NovelToon NovelToon

Sekutu Rasa

Bab 1 Kehilangan yang Berharga

Bab 1 Kehilangan yang Berharga

Mataku mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk. Getaran ponsel di nakas membangunkanku dari alam bawah sadar. Menahan nyeri di sekujur tubuh. Utamanya bagian bawahku. Sadar kini aku tak lagi perawan. Pria yang masih terlelap di sisiku ini telah merenggutnya semalam, usai resepsi pernikahan dia langsung mengajakku ke hotel.

Getaran gawai di nakas masih saja berisik. Sedikit meringis aku beringsut menggapai benda pipih itu.

My Yos is calling ....

Terpampang jelas nama dan foto perempuan di layar handphone Aidam. Mataku membelalak sempurna dan refleks terduduk dengan tetap mempertahankan selimut menutup tubuh.

"Siapa yang mengganggu sepagi ini? Bahkan masih belum adzan Subuh, kan?" rengeknya merebut ponsel digenggamanku dan melemparnya hingga ponsel terberai di lantai.

"Siapa dia? Mantan istrimu kah?" tanyaku dengan tatapan nanar ke wajahnya yang masih terpejam.

Dia tak menjawab dan memunggungiku sembari menarik selimut yang sebagian menutup tubuh polos kami.

"Aidam ... katakan kejujuran untukku! Siapa perempuan yang menghubungimu di jam seperti ini? Bahkan belum ada 24 jam setelah kita menikah!" tanyaku menahan amarah.

Aku telah menjadi istrinya, apapun yang terjadi dia tetaplah harus dihormati. Karena aku dalam kesadaran menerimanya walau tahu bahwa dia pernah ...

"Apa dia bahkan belum bercerai denganmu, Aidam?" Satu pertanyaan kembali kulayangkan padanya yang memutar tubuhnya menghadapku.

"Aku sudah bertanya dan meminta keyakinanmu berulang kali, Gauri. Jawaban kamu tetap sama dan menerima pernikahan ini!" ucapnya tegas dengan menatap tajam.

"Heh? Setelah kamu merenggut apa yang paling berharga dariku, kamu baru mengakuinya?" tanyaku sinis dengan tetap menyunggingkan senyuman.

Otakku rasanya sudah mendidih dengan nafas yang naik turun menahan emosi. Berusaha tetap waras dan tak menangis di depannya.

"APA TUJUANMU SEBENARNYA MENIKAHIKU, AIDAAAAM!!!" bentakku menggelegar dengan air mata yang tak lagi bisa kubendung.

Pertama kalinya aku menangis di depan lelaki. Sekeras dan sesakit apapun aku terluka selama ini tak pernah sekalipun menangis di depan orang lain. Aku bahkan malu dengan diriku sendiri jika harus mengeluarkan air mata untuk kesakitan yang tak seberapa ini. Karena aku sadar bahwa masih banyak sekali yang lebih sakit dan menderita dibanding diriku.

Aku meraung memukul dan berteriak keras menepis dua tangannya yang hendak menyentuhku. Tak mungkin aku meminta cerai darinya. Aku tahu perempuan yang meminta cerai tanpa alasan yang dibenarkan diharamkan mencium bau surga.

Wajah lelaki yang baru saja merobek hal berharga dariku itu sama kacaunya. Aku bisa melihat kegusaran dan penyesalan dalam raut tegas yang sekarang sirna. Berganti sendu dan berair sudut matanya. Apa yang bisa membuatnya sesedih ini, harusnya dia tak begini jika berniat menipuku.

Dia terlalu sempurna sebagai seorang pria dewasa. Ketaatan beribadah dan pemahamannya tentang agama pun tak diragukan lagi. Aku tahu, karena sejak dulu aku telah mengaguminya dalam diam.

Aku lelah berteriak dan menangis, tangan kekar itu berhasil merengkuh tubuhku. Membawanya masuk dalam dekapan hangatnya. Nafasku tersengal dengan air mata yang tak berhenti mengalir. Kurasakan detak jantungnya pun seperti menahan beban yang tak tersampaikan.

"Maaf Gauri ... aku sudah mengatakan bahwa statusku bukan Duda, tapi masih suami sah Yosita. Aku tak sempat mengatakan kejujuran saat kamu mengatakan ingin menikah segera. Selama satu bulan aku berusaha membuka rahasia itu, tak pernah didengar bahkan sepertinya aku pun tak tega mengatakannya di saat kamu begitu menunjukkan ketertarikan padaku, Gauri ...."

Pernyataan panjang lebarnya membuatku semakin tergugu tanpa suara di dada bidangnya.

Ya. Akulah yang meminta secepatnya menikah dengannya. Entahlah, aku hanya tahu bahwa kesempatan tak datang dua kali. Aidam lama terkubur di dasar hatiku dan muncul ke permukaan menawarkan pernikahan denganku.

"Yosita tak bisa hamil, Papa menginginkan kehadiran cucu dan penerus bisnisnya, anakku, dan semoga itu dari rahimmu, Gauri ...." lanjutnya melepaskan dekapan dan menyeka basah di pipiku.

"Ya! Apalah aku ini yang tak berharga sama sekali! Ayahku saja telah menjualku pada keluarga Sadana! Ini hukumanku selama ini membangkang Ayah dan aturannya melalui kamu!" ucapku menepis jari tangannya di wajahku.

Beranjak dari atas ranjang, aku menyeret selimut memasuki kamar mandi. Kupaksakan rasa nyeri saat kaki melangkah, tak sesakit hatiku saat ini. Setelah mengunci pintu dan menyalakan shower, aku duduk memeluk lutut melanjutkan tangis lagi.

"Gaurika ... kamu adalah seorang istri sekarang! Istri kedua dari seorang Aidam yang akan melahirkan keturunan untuk keluarga Sadana. Kamu pemenangnya! Bukan Yosita!" hiburku pada diri sendiri.

"Kamu harus lebih kuat dan lebih berkelas dibandingkan istri pertama suamimu! Jangan menangis! Ini bukan maumu! Ini bukan salahmu! Bangkit dan hadapi dengan elegan, Gaurika Yada!" teriakku dalam hati sembari menegakkan tubuh berdiri menyelesaikan mandi.

Keluar dari sana hanya mengenakan bath robe di tubuh, Aidam duduk di tepi ranjang, dua tangannya menyangga kepala yang menunduk. Aku mendekat dan dia mengangkat wajahnya yang ... sembab?

"Gauri ... maafkan aku ...," katanya lirih meraih jemari tanganku dan mengecupnya.

"Tak kusangka seorang Aidam Ishwar menangis karena seorang Gaurika, heh?" kataku menghempaskan tangannya dan melenggang ke walk in closet.

"Gauri, bantu aku untuk bisa adil. Atau ... aku akan mempertahankan kamu dan melepaskan Yos. Jujur, kalian berdua ... sangat berbeda. Dan--"

"Jangan katakan kelebihan atau kekurangan istrimu di depan istrimu yang lain! Itu adabnya, Aidam! Kamu harusnya lebih paham itu." tegasku melirik sinis melanjutkan langkah ke walk in closet.

Ya ... walaupun aku memang belum bisa menutup auratku seperti muslimah taat dan sholehah, tapi aku banyak membaca masalah seperti ini. Apalagi baru-baru ini banyak sekali masalah memiliki istri kedua dengan berbagai alasan. Karena sesering itu melihat bersliweran di media sosial, aku jadi banyak tahu. Tak menyangka jika aku akan mengalaminya juga.

Ponselku berdering di atas nakas, nomor baru yang tak tersimpan di kontakku terpampang di sana.

"Bolehkah aku mengangkatnya, Suamiku?" Kusodorkan layar ke depan wajahnya dan dia hanya mengangguk dengan wajah keheranan melihat perubahan sikapku yang sangat drastis.

Sengaja aku melakukannya untuk melindungi diriku sendiri agar tetap waras. Ya! Menjadi tegar dan menerimanya dengan ikhlas adalah cara membentengi perasaanku sendiri.

"Mbak ... ini Arkaan! Bunda, Mbak ... Bunda ...." suara isakan dan terbata adik bungsuku terdengar di telinga.

"Apa yang terjadi, Ar? Katakan yang jelas! Jangan nangis dulu!" bentakku gusar dengan jantung berdebar hebat.

"Bunda ... nggak ada ... Mbaaaak!" tangisnya pecah dan panggilan terputus.

Jantungku berdebar hebat, tangan gemetaran. Hampir saja ponsel di genggamanku menghantam lantai. Dengan sigap Aidam menangkapnya dan menahan tubuhku yang terhuyung.

"Arkaan! Apa maksud kamu? Ar--" sambungan terputus sepihak.

Apa yang terjadi?

Apa maksud ucapan Arkaan Bunda nggak ada? Meninggal kah?

...***...

^^^Bersambung ....^^^

Bab 2 Semua Berpulang

Bab 2 Semua Berpulang

"Bunda ... nggak ada ... Mbaaaak!" tangisnya pecah.

"Arkaan! Apa maksud kamu? Ar--" sambungan terputus sepihak.

"Ada apa?" tanya Aidam berdiri menahan tubuhku yang serasa sudah tak bertulang.

Air mata ini kembali merembes tak beraturan. Bayangan kebersamaan dengan ibu terlintas di benakku.

"Setelah kamu menikah nanti, mungkin Bunda dan Ayah akan lebih tenang, Nduk ... Arkaan laki-laki, dia sudah dewasa dan tak lagi membutuhkan Bunda nanti. Pasti akan lebih fokus pada istrinya kelak. Dan kamu harus bertahan dengan Aidam apapun yang akan menjadi ujianmu di depan. Bunda doakan semoga kamu menikah sekali ini saja hingga maut memisahkan, bahagia bersama Aidam dan anak-anakmu."

Kalimat bunda kemarin malam sebelum acara resepsi digelar, terngiang lagi di kepalaku.

Aidam mencoba menghubungi seseorang dari ponselku. Entah siapa yang dihubunginya, sebentar saja lalu dia masuk ke kamar mandi.

Aku mencoba melanjutkan berpakaian dan mencoba tetap tenang. Membiarkan pikiranku tak terpenuhi dengan kebencian dan amarah. Ikhlas adalah kata yang sering diberikan padaku dari bunda. Inilah kiranya makna untukku.

Dicap menjadi perawan tua, berhasil menikah dengan seorang konglomerat. Tapi di malam pertama justru dikejutkan dengan kenyataan pahit bahwa suamiku tak hanya pernah menikah, bahkan masih berstatus suami orang.

Dan sekarang di pagi buta mendengar kabar dari Arkaan tentang Bunda. Memang perempuan yang melahirkan dan merawatku itu sudah sepuh dan memiliki riwayat banyak penyakit. Termasuk jantung ....

Tunggu! Apa Bunda tahu tentang Aidam yang menjadikanku istri keduanya. Mengingat Papa Sadana adalah teman baik Ayah, dan jati diri keluarga pria yang telah menikahiku ini terbuka.

Jika benar itu penyebabnya, aku tak akan tinggal diam! Aku bukan wanita lemah yang manja dan harus mendapatkan perlakuan manis dari seorang pria!

Sejak kecil berada di lingkungan yang semuanya laki-laki membuatku lebih kuat dan mirip dengan mereka. Baik berpakaian ataupun cara berpikir. Kukeratkan gigi-gigi hingga bergemeletuk dan mengepalkan tangan sekuat mungkin.

Aidam keluar dan langsung memakai pakaiannya di walk in closet. Cepat meraih kunci mobil dan menggamit pinggangku yang sudah menunggunya di depan pintu.

Kuhembuskan nafas panjang untuk meredam emosi di dada. Berulang kali hingga kurasakan sedikit lega. Melangkah beriringan dengannya menuju ke basement parkir hotel. Tak ada obrolan di antara kami. Sibuk dengan berisik argumen dalam benakku.

"Aku yakin kami pasti kuat! Kamu perempuan luar biasa dan tangguh selama ini. Hm?" katanya membukakan pintu mobil untukku.

Tak ada lagi isakan yang tersisa. Tenggorokanku seperti sudah mengering dan sulit untuk mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya satu yang kupikirkan saat ini.

Aku ingin mengajukan gugatan cerai pada Aidam. Dan akan tinggal bersama Ayah juga Arkaan, adik bungsuku. Terserah apa dia mengijinkan atau tidak. Aku tak akan pernah mau tinggal di rumahnya. Apalagi harus bersama maduku.

Buat apa menikah jika harus seperti ini. Menjadi yang kedua dan hanya diharapkan peranakannya saja. Memangnya aku tak punya hati dan perasaan. Di mana otak Aidam ketika memutuskan untuk melamarku sebulan lalu.

Tak tahu lagi umpatan apa yang harus kulayangkan pada lelaki yang baru kemarin menjabat tangan ayah dan mengucapkan kabul untukku ini.

"Mbaaak!" Semua adik ipar memelukku sesampainya di halaman rumah.

"Arkaan." Aku memeluknya yang duduk bersimpuh di bawah keranda Bunda.

"Kenapa harus sekarang, Mbak? Ar ... Ar ...," ucapannya terhenti ketika tangan Aidam meremas bahunya.

Arkaan berdiri dan melayangkan sebuah pukulan di rahang suamiku. Aidam terhuyung dan memegang pipinya. Sudut bibirnya berdarah.

"ARKAAN!!!" jeritku menepis lengannya yang sudah terangkat lagi.

"Ayaaaah!!!" Semua orang menjerit saat terdengar sesuatu jatuh dari arah tangga.

Tubuh laki-laki paruh baya itu berguling di anak tangga. Belum sampai bawah sudah ditahan oleh dua adikku Aifaz dan Arsyad.

"Ayah ...," gumamku bersamaan dengan Arkaan yang menurunkan tangan dan berjalan cepat menuju tangga.

Ayah tak sadarkan diri setelah terpeleset dan terguling di tangga. Diangkat dan dibaringkan di sofa ruang tamu yang telah dipindahkan ke ruang keluarga. Para pelayat yang sudah berdatangan sedikit riuh dengan kecelakaan yang dialami pria bernama Abyasa Radeva di rumahnya sendiri.

Setelah beberapa upaya menyadarkannya, ayah membuka mata. Kami berlima serta tiga menantu perempuan sudah berdiri mengelilinginya. Dia menatap satu per satu dan mengangguk pelan.

"Nduuuk, Leee ... kalian harus saling menjaga. Arkaan, nurut sama Mbakmu dan Masmu. Nduk Riri ... patuhilah suamimu. Jangan jadi pembangkang seperti pada ayah, dia jalan surgamu, Nduk ...." Ayah berpesan dengan senyuman dan sedikit tersengal.

Kami semua membisu, tak ada yang berani menjawab kalimatnya. Mata yang kelopaknya sudah mengeriput itu menunjukkan kebanggaan menatap anak-anaknya lalu tersenyum.

Kalimat selanjutnya adalah syahadat yang terbata dan hampir tak terdengar. Meski lirih dan susah payah terucap, tapi jelas itu adalah sebuah kesaksian terhadap Tuhannya. Hanya gerakan bibir dengan mata perlahan memejam. Sesekali melirik ke arah atas dengan nafas yang tersengal.

"Ayaaah ...."

Aku menunduk tajam dan pertahananku jebol saat itu juga. Air mata meleleh begitu saja di pipi. Tanganku mengepal kuat mencengkeram ujung baju. Tak ada isakan, hanya sesak yang tertahan dalam dada.

"Gauri! Sudah ayah katakan kamu perempuan Nduuk! Biarkan adik-adikmu yang belajar taekwondo! Kamu nonton aja! Nggak usah ikut-ikutan!"

"Gauri! Kamu bolos sekolah lagi? Sekali lagi ayah mendapat laporan atas kenakalanmu, maka ayah akan kirim kamu ke Pesantren!"

"Gauri! Putuskan dia sekarang juga! Atau ayah akan lumpuhkan semua aksesmu keluar rumah selamanya!"

Peringatan dan kemarahan ayah atas diriku yang terus saja membangkang kembali berputar di kepalaku. Bergema dan berulang-ulang hingga tak sadar ayah telah diangkat ke pembaringan terakhir.

Di bawah gundukan tanah basah ini, Ayah dan Bunda dimakamkan bersama. Tak ada yang mereka bawa, hanya doaku yang mungkin bisa menolong keduanya.

Karena itulah aku tak meratap, tak meraung dan histeris seperti kebanyakan anak ditinggal orang tuanya. Bukan aku tak sayang. Bukan.

"Kelak jika suatu saat Ayah atau Bunda tiada, jangan tangisi kepergian kami. Iringi dengan doa kalian memohonkan ampunan untuk dosa kami. Dan kirimlah pahala dengan mengerjakan amalan yang telah kami ajarkan pada kalian, Nduk. Katakan pada ketiga adikmu, hm?"

Nasehat ayah saat bunda hendak melahirkan Arkaan di usia yang telah senja adalah satu-satunya penguatku saat ini. Semuanya seperti rekaman kaset yang ter-replay di memori otakku. Menyerukan ke seluruh sistem saraf tubuh agar aku tak menangis.

Pandanganku hanya menatap satu titik. Nisan bertuliskan nama kedua orang yang telah berjasa besar dalam hidupku selama ini. Abyasa Radeva dan Adhira Laksman hidup bersama selama hampir empat puluh tahun. Tanpa wanita lain ataupun pria lain dalam pernikahan mereka.

"Yang tabah ya, Mbak?"

"Mbak pasti kuat!"

"Gauri, Lo pasti bisa lewatin ini! Lo cewek tangguh!"

"Gue pamit, ya Ri?"

Ucapan sapaan dan bela sungkawa teman-teman kantor, sekolah, kuliah dan kolega bisnis ayah hanya bisa kujawab anggukan. Tanpa mengalihkan pandangan pada mereka.

"Sayang ... kita pulang, hm?" bisik Aidam di telingaku.

Dua tangannya sedikit menarik bahuku agar berdiri mengikuti ucapannya.

"Sebentar lagi." balasku tak bertenaga.

"Pak, Nona Yosi ada di sini." Bisikan asisten pribadi Aidam terdengar di telingaku.

'Apa yang dicari wanita itu di sini?' Batinku geram.

...***...

^^^Bersambung ....^^^

Bab 3 Terendus Media

Bab 3 Terendus Media

Tak ada air mata lagi selepas tanah basah bertabur bunga menutup dua orang tersayangku. Menatap kosong pada nisan bertuliskan Abyasa Radeva dan Adhira Laksman. Pasangan sehidup semati yang berhasil menjadikanku setegar ini.

Aisha dan Viorie merangkulku agar beranjak dari sana. Mengajakku pulang, tapi aku masih ingin ada di tempat ini.

"Pergilah, biarkan aku di sini dulu." kataku lirih tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari foto yang bersandar di atas gundukan.

Aidam berpindah di sebelahku berjongkok, memelukku dari samping. Sedikit meremas bahuku, mungkin agar aku lebih kuat.

Semuanya telah tertulis jauh sebelum aku dilahirkan. Tak ada pilihan lain kecuali ikhlas dan terus berjalan meski aku tak tahu tujuan lagi.

"Pak, Nona Yosi ada di sini." Bisikan asisten pribadi Aidam terdengar di telingaku.

'Apa yang dicari wanita itu di sini?' Batinku geram.

Tak bisa dipungkiri, hatiku sudah mati rasa karena terluka berkali-kali. Sekarang, aku tak akan melawan lagi. Biarlah takdir yang akan membawaku pada keridlaan Tuhanku. Menyerah, tak ada lagi rasa yang tersisa. Mungkin ladang bernama cinta di hatiku telah tandus dan mengering.

Setelah menghembuskan nafas panjang, aku coba berdiri. Mengabaikan setiap berisik yang mengganggu warasku. Aidam memapahku dengan membenahi kerudung yang menutup kepalaku. Baru beberapa langkah, sepasang heels hitam menghadangku.

Kaki jenjang nan mulus berbalut dress hitam membalut tubuh seksi berdiri di depanku. Dia lepaskan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Dua mata bersoftlens hazzle berembun menatapku sendu. Satu langkah kakinya mendekat.

Meraih punggung tangan kanan Aidam dan menciumnya. Sedetik kemudian memelukku dengan terisak.

"Sabar, ya Mbak ... Ayah dan Bunda sudah tenang di sisiNya. Semoga chusnul khotimah dan ditempatkan di tempat terbaik di surga." bisiknya sesenggukan.

Dadaku sudah bergemuruh ingin sekali meluapkan padanya. Warasku lebih mendominasi dan meredam semuanya tak terjadi. Hanya anggukan kecil yang kuberikan. Tak ada gunanya melampiaskan dan memupuk kebencian di hati. Membuang energi, bisa cepat mati!

Akan kupikirkan matang-matang apa motif Aidam dan perempuan yang kutahu bernama Yosita Ashari ini menghancurkan keluargaku. Tak bisa gegabah dan harus bermain cantik. Tetap menjadi Gaurika yang mereka pikir lemah dan tak berdaya.

"Kenapa kamu bisa ada di sini, Yos? Sudah kubilang--"

"Mas ... aku juga sedih kehilangan orang tua. Bahkan aku tak pernah merasakan memilikinya sejak lahir. Apakah ini salah?"

Perdebatan kecil mereka bisa kudengar tapi memilih mengabaikannya. Aidam pasti merasa tak enak hati dengan hadirnya Yosita di antara kesedihanku. Sedangkan artis terkenal yang sedang naik daun beberapa bulan terakhir ini ingin menunjukkan eksistensinya.

Aku tak peduli dengan ekspresi wajah keduanya. Hanya menunduk dengan menahan kemelut di dada. Sekuat tenaga aku mengatur nafas dan memejamkan mata.

"Mari mampir ke rumah, Mbak!" tawarku dengan melangkah mendahului.

"Kembalilah saja, Yos! Reputasimu dipertaruhkan di sini. Banyak media yang akan meliputmu nanti. Pulanglah dulu, kita bicarakan lagi setelah semua mereda. Bukan sekarang." sahut Aidam merangkulku, mengabaikan wanita yang juga istrinya berdiri di tengah pemakaman.

Perempuan yang lebih muda dariku itu mundur. Memberiku jalan dan diam di tempatnya sampai aku duduk di mobil. Aidam tetap di sampingku. Lengannya masih betah melingkar di bahuku. Hingga Pak Juki melajukan mobil sampai halaman rumah yang masih terpasang tenda tamu, aku sudah tak melihat istri Aidam itu lagi.

"Lepaskan Mbak Gauri! Ucapkan talak untuknya, AIDAAAM!"

Aifaz menghempaskan tubuh Aidam dengan bogeman keras di perut pria yang masih resmi menjadi suamiku. Dia membungkuk memegang perutnya. Menatap adik lelaki pertamaku dengan bertanya-tanya.

"Arsyad! Arkaan! Apa ini? Dia kakak ipar kalian! Bicarakan baik-baik, jangan seperti ini!" bentakku tegas pada dua adikku yang memegang dua lengan Aidam. Siap menghajarnya lagi.

Keduanya melepaskan Aidam bersamaku. Memapahnya sendirian masuk ke dalam. Tak ada yang berani melawan ucapanku.

Di rumah ini hanya ucapan Ayah dan akulah yang mereka dengarkan. Karena memang Bunda tak pernah memerintah atau memaksa kami selama ini.

Menghindari tatapan orang-orang yang sudah berkasak-kusuk sedari tadi. Semua adik dan iparku mengikuti hingga ke ruang keluarga. Aku memerintahkan kepala ART untuk menyampaikan pada pelayat agar pulang saja. Mendoakan dari rumah masing-masing dan aku akan menutup akses bertamu mulai sekarang.

"Katakan apa yang membuat kalian memukul suamiku? Apa yang membuat kalian marah padanya?" tanyaku menatap mereka satu per satu.

"Apa kamu belum tahu, Mbak? Aidam menjadikanmu yang kedua! Kamu istri keduanya, Mbak!" ucap Aifaz meninggi pada Aidam tapi menatap sendu ke arahku.

"Dan kalian nggak rela Mbakmu ini mendapatkan seorang suami seperti dia?" kataku melirik sekilas pada lelaki yang masih meringis memegang perutnya.

"Ndra, tolong ambilkan air es dan handuk kering, juga kotak P3K. Bawa ke kamar!" titahku pada istri Arsyad, Diandra namanya.

"Ayo istirahat ke kamar, dulu!"

Aku menuntun Aidam, sedikit tertatih menuju kamar. Sebelumnya telah kuberi isyarat pada mereka agar menungguku. Mendahulukan keadaan suamiku baik-baik saja sebelum membicarakan apa yang terjadi. Akan lebih leluasa jika Aidam tak di sampingku sekarang.

"Aifaz, pindahlah ke Surabaya. Handle perusahaan Papa di sana. Bawa Viorie dan anak-anakmu semuanya ke sana!"

Ide pertamaku muncul ketika mengompres memar dan mengobati lebam di wajah Aidam tadi.

Aku dan Arkaan akan menggantikan Papa mengurus semua perusahaan di Jakarta. Aifaz di Surabaya, Arsyad di Medan dan Adnan tetap di tempatnya selama ini, di Semarang. Dengan begitu, aku akan tahu apa maksud dan tujuan keluarga Sadana merencanakan perjodohanku dengan Aidam.

Sementara itu aku tetap akan bertahan menjadi istri kedua. Biarlah takdir yang akan membawaku ke mana hatiku bersandar. Bertahan atau akan ada pria lain yang bersedia setia denganku.

Tiga hari masa berkabung keluarga, justru kami isi dengan berkemas barang-barang Aifaz dan Arsyad. Dua anak Aifaz tak mau pindah dari rumah kakek neneknya. Merengek dan menangis sepanjang hari. Terpaksa aku yang menenangkan mereka, sementara orang tuanya beberes.

"Aunty! Ada Kakek di TV! Sama Uncle Aidam juga!" seru Nizam menunjuk ke sebuah LCD TV yang menggantung di kedai es krim tempatku menghiburnya.

"Setelah ini nurut sama Mama sama Papa, ya? Ikut ke rumah Eyang di Surabaya. Sekolah dan tinggal di sana. Nggak boleh nangis lagi dan minta tinggal di sini. Nenek sama Kakek sudah tidur nyenyak di sisi Allah. Mengerti?" ucapku mengalihkan perhatiannya dari berita gosip di TV Swasta.

Kuusap kepala Nizam dan menatap tepat di manik matanya. Seperti sebuah hipnoterapi, dia langsung mengangguk tanpa paksaan. Melanjutkan menyendok es krim dalam cup yang tinggal separuh, dia tak membahas apa-apa lagi hingga lelehan manis terakhir ia jilat dari wadahnya.

Kesempatanku mendengarkan apa isi berita itu. Hampir saja aku mengeluarkan umpatan saat mendengar nama istri pertama Aidam mulai didengungkan. Dadaku naik turun mencegah desakan dari dalam meledak.

Semakin geram dengan bahasan tentang diriku sebagai perebut suami orang. Menjadi duri dalam pernikahan artis naik daun itu. Wajahku mulai diekspose di media. Dan sialnya aku baru ingat jika sesang berada di keramaian sekarang.

"Nizam! Kita pulang sekarang, ya?" bisikku berusaha menutup wajah dengan masker.

Kacamata hitam di kepala kupasang lagi. Beruntung aku memakai hoodie yang memiliki penutup kepala lebar. Bukan aku takut dikejar pewarta berita. Tapi aku sedang bersama dua keponakan yang masih belum mengerti keadaan.

Secepat mungkin aku berjalan menggandeng Nizam dan terpaksa harus menggendong Nilam. Saat sudah sampai di depan mobil, seseorang menepuk bahuku.

"Anda Mbak Gaurika Yada? Putri almarhum Bapak Abyasa Radeva?"

Aku menoleh setelah kedua keponakanku berhasil masuk ke dalam mobil.

"Pelakor!"

Sebuah umpatan dan tamparan keras mengenai wajahku. Tetap tenang dengan mengelus pipiku, tak kuhiraukan beberapa wanita seusia dua puluhan tahun yang mengumpatiku. Berjalan memutar dengan cepat masuk ke kabin pengemudi. Tak peduli lagi orang-orang mengejar mobil dengan sumpah serapahnya.

...***...

^^^Bersambung ....^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!