NovelToon NovelToon

SAKURA AFTER THE RAIN

Bagian 1

Hai, Hai, Hai.

Good morning para pendengar setia Story Hati.

Kembali lagi bersama gue, Aneth yang cantik jelita. Dan gue, Dante yang tampan mempesona di 175,5 FM bagi bagi berkah. Di cuaca yang sedikit agak mendung, kiyowo-kiyowo gimana gitu. Pastinya kalian udah nggak sabar kan, mau denger berita yang begitu dahsyat dan begitu menggelegar di hati. Oke, sebelum ke inti, gue mau puter dulu satu buah lagu yang tentunya lagi hitz banget dan selalu menjadi rating satu di setiap acara musik, untuk menemani kegalauan kamu kamu pada hari ini. Ini dia sebuah lagu dari penyanyi cantik Keisya Levronka Tak Ingin Usai cekidot (check it out)"

Beberapa menit kemudian.

Setelah lagu tersebut selesai, Aneth dan Dante kemabli bersuara. Aneth mengawali kata, "wahh, lagu yang sangat enak buat di dengerin, bener nggak Dante?" Penyiar cewek itu melempar pertanyaan ke penyiar cowok yang menjadi partnernya.

"Bener banget guys, apalagi buat kamu yang lagi di landa resah akan pasangan lo yang mulai berubah." Tanggapan Dante.

"Gue setuju," Aneth mengacungkan jempol. "Betul banget, sesuai dengan judul lagunya."

Terdengar cuitan dari salah satu radio tua yang ada di cafe milik Paman Pongki, tepat berada di pojokanan dan menjadi teman seperjuangan Paman Pongki. Menjadi teman yang selalu menghibur dikala galau melanda. Tak ada tempat lagi untuk menghibur diri selain suara penyiar radio tua itu. Bagi Pongki itu sudah membuat dirinya terhibur dari maslah rutinitas yang melelahkan.

Iya, cafe ini milik Paman Pongki, Pamannya Dimas sendiri. Ukurannya tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Namun, sangat estetik dan sangat cocok sekali buat para selebgram berfoto ria untuk story medsosnya. Tau sendiri kan anak jaman sekarang? Anak-anak milenial nggak pernah absen kalau liat tempat unik dan nyentrik matanya selalu gatal untuk mengabadikan setiap momen di dalam ponselnya kalau liat tempat unik.

Dikit-dikit ckrek, dikit-dikit ckrek upload, mau ada yang like mau kaga, mau ada yang komen mau kaga yang penting eksis. "Ahh, bodo amat, itu urusan belakang."

"Di cafe nih bos senggol dong slebeww." Caption salah seorang medsoser..

"Lagi disini nih, yang kenal colek aja" timpal story yang lainnya.

Di pinggiran ibukota yang sangat ramai penduduk, lelaki yang kini usianya menginjak angka ke 39 tahun, sudah sejak lama mendirikan cafe itu. Ia hanyalah seorang duda yang tak memiliki anak dari pernikahan sebenarnya.

Karena, lelaki itu dulunya hanya seorang kuli yang gajinya tak seberapa. Makanya ia, di tinggalkan pergi oleh istrinya dan memilih berpisah. Mungkin mantan istrinya merasa kalau Pongki tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya yang glamor. Suka belanja, jalan-jalan, dan hidup dengan penuh kemewahan bak anak sultan gedongan. Dan nyatanya tidak seperti demikian.

Dari semenjak perceraian itu, Pongki pergi merantau ke negeri Jepang. Bekerja di salah satu cafe kopi ternama di sana sebagai Barista. Sampai kebeli apartemen pribadi di sana. Lima tahun lebih Pongki merantau, menabung dan mengumpulkan modal untuk membangun usaha sendiri.

Ketika kontrak kerja habis, ia tidak mengambil untuk memperpanjang masa kerjanya, melainkan Pongki memilih pulang ke Indonesia. Mungkin Pongki sudah merasa cukup tinggal di Negara sakura dan merasa rindu akan tanah kelahirannya.

Dari situlah Pongki berfikir, dengan modal yang yang cukup lumayan, hasil dari uang gajinya yang ia sisihkan, dan tekad yang kuat, dengan ilmu yang laki-laki itu dapatkan dari menjadi Barista, ketika masih bekerja sebagai TKI di jepang. Dengan niat yang tinggi bertekad membangun usaha sendiri, mendirikan sebuah cafe yang berdiri hingga sekarang.

Syukur Alhamdulillah menjadi salah satu tempat nongkrong yang wajib di kunjungi para anak gaol. Pongki selalu bersyukur, karena kerja kerasnya selama ini tidak sia-sia. Ia sering merasa bangga ketika usah kecilnya selalu ramai dari pembeli dari semua kalangan. Anak remaja, anak muda, juga yang tua tua juga ada sering nongki di tempat estetik ini.

Bukan muji Paman Pongki tapi ini penilaian dari orang-orang yang pernah datang kesini. Dan selalu memberikan bintang lima.

COFFEE LOVE STORY.

Terpampang jelas nama cafe itu, love story di amabil dari cerita Pongki pernah kerja sebagai Barista di cafe kopi di Jepang dan ia mendeskripsikannya? "ada cerita cinta di balik segelas kopi."

...🌸🌸🌸 ...

Terlihat Dimas, Dina, dan Rafa sedang asik membereskan meja juga kursi. Lalu membersihkan, serta mengelap semua sudut-sudut di semua ruangan Cafe itu biar bersih dan kinclong, kalau bersih kan semua pelanggan, kalau datang merasa nyaman dan tidak merasa jijik karena tempatnya bersih.

Mereka bertiga sudah sedari lulus SMA, bekerja di cafe love story. Selain buat tambahan biaya kuliah, juga buat cari pengalaman. Serta mereka merasa pemilik cafenya itu sangat baik dan sangat perhatian terhadap karyawan sendiri. Dan memperbolehkan mereka kerja sambil kuliah. Apalagi sama Dimas yang sudah jelas keponakannya sendiri. Membuat mereka tidak pernah malu akan pekerja ini.

Meskipun sebagai anak kuliahan dan juga sebagai karyawan cafe. Yang sangat jauh berbeda dengan teman sebaya mereka dimana lagi asyik-asyiknya menikmati harta orang tua. Tidak ada sedikitpun terbesit dalam pikiran mereka kata "gengsi"

Meskipun Rafa terlahir dari anak orang kaya, tapi ia sama sekali tidak merasa malu kerja sebagai pelayan cafe, malah ia merasa bangga pada dirinya sendiri. Bisa mandiri tanpa embel-embel nama keluarga besarnya. Juga ia ingin membuktikan kepad kedua orang tuanya bahwa dia juga manusia berguna juga bisa di andalkan, tidak seperti apa yang mereka bilang.

Waktu baru menunjukkan pukul sembilan lewat dua puluh tujuh, dimana masih belum ada satupun pelanggan yang dateng sekedar membeli makanan dan minuman, atau bersantai di cafe itu. Kebetulan jam segini memang cafe juga baru buka dan masih beres-beres. Jadi wajar saja kalau masih terlihat sepi pengunjung.

Biasanya, sekitaran jam makan siang atau jam istirahat sekolah, banyak sekali orang-orang yang nongkrong di sini. Menikmati kopi atau memesan makanan ringan dan bercanda ria, serta ber-selfie manja.

Apalagi anak-anak SMA Harapan Bangsa yang bangunannya tepat bersebrangan dengan cefe itu. Yang sudah pasti mereka paling sering nongkrong di cafe milik Paman Pongki itu. Juga itu SMA dimana dulu, Dimas dan kedua sahabatnya bersekolah.

"Permisi kak?"

Terdengar nyaring suar sapaan dari sebalik pintu tembus pandang berlapis kaca itu, terlihat berdiri seorang anak laki-laki berseragam putih abu terlihat sangat unyu kulit putih, berbadan tinggi, dan menggemaskan, pokonya ganteng maksimal, kece badai parah. Pasti dia idola banget di sekolahnya. Dengan senyuman tipisnya yang membuat meleleh para kaum hawa sebayanya. Termasuk mata Dina yang tak berkedip beberapa detik melihat keberadaan orang itu.

Sayangnya, masih anak SMA. Termasuk masih bocil bagi seukuran Dina. Tapi, beneran deh cool banget. Tapi lebih coolan Dimas Algara sih di bandingkan dengan dengan akan itu hehehe.

Mungkin siswa itu mau memesan coffee latte atau sepotong Roti bakar Mozarella. Menu yang menjadi andalan di cafe coffee love story itu. Karena, ada banyak cerita di dua menu andalan cafe itu. Cerita masa lalu sang pemilik kedai. Makanya sang pemilik selalu merekomendasikan, satu minuman dan satu makanan itu.

Awalnya Dina mendengus kesal, layaknya seperti karyawan-karyawan biasa. Tapi apa boleh buat, namanya juga konsumen kita harus melayani dengan baik dan sedikit memberikan senyuman. Dengan rasa penasaran, Dina pun melangkah dengan menghentak-hentakan kakinya kesal serta melihatnya, wanita itu bersegera lah membuka pintu. Meski dari dalam juga terlihat, namun hanya samar-samar saja merasa kurang jelas.

Makanya ia buru-buru membuka pintu dan menyapa balik lelaki itu. Serta menanyakan hal yang dia lakukan di depan kedai. Soalnya, bingung gitu kenapa nggak langsung masuk aja, biasanya kan kalau mau pesan langsung pada masuk aja nggak pake permisi lagi. Ini macam mau ngamen saja tapi nggak bawa gitar ataupun kecrekan dari tutup botol minuman. Ah, aneh rasanya.

"Hai!"

Balas hangat Dina sembari melambaikan tangan dan mengulas senyum tipis sembari menatap wajah anak SMA itu dengan heran, yang terlihat sedikit agak gemetar dan pipinya mulai di hiasi kemerahan.

Anak SMA yang sedang berdiri dihadapan Dina itu hanya terlihat senyum-senyum malu sembari memainkan jari jemarinya. Tak ada kata sedikit pun yang keluar dari mulutnya. Dina menghembuskan nafas pelan. Tak lama setelahnya, anak SMA itupun, memberanikan diri untuk meminta sesuatu kepada wanita yang ada di hadapannya itu. Masih dengan senyuman malunya dan masih dengan jari jemarinya yang di mainkan.

"Hai kak, aku ngefans banget loh sama Kaka. Aku boleh Mita foto gak?" Pintanya imut, rasanya ingin sekali mencubit ipinya. Gemesss. Beberapa menit hanya senyum, sekalinya bicara langsung pada inti kedatangannya. Dasar bocah SMA.

Masih sambil tersenyum dan kalini mulai mengulurkan ponsel miliknya, yang siswa itu ambil dari saku celananya. Dan tidak lupa memasang muka melas jurus jitu agar di turuti permintaannya. Sebetulnya hal itu sangat membuat Dina tercengang kaget akan permintaan dari bocah ingusan itu yang menurutnya itu hal aneh. Namun... Ada yang membuat Dina begitu terkejut.

Belum sempat mengiyakan ataupun menolak permintaan anak SMA itu, tiba-tiba Rafa datang kaya jelangkung yang tak di undang kehadiranya. Maen serobot aja tuh handphone dari genggaman bocah SMA itu. Sampai-sampai anak SMA dan Dina terkejut, serta menoleh kompak kearah lelaki yang baru aja datang di tengah percakapan mereka.

"Boleh! boleh banget. Asal, dengan satu syarat? kamu beli dulu salah satu minuman di sini." Rayuan Rafa sembari memainkan telunjuknya kearah muka anak SMA itu. Ia sangat jelas menegaskan, jika ingin berfoto dengan idolanya alias dengan Dina. Jadi siswa itu harus bersedia membeli salah satu minuman di cafe itu.

Mengisyaratkan hal itu wajib sekali di ikuti. Lantas hal itu membuat geli Dina. Yang terlihat beberapakali mengangkat bahunya dan memainkan bola matanya. Menunjukkan kalau dia tidak suka atas apa yang di lakukan Rafa. Hal ini yang selalu Dina hindari. Berkali-kali Dina menghembuskan nafas dengan kasar. Tapi hal itu tak membuat Rafa mengurungkan niatnya.

"Dih, apa-apaan sih lu!" sewot Dina sembari melipatkan tangannya di dada, dengan menunjukkan mimik wajah kesal kemerahan hampir mirip udang rebus.

Sangat antusias dan tidak berpikir panjang, bocah SMA itu segera mengambil uang yang ada di saku celananya dengan penuh semangat. Dengan senyum lebar di bibirnya yang begitu kegirangan. Inget ini senyum bukan nyengir yah tar keliatan lagi jigong nya.

"Nih, cofe vanilla latte satu?" terlihat uang berwarna biru di berikan kepada Rafa. Yang langsung di comot oleh Rafa tanpa basa-basi lagi. Lumayan penglaris di pagi hari ini. Rafa berseru dalam hati, sambil jingkrak-jingkrak kesana kemari.

"Siap bos, tunggu sebentar yah." Jawab Rafa antusias. Ia, segera bergegas masuk dan membuat kan satu gelas kopi yang sangat spesial sekali. Hal ini tentu saja mengundang amarah bagi Dina.

"Awas aja, tunggu aja setelah bocah ini pergi dari hadapan gue!" suara batin Dina mengancam bernada amarah.

Anak SMA itu berdehem, menarik napas lalu menghembuskannya, menundukkan kepala berulang seta mengulas senyum kepada idolanya.

"Makasih ya Kak," anak SMA itu mengaguk, juga masih tetap menahan senyumnya.

"Ya, sama-sama." Meski Dina sangat kesal, tapi tetap saja dia berusaha ramah.

Dan beberapa menit kemudiaan.

"Vanilla latte untuk pembeli perta mah di hari yang indah ini segera datang untuk orang yang spesial. Nih, silahkan di nikmati." Teriak Rafa sambil membawa segelas cafe vanilla latte di tangannya. Sambil bersiul kegirangan layaknya habis dapat rotle.

"Eh sumpah yah Raf! Lo alay banget tau. Jijik gue liatnya." Keluh Dina sambil melipatkan tangannya kembali di dada dan sedikit cemberut. Mendengar hal itu, Rafa sedikit menelan ludahnya. Kemudian.

"Huuusstt. Berisik lo!" balas Rafa, sembari menutup mulut Dina dengan jari telunjuknya.

"Yang penting dia mau beli di sini. Yang penting dia penglaris hari ini." lanjutnya lagi dan sedikit menjulurkan lidahnya ke arah Dina meledek. Lalu bersegera mebuka camera handphone si anak SMA itu.

"Iya, gitu. Deket dikit napa Din? Iya, gitu. Satu, dua, tiga." Perintah Rafa kepada dua orang yang ada di hadapannya yang sudah siap untuk di foto.

Masih saja raut wajah Dina Tidka berubah, masih seperti yang awal. Dan tetap anak SMA itu masih tersenyum.

CKREK!!

CKREK!!

Suara dari handphone yang di pegang Rafa begitu nyaring berbunyi. Seraya laki-laki itu mengintruksikan model yang sedang berpose. Udah kaya fotografer aja nih si Rafa. Padahal terlihat jelas wajah Dina yang penuh kesal, dan mengepalkan tangan seakan ingin menghantam wajah Barista lelaki yang ada di hadapannya itu. Padahal temennya sendiri, ya mau gimana lagi kalau udah gondok mah. Mungkin kalau nggak ada hukum udah habis tuh si Rafa di jadiin samsak sama si Dina. Berkali-kali ia mengembuskan napasnya begitu kesal. Mungkin udah ada sepuluh kali Dina menghembuskan napasnya. Belum lagi dia menelan ludahnya dengan begitu kasar.

Namun, mau bagaimana lagi. Bocah cilik itu kan pembeli, inget pembeli adalah raja. Jadi mau nggak mau harus bersikap ramah agar dia tidak merasa kecewa dan mau balik lagi. Seperti yang sedang Dian lakukan saat ini.

Inget kalian kalau jadi penjual, harus jadi penjual yang ramah tamah sama pelanggan agar mereka merasa nyaman.

Bagian 2

Setelah selesai, lelaki berseragam putih abu itu langsung cus pergi dengan muka merah merona yang sangat kegirangan. Eits, bukan? bukan dia dapat lotre, tapi, dia kegirangan udah bisa foto sama idolanya Dina. Cuman nggak terbang doang saking senengnya. Bukan hanya idola sih tapi bocah SMA itu juga menaruh hati pada Dina, lelaki mana sih yang nggak tertarik dan jatuh hati akan kecantikan seorang Dina. Kulit putih, rambut terurai lurus postur tubuh yang ramping dan sedikit agak tinggi.

Namanya juga bocah, ya, malu lah mungkin kalau mesti ngomong terang-terangan. Kalau kamu ketemu idola dan bisa foto bareng, ekspresi lo bakal gimana. Kalau aku sih so pasti bakalan salto saking senengnya, hehe.

"Cie yang abis foto sama fans, fans apa calon pacar?" ucap Rafa dengan nada mengejek, sambil mencolek bahu Dina. Dengan sigap, Dina menghempas jauh jauh tangan lelaki yang telah membuat emosi, darah naik drastis.

Terlihat sekali dari raut wajah Dina yang memerah, bibir yang menyungging mata melotot. Tanda darah di kepalanya benar-benar sedang mendidih. Mencoba mengoptimalkan pernapasan, sedikit tersendat gegara bocah tengik satu ini yang membuat pagi hari Dina kal ini begitu membosankan.

"Ini semua gara-gara lo yah!" Dina mengalihkan pandangannya kepada Rafa. Sedikit kesal serta marah marah tepat di depan matanya.

Menatap sinis, serta menuju-nunjuk kearah Rafa dan meremas kerah bajunya sehingga Rafa sedikit tertarik kedepan dan saling bertatap mata penuh kebencian. Bagi Dina penuh kebencian, tapi tidak dengan Rafa yang mengartikan ini semua, sebuah keindahan. Momen langka yang jarang banget terjadi. Dina memberikan bibir sinis, sedangkan Rafa mengulas senyum bahagia. "Din, lo kalau lagi marah makin cantik aja?" Benak hatinya Rafa menuju wanita yang sedang marah marah di hadapannya.

Setelah melepaskan cengkeramannya, Dina berkecak pinggang seraya berucap kembali dan masih tepat di hadapan Rafa yang masih cengengesan. "Pokoknya, ini peringatan terakhir. Sampe lo kaya tadi lagi? Nggak segan gue. Gue bakalan jadiin lo adonan donat!"

"Ihhh,, atut!" Rafa memundurkan tubuhnya berapa langkah.

"Buset dah, kejam amat lo ama gue Din." Rafa sedikit terkejut dengan ancaman Dina, meskipun menyikapinya hanya dengan senyum yang terukir di bibirnya. Tapi tetap Rafa selalu merasa senang kalau tiap bertemu harus berdebat dengannya.

Dimas yang sedang duduk di kursi kasir tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku kedua sahabatnya yang sedang bersitegang. Hanya karena hal sepele yang nggak mesti sama sekali di ributkan. Tinggal jalani dengan happy dan senyuman yang manis semanis Dimas Anggara. beres dah, segitu simpelnya.

"Tapi, kan dia pelanggan kita! Kasian dong kalau nggak di turuti permintaannya?" Rafa menelan ludah.

"Lagian juga, lumayan, Din. Kan penglaris?" Bela si cowok berkacamata, agar dirinya tak kena amuk Dina terus.

Menarik kursi, lalu duduk. Dirasa kakinya pegal terus berdiri dan berdebat. Tapi sebelum berhasil untuk duduk, kembali Dina marah marah padanya.

Dina menoleh kearah lelaki itu.

"TRUS! MESTI GUE GITU. KENAPA BUKAN LO AJA COBA!" Suara Dina semakin meninggi. Omelan Dina selanjutnya dan menghadiahi Rafa tonjokan di bagian perutnya.

"Aaww!" Rafa meringis, memegangi perutnya yang terasa nyeri.

"Sakit tau Din! Dimas? Dina jahat." Keluh Rafa memalingkan wajah ke arah Dimas dan berharap ada pembelaan darinya.

"Ya kan, dia cowok. Terus lo cewek? Masa dia minta foto sama gue yang cowok. Nggak mungkin kan!" Rafa kembali berucap, serta memperjelas ucapannya. Masih memegangi perutnya.

"Sumpah ini tuh sakit banget tau." Lalu meraih kursi kembali dan berhasil untuk duduk kali ini tanpa hambatan.

Detik berikutnya.

"Liat tuh Din temen lo?" Rafa mengalihkan perdebatannya. Menujukkan jari telunjuknya kearah dimana Dimas sedang duduk termenung. Membuat Dina reflek membalikan badannya dan memerhatikan Dimas dengan seksama. Rasa bingung mulai menghiasi isi kepalanya sambil sesekali menggaruk kepalanya yang sebetulnya tidak gatal.

Cepet banget berubahnya si Dimas, yang tadi cengengesan sekarang terlihat sedang melamun di tempat kasir. Entah apa yang cowok itu lamun-kan dan pikirkan. Nggak jelas cerita. Padahal masih muda loh, tapi sering sakali dia melamun nggak jelas. Kayak yang banyak pikiran dan banyak beban hidup yang dia pikul. Dina pun mulai meraih kursi dan duduk berhadapan dengan Rafa.

Terlihat jelas sekali Dimas duduk, sembari memandangi pigura kecil yang bergambarkan gadis kecil kuncir dua. Mungkin itu gambar seseorang yang selalu ingin dia temui. Selain Dina teman masa kecilnya, ada lagi sosok gadis yang membuat Dimas tidak bisa melupakannya hingga saat ini.

Dengan perlahan-lahan lelaki parubaya, udah lah panggil aja Paman Pongki ribet amat. Lebih tepatnya Pongki ajalah biar simpel. Bermaksud untuk mengagetkan Dimas. Namun, sebelum berhasil malah niatnya untuk mengagetkan dan menghancurkan lamunan keponakannya itu, telah terlebih dahulu diketahui oleh Dimas. Dari suara telapak kakinya yang begitu terdengar jelas di telinga si pemilik netra hijau.

Dina dan Rafa menggeleng melihat tingkah bosnya, juga sedikit cekikikan mereka tapi juga di tahan agar Pongki tidak menoleh kearah mereka. Mereka cekikikan akibat melihat Pongki berjalan merangkak seperti bayi. Terus berjalan dengan berjinjit.

"DARRR!!!"

"Eha, ayam ayam ayam...."

"Hayo, Paman mau ngapain?" ujar Dimas sambil merangkak dari kursi kasir dan balik mengagetkan laki-laki setengah tua itu.

Pongki pun benar benar terjingkrak kaget. "Astaghfirullahhalazim!!" Terkaget-kaget sembari mengusap dada serta menetralkan napasnya yang tersendat, senjata makan tuan. Rafa, Dina terbahak bahak melihat pertunjukan yang sangat lucu ini, setelah beberapa detik mereka tahan tahan. Bwahaha... Akhirnya meledak juga tawa mereka berdua. Hingga terdengar oleh telinga Dimas dan Pongki, lalu menoleh secara bersamaan kepada kedua orang yang sedang mentertawakan Dimas dan Pongki.

Sedikit terdiam sejenak agar rasa gemetar di kakinya hilang, meraih kursi lalu duduk. Mengoptimalkan pernapasannya. "Liat ini jam berapa!" Sembari menunjuk lengan kanannya yang melingkar jam tangan warna hitam. Bermaksud memberi tahu bahwa ini masih waktunya kerja, kepada keponakannya itu.

Secara bersamaan mata Dimas dan Pongki terfokus dengan jam tangan yang melingkar sempurna. Hal ini sih sudah menjadi hal yang tidak asing di kehidupan Dimas.

"Tenang, sabar, nanti penyakit asma Paman kumat lagi loh?"

"Enak aja," Pongki menjitak Dimas. Dimas meringis kesakitan. "Sejak kapan gue punya penyakit." Pongki berdiri kembali, serta menepis ucapan keponakannya yang menuduh dirinya punya penyakit asma.

Setelahnya, Dimas berbalik arah melihat Dina dan Rafa. Ternyata kedua sahabatnya itu sedang cengengesan mentertawakan dirinya dan Pamannya. Lalu Dimas mengepalkan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya menunjuk kearah Dina dan Rafa secara bergantian. Dina, Rafa sedikit bergetar melihat ancaman yang sama sekali nggak ngaruh bagi kedua sahabat Dimas.

"Yang lain kerja, kamu sudah enak-enakkan melamun. Ayo, tuh! bantuin si Rafa sama Dina beres-beres." Lanjut ucap Paman Pongki dengan nada tinggi. Sambil menjewer telinga Dimas, dan menyuruh keponakannya kembali bekerja. Kepalan tangan Dimas pun seketika turun begitu saja.

Dimas terkejut, mendapati tangan sang paman udah ada di telinganya. "Ampun Paman ampun. Sakit! Ah, elah. Lepasin napa." Rengek Dimas kesakitan.

Paman Pongki berkecak pinggang sebelah sambil komat kamit. "Kalau kerja itu jangan malas-malasan. Jam segini sudah melamun manusia macam apa kau itu. Gimana negara ini mau maju kalau rakyatnya aja kayak lo sering melamun nggak jelas." Setalah memberikan kata-kata mutiara, Pongki segera melepaskan tangan yang sedari tadi menjewer telinga keponakannya itu.

Itulah Paman Pongki selain dia galak, keras, namun juga tegas.

Ia juga suka jahil sama karyawanya. Apalagi kepada keponakannya sendiri. Makanya mereka bertiga sangat sayang sama Paman Pongki. Selain galak dia juga lucu udah kaya pelawak di tv aja, bisa ber metamorfosa sesuai tempat dan kondisi.

Kadang jadi pelawak, kadang jadi guru, kadang juga jadi orang tua. Nggak sekalian aja jadi Ultraman wkwkwkwk. Itulah sifat paman Pongki ke siapapun dan di mana pun selalu memberikan nasihat yang baik.

Apalagi sama Dimas. Karena mungkin dia kan keponakan satu-satunya. Yang sedari kecil duda itu rawat dengan penuh kasih sayang, karena Ibu Bapaknya sudah pergi meninggalkanya sejak Dimas berusia sepuluh tahun. Kecelakaan mobil yang di alami kedua orang tua Dimas, yang mengakibatkan mobil yang mereka tunggangi masuk jurang di karenakan rem blong dan mobil tidak terkendalikan dan orang tuanya tidak terselamatkan.

Dimas mendengus dengan suara malas. "Ia Paman." Melangkah sembari menghentakkan kakinya kesal.

Ketika hendak menanyakan sesuatu, ucapan Dimas terpotong. "Paman ak_"

"Udah kerja sana," itulah Pongki kalau sudah memerintah tidak akan ada yang bisa mengganggu gugat dengan ucapannya. Bahkan Dimas sekalipun yang selaku keponakannya, tidak bisa membantah segala ucapan pamannya.

Segeralah Dimas beranjak dari tempat duduknya meninggalkan khayalan yang menghiasi pikirannya saat ini. Diambilnya satu buah lap dan kemoceng, di bersihkannya kaca-kaca di cafe itu hingga tak tersisa satu butir debu pun. Begitupun dengan Dina dan Rafa juga ikut beres beres. Mereka berdua takut kena semprot juga

"Oke guys, gue mau ngasih tau kalian bahwa bulan depan ada kuis yang hadiahnya sangat spektakuler. Penasaran,? penasaran,? Makanya pantengin terus yah. Sebuah lagu dari seorang penyanyi yang lagi hitz, hitz nya cekidot"

Masih dari suara radio butut itu. Menginformasikan bahwa sebentar lagi akan ada kuis akhir taun. Menutup acara dengan satu buah lagu yang sangat enak di dengar.

Sontak mereka bertiga yang lagi beres-beres ter kaget dan melebarkan bola matanya secara bersamaan mendengar pengumuman penting itu. Dengan sigap mereka berlari mendekati radio. Soalnya, di setiap satu tahun sekali penyiar radio itu suka mengadakan kuis yang hadiahnya sangat menggembirakan bagi para pendengar dan para pemenangnya.

Tahun lalu saja kuis itu hadiahnya pergi liburan ke Turki tepatnya ke Cappadocia. Mereka berharap sih voucher liburan kali ini ke Jepang dan mereka berharap bisa memenangkan voucher itu. Namanya juga usaha boleh kali. Hal apapun tidak akan mereka lewatkan untuk mendengarkan suara sang penyiar dari radio butut.

"Nah? kailan dengar kan," ucap Rafa sambil mendekatkan telinganya ke radio. Soalnya Radio itu kadang-kadang suaranya suka tidak jelas. Macam suara apa yah "krasak krusuk" Maklum lah namanya juga radio sudah tua butut lagi.

"Mudah-mudahan, kuis kali ini gue yang dapet. Dan voucher liburannya ke Jepang." Ucap Dimas dengan penuh harapan. Sembari mendongakkan kepalanya ke atas langit langit cafe, menandakan mulai akan mengkhayal kembali.

"HAH! Mimpi kali lo!" Ejek Rafa sambil sedikit menoyor kepala Dimas, dan berhasil membuyarkan khayalannya.

"Aw!" Keluh Dimas sembari mengusap kepalanya sedikit terasa sakit.

"Kalau gue sih pengen ke Korea, pengen foto sama Taehyung sama Jimin, pokonya semuanya aja deh." Sahut Dina yang mengidolakan artis Korea "BTS". Kalau udah bicara tentang Korea semangat banget ni si Dina. Takkan pernah terlewatkan sedikitpun hal hal yang berbau negri ginseng yang banyak melahirkan cowok cowok ganteng dan cewek cewek cantik.

Rafa berdecih mendengarnya. "Iya sih, yang si paling k-poprs! Ganteng-an juga gue kali daripada mereka," dengan nanda sombong sambil menepuk-nepuk dada seakan dia cowok paling ganteng di muka bumi ini. Berdiri, berkacak pinggang, belahan sombong.

"HAH!!"

Dina dan Dimas terbelalak, ternganga lah mereka berdua sambil menutup telinga mendengar celoteh Rafa yang membuat telinga mereka berdengung kesakitan. Untung aja lalat nggak masuk tuh ke mulut saking kagetnya.

"Kenapa lo pada kaget!! Iri bilang bos." Rafa berucap kembali, kali ini ucapannya menuduh Dina, Dimas iri padanya sembari meluruskan telunjuknya kearah Dina dan bergantian kearah Dimas. udah kayak burung pipit aja ngoceh mulu tuh makhluk.

Lalu sepersekian detik Dimas menepis telunjuk itemnya Rafa. "Tak sudi gue iri sama orang yang mukanya macam kemoceng gitu!" Balas Dimas kejam.

Yang membuat Dina terkekeh sambil menahan sakit di perut. Saking lucunya ucapan si cowok paling tampan.

"Dia itu bukan kemoceng, tapi pantat panci yang item, dan berkarat. Haha." Dina menimpali. Yang berhasil membuat Dimas ngakak tak berdosa. Rafa mendengus keasl. Ini alasannya Rafa selalu di bandingkan dengan sodara kembarnya oleh keluarganya sendiri. Selain hal lain, warna kulit juga mereka permasalahkan.

Itulah khayalan mereka di hari itu yang memecah gelak tawa di antaran kedua sahabat Rafa. Tapi tidak dengan dirinya yang cemberut dan melipatkan tangannya di dada, menatap sinis kepada dua orang yang sedang tertawa di hadapannya. "Awas yah kalau gue yang menag voucher nya. Nggak bakalan gue ajak kalian berdua!" suara hatinya Rafa.

Jangan tanya Rafa ingin pergi kemana, so pasti dia mah ikut-ikut aja kemana pun yang penting asik. Apalagi gratisan so pasti dia paling terdepan.

Bagian 3

Pukul 8 kurang 15 menit.

Dimas udah berada di jalanan kota, mengemudikan mobil milik bos cafe. Di temani Rafa yang duduk persis di sampingnya. Sebenarnya Dimas malas sekali pagi-pagi jam segini harus bawa mobil, di tambah posisi masih ngantuk berat akibat begadang main catur bersama satpam sekitar tempat tinggalnya.

Ya mau gimana lagi, karena ini perintah bos dan kebetulan emang stok bahan-bahan keperluan cafe sudah mulai menipis. Makanya, laki-laki bernetra hijau di suruh Pamannya untuk belanja kepasar swalayan yang lebih murah tapi berkualitas. Rafa juga tumben, sepagi ini sudah ada di di cafe. Apa mungkin, dia juga di telpon Pongki untuk pergi ke pasar menemani Dimas.

Memilih jalan pintas untuk menghindari drama kemacetan, tapi hanya sia sia. Hari hari seperti inilah jalanan ibu kota, kapan lenggang dari kemacetan. Suara bising bajaj, klakson mobil, klakson motor penuh emosi memekakkan telinga Dimas. Serta makian banya orang yang tidak sabaran. Kapan satu hari jalanan kota itu benar benar lenggang tak sedikitpun ada kendaraan yang melintas. Tapi itu hal mustahil terjadi.

Rafa mulai bersuara, memecah keheningan di antara mereka.

"Dim! Emang bener yah si Dina suka sama lo?"

Decitan rem begitu mengilukan, Dimas menghentikan laju mobil yang ia kemudikan. Dengan menginjak rem secara kasar hingga tubuh dirinya dan orang yang ada di sebelahnya terpelanting kedepan. Rafa benar benar terkejut, tidak habis pikir ini akan terjadi.

Setelah mendengar ucapan Rafa yang membuatnya benar-benar terkejut. Namun, tatapan Dimas hanya kosong mengarah ke depan. Sama sekali tak menghiraukan pertanyaan Rafa. Dimas hanya tak ingin mebuka kembali goresan luka kecil itu kembali teringat.

"Astaga, hati-hati Dim. Kenapa sih lo! Jantung gue serasa mau copot dari tempatnya?" Rafa kembali bersuara setelah terpontang panting dan membenarkan posisi duduknya.

Dimas membenarkan posisi duduknya. "Sorry, sorry. Raf. Gue ngantuk, ada roko nggak? Biar gue nggak ngantuk?" Pinta Dimas sembari berusaha menetralkan napasnya.

"Nih ada sebatang, mau loh!" Rafa menunjukkan sebatang roko yang menyisakan setengah lagi.

Dimas menoleh dan menatap datar kearah orang yang duduk di sebelahnya.

"Dih najis gue. Bekas lo!" Dimas berdecih.

"Sama aja gue ciuman sama lo." Dimas menggeleng merasa jijik.

Rafa menela ludahnya mendengar ucapan sahabatnya yang begitu menjijikan.

"Normal gue bangsat!" Menatap manik mata Dimas sinis. Setelahnya Rafa menoleh kearah spion mobil yang berubah posisi akibat senggolan dari pengendara motor ibu-ibu.

"Woyy! Bisa bawa motor nggak!" Suara Rafa ngegas. Memaki ibu ibu yang kurang mahir mengendarai motornya.

Setela berdebat beberapa menit, kini Dimas mengemudikan mobilnya kembali dengan pelan. Setelah berjalan beberapa meter, suara decitan itu terdengar dan mengilukan kembali.

"Dimas! Apa-apaan sih! Lo. Sengaja mau buat gue jantungan." Makian Rafa terdengar kembali.

Dimas hanya tertawa terbahak-bahak melihat temannya yang panik dengan wajah kemerahan. Kali ini Dimas menghentikan mobil untuk yang kedua kalinya bukan karena terkejut, tapi ia sengaja ingin ngerjain si Rafa. Dan ternyata itu membuahkan hasil, beberapa kali ia kena bogeman dari sahabatnya yang sangat sangat panik di buatnya.

Ternyata kantuk benar-benar tidak bisa di ajak kompromi dan masih menguasai diri Dimas. Melihat kondisi yang tidak memungkinkan, Rafa menawarkan diri untuk mengemudikan mobil itu. Daripada nanti terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dan membahayakan mereka, mungkin membahayakan orang lain juga.

"Dim, gimana kalau gue aja yang mengemudikan? Gue takut, jantung gue serasa mau copot." Pinta Rafa. Menoleh kearah sahabatnya itu.

Dimas pun mengangguk, menepikan kendaraan itu sebentar dan setelahnya bergantian posisi duduk. Mobil itu melaju kembali di kemudikan Rafa. Dimas terfokus kembali ke pertanyaan yang di tanyakan sahabatnya itu. Lelaki itu mengambil napas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Sebelum menjawab pertanyaan dari sahabatnya yang sekarang sedang mengemudikan mobil.

"Lo kan tau Raf, gue udah punya pacar. Kan tadi juga sebelum berangkat gue abis chatan sama dia. Lo tau kan?"

Rafa mengangguk mengerti dengan penjelasan Dimas.

"Iya, Dim."

Laki laki tu ternyata sengaja menanyakan hal itu, ia hanya menguji sahabatnya itu apakah dia juga mencintai orang yang dirinya cintai juga. Ada rasa lega di dalam dada setelah mendengar penjelasannya. Yang asma sekali tidak ada rasa terhadap Dina. Begitupun dengan Dimas yang mengerti akan pertanyaan sahabatnya yang sedang terfokus ke jalanan. Paham betul Dimas, akan ucapan Rafa mengarah kemana. Yang di pikiran ia sekarang adalah bagaimana caranya agar tidak membuat sahabatnya kecewa, dan selalu menghindari apa bentuk perhatian yang selalu di berikan Dina. Meskipun itu hanya bentuk perhatian sebagai sahabat dari kecil.

Beberapa kali Rafa menekan klakson mobil, ketika ada motor yang menyalip sembarangan. Tak lupa pula makian serta sumpah serapa terucap dari mulutnya yang tersulut emosi.

Mobil itu melesat dengan cepat, berbelok kerah kiri, maju lurus, belok lagi kearah kanan. Dan menepi di parkiran pasar.

...🌸...

Paman Pongki masih sibuk melayani customer yang Alhamdulillah hari ini begitu sangat ramai. Dina sedang duduk di pojokan cafe. Sembari mengipasi diri sendiri karena lelah dan keringat membasahi.

"Hari ini benar-benar kesabaran gue di uji. Ya tuhan besarkan lah sabar hamba." Gumam Dina sembari melahap makanan kesukaannya.

Pancake matcha yang wanita itu pesan lewat aplikasi ojol. Kenapa nggak beli di cafe tempat dia kerja? Karena di tempat Dina bekerja nggak menjual menu makanan yang Dina suka. Makanya dia beli dari tempat lain.

"Din, tolong dong ambilkan gula di atas meja belakang?" Titah pemilik cafe.

Dina mengangguk dan bersegera bangkit dari duduknya. "Iya Paman," meletakan pancake yang tinggal setengah gigit lagi.

Satu jerigen berukuran besar berhasil Dina angkat dengan susa payah, memindahkan dari meja belajar ke meja depan. Setelahnya tangan Dina merasa pegal-pegal. Maklumlah kalau terlihat lemah namanya juga perempuan fisiknya tidak sekuat lelaki. Tapi, ia hebat udah mau berusaha untuk melakukan hal itu sendiri. Namanya juga seorang karyawan yang harus patuh pada sama atasannya jika masih ingin bekerja di tempat dia bekerja. Ini semua Dina lakukan untuk tambah-tambah keperluan diri sendiri dan keperluan kampus. Kalau ada lebih kadang Dina kasih untuk Mamanya.

Setelah Ayahnya dan Mamanya memilih berpisah, kini kehidupan Dina berubah 180 derajat. Yang tadinya apa-apa tinggal minta, kini tidak. Makanya ia harus bisa mandiri dan tidak lebih berharap pada Mamanya yang sekarang hanya pedagang kelontongan di pasar. Sedangkan Ayahnya sama sekali tidak ada membantu keuangannya semenjak dia pergi dari kehidupannya dan memilih wanita selingkuhan-nya. Hal ini yang membuat kecewa Dina terhadap sosok Ayah dan malas kalau suruh untuk bertemu kembali dengannya.

Dina melahap kembali pancake yang tinggal setengah itu, kembali mengipasi, masih duduk di pojokan.

Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya mobil milik bos cafe tiba di halaman cafe. Menandakan Dimas dan Rafa sudah selesai berbelanja barang keperluan cafe. Tak lama setelah suara mobil itu terhenti, Dina segera melangkah mendekat. ia menyambut antusias.

Dina tersenyum kearah pujaannya. "Eh, Dimas cape yah? Ni gue udah buatin minuman spesial buat lo." Menyodorkan gelas minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokan yang kering.

"Makasih yah Din." Dimas meraih gelas minuman dingin dan meneguknya hingga menyisakan setengah lagi.

Rafa melotot melihat itu semua, dia merasa tidak adil. Padahal yang lebih capek itu dirinya dibandingkan dengan Dimas. Lelaki yang meneguk minuman dari Dina menyadari akan perkataannya di dalam mobil waktu di jalan tadi. Tapi tak apalah, ini sudah terlanjur. Lalu melengos berjalan kearah mobil.

"Lah, gue nggak di bikinin!" Keluh Rafa kesal.

"Lo, ambil sendiri aja yah Raf. Jangan manja!" Dina menepuk bahu Rafa hingga sedikit terhuyung. Karena barang di atas pundaknya yang membuat jalannya kurang seimbang.

"Hah! Manja." Rafa melotot. "Tega banget lo Din, ama sahabat sendiri." Sembari mengangkut barang belanja, Rafa terus mengoceh tak henti kaya burung beo.

Mata Rafa berkali-kali melotot mendengar ucapan Dina, yang menurutnya sama sekali nggak ada rasa kasihan terhadap dirinya juga sebagai sahabatnya dan sebagai partner kerjanya. Rafa menggaruk tengkuknya yang samasekali tidak gatal. Ia merasa kecewa, berharap dapat perhatian setelah datang dari belanja, tapi itu hanyalah khayalan semata. Rafa meneguk ludahnya merasakan kenyataan pahit.

Dimas, dan Rafa, mengangkut semua barang-barang yang ada di dalam mobil pickup. Begitupun dengan Dina, membatu sebisa dan sekuat tenaga. Dengan mengangkut yang ringan ringan saja. Mengangkat satu persatu, memindahkannya kedalam rumah yang semula berada di dalam mobil. Pongki hanya mengawasi sembari menghitung barang dan menghitung jumlah yang ada di bon belanja. Takut ada yang salah atau keliru.

Dirasa sudah las dan tidak ada keliru sama sekali, Pongki memasukan bon itu kedalam laci. Lalu melangkah mendekati ketiga karyawannya.

"Yaudah, kalian mandi bersih-bersih, kotor, bau lagi. Trus udah itu makan? Udah di siapin di meja." Titah Paman Pongki.

"Oke, Paman." Dimas dan Rafa mengaguk secara bersamaan.

"Gue boleh ikut makan kan Paman?" Dina mengacung berseru.

Mereka bertiga melangkah pergi masuk ke rumah untuk bersih-bersih setalah selesai memindahkan barang-barang. Karena nggak mungkin dengan keadaan badan dan baju penuh keringat, melayani consumer. Bukannya banyak yang beli malah pergi kembali melihat kondisi perayaannya bau keringat, dekil dan kucel.

Rupanya Dimas masih teringat akan ucapan Rafa di dalam mobil yang mengatakan bahwa Dina menyukainya. Menurutnya mungkin ini karma buat cewek itu, karena Dina pernah menolak cintanya Dimas sewaktu mereka masih duduk di masa putih biru. Sebelum cintanya berlabuh di hati Nara, pacarnya hingga saat ini. Meskipun sudah terpisah lama, Dimas masih tetap menganggap Nara itu pacarnya. Karena di antara mereka tidak pernah ada kata putus. Maka dari itu Dimas selalu menunggu kehadiran Nara kembali, meskipun itu mustahil.

Tapi kini Dina yang mengejar cinta Dimas, setelah Dimas menemukan orang yang lebih bisa menghargai dirinya dan cintanya. Namu itu juga tidak bertahan lama, mungkin hanya setengah tahun Dimas bersamanya, setelah gadis itu pergi tanpa pamit padanya.

...🌸...

Dimas terlihat sedang duduk termenung di balkon lantai dua rumah Pamannya, sembari menyesap sebatang roko yang menyisakan setengah. Di temani semilir angin malam begitu dingin menusuk hingga tulang terdalam. Dimas masih saja kepikiran apa yang di ucapkan sahabatnya tadi pagi. Ia hanya tak percaya saja, dulunya mengejar sekarang di kejar. Emang sakit rasanya menyukai seseorang yang kita sayangi, tapi orang yang kita sukai memilih orang lain buat mengisi ruang kosong di hatinya.

Detik berikutnya, terdengar suara hentakan kaki. Makin lama kian medekat, hal itu membuyarkan semua lamunannya. Dimas sudah paham, suara langkah kaki siapa itu. Kalau nggak Pamannya ya si cucunguk Rafa. Karena Rafa, suka nggak langsung pulang kalau setelah cafe tutup, dia lebih memilih naik keatas ke balkon rumah milik bos cafe dan mengobrol santai bersama keponakan bosnya.

Menenangkan pikiran, menghindari drama drama yang terjadi dalam hidupnya. Mungkin disinilah pikiran Rafa sedikit rada tenang. Bercanda dan mengobrol bersama sahabatnya.

"Eh, elu Raf. Nggak pulang?" Dimas menoleh kearah hentakan kaki, mendapati Rafa sedang berdiri serta membawa satu piring pisang goreng di tangannya.

"Males gue! Males liat drama nyokap bokap gue." Rafa mulai duduk di sebelah Dimas, dan sedikit curhat apa yang di rasakan ketika di rumah. Setelahnya Rafa menyahut sebatang roko. Tapi sebelum tangannya samai ke bungus roko, Dimas lebih dulu berhasil menepis tangannya hingga terpelanting ke belakang.

Rafa terkejut, menelan ludahnya.

"Pelit amat sih lo sama temen!" Keluh Rafa kesal.

"Itu roko Paman, Nih yang ini baru punya gue." Rafa nyengir tak tau kalau itu roko milik bosnya. Lalu, kembali menyahut rokok milik Dimas.

Setelahnya, Dimas tertawa terbahak melihat pisang goreng yang di bawa Rafa begitu gosong, menurutnya itu sudah tidak layak lagi untuk dimakan.

"Set dah Raf, Raf. Lo bikin pisang goreng apa arang goreng sih!" Ledek Dimas.

Rafa melotot kesal kearah Dimas yang menghina makanannya, padahal itu sama sekali tidak gosong cuman mendekati doang. Menghembuskan napas kesal dan marah.

Di detik ke lima belas, Rafa muali bercerita kembali tentang orang tuanya. Ia menceritakan keluh kesahnya, yang merasa kurang beruntung memiliki orang tua yang kurang sayang padanya, tidak seperti orang lain. Merasa selalu di beda-bedakan dengan anak kesayangan mereka. Yaitu kembarannya sediri Rafi.

"Gue, nggak ngerti Dim! Sama jalan pikiran Nyokap, Bokap gue. Disini kan mereka punya anak dua kembar lagi. Gue sama si Rafi? Tau kenapa mereka nggak pernah nganggep gue ada! Apa-apa gue tuh selalu di asingkan kayak orang asing di rumah."

Dimas mendengarkan, ia mengaguk paham atas apa yang Rafa rasakan, lalu Dimas menepuk bahu Rafa memberi semangat. Dimas yakin bahwa Rafa bisa melewati ini semua.

"Sabar yah Raf. Gue yakin lo biasa lewatin ini semua? Di sini ada gue yang akan selalu mendengar curhatan lo. Juga ada Paman Pongki. Trus ada pujaan hati loh. Eh,,," Dimas reflek menutup mulutnya.

"Eh, maksud gue ada Dina, sahabat kita." Dimas memukul mukul mulutnya, yang sembarangan berbicara.

"Makasih, Dim. Udah mau jadi sahabat gue. Tapi gue nggak ngerti aja sama jalan pikiran mereka. Bahkan waktu wisuda SMP aja, yang nemenin gue bukan mereka? malah Bi Inah." Jelas Rafa, menahan airmata di ujung matanya. Yang kapan saja siap mebasahi pipinya.

Dimas tersenyum kearah Rafa, begitu pun Rafa tersenyum kearah Dimas. Meskipun Dimas terenyuh mendengarkan cerita sahabatnya, tapi dia harus tetap terlihat tenang agar Rafa tidak semakin bersedih.

Malam semakin larut, dingin mulai tak karuan. Mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri percakapan itu. Dimas pergi ke kamarnya, sedangkan Rafa pergi pulang ke rumah. Karena dia nggak mau Bi Inah mengkhawatirkannya. Meskipun hanya sekedar pembantu tapi kedekatan mereka sudah seperti sedarah semenjak perilaku kedua orang tuanya mulai berubah semenjak Rafa kelas satu SMP.

Sebelum Rafa benar-benar pergi, Dimas menatap wajah laki-laki itu dan berkata.

"Raf, kok wajah kamu pucat? Trus hidung kamu juga berdarah."

Rafa menoleh ke arah Dimas, tapi tidak sedikitpun menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Melainkan dia memilih menoleh ke kembali kearah depan, lalu mempercepat langkah kakinya untuk pulang. Agar Dimas tidak menaruh curiga akan penyakit yang di deritanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!