadi pacarku?” Kei mengangkat tangan kanan Takana, lalu ia pun berlutut pada Takana.

Dylan dan semua murid perempuan di sekitarnya sangat terkejut. Mereka berteriak histeris karena merasa iri. Mata mereka tersentak kaget saat melihat Kei yang tiba-tiba saja menembak Takana. Tapi Takana tidak berekspresi. Dia hanya diam saja sambil melirik ke sekitar dan kebingungan.

“Hei, bagaimana?”

“Takana kenapa hanya diam saja? Tunggu! Apa jangan-jangan dia tidak mengerti apa yang Kei katakan?!” batin Dylan yang teringat dengan Takana yang belum terlalu paham bahasa Indonesia.

Takana celingak-celinguk, mencari sesuatu sambil memeriksa setiap kantung seragam dan rok yang dikenakannya itu. Sepertinya Takana sedang mencari buku kamusnya. Pasti buku kecil buatannya itu menghilang.

Dylan juga melirik ke sekelilingnya dan mencari buku itu. Tak lama Takana memfokuskan matanya pada Dylan. Lelaki itu terkejut saat ia tiba-tiba memandangnya. Lalu dengan cepat, Takana berlari ke arah Dylan.

“Ah! Apa yang akan dia lakukan padaku sekarang? Apa dia ingin memukulku lagi?!

Kalau memang begitu, aku harus lari. Menghindar darinya!”

Sebelum pergi, Dylan sempat melirikkan matanya ke bawah. Eh, ternyata buku Takana itu ada di depan kakinya. Dylan akan mengambilnya, tapi tiba-tiba saja, benturan keras menghantamnya dengan cepat.

Takana?

Iya! Takana! Anak itu telah menabrak Dylan sampai terjatuh. Tapi yang paling mengejutkan lagi, saat mereka terjatuh, orang-orang melihat bibir Takana menyentuh bibir Dylan. Walau hanya beberapa detik.

Dengan posisinya yang tertindih tubuh gadis itu, Dylan dan Takana saling menatap kebingungan. Dia terlihat biasa saja. Tapi wajah Dylan langsung memerah. Semua orang memperhatikan mereka.

“CIEEEEE!!!”

“Ce–cewek itu....”

“Barusan, dia mencium cowok itu, kan?”

“I–iya! Tidak bisa dipercaya!”

Para murid perempuan yang ada di sekitar, mulai bersorak dan membicarakan mereka. Dylan merasa tidak nyaman dengan suasana itu dan agak kesal. Lalu dengan cepat, ia mendorong Takana dengan kasar dan langsung kembali berdiri.

Lalu tanpa menatap ke arah Takana lagi, ia langsung pergi meninggalkannya. Takana mengepal tangannya, lalu menempelkan tangannya itu ke dadanya. Ekspresinya terlihat sedih. Kemudian ia mengambil kembali buku kecilnya dan langsung berlari menyusul Dylan.

Kei yang masih berdiri di tengah lapangan itu, terus menatap bingung pada Takana. Lalu salah satu temannya mendekati dirinya, kemudian menepuk-nepuk pundaknya.

“Yang sabar, bro! Gw juga tahu, cinta ditolak itu memang gak enak. Tapi setidaknya, lu masih memiliki cewek lain di sini.” Kata temannya itu.

“Aku belum ditolak. Cewek itu masih belum menjawabku.” Kei melirik tajam pada temannya.

“Tapi dia sudah mempunyai pacar. Pacarnya itu si Dylan anak nolep itu, loh!”

“Gak mungkin anak nolep punya pacar! Pokoknya, aku akan tetap mengejar cewek itu.” Ujar Kei sambil berlari meninggalkan temannya di belakang. Ia akan pergi mencari Takana, si gadis yang sedang ia incar.

*

*

*

To be continued–

CHAPTER 3– [ Pulang Sekolah ]

"Dylan, tunggu!" teriak Takana yang ada di belakang Dylan. Terus mengejarnya.

Namun Dylan tetap tidak mempedulikannya. Ia selalu melangkahkan kaki dengan cepat sambil menundukkan kepala. Kalau perlu, ia bisa saja berlari dari Takana. Yang penting, ia tidak akan bertatapan dengan orang Jepang itu lagi. Tak peduli mau berapa banyak anak itu terus meneriaki dan memanggil namanya. Pokoknya, Dylan ingin menjauh darinya.

Lalu pada saat di depan kelas 2-B, tepatnya pada lantai 2, Takana berhasil mendapatkan tangan Dylan dan langsung menariknya. Langkah mereka berdua pun terhenti.

"Kau mau apa lagi, sih?!" bentak Dylan padanya.

"Dylan, mau ke mana? Kenapa meninggalkanku? Bukankah kau temanku?"

Dylan menghela napas pelan, lalu melirik ke arah Takana yang ada di hadapannya itu. "Satu, aku mau pergi karena aku muak dengan kelakuanmu tadi. Dua, ini hidupku, jadi ... suka-suka aku lah! Dan tiga, aku ini bukan temanmu. Kita gak berteman!" Ia menarik tangannya dari genggaman Takana secara paksa.

"Jadi, tinggalkan aku sendiri!"

Dylan kembali melangkahkan kakinya. Kembali pergi menjauh dari Takana. Setelah ia pergi, Takana hanya diam saja di tempatnya dengan wajah yang masam. Tapi sepertinya, Takana tidak akan menyerah. Dia melangkahkan kakinya lagi dan kembali mengejar Dylan.

Namun sebelum itu, ada seseorang di belakang Takana yang tiba-tiba menarik tangannya. Takana terkejut dan langsung menengok ke belakangnya. Ternyata orang itu adalah si Kei.

"Si–siapa anda?" tanya Takana.

"Hai! Jangan takut. Aku cowok tampan yang tadi, loh!" Jawab Kei sambil mengulurkan tangannya. "Namaku Kei Sebastian."

"Umm... aku, aku Takana. Takana Utsuki."

"Namamu bagus sekali. Aku menyukainya."

"Iya. Anda juga sama."

Takana terlihat ragu-ragu sekali. Karena cowok yang ada di depannya itu benar-benar menghalangi jalannya. Ia selalu melirik ke Dylan yang sedang berjalan menjauh. Kemudian lelaki itu berbelok ke kanan. Takana benar-benar ingin menyusulnya.

"Biar aku ceritakan sedikit tentangku," ujar Kei dengan percaya diri. "Jadi, aku ini adalah orang paling populer di sekolah ini. Aku jago basket dan olahraga lainnya. Aku juga keturunan anak orang kaya. Wajahku juga tampan. Makanya aku memiliki banyak pengemar cewek. Tapi tenang saja, aku hanya menyukaimu, Takana. Nah, sekarang ... eh?!" Kei kembali membuka matanya dan terkejut. Ternyata Takana yang tadinya ada di hadapannya itu menghilang entah ke mana.

Ia tidak tahu Takana pergi ke mana. Padahal ia hanya berpaling beberapa detik. Lalu Kei pun pergi mencari Takana lagi.

Takana sendiri masih mengikuti Dylan. Dia membuntutinya dari belakang. Tanpa sadar, Dylan benar-benar tidak bisa melihat keberadaannya. Dia seperti hantu. Bisa dirasakan keberadaanya, tapi tidak bisa dilihat wujudnya dengan mata.

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Chapter 3: [ Pulang sekolah ]

\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=

Pulang sekolah–

Lagi-lagi, Dylan pulang sendirian. Tanpa teman dan orang lain. Sebenarnya, ia tidak suka memiliki teman, tapi sebenarnya ia sangat membutuhkan seseorang.

Dylan berjalan santai sambil membaca buku. Tapi tetap saja Dylan harus memperhatikan sekitar agar tidak menabrak benda atau orang lain.

Buku yang ia baca itu adalah Novel yang terinspirasi dari Anime kesukaannya. Biasanya ia menyebutnya dengan Light Novel. Entah kenapa ia membeli Novel itu, padahal ia sudah mengetahui isi cerita di dalam novel dari Anime-nya.

Saat ini, pasti tepat di belakangnya, ada anak Jepang itu yang sedang mengikutinya. Dylan semakin geram dengan sikapnya yang selalu membuntutinya. Ia sebenarnya telah menyadari kehadiran Takana dari tadi. Tapi ia berpura-pura tak mengetahuinya.

"Risih banget. Rasanya, aku ingin melempar Novel ini tepat di depan mukanya." Gerutu Dylan dalam hati.

Kembali fokus membaca Novel saja. Tapi tiba-tiba ada yang memegang pundak Dylan. Lelaki itu tersentak. Ia pikir itu Takana. Lalu dengan cepat, Dylan langsung saja memukul orang yang ada di belakangnya itu dengan buku novel.

"Aduh!"

"Eh–"

"Ah, apa yang kau lakukan?!"

Ternyata itu Kei. Dylan telah memukul murid populer di sekolah dan yang lebih parahnya lagi, banyak murid lain yang melihat kejadian itu. Mereka mulai membicarakannya lagi.

"Ah, sorry!"

Dylan harus cepat pergi. Ia mundur perlahan, lalu dengan cepat, ia berbalik badan dan berniat untuk meninggalkan Kei yang masih terduduk di tanah.

"Eits! Kau tidak boleh pergi semudah itu."

Langkah Dylan tiba-tiba terhenti. Ada seseorang baru saja menahan tubuhnya. Orang itu adalah temannya Kei. Dia menggenggam kedua tangan Dylan, lalu menahannya ke belakang. Dylan merasakan sakit. Seperti tulangnya yang bergeser.

"Aduh, kenapa aku harus di sini, sih?"

Kei Kembali berdiri. Lalu dia berjalan ke arah Dylan. "Hei, kau sangat keterlaluan, ya? Pertama, kau merebut pacarku dan sekarang, kau berani memukulku di depan semua orang. Tidak bisa dipercaya!"

BUK!

"Akh!"

Kei menerjang perut Dylan. Ia merasa kesakitan lalu kembali membuka mata, secara perlahan melirik ke arah Kei. Lelaki yang lebih tinggi dari Dylan itu mengekspresikan wajah marah, tapi ia masih sempat-sempatnya untuk senyum. Senyum yang terlihat keji. Senyum yang menyeramkan dengan tatapan mata sipitnya yang tajam.

Kedua tangan Dylan masih ditahan ke belakang. Tidak bisa bergerak dan hanya bisa merintih kesakitan. Lalu sekali lagi, Kei kembali menendang perutnya. Seketika Dylan memuntahkan darah dari mulut.

"Sudah cukup. Lepaskan dia!" perintah Kei pada temannya.

"Ok."

Akhirnya mereka melepaskan Dylan. Lelaki itu langsung jatuh dan terbatuk-batuk di tanah sambil terus mengerang kesakitan pada perutnya.

Setelah itu, Kei berdiri di hadapannya. Lalu berjongkok. "Sekarang, kau jangan macam-macam padaku. Aku mengawasi dirimu–"

BUAK!

"ONI! ONI! ONI!"

"A–aduh! Aduh!"

Takana tiba-tiba saja datang dan langsung memukuli kepala Kei berkali-kali. Kei berusaha untuk memberontak. Melepaskan diri dari Takana yang sedang duduk di atas pundaknya itu.

"Woy, Takana, apa yang kau lakukan?!"

Dylan mengelap darah di bibirnya, lalu mengambil tas dan kembali berdiri. Semuanya memperhatikan keributan yang disebabkan oleh Takana dan Kei itu. Sementara temannya Kei tak berani mendekat karena takut kena serang juga.

Kei tersungkur ke tanah. Setelah puas memukuli Kei, Takana kembali diam. Tapi lagi-lagi, saat Dylan perhatikan, wajahnya masih terlihat tegang dan ketakutan. Lalu setelah itu, Takana melirik ke arah Dylan. Gadis itu tersenyum padanya. Kemudian berlari ke arah Dylan. Berdiri di depannya. Perlahan, kaki Dylan mulai melangkah mundur untuk menjauh karena takut kena pukul juga.

"Kakak~! "

"Eh, astaga!" Dylan tersentak.

Tiba-tiba saja anak itu mengeluarkan suara seimut itu. Membuat pipi Dylan sedikit memerah.

"Kak, ayo kita pulang!" ajak Takana.

"Eh, apaan sih? Memangnya kita serumah? Kau ini!" Dylan pergi meninggalkannya. Takana berlari kecil. Ia lagi-lagi mengikutinya dari belakang.

Setelah mereka berdua pergi, temannya Kei pun menghampiri kawannya. Kei kembali berdiri. Dia menatap ke arah Takana. Ia tidak percaya kalau Takana itu telah memukulinya dan sekarang anak itu malah pergi mengikuti orang lain.

"Sudahlah, menyerah saja. Cewek itu sudah punya orang yang dia suka." Ledek salah satu temannya Kei.

"Apa yang kau bicarakan? Aku Kei. Kei Sebastian! Aku tidak akan bisa membiarkan cewek itu bersama orang lain. Takana harus jadi milikku. Titik. Gak pake koma!" bentak Kei. Lalu dia berjalan cepat menuju mobil jemputannya yang baru saja tiba.

...****************...

Dylan merasa risih. Anak itu selalu saja mengikutinya. Entah apa maunya dia, Dylan belum tahu. Tapi setiap ia bertanya, Takana hanya menjawab dengan jawaban yang tidak ia mengerti artinya. Sangat membingungkan.

Dylan pun melewati tempat yang sepi itu lagi. Ia berpikir apakah Takana masih mengikutinya?

Tanpa menoleh ke belakang, Dylan memperlambat langkahnya. Suara langkah kaki Takana masih terdengar. "Aish! Dia masih saja mengikuti ku." Dylan semakin kesal padanya. Secepatnya, ia berbalik badan.

"Takana, kenapa kau ikut-ikutan terus, sih? Aku mau pulang ke rumahku!" bentak Dylan.

"Tapi, rumahku juga di dekat sini. Jadi kita bersama saja."

"Oh! Jadi di mana rumahmu?" tanya Dylan tidak percaya.

"Di sana." Takana menunjuk.

"Di sana mana? Di sana hanya ada banyak rumah kosong. Tidak mungkin kau tinggal di tempat itu, kan?"

Takana sepertinya tidak mengerti. Dia pun membuka buku kecil yang berisi terjemahan bahasa Indonesia itu. Dylan mendesah berat, lalu menggelengkan kepalanya ke bawah.

"Sudahlah Takana, kau jangan ikuti aku terus. Aku ngerasa gak nyaman. Tolong berhentilah.." Kali ini Dylan akan berusaha untuk bersikap lebih lembut padanya.

"Ta–tapi ... watashi wa–"

"Watashi, watashi lagi ... sudahlah. Jangan bicara bahasa Jepang di depanku. Aku tidak mengerti maksudnya." Dylan mendorong gadis itu lalu memojokkannya ke tembok pagar rumah kosong di dekat tempat mereka berada.

"Sudah, ya? Kau bukan saudaraku, bahkan, kau bukanlah temanku. Jadi jangan mengikutiku terus. Aku juga belum terlalu mengenalmu. Padahal kita baru saja bertemu. Berhentilah mengikutiku!"

Dylan merogoh kantung celana, lalu mengeluarkan sesuatu dan memberikannya pada Takana. "Ini! Jika kau ingin pengembalian uangmu atas komik yang sudah kau berikan kemarin untukku, maka aku akan mengembalikan uangmu. Ambil ini! Sekarang kita impas, dan gak mempunyai hubungan apa-apa lagi."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Dylan pun langsung kembali melangkahkan kakinya. Pergi meninggalkan Takana yang masih menatapnya dengan mata yang membulat dari depan tembok pagar rumah itu. Sepertinya anak itu tidak mengerti dengan perkataannya tadi. Saat Dylan memojokkannya, dia tidak sempat untuk menerjemahkan kata-kata lelaki itu.

Takana melirik ke arah tangannya yang sedang menggenggam uang bernilai Rp50.000,- itu. Lalu setelah itu, ia kembali menengok ke arah Dylan. Ia melebarkan matanya. Dia tidak melihat lelaki itu lagi. Dylan ternyata sudah berbelok. Memasuki gang lain.

Takana sedikit melangkah. Lalu secepatnya dia menengok ke atas. Di matanya, ia melihat sebuah bayangan hitam yang terbang di atasnya. Pergi ke arah jalan yang dilewati Dylan. Takana pun pergi mengejar bayangan itu dengan tergesa-gesa. Gaya larinya sangat cepat.

Sambil berjalan, Dylan kembali membaca Novel yang ia bawa tadi. Lalu tak lama kemudian, ia mendengar suara langkah kaki yang sedang berlari cepat ke arahnya. Dylan pun menengok ke belakang. Ternyata tidak ada siapapun. Lalu ia kembali berbalik dan terkejut.

Tiba-tiba saja, sosok Takana ada di depan matanya.

Dia sangat dekat. Tadinya Dylan akan memukul anak itu dengan buku novel, tapi ia malah mengurungkan niat dan memilih untuk membentaknya lagi dan lagi.

"Takana! Kau ini ya? Masih saja mengikutiku!"

Namun kali ini, Takana hanya diam saja. Dia menatap Dylan dengan pandangan kosong. Sepertinya tidak.

Dia menatap sesuatu yang ada di belakang Dylan. Pandangannya pun berubah dengan ekspresi yang sedikit tegang dan ketakutan. Lalu mendadak, ia terkejut.

"Dylan! Tiarap!" teriak Takana tiba-tiba.

Takana langsung menarik tangan Dylan ke bawah, dan seketika tubuhnya terbanting ke aspal. "Sakit ... Ada apa dengan gadis itu, sih?" gumam Dylan yang hendak ingin bangun kembali.

"Takana, apa yang kau ...."

WUUUUSHHH....

Dylan terkejut. Tiba-tiba saja, muncul angin yang sangat kuat. Angin yang kencang, ditambah dengan langit yang tiba-tiba jadi mendung dan gelap.

Dylan hampir terbawa terbang karena kuatnya angin di sana dan buku novelnya yang terjatuh pun terus membulak-balikan halamannya karena angin kencang itu. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi hal itu membuatnya sedikit takut.

"Dylan! Ayo ikut aku. Di sini berbahaya!" Takana menarik tangan Dylan lagi dan mengajaknya berlari pergi.

Namun Dylan tidak bisa meninggalkan novelnya yang tergeletak di sana. Ia ingin mengambilnya. Dylan pun melepaskan tangannya dari Takana dengan paksa. Lalu setelah itu, ia berlari menghampiri bukunya yang tergeletak di sana.

"Jangan!" teriak Takana. "Jangan sentuh buku itu!"

Dylan tidak peduli dengan perkataan Takana. Pokoknya, ia akan membawa pulang Novel miliknya itu. "Novel itu kan mahal. Aku tidak mau menyia-nyiakan uangku." Batin Dylan. "Lagipula aku belum selesai membacanya."

Dylan mengambil kembali buku novelnya. Tapi tiba-tiba saja, sesuatu keluar dari dalam sampul novel itu. Ada bayangan hitam berasap telah menyentuh tangannya. Dylan akan menjatuhkan buku itu kembali ke tanah, tapi sayangnya tidak bisa. Bayangan hitam itu sudah melekat di tangannya.

"Apa-apaan ini?! Aku tidak bisa bergerak!"

"AAAAAAKH!" Dylan berteriak kesakitan. Tangannya terasa terbakar di sekitar munculnya asap hitam itu.

"Hati-hati, Dylan!" Takana berlari menghampirinya untuk menolong. Dia mengepal tangannya, dan seketika tangannya itu mengeluarkan cahaya berwarna biru yang terang. Lalu Takana mengayunkan tangannya itu dengan kuat ke tangan Dylan. Lelaki itu pun terjatuh ke tanah dan Takana terlempar jauh ke atas langit. Baru saja, ledakan angin kecil terjadi.

Dylan akhirnya bisa kembali bergerak lagi dan bayangan hitam itu menghilang. Ia langsung bangkit dan mundur perlahan, menjauh dari buku novelnya sambil mendongak ke atas mencari Takana.

"Apa? Takana hilang di langit? Dia ke mana?!"

TAP!

Dylan mendengar langkah kaki. Ada seseorang di belakangnya. Secara perlahan, Dylan menengok ke belakang dan betapa terkejutnya ia, tiba-tiba saja Takana ada di belakangnya. Takana tersenyum padanya. Lalu dia berjalan sambil melompat-lompat kecil ke arah Dylan dengan senangnya seakan tidak terjadi apa-apa.

Namun sebenarnya bukan ke arah Dylan. Dia ingin mengambil buku novel milik lelaki itu. Setelah diambil, Takana langsung memberikan buku itu pada Dylan. Dylan menerimanya dengan hati-hati. Setelah ia pegang novel itu, Dylan tidak merasakan apa-apa lagi. Sepertinya buku itu kembali aman.

Takana membungkuk kecil, kepalanya mengarah kepadanya. Ia tersenyum. "Watashi wa anata no hogo yujin desu!"

Lagi-lagi ungkapan itu yang ia katakan. Entah apalah artinya, Dylan masih belum mengetahuinya. Mungkin nanti saja saat ia sudah di rumah, ia akan mencari tahu terjemahannya.

Takana kembali membuka buku terjemahannya. Dia pun membuka mulutnya. "Emm ... sekarang, apa kita bisa berteman?"

Dylan mengerutkan kening. "Itu lagi. Itu lagi! Kan sudah aku bilang, aku tidak ingin menjadi temanmu. Jadi kau pergilah dari sini!"

Dylan terdiam sejenak sambil memikirkan sesuatu. Lalu matanya kembali melirik ke Takana. "Hmm ... tapi kalau kau mau menjadi temanku, dengan satu syarat!"

"Apa itu?"

"Aku harus tahu apa itu artinya 'watashi wa anata no hogo yujin' itu. Bagaimana? Syaratnya cukup mudah, kan?"

"Ehmm, bagaimana, ya? Ah! Saya tidak bisa melakukannya."

"Kenapa gak bisa?"

"Karena ... itu rahasia saya!"

"Kalau rahasia, kenapa kau malah mengungkapkannya pada orang lain?"

"Ah! Itu ... aaaarggh!" Takana menggeleng-geleng sambil mengacak-acak rambutnya. "Saya tidak tahu!"

"Hmm... okelah kalau begitu! Kau gak usah menjadi temanku. Kau telah membuang waktuku. Aku pulang saja. Jangan mengikutiku lagi!" tegas Dylan.

Dylan pun berbalik badan, lalu berjalan ke arah jalan pulangnya sambil membaca novelnya lagi. Takana hanya terdiam saja sambil menatap Dylan yang sedang berjalan menjauh darinya dan menghilang.

Takana menundukkan kepalanya. Walaupun Takana sudah Dylan peringati untuk tidak mengikutinya lagi, Takana tetap nekat. Entah apa tujuannya untuk mendekati Dylan, intinya dia benar-benar ingin selalu melihatnya.

Takana kembali melangkahkan kakinya. Sepertinya dia baru saja memikirkan ide bagus. Apa yang sedang direncanakan Takana sekarang?

*

*

*

To be Continued-

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!