Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekad mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Dasar kejam, apa mungkin hidupnya tidak pernah susah sampai begitu semena-mena?"
Memang benar kata orang, hari sial itu tidak ada di kalender, begitulah yang di alami Nadin. Seorang mahasiswi jurusan Psikologi semester empat yang tengah diuji kesabaran sejak beberapa bulan lalu. Tiga semester Nadin lalui dengan baik-baik saja, tiba di semester ini dia dipertemukan dosen paling tak bersahabat bahkan terkenal Killer di kampusnya, Zain Abraham.
Namanya bagus memang, begitu juga dengan tampangnya. Hanya saja, sifatnya tidak demikian karena hampir seluruh mahasiswa semester empat ke atas telah merasakan bagaimana sepak terjang dosen tak berperasaan tersebut.
Sejak awal Nadin sudah amat berhati-hati agar tidak bermasalah. Sebelum ini dia belum pernah telat, Nadin sampai rela tidak sarapan pagi demi bisa mengikuti kelas Zain tepat waktu.
Sialnya, tepat di hari ujian tengah semester nasib sial justru menghampiri Nadin. Setelah tadi malam dia sampai kelelahan menyelamatkan barang-barangnya yang hampir terendam akibat banjir di kosan, pagi ini dia kembali sial ternyata.
Padahal, Nadin sudah menyiapkan diri jauh-jauh hari untuk ujian tersebut. Namun, takdir berkata lain keesokan harinya. Jangankan diberikan kesempatan untuk ikut ujian, Nadin memohon masuk kelas saja tidak diizinkan hanya karena telat 27 detik.
Kejam, tak punya hati dan tidak berperikemanusiaan adalah tiga kata yang pantas disandang Zain. Dosen dengan ketampanan paripurna, tapi tidak ada baik-baiknya. Tidak peduli sesedih apa Nadin memohon tadi pagi, pintu kelas tetap tertutup dan dia tampak santai melanjutkan ujian walau salah-satu mahasiswinya menangis di luar kelas.
Sudah satu jam berlalu, dan selama itu pula Nadin menunggu demi kembali memohon kala Zain keluar nanti. Persetan dengan harga diri, Nadin sudah menyiapkan kata-kata untuk meluluhkan dosennya.
"Semua akan baik-baik saja, kita coba memohon sekali lagi." Nadin berusaha meyakinkan diri.
Dalam keadaan hati yang berdegub tak karu-karuan pintu kelas terbuka dan Nadin gelagapan dibuatnya. Belum apa-apa dia sudah gugup, telapak tangannya sampai dingin hingga semua kalimat yang dia tata sebelum ini hilang seketika.
Tajamnya tatapan Zain membuat gadis itu sejenak terpana. Pesona pria itu memang tak bisa ditolak, selalu saja berhasil membuat lawan bicaranya diam tanpa kata.
Kelamaan berpikir, Zain segera mengambil langkah untuk melewati Nadin dari sisi kanan. Seketika itu pula Nadin mengikuti langkah Zain dan berusaha merayunya agar luluh kali ini saja.
"Tidak!! Kamu tidak sebodoh itu untuk memahami bahasa manusia, jelas?"
"Ayolah, Pak, kostan saya banjir tadi malam jadi terpaksa tidurnya di kost teman saya dan kebetulan jauh jadi terlambat, tolonglah kasihani saya sekali saja ... Bapak tahu, 'kan kalau mempersulit hidup orang lain itu dos_ aduh kenapa jadi gini?" Nadin menepuk bibir kala sadar jika ucapannya mulai kemana-mana.
Berdasarkan rencana, sebenarnya bukan begitu kalimat yang sudah dia tata. Sebelum melihat Zain dia sampai hapal, tapi anehnya begitu di hadapan pria itu otak Nadin seketika beku dan kecerdasan yang dia miliki seolah tak ada artinya.
Berkat ucapan asalnya, Zain berhasil berhenti dan menatap ke arahnya sekilas. Bukan untuk berbaik hati, pria itu justru melontarkan sebuah perkataan yang sungguh menyebalkan di telinga Nadin.
"Simpan ceritamu, kebetulan saya tidak peduli."
Seketika itu juga Nadin terdiam, hatinya sempat tersayat mendengar ucapan Zain yang dengan tegas mengatakan jika tidak peduli. Sekali lagi, dia tetap memberanikan diri menatap punggung Zain yang mulai menjauh.
Harapannya pupus, entah harus bagaimana dia memohon pada dosen yang satu itu. Baru kali ini Nadin bingung hendak bagaimana menyelesaikan masalah.
Hendak berdiam diri juga percuma, Nadin tidak ingin bunuh diri karena jika usahanya berhenti maka bisa dipastikan nilai akhir yang nanti dia dapatkan adalah E. Mungkin bagi anak-anak lain hal semacam itu bukan masalah, mereka bisa mengulang kembali di tahun depan.
Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Nadin yang merupakan penerima beasiswa di kampus itu. Salah-satu syarat beasiswa itu bertahan adalah nilai, cacat satu saja maka tamatlah beasiswa Nadin.
Ditengah kebimbangan itu, seseorang menepuk pundaknya dan membisikkan sebuah saran yang bisa Nadin lakukan untuk menyelamatkan beasiswanya.
"Apa tidak terlalu berisiko, Han? Tahu sendiri pak Zain di kampus gimana?"
"Setidaknya dia tidak akan bisa menolak."
"Iya, tapi 'kan?"
"Mending coba dulu atau nilainya E? Mending cobain, 'kan? Udah sana ... nih alamatnya, dan aku rasa kamu bisa pergi sendiri, deket sini soalnya."
.
.
Sempat ragu di awal, pada akhirnya Nadin tetap mengikuti saran Jihan untuk mendatangi Zain ke apartemennya secara langsung saat pulang kuliah. Harap-harap cemas, Nadin hanya ingin semuanya segera selesai.
Cukup lama dia menunggu, sudah hampir empat jam jika Nadin ingat-ingat. Dia berdiri di depan pintu apartemen tanpa harapan, dia juga tak yakin dimana Zain berada. Yang jelas, dia sudah menekan bel berkali-kali, andai nanti pria itu merasa terganggu pasti keluar sendiri.
Jangan ditanya bagaimana perasaan Nadin menunggu selama itu, jelas saja lapar dan juga dingin bersatu padu. Dua roti yang tadi ada di tasnya sama sekali tidak berhasil mengganjal perutnya.
Telanjur berjuang, Nadin tidak ingin pulang tanpa hasil. Dia tetap sabar menunggu hingga tepat jam sembilan, penantian Nadin terbayarkan dengan kepulangan Zain. Senyumnya terbit, tak bisa dipungkiri melihat pria itu mendekat ada secercah kebahagiaan di hati Nadin, padahal belum tentu juga dia akan luluh.
"Selamat malam, Pak Zain."
Semakin dekat, Nadin baru merasa jika dosennya terlihat aneh. Tidak ada Zain yang garang di sana, yang ada justru Zain dengan penuh kelembutan bahkan sampai berani menyentuh pipinya hingga membuat Nadin mundur seketika.
"Kenapa tidak bilang? Kan aku bisa jemput, Sayang," ucap Zain lembut seraya menatap Nadin penuh damba.
Sebuah tatapan mengerikan, matanya terlihat memerah dan aroma alkohol menguar ketika dia berbicara. Detik itu juga Nadin sadar jika Zain sedang dibawah pengaruh alkohol.
Dalam keadaan kalut, Nadin menepis tangan Zain secepatnya. Seketika, dia lupa tentang tujuan awal datang ke tempat ini. Satu-satunya keinginan Nadin sekarang ialah pergi dari hadapan Zain.
"Lepaskan saya, bapak jangan mace_"
"Shuut, jangan berteriak kepalaku sakit."
Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri, tapi tenaga Zain jauh lebih mendominasi dan berhasil membawa Nadin masuk dengan begitu mudah.
Tubuh Nadin yang begitu mungil dibanding Zain membuatnya seolah tak berdaya dan terhempas di atas sofa. Dosennya sangat amat berbeda dan tak lagi dia kenali, tatapan dan ucapan Zain begitu menakutkan bagi Nadin.
Matanya seketika membola dan semakin sadar jika kini tengah terancam ketika pria itu melempar jas seenaknya. Tidak ingin berakhir konyol, Nadin berusaha meraih tas yang jatuh di atas lantai.
Secepat kilat dia bangkit dari sofa dan mencari celah kala Zain sibuk sendiri membuka kancing kemejanya. Tidak pernah Nadin merasakan dunianya semenakutkan ini, terlebih lagi ketika gelak tawa Zain terdengar diiringi dengan derab langkah yang kian dekat saat dia berusaha menghubungi Jihan, sahabatnya.
"Ayolah angkat, Jih_aaaarrrggghh!!" pekik Nadin kala tangan kekar itu tiba-tiba melingkar di perutnya.
"Mau kemana? Kita bahkan belum memulainya."
.
.
- To Be Continued -
Sekuat tenaga Nadin berteriak, dia berontak hingga ponsel yang tadi sempat dia genggam itu terjatuh dengan begitu saja. Wajah Zain terlihat marah, mungkin tak suka dengan cara Nadin menyelamatkan dirinya.
Kendati demikian, walau keadaannya sudah terpojok dan harapan untuk selamat sekecil itu, Nadin masih berusaha melindungi dirinya. Sekuat tenaga Nadin melepaskan pelukan Zain sebelum kemudian berlari tanpa arah.
Kemanapun, selama bisa menghindar dia akan lakukan. Ternyata, di mata Zain hal itu justru membuatnya tertantang dan keinginan untuk bersenang-senang semakin menggelora.
Mungkin di mata Zain saat ini, Nadin tak ada bedanya dengan kelinci kecil yang siap dia terkam. Tak sedikit pun dia memberikan kesempatan Nadin untuk kabur, hingga ke lubang semut pun tetap dia kejar.
"Kembali!!"
"Ya Tuhan, lindungi aku dari iblis itu," gumam Nadin di sela isak tangis yang tak lagi bisa dia tahan.
Dia merasa sudah terlalu lelah, hanya berharap belas kasih dari pria yang kini benar-benar akan menerkamnya.
Pada akhirnya perjuangan Nadin hanya sekadar menunda, bukan menyelamatkan diri sepenuhnya. Sebuah kebodohan yang akan Nadin sesali hingga akhir nanti ialah, berlari ke sebuah ruangan dan ternyata kamar tidur Zain.
Bak buruan yang dengan sendirinya masuk kandang, jelas Zain semakin mudah menerkamnya. Tanpa ampunan, Zain merrebut paksa ciuman pertama dengan cara yang sama sekali tidak pernah Nadin inginkan.
"Kamu cantik sekali malam ini," puji Zain usai melepas pagutannya, tak lupa mengusap pelan bibir ranum gadis itu dengan jemarinya.
"Jangan, Pak ... saya mohon!!" Kesempatan itu Nadin gunakan untuk memohon dengan harapan hati Zain akan terketuk, sayangnya pria itu seolah tutup telinga dan kembali membungkam bibirnya dengan ciuman penuh tuntutan.
Sungguh menyesal Nadin datang ke tempat ini. Alih-alih mendapat nilai A, kedatangan Nadin justru menghancurkan hidupnya. Air mata yang berurai tak mengetuk pintu hati Zain, pria itu tetap berkuasa di atas tubuhnya.
Setelah hampir lima belas menit berusaha mempertahankan kehormatan, Nadin benar-benar kalah lantaran lawannya ialah pria dewasa yang memang sudah sangat membutuhkan kepuasan dari seorang wanita.
Tak ada lagi perlawanan yang bisa Nadin lakukan. Dia sudah lelah menangis hingga suaranya bahkan parau saat ini. Tanpa sedikit pun kasihan, Zain tetap mencari kepuasan di atas wanita yang dia kira kekasihnya itu.
Kerinduan akibat sudah lama tak bertemu adalah alasannya. Ditambah lagi, efek dari minuman yang ditawarkan temannya beberapa waktu lalu. Berbeda dengan Nadin yang hanya merasakan sakit dan perih, Zain justru sebaliknya.
Dia suka, hal ini terasa gila dan benar kata teman-temannya tidak ada hal senikmat ini sebelumnya. Zain tak sepenuhnya mabuk, tapi sesuatu yang membuat Zain benar-benar butuh belaian, entah apa itu.
Tak peduli apa dan siapa, tapi yang jelas saat ini Zain tengah merasakan nikmatnya surga dunia. Tubuh Nadin benar-benar candu, dia tidak bisa berhenti bahkan tak sadar jika kini teman bercintanya sudah tak sadarkan diri.
Pinggulnya terus bergerak walau tidak ada bedanya bercinta dengan mayat. Hingga dirinya lelah sendiri, Zain baru berhenti lantaran nikmatnya memang tak dapat dia ungkapkan dengan kata-kata.
Sebuah kenikmatan yang berhasil mengantarkan Zain tidur nyenyak di sisi Nadin. Sudah lama dia tidak tidur senyenyak itu, biasanya Zain hanya tidur beberapa saat dan akan terbangun tepat tengah malam.
.
.
Tidurnya nyenyak sekali memang, tapi ketika terbangun di pagi hari dunia Zain seolah jungkir balik kala menyaksikan mahasiswi tengah terbaring di atas tempat tidurnya. Wajah Zain seketika pucat pasi, sepucat bibir Nadin yang hingga saat ini tak sadarkan diri.
Perlahan, dia tersadar dan mengingat rentetan kejadian yang telah terjadi. Seketika, dia gusar dan merutuki kebodohannya. "Oh God, Zain!! Apa yang kau lakukan?"
Zain bermonolog, dia memandangi kondisi kamar yang tampak acak-acakan. Besar kemungkinan hal itu terjadi karena Nadin yang berusaha menyelamatkan diri. Ya, Zain mulai ingat akan hal itu, dan jika dia terus mengingatnya bayangan ketika Nadin memohon ampunan seketika merasuk dalam pikirannya.
Sungguh dia salah menduga, tadi malam jelas-jelas Zain merasa jika Nadin adalah Jesica, calon istrinya. Zain termenung beberapa saat, dia bingung sebenarnya yang gila di sini siapa.
Persetan dengan hal itu, saat ini yang perlu Zain pikirkan adalah hendak bagaimana? Apa yang harus dia lakukan pada mahasiswi yang kemaren sempat membuatnya tersinggung.
Cukup lama Zain pandangi, hingga dia baru menyadari jika gadis itu pucat pasi. Hati kecil Zain menuntut untuk memastikan suhu tubuh Nadin.
"Panas sekali, apa yang terjadi padanya?"
Menyadari jika Nadin panas tinggi, tanpa berpikir dua kali Zain membawanya ke rumah sakit. Tak lupa, sebelum itu dia kembali memakaian pakaian Nadin lengkap, bahkan sampai bagian dalam.
Tidak kurang suatu apapun, bahkan sampai kerudung yang selalu membalut mahkotanya itu juga Zain pakaikan lagi. Langkahnya amat begitu terburu-buru, Zain gelagapan dan mencari rumah sakit yang sekiranya aman untuk membawa gadis ini.
Begitu tiba di rumah sakit, dia disambut dengan begitu baik karena memang tidak banyak pasien. Mereka begitu cepat bertindak dan selama Nadin diperiksa, pria itu terus berharap agar tidak terjadi hal buruk padanya.
"Istri?"
Pertanyaan dokter tersebut membuat Zain mati kutu. Dia bingung hendak menjawab bagaimana. "Iya, istri saya," jawab Zain mantap pada akhirnya.
Dokter tersebut mengulas senyum, mungkin sudah biasa menemukan pasangan semacam ini. Namun. Zain yang tidak ingin bercanda memilih diam saja dan menunggu penjelasan dokter selanjutnya.
"Dari hasil pemeriksaan, asam lambung istri Anda naik ... apa dia sering begini? Apa Anda tidak memerhatikan nutrisi istri Anda dengan baik?"
Niat hati membawa Nadin untuk mendapat informasi, bukan malah disemprot semacam ini. Zain tidak protes, dia terus mendengarkan penjelasan dokter paruh baya tersebut.
"Asam lambung?" Zain bergumam seraya menatap sekilas Nadin yang masih terbaring di ranjang.
Penyakit yang biasa diderita anak kost, tapi Zain tetap terkejut dan menghela napas kasar setelahnya. Cukup banyak yang dokter sampaikan, dan Zain mengangguk berkali seolah pesan untuk menjaga Nadin akan benar-benar dia laksanakan.
"Segitu saja ... dan saat ini, mohon kesabarannya untuk menunggu, jangan disentuh lebih dulu." Terakhir, dokter tersebut menyampaikan pesan penutup yang Zain angguki dengan mantap.
Tanpa perlu diperintahkan, dia juga tidak memiliki rencana menyentuh Nadin untuk kedua kali. Apa yang terjadi semalam hanyalah sebuah kesalahan dan tidak ingin Zain ulang.
Mengingatnya saja, Zain seketika merasa bersalah dan perlahan mendekati gadis itu. Matanya terpejam, tapi bibirnya tampak berusaha mengucapkan sesuatu hingga Zain tertarik mendekatkan wajah demi bisa mendengar ratapannya. "Maaf, Umi, Nadin gagal jaga diri."
.
.
- To Be Continued -
Racauan Nadin membuat hati Zain tercabik-cabik. Terlebih lagi ketika air mata Nadin menetes dari sudut matanya. Tadi malam mungkin dia hilang kendali, tapi pagi ini Zain sadar sesadar-sadarnya jika dirinya baru saja menghancurkan anak gadis orang.
Ya, dia melakukan hal yang dilarang keras papanya. Hidup Zain sebagai dosen memang agak bebas, terlebih lagi saat dia memilih mandiri tinggal di apartemen dekat kampus. Sesekali dia datang ke kediaman utama, tapi tidak setiap hari, terkadang hanya akhir pekan karena dia lebih tenang hidup sendiri.
Sejak awal mengutarakan niat untuk hidup mandiri, hal itu sudah ditentang oleh Syakil, Daddy-nya. Alasan pertamanya karena takut Zain semakin bebas dan sesuka hati, tapi selama tiga tahun terakhir pria itu mampu membuktikan jika dia tidak banyak tingkah.
Semua memang aman-aman saja, apartment hanya dia jadikan tempat untuk tidur. Sesekali Jessica datang, tapi tidak pernah sampai ke kamar karena Zain paling tidak suka siapapun masuk ke kamarnya.
Entah kenapa tadi malam Zain justru merusak citranya. Pria itu goyah, hanya karena ditawari sesuatu yang katanya baru oleh temannya, Zain justru merenggut kehormatan seorang gadis tak berdosa.
Beribu kali Zain bertanya, kenapa harus Nadin. Seakan tidak ada yang lain, Zain benar-benar bingung hendak bagaimana setiap kali menatap wajah gadis cantik yang dia ketahui sebagai incaran keponakannya. Jangan ditanya sebesar apa rasa bersalah Zain, jelas sangat amat besar tentu saja.
Begitu lama dirinya termenung, hingga tanpa sadar jika Nadin telah terbangun dan kini ketakutan. Entah kapan dia membuka mata, tapi yang jelas isakan tangisnya tedengar amat pilu pagi ini.
"Kumohon tenang, aku tidak akan menyakitimu."
Tadi malam tangisan Nadin lebih menyedihkan dari itu, tapi hati Zain sama sekali tidak terketuk. Sementara pagi ini, dia bahkan kebingungan melihat Nadin yang menangis tanpa suara. Seolah menahan sesuatu di ujung lidah, Nadin terpaku menatap Zain dengan matanya yang memerah.
Zain tak tega melihatnya, dia berusaha kembali mendekap, tapi saat itu tangisan Nadin justru pecah dan dia meraung meminta bantuan. Siapapun yang berada di posisi Zain jelas saja takut, terlebih lagi kala gadis itu berontak dan meraung sejadi-jadinya seraya memukuli dada Zain dengan sisa tenaganya.
Terpaksa, dia tidak punya pilihan lain dan dia khawatir jika seseorang mengetahui hal ini. Sebenarnya tujuan Zain mendekapnya bukan hanya melindungi diri, tapi berusaha menenangkan Nadin yang ketakutan seolah melihat hantu.
Benar saja, di tengah kekhawatiran Zain seorang perawat masuk demi memastikan keadaan pasien yang suara tangisannya terdengar hingga ke luar. Tidak ingin berakhir konyol dan membuat mencoreng nama baik keluarganya, Zain berpikir keras untuk menjawab pertanyaan wanita berseragam biru itu.
"Tidak apa-apa, Sus, istri saya terpukul karena Molly tidak pulang sejak satu minggu lalu," jelas Zain seraya mengusap pelan kepala Nadin yang sengaja dia tekan ke dadanya hingga tak bisa berteriak ataupun menyampaikan pembelaan versi dirinya.
"Molly? Siapa Molly?" Zain berucap asal, dia juga tidak tahu siapa Molly.
"Kucing kami," jelasnya lagi tanpa keraguan sama sekali.
"Yakin, Pak?"
"Hm, nanti juga tenang sendiri ... biasa, istri saya pagi-pagi memang begini, maaf jika tidak nyaman." Zain mengaku seolah mengamuk pagi hari adalah kebiasaan Nadin.
Lancar sekali dia beraksi, berbagai kebohongan dilakukan dalam satu waktu dan tampak santai saja kala menjalaninya. Lucunya, perawat itu percaya saja akan pengakuan Zain dan berlalu pergi tanpa kecurigaan sedikit saja.
Selang beberapa saat setelah wanita itu pergi, barulah Zain melonggarkan pelukan hingga Nadin bisa mendorong tubuhnya menjauh. Bagaimana bisa Zain sesantai itu, padahal saat ini napasnya saja membuat Nadin ketakutan.
Kendati demikian, pria itu tidak peduli dan dia berpikir akan lebih bahaya jika apa yang terjadi sampai terungkap ke pihak lain. Sama-sama menyelamatkan diri, Zain berusaha untuk bicara baik-baik pada Nadin yang menatapnya saja seolah tak sudi.
"Jangan mendekati saya, bicara dari sana ... saya bisa mendengar Anda."
Cukup lama Zain menunggu hingga Nadin melontarkan kalimat itu. Sudah tentu dengan wajah datar dan tatapan kosong tanpa harapan, apa yang terjadi semalam masih begitu membekas di benaknya.
Zain mengerti, pria itu mengikuti kemauan Nadin dan menahan diri untuk tidak mendekat. Menyebalkan sekali, kenapa harus dia bicara dari jarak sejauh ini, gerutu Zain dalam hati.
"Maaf."
Satu kata yang pertama kali terucap dari bibir Zain. Dia akui memang percuma, kata maaf takkan mungkin bisa mengembalikan keadaan. Layaknya pecahan kaca yang dengan cara apapun, tidak akan dapat utuh seperti semula.
Akan tetapi, sebagai lelaki yang sejak dulu dididik untuk memuliakan perempuan, Zain tidak ingin menambah dosanya. Walau tahu dari sorot mata Nadin takkan sudi memberi maaf, dia tetap lakukan itu.
Tidak hanya melontarkan kata maaf, Zain juga mengatakan akan bertanggung jawab atas perbuatannya semalam. Bukan dengan memberikan uang ganti rugi atau bayaran yang kerap dilakukan sebagian besar laki-laki sebagai penebus dosanya, Zain justru menawarkan sebuah pernikahan.
Nadin yang sejak tadi mendengar dengan seksama tercengang. Bertemu dengan Zain di kelas saja seolah jadi mimpi buruk, lalu bagaimana bisa mereka menjalani hidup sebagai pasangan? Sungguh tak pernah terpikirkan oleh Nadin sebelumnya.
Lagi pula bagaimana bisa dia menjalani hidup bersama Zain yang telah merenggut kehormatannya secara paksa. Terlebih lagi, saat ini Nadin memiliki tanggung jawab untuk menaati peraturan sebagai penerima beasiswa yang dia terima, dan salah-satu syarat utama selain mempertahankan nilai ialah tidak diperkenankan untuk menikah.
"Tidak perlu, Pak, menikah bukan jalan keluarnya." Saat ini, Nadin sudah bisa berpikir lebih tenang, setelah menimbang banyak hal dengan tegas Nadin menolak tawaran dosennya.
Bukannya senang, Zain justru mengeraskan rahang begitu Nadin menolaknya mentah-mentah. Seumur hidup, ini adalah penoolakan pertama yang dia rasakan, sungguh Zain merasa terhina.
Tak menyerah di sana, pria itu kembali berusaha dan meyakinkan Nadin untuk menerima tawarannya. Meski hatinya sedikit jengkel, tapi Zain berusaha tetap tenang karena memang melamar Nadin tidak semudah melamar wanita yang menginginkannya.
"Pikirkan masa depanmu, jangan egois."
"Saya yakin tidak mungkin hamil, kalaupun hamil, saya akan_"
Sejak tadi Zain menahan diri untuk bicara dengan jarak yang cukup jauh, kali ini dia kembali nekat mendekati Nadin hingga wanita itu berhenti bicara seketika. "Akan apa? Hm?" tanya Zain menatap lekat Nadin yang berusaha menghindari tatapannya.
Nadin juga bingung akan apa, dia hanya asal bicara, dia juga tidak yakin bagaimana nanti akhirnya. Yang, jelas kalimat itu dia gunakan sebagai penolakan karena memang tidak bersedia menerima lamaran Zain, itu saja.
Semakin dekat, jantung Nadin berdegub tak karu-karuan begitu merasakan hembusan napas Zain di pipinya. Jarak mereka memang sangatlah dekat, dan selama pria itu belum menjauh, selama itu pula Nadin tidak berani menatapnya.
"Kamu dengar baik-baik, hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin."
.
.
- To Be Continued -
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!