NovelToon NovelToon

Bukan Sekedar Sugar Daddy

BAB. 1 Hambar

Plakk!

"Sudah berani melawan kamu ya," kata pria paruh baya pada seorang pria yang tak lain ialah menantunya.

Edwin hanya bisa menghela nafas berat karena usahanya untuk membujuk sang mertua agar tidak lagi ikut campur rumah tangganya itu sia sia. Dia justru mendapat tamparan dari mertuanya karena sudah dianggap melawan kehendak sang mertua.

Edwin pulang kerumah nampak sepi, lampu-lampu di beberapa ruangan sudah dimatikan pelayan, hanya ada lampu utama di ruang tengah yang masih menyala dan beberapa lampu diluar rumah.

Pria yang bernama lengkap Edwin Pranata itu ialah seorang pengusaha berusia 35 tahun, memiliki wajah tampan, bertubuh tinggi dan gagah. Dia sangat sempurna, namun semua itu percuma karena hidupnya tak bahagia.

Edwin langsung mendatangi kamar utama miliknya ingin segera bertemu dengan sang istri yang ia rindukan. Membuka pintu, Edwin melihat kamar nampak gelap tidak ada lampu yang meneranginya, hanya sorot lampu balkon saja yang terlihat. Edwin menekan saklar, menghidupkan lampu agar membuatnya bisa melihat isi kamar.

Edwin tersenyum kecut melihat ranjang dikamarnya masih kosong dan rapih, tidak ada sosok istrinya di sana padahal ini sudah larut malam tapi sang istri belum juga pulang ke rumah.

Edwin ingin setiap kali dirinya pulang bekerja sang istri ada di rumah, menyambut kedatangannya, makan malam bersama, bercerita tentang apa yang dilakukan hari ini atau setidaknya menghabiskan waktu bersama sebelum mereka tidur.

Namun semua hanyalah keinginan. Berulang kali Edwin menyampaikan pada sang istri namun wanita cantik bernama Mona itu tidak mau melakukan semua itu. Mona seorang wanita karir, baginya karir lah yang lebih utama dibandingkan Edwin suaminya.

Edwin merasa dirinya tidak dibutuhkan oleh sang istri. Wanita cantik itu terlalu mandiri bahkan untuk memenuhi kebutuhannya Mona tidak pernah menggunakan uang nafkah yang Edwin berikan.

Rumah tangga semakin hambar Edwin rasakan karena Mona tak kunjung hamil dan punya anak, ternyata wanita itu menolak hamil dengan meminum pil kontrasepsi selama hampir sepuluh tahun menikah.

Edwin merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur setelah tadi membersihkan tubuhnya terlebih dahulu di kamar mandi.

Ceklek. Pintu kamar terbuka, munculah sosok sang istri yang baru pulang bekerja. Mona pulang ke rumah pukul 11.00 malam membuat sang suami menunggunya.

"Baru pulang, Sayang?" tanya Edwin mendudukkan kembali tubuhnya yang tadi sudah rebahan.

Mona menoleh pada Edwin lalu mengangguk, menutup pintu terlebih dahulu, kemudian menghampiri sang suami dan ikut duduk di tempat tidur.

"Sudah makan?" tanya Mona.

"Sudah, tadi makan malam sama klien," jawab Edwin.

Mona mengangguk.

"Besok aku harus pergi ke Medan, galeri yang dibuka disana akan diresmikan," ucap Mona, itu bukan sebuah permintaan izin melainkan pemberitahuan. Mona sedang memberitahu Edwin mengenai keberangkatannya besok pagi, karena ia tak butuh izin Edwin untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Selama ini juga Mona akan pergi kemanapun meski sang suami tidak mengizinkannya.

Edwin mendengus sebal istrinya benar-benar tidak ada waktu untuknya bahkan besok pagi akan pergi ke Medan. Edwin ingin melarang, tapi ia hafal tabiat istrinya yang akan tetap pergi meski dirinya melarang.

"Berapa hari?" tanya Edwin.

"Satu minggu, dan minggu depan aku sudah kembali karena perusahaan papa juga sedang butuh aku."

"Aku juga butuh kamu, Mona," ucap Edwin menatap Mona penuh arti, namun Mona justru menanggapinya dengan kekehan seolah perkataan Edwin itu hanyalah main-main.

"Kamu kan sudah biasa aku tinggal, Mas, lagi pula kamu baik-baik saja saat aku tinggal," ucap Mona.

"Aku tidak pernah baik-baik saja kamu tinggal, Mona, aku ingin kamu selalu ada disisi ku, aku sekarang sudah kaya, aku bisa menghidupi kamu bahkan hingga anak cucu kita tanpa kamu harus bekerja."

Mona terkekeh lagi. "Uangku bahkan lebih banyak darimu, Mas, tapi jalan pikiranku tidak seperti kamu. Bagiku bekerja dan berkarir itu adalah sesuatu yang menyenangkan karena bisa terus mengembangkan diri."

"Tapi kamu sudah menikah, Mona, kamu tidak bisa seperti ini terus, kamu juga harus melayani aku sebagai suamimu. Oke lah dulu aku mengalah membiarkan kamu bekerja karena gaji ku tidak cukup untuk menghidupi kamu, tapi sekarang aku sudah kaya, kamu tidak perlu bekerja lagi. Aku ingin kamu menggunakan uangku untuk memenuhi semua kebutuhanmu."

Mona mengecup sekilas bibir Edwin yang terus bicara. "Kamu tahukan aku ini anak tunggal, Mas? Aku yang akan meneruskan bisnis orang tuaku jadi kamu tidak bisa mencegahku untuk terus bekerja."

"Aku bisa menggantikanmu menghandlenya."

"Tidak bisa, Mas, orang tuaku tidak percaya sama kamu," ucap Mona membuat Edwin tersenyum kecut.

Edwin memilih turun dari ranjang ia ingin ke balkon kamar, mencari angin segar disana. Berbicara dengan Mona selalu membuat Edwin sakit, tapi ia sangat mencintai wanita itu.

Edwin mengurungkan niatnya saat Mona kembali bicara.

"Kamu harus mengerti aku, Mas, aku tidak bisa meninggalkan perusahaan dan aku juga tidak bisa meninggalkan hobiku. Memiliki banyak galeri lukis adalah impianku dan kamu tahu itu."

Edwin berbalik, menatap lekat pada mata sang istri. "Aku tidak akan melarangmu bekerja bila kamu bisa mengatur waktu untukku, tapi nyatanya selama ini kamu sama sekali tidak memiliki waktu bahkan hanya sekedar makan malam bersama saja kita sudah lama tidak melakukannya. Dan mengenai anak, aku ingin kita segera punya anak, Mona."

"Aku belum siap punya anak, Mas," ucap Mona.

"Selalu itu yang kamu katakan." Lagi-lagi Edwin tersenyum kecut.

"Dulu saat aku miskin kamu mengatakan belum siap karena takut aku tak bisa menghidupi kalian. Sekarang aku sudah kaya kamu masih saja mengatakan belum siap. Sebenarnya apa yang membuatmu belum siap punya anak, Mona, kita ini sudah menikah hampir 10 tahun," sambungnya.

"Aku belum siap direpotkan dengan anak kita, Mas," ucap Mona membuat Edwin geleng-geleng tak percaya.

"Kamu cukup hamil dan lahirkan dia, setelah itu aku yang akan merawatnya," tegas Edwin.

"Tapi, Mas_"

"Aku yang akan merawatnya, Mona!" seru Edwin yang sudah tak tahan dengan sikap Mona.

"Tetap saja aku yang hamil dan melahirkan, aku belum siap, Mas."

"Lalu kapan kamu akan siap? Umur kamu sudah 33, Mona, diumur segitu seharusnya seorang wanita sudah siap hamil dan punya anak. Kita sudah menikah hampir 10 tahun, aku ingin kita punya anak."

"Aku masih disibukkan dengan pekerjaan dan galeri aku, Mas, tunggu satu atau dua tahun lagi aku pastikan kita punya anak."

Edwin bergeming, ia ingin memliki anak sekarang tapi sang istri terus saja menundanya. Mona meraih tangan Edwin lalu menariknya ketepi ranjang. Mereka duduk berhadapan disana.

Mona mengecup sekilas bibir Edwin, pria itu masih saja diam dengan menatap wajah sang istri tanpa mengeluarkan satu kata pun.

"Satu atau dua tahun lagi aku janji akan hamil dan melahirkan anak untukmu."

*

*

Jangan lupa beri dukungan buat author, tinggalkan like, komen, vote dan kembang setaman ya..🌹🌹🌹

BAB. 2 Ingin Merubah Takdir

Edwin membuka mata saat merasa ada pergerakan disebelahnya. Mona sedang turun dari ranjang sembari tangannya mengikat rambut keatas. Edwin melihat jam dinding ternyata masih pukul 05.00 pagi.

"Mau ke mana, Sayang, ini masih pagi?" tanya Edwin setelah mendudukkan tubuhnya.

Mona menoleh, lalu tersenyum.

"Kamu nggak lupa kan kalau pagi ini aku mau ke Medan? Aku belum packing baju."

Mona bergegas menghampiri lemari pakaian lalu mengeluarkan koper dari dalamnya. Edwin tersenyum masam, rupanya Mona benar-benar akan berangkat ke Medan padahal tadi malam mereka berdebat karena wanita itu selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Edwin turun dari ranjang lalu berjalan menghampiri sang istri yang sedang memilih baju untuk ia bawa. Edwin memeluk Mona dari belakang, mengecup tengkuk wanita itu dan meletakkan dagunya di atas bahu sang istri.

Mona meraih wajah Edwin dengan tangan kirinya, menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" tanyanya dengan tangan kanan masih bergerak mengambil baju yang digantung pada hanger.

"Aku nggak mau kamu pergi," ucap Edwin.

"Kita sudah bahas ini ya, Mas, dan aku akan tetap pergi ke Medan," ucap Mona.

Edwin menjauhkan dagunya dari bahu Mona, mendengus sebal lalu duduk di kursi depan meja rias. Mona meneruskan memilih baju, mengambil beberapa baju yang tergantung di sana lalu membawanya mendekat pada koper yang sudah ia buka di atas karpet.

"Jam berapa pesawat berangkat?" tanya Edwin terus memperhatikan Mona melipat baju lalu memasukkan ke dalam koper.

"Jam 08.00 pagi, Mas, tapi jam 07.00 aku harus sudah ada di sana."

"Aku antar kamu ya, nanti kita berangkat jam 06.00," ucap Edwin.

"Tidak usah, Mas, aku bisa berangkat sendiri, nanti mobilku biar asistenku yang ambil," tolak Mona.

Ini dia sifat Mona yang tidak Edwin sukai, Mona terlalu mandiri sehingga tidak membutuhkan bantuan dari siapapun termasuk Edwin suaminya. Edwin jadi merasa seperti pria tidak berguna karena tidak pernah melakukan sesuatu untuk sang istri.

"Tapi aku ingin mengantar kamu, Mona, sebelum kamu berangkat kita bisa menghabiskan waktu bersama terlebih dahulu termasuk sarapan bersama."

Mona terkekeh. "Bukannya kita memang selalu sarapan bersama ya, kamu bicara seperti itu seolah kita tidak pernah sarapan bersama saja," ucapnya sembari geleng-geleng kepala.

"Aku pergi hanya satu minggu, sayang, jangan khawatir aku tidak kembali, minggu depan aku sudah pulang kok," sambungnya.

"Iya terserahmu lah." Edwin yang malas berdebat memilih untuk mengalah. Dia masuk ke dalam kamar mandi dan membersihkan diri disana.

Sementara Mona nampak biasa saja, ia terus melipat baju yang akan dibawa lalu memasukkannya ke dalam koper.

Di dalam kamar mandi, Edwin mengguyur tubuhnya di bawah shower, matanya terpejam, kepalanya mendongak membiarkan air shower jatuh langsung mengenai wajahnya.

Sampai kapan ia harus merasakan ini, sakit tidak diprioritaskan istrinya, sakit merasa tidak dibutuhkan oleh sang istri, sakit menanti hadirnya buah hati dalam pernikahannya.

Melihat teman-temannya yang sudah memiliki anak, tentu saja Edwin merasa iri ingin sekali memiliki anak tapi sang istri yang selalu menundanya.

Selesai dengan mandinya Edwin bergegas keluar. Ia melihat sang istri sudah mandi dan rapih, rupanya wanita itu mandi di kamar sebelah. Mona tengah duduk di depan meja rias, memoles sedikit wajahnya, lalu menghampiri Edwin yang sedang berpakaian.

"Aku berangkat, Mas," ucap Mona, berjinjit sedikit lalu mengecup bibir Edwin sekilas.

"Aku antar sampai depan rumah," ucap Edwin.

"Tidak usah, Mas, kamu selesaikan saja bersiapnya."

Edwin mengangguk, melanjutkan mengancing kemeja yang sedang ia kenakan, membiarkan Mona menarik kopernya sendiri keluar dari kamar.

Suara mobil Mona terdengar di telinga Edwin membuat pria itu melangkah menuju balkon melihat mobil sang istri sedang melaju melewati gerbang rumah.

Edwin kembali masuk ke dalam kamar, mengambil ponselnya yang ada di atas nakas lalu mengetik pesan untuk sang istri.

'Hati-hati dijalan, sayang. Kabari aku kalau sudah sampai."

Pesan terkirim, Edwin memasukkan ponselnya kedalam saku celana, menghembuskan nafas kasar, mengambil tas kerja lalu keluar dari kamar.

Edwin mendatangi restoran miliknya dimana restoran itu lah yang telah berjasa menjadikan dirinya sebagai orang kaya.

Restorant Hamara namanya, memiliki 5 lantai dengan berbagai perlengkapan didalamnya. Lantai satu khusus untuk para pengunjung umum, lantai dua private room dan ruang VIP berada, lantai tiga area khusus diadakannya acara formal seperti pernikahan, reuni atau perayaan lainnya. Dan lantai empat area management restorant.

Edwin mendirikan restoran itu sejak 12 tahun yang lalu dimana ia dan Mona belum menikah. Restorant yang awalnya rumah makan kini sudah menjadi restoran bintang 5 dan memiliki cabang di beberapa kota lainnya. Semua itu tentu saja membutuhkan proses yang tidak mudah.

Edwin dulu bekerja sebagai staff marketing di PT. Darwin Properties. Setiap kali gajian ia menyisihkan penghasilannya untuk menabung, membangun rumah makan Hamara. Setelah menikah dengan Mona, Edwin masih bekerja sebagai staff sembari mengurus usaha rumah makannya.

Rumah Makan Hamara semakin lama semakin terkenal dan Edwin mengganti namanya menjadi Restorant Hamara dengan membangunkan gedung 4 lantai untuk restorant tersebut.

Edwin baru resign bekerja sebagi staff marketing 5 tahun yang lalu dan fokus mengurus bisnisnya yang sudah semakin berkembang.

Drrtt.. Drrtt..

Edwin yang tengah memeriksa data retensi pengunjung restoran itu segera menghentikan kegiatannya, merogoh ponsel dan melihat siapa yang menghubungi dirinya.

'Si Cantik Istriku'

Mona melakukan panggilan vidio, Edwin tersenyum lalu menggeser tombol berwarna hijau. Panggilan video itu terhubung dan menampilkan wajah Mona yang sedang duduk dilobby bandara.

"Aku sudah sampai di bandara, Mas, nanti asistenku ngantar mobil ke rumah," ucap Mona memberi tahu Edwin.

Senyum di wajah Edwin seketika menghilang, rupanya Mona menghubungi dirinya hanya untuk memberi tahu bila asistennya akan mengantar mobil kerumah.

"Jam berapa ngantar mobilnya? Aku sudah direstorant."

"Tadi mobilku sudah diambil mungkin tidak lama lagi sampai rumah."

"Ya nanti aku hubungi pelayan untuk menyimpankan kunci mobilmu."

"Terima kasih, Mas. Ya sudah aku matikan panggilan videonya ya, ini sudah diminta segera masuk pesawat. Nanti kalau sudah sampai Medan aku kabari lagi," ucap Mona.

"Iya."

Panggilan vidio berakhir. Edwin bangkit dari duduknya, berjalan menuju rooftop restorant dan berdiri disana, menatap langit yang nampak terang terkena sorot matahari yang baru beberapa jam keluar.

Selama hampir sepuluh tahun menikah inilah yang ia rasakan, ketidak bahagiaan. Edwin ingin merubah ketidak bahagiaan ini menjadi kebahagiaan untuknya. Bahagia bersama dengan wanita yang ia cintai dan juga mencintainya, memiliki buah hati yang ia nantikan kehadirannya.

Tapi ... apakah Edwin bisa merubahnya?

BAB. 3 Datang ke Club

Edwin bergelut dengan file dihadapannya, sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar ditangannya, melihat jam sudah lewat tengah hari tapi sang istri belum juga menghubunginya.

Pesawat yang berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional Kualanamu hanya membutuhkan waktu 2 jam 20 menit yang artinya sekarang Mona sudah tiba disana.

Edwin mencoba menghubungi Mona namun ponsel sang istri masih belum diaktifkan. Edwin khawatir terjadi sesuatu pada istrinya terlebih lagi Mona berangkat ke Medan hanya sendirian. Mona sudah terbiasa pergi kemanapun sendirian, meski Edwin kerap kali menawarkan diri untuk ikut dengannya namun Mona selalu menolaknya dan memilih berangkat sendiri.

Edwin sudah menghubungi asisten sang istri namun Mona juga belum menghubungi asisten itu.

"Mona, jangan buat aku mengkhawatirkanmu," ucap Edwin seraya menggenggam ponselnya menunggu Mona menghubunginya kembali.

Edwin benar-benar mengkhawatirkan istrinya yang belum memberi kabar, sementara Mona yang dikawatirkan oleh Edwin sedang sibuk mengurus galerinya.

Tadi setiba di kota Medan, Mona langsung mendatangi galerinya untuk melihat sejauh mana persiapan pembukaan yang akan di laksanakan besok. Mona sudah memiliki beberapa galeri lukis dan semua lukisan itu ia buat dengan tangannya sendiri.

Banyak lukisan yang sudah Mona buat, hasilnya banyak dipajang dibeberapa tempat seperti galeri, kantor, rumah, dan restoran Hamara. Mona juga seringkali melukis wajah Edwin membuatnya hafal setiap inci wajah suaminya itu. Mona mencintai Edwin namun ia juga mencintai pekerjaan dan juga hobinya.

Edwin bernafas lega saat pukul 05.00 sore Mona menghubunginya.

"Ke mana saja kamu, Mon, aku dari tadi menghubungimu?" cerca Edwin sesaat dia menjawab panggilan telepon tersebut.

"Aku baru sampai hotel, Mas, tadi mengunjungi galeri dulu melihat persiapan untuk besok dan aku baru mengaktifkan ponselku," jawab Mona.

"Lain kali jangan seperti itu, segera hubungi aku kalau kamu sudah sampai supaya aku tidak khawatir."

"Iya Mas. Ya sudah aku mau mandi dulu, mau istirahat, nanti jam 8 aku sudah harus kembali lagi ke galeri."

"Secepat ini? Aku masih Ingin mengobrol denganmu, Mon."

"Aku lelah, Mas, aku pengen istirahat. Nanti lagi ya nelponnya."

"Ya sudah kalau begitu kamu istirahatlah, hati-hati di sana."

"Iya," ucap Mona lalu mengakhiri sambungan teleponnya.

Lagi-lagi Edwin mendengus sebal. Ia masih ingin berlama-lama mengobrol tapi Mona justru mengakhiri panggilan teleponnya. Sejauh ini Edwin selalu berusaha untuk mengerti dan menyesuaikan dengan gaya hidup sang istri yang selalu sibuk dengan pekerjaannya.

Pukul 10.00 malam Edwin masih berada di restoran, duduk tenang menghadap laptopnya. Edwin sama sekali tidak ingin beranjak dari duduknya apa lagi pulang ke rumah karena di rumah dia hanya sendirian tak ada istri yang seharusnya menemaninya.

Edwin sudah beberapa kali mengirim pesan pada Mona, namun sang istri sama sekali tidak membalasnya, pesan dari Edwin hanya dibaca saja padahal pria itu menunggu balasan pesannya.

...****************...

Hari-hari berlalu Mona pulang dari Medan sudah 3 hari yang lalu namun hingga kini wanita itu belum juga pulang kerumah. Mona yang pulang dari Medan langsung dijemput orang tuanya dan membawanya tinggal dirumah mereka.

Edwin sudah beberapa kali mendatangi rumah mertuanya untuk menjemput Mona pulang, tapi Mona yang sebentar lagi akan menjabat Direktur Utama menolak pulang dan meminta tambahan waktu 4 hari untuk ia belajar bisnis di rumah kedua orang tuanya.

Edwin kecewa, sangat kecewa pada sang istri yang menolak pulang bersamanya padahal Edwin menjemput Mona ke rumah mertuanya membutuhkan mental yang kuat. Setiap kali Edwin bertemu mertuanya setiap kali itu juga Edwin mendapat hinaan dari mertuanya.

Edwin yang seorang pria miskin menikah dengan Mona yang seorang pewaris perusahaan besar dianggap menumpang hidup pada mereka, padahal selama menikah dengan Mona, Edwin berusaha keras memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka hanya saja Mona yang tidak mau menggunakan uangnya dengan alasan ia bisa menghidupi dirinya sendiri.

Edwin sekarang bukan lagi pria miskin, dia sudah kaya dengan memiliki beberapa restoran bintang 5 tapi sampai sekarang sikap kedua mertuanya itu masih saja buruk padanya. Bila Edwin tidak mencintai Mona, ia yakin sejak dulu pasti mereka sudah berpisah.

Edwin yang sedang kecewa tak bisa berpikir jernih, ia mendatangi club malam sehabis menjemput sang istri namun wanita itu tak mau pulang dan justru dirinya mendapat hinaan dari mertuanya.

Dentuman musik memekakan indra pendengarannya membuat Edwin sedikit meringis namun tak mengurungkan niatnya untuk masuk ke dalam club tersebut.

Edwin ingin minum sesuatu disana berharap setelah minum ia akan melupakan masalahnya walaupun sebentar.

"Mau minum apa?" tanya bartender yang berdiri di hadapan Edwin.

"Apa saja yang bisa membuat saya lebih baik," jawab Edwin yang sudah duduk di kursi.

Bartender itu mengangguk kemudian menuangkan cocktail ke dalam gelas lalu menyodorkan dihadapan Edwin.

Edwin tak langsung meminumnya. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru club, melihat betapa ramainya club malam yang ia datangi ini. Ada yang sedang minum, berjoget, bahkan ada yang beciuman disana.

Edwin mengalihkan pandangannya menatap pada minuman dihadapannya, menghela nafasnya kemudian mengangkat gelas hendak meminumnya namun ....

Brukk!!

Pyarr!!

Ada seseorang yang menubruknya membuat gelas ditangnya jatuh dan pecah.

"Maaf," lirihnya kemudian berlari kearah toilet.

Edwin menatap punggung seseorang yang tadi menubruknya. Seorang gadis dengan wajah tak sempat ia lihat namun mendengar suaranya yang bergetar saat mengatakan 'maaf' Edwin bisa menduga bila gadis itu tengah menangis.

"Baju anda kotor, Pak, bila anda tidak nyaman anda bisa membersihkannya terlebih dahulu. Toilet ada di sana," ucap bartender menunjuk lorong yang baru saja dimasuki gadis tadi.

Edwin mengangguk kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan kelorong yang di arahkan bartender padanya.

Plakk!!

Langkah kaki Edwin terhenti saat mendengar suara seseorang ditampar.

"Sudah Kakak bilang, layani dia."

"Aku tidak mau, Kak."

"Dengar Andini, nyawa Ibu ada di tanganmu, hanya kamu yang bisa menolongnya."

"Aku tidak bisa Kak Bima, aku tidak mau menjual kesucianku."

"Lalu kamu maunya seperti apa? Kakak sudah bekerja keras untuk biaya rumah sakit Ibu tapi itu tidak cukup. Biayanya masih kurang banyak dan sekarang hanya kamu yang bisa menolongnya."

"Aku tidak mau, Kak."

"Lalu kamu mau membiarkan ibu meninggal padahal kamu bisa menolongnya? Begitu?"

Andini menundukkan kepalanya, jari tangan saling meremat kuat, air matanya berlinang deras. Ia tidak mau ibunya meninggal tapi ia juga tidak mau menjual kesuciannya. Andini sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menjaga kesuciannya hanya untuk suaminya seorang.

Tapi kini ia dihadapkan dengan situasi yang membuatnya dilema berat antara mempertahankan kesuciannya atau menolong ibunya.

Apa yang harus Andini lakukan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!