Di sebuah ruang perkantoran yang luas, di salah satu gedung pencakar langit di Kota Jakarta, seorang pria dengan gurat wajah tegas, tengah sibuk mempelajari laporan keuangan. Tatapan matanya yang tajam tak pernah beralih dari angka-angka yang tertera pada lembaran-lembaran kertas yang ia pegang.
Saking sibuknya, pria itu tak menyadari kedatangan seorang pemuda dengan stelan jas hitam ketat yang berjalan menghampirinya.
"Tuan, malam ini anda punya jadwal pertemuan dengan pihak HW Construction. Terkait penanda tanganan perjanjian kerjasama proyek pembangunan gedung perkantoran dan pabrik kelapa sawit kita di Kalimantan."
Suara serak pemuda itu berhasil memecah konsentrasi sang atasan yang sibuk membolak-balik laporan keuangan yang dipegangnya.
"Jam berapa tepatnya?"
Dengan sigap pemuda itu melirik ke arah jam tangannya. "Jam delapan malam, Tuan. Tepatnya tiga jam dari sekarang."
"Tapi Pak Heri baru saja mengabari, jika beliau berhalangan hadir karena sedang di rawat di rumah sakit. Beliau meminta saya menyampaikan permohonan maafnya pada anda. Sebagai gantinya, Pak Heri mengutus seorang perwakilan. Namanya Bu Sani Amara Wijaya. Dia Wakil Direktur HW Construction, sekaligus putri tunggal Pak Heri."
Pria itu hanya mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya pada tumpukan kertas yang sudah ia periksa sejak tadi.
"Rupanya Pak Heri masih syok. Padahal akan lebih baik jika beliau segera move on dari kejadian itu."
Sontak pemuda itu menghela nafas berat mendengar ucapan sarkas sang atasan. Ia tahu, perkataan atasannya itu tidak bermaksud untuk menghina partner bisnisnya. Tapi ia tetap saja kesal mendengar komentarnya yang blak-blakan.
"Orang tua mana yang tidak sedih, melihat pernikahan putrinya yang digelar mewah, justru dibatalkan secara sepihak oleh keluarga mempelai pria di hari H. Pak Heri bahkan lebih syok dari putrinya yang diputuskan," cerita Sahir dengan wajah simpati.
"Untungnya putri Pak Heri bermental baja dan bersedia mengambil alih tugas Ayahnya untuk sementara waktu. Termasuk menemui kita malam ini!"
"Entah karena bermental baja atau dia terpaksa datang demi menjaga nama baik Ayahnya. Hal itu tidak jadi masalah, selagi proyek kita bisa berjalan sesuai rencana," tegas sang atasan sambil meletakkan dokumen yang ia pegang, lalu memutar kursinya menghadap ke arah sang pemuda yang tak lain adalah asistennya.
"Ngomong-ngomong, Sahir. Sepertinya kau tahu banyak tentang kejadian yang menimpa Pak Heri dan putrinya. Apa sekarang kau sedang menjalankan double job, jadi seorang wartawan gosip?"
Pemuda bernama Sahir itu lantas mendengus kesal mendengar sindiran halus sang atasan. Ingin rasanya ia menonjok mulut atasannya itu dengan tinjunya, jika saja ia tidak memikirkan gaji yang diberikan pria itu sangat fantastis.
"Tentu saja saya banyak tahu tentang kejadian itu, Tuan Aman yang tampan! Anda kan yang menyuruh saya menghadiri pernikahan mereka karena berhalangan hadir!" Jawab Sahir dengan penuh penekanan dan senyum yang dipaksa.
"Karena itu saya jadi menyaksikan drama itu secara langsung. Apalagi para tamu undangan tidak berhenti bergosip saat mendengar pengumuman pembatalan pernikahan yang disampaikan MC." Sahir mengangkat bahu dan tangannya sambil memejamkan mata, berlagak tak bersalah.
Pria yang dipanggil Aman itu lantas mengangguk sambil tersenyum tipis. "Maaf! Aku lupa kalau aku yang memintamu menghadiri pernikahan putri Pak Heri."
Sontak Sahir tercengang, tak bisa berkata-kata. Ia hanya memperlihatkan deretan giginya yang putih tanpa memberi komentar apapun.
"Kalau begitu, tolong rapikan dokumen-dokumen ini. Aku akan naik ke kamarku dan beristirahat sebentar. Jangan lupa cek kembali dokumen yang akan kita bawa. Aku tidak ingin ada dokumen yang ketinggalan dan menghambat pertemuan kita."
Sahir tersenyum, lalu membungkuk. "Baik, Tuan Aman!"
Sedetik kemudian, Aman beranjak dari ruangannya dan berjalan menuju lift. Ia meninggalkan Sahir yang tak berhenti mendumel seraya merapikan meja.
...****************...
Kumandang Adzan Maghrib yang menggema dari arah luar gedung berhasil membangunkan Aman yang tertidur. Ia bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri, lalu menunaikan ibadah Salat Maghrib.
Sembari menunggu waktu Isya yang hanya terpaut satu jam, Aman pun menyempatkan diri melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan khusyuk di kamarnya.
Setelah urusan ibadah selesai, Aman lalu bersiap-siap berangkat ke tempat pertemuan yang ia bicarakan bersama Sahir tadi sore.
Di tengah kesibukannya memasang tali sepatu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah luar kamarnya. Seakan tahu siapa sosok di balik pintu itu, Aman pun dengan santai mempersilakannya masuk.
"Tuan, mobil anda sudah siap," kata Sahir setelah membuka pintu dan memperlihatkan setengah badannya pada Aman.
Aman hanya mengangguk sambil tetap fokus mengikat tali sepatu yang satunya lagi hingga selesai. Ia kemudian berdiri dan mengibaskan bagian belakang jasnya yang sedikit kusut.
"Kita berangkat sekarang, Tuan?" Sahir bertanya sekali lagi karena belum juga mendapat jawaban dari Aman.
"Iya. Semoga saja kita tidak terjebak macet. Kita hanya punya waktu tiga puluh menit untuk tiba di Restaurant tepat waktu," jawab Aman sambil melirik arloji mewah yang melekat di pergelangan tangan kirinya.
"Tenang saja, Tuan! Restaurant Paramount hanya berjarak satu blok dari sini. Dijamin anda tetap sampai tepat waktu, meski jalanan macet. Asalkan anda bersedia menyeret kedua kaki anda hingga ke depan pintu Restaurant, jika benar-benar macet," gurau Sahir seraya terkekeh.
Namun Aman yang juga terkenal sebagai pria kaku yang tak memiliki selera humor di kalangan para karyawannya, hanya menatap lurus ke depan tanpa memperlihatkan ekspresi apapun layaknya patung.
"Boleh juga idemu itu, Sahir!"
Sontak Sahir membelalak. Ia mengangkat tangannya dan menepuk jidatnya cukup keras. "Oh God!"
Sahir hanya bisa geleng kepala mendengar Aman menanggapi gurauannya dengan serius. Ia tak menyangka, ternyata ada manusia setidak menarik Aman di muka bumi ini.
Jika saja dirinya tak memikirkan alasan kedua selain gaji yang besar untuk tetap berada di sisi pria tegap menjulang itu, mungkin Sahir sudah kabur sejak dulu. Bahkan sebelum masa training-nya usai tujuh tahun lalu.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang!" Ucap Sahir singkat, tak melanjutkan gurauannya. Ia membuka pintu lebar-lebar dan mempersilakan Aman untuk berjalan lebih dulu.
"Terima kasih, Sahir."
Dengan cepat Aman menyambar tas kerjanya yang ia letakkan di atas kabinet dan berjalan meninggalkan kamarnya, disusul Sahir dari belakang.
...****************...
Lima belas menit telah berlalu sejak mereka meninggalkan gedung perkantoran. Aman dan Sahir akhirnya tiba di Restaurant Paramount, tempat ia dan pihak HW Construction berencana mengadakan pertemuan.
Sebelum memasuki gedung Restaurant, Aman sempat melirik jam tangannya sebentar untuk memastikan jika dirinya tidak terlambat. Untungnya ia tiba sepuluh menit lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
Setelah menanyakan perihal tempat yang sudah mereka reservasi kepada resepsionis, mereka pun diantar oleh seorang pelayan Restaurant menuju ruang private yang dimaksud.
Di tengah perjalanan, sang pelayan menyampaikan kepada Aman jika tamu yang sedang mereka tunggu telah tiba sejak lima belas menit yang lalu.
"Silakan masuk, Tuan."
"Terima kasih."
Aman segera mengalihkan pandangannya ke depan begitu pelayan Restaurant membuka pintu. Dan tepat di saat pintu ruang private itu terbuka, mata Aman yang sejak tadi menatap lurus ke depan, tak sengaja bertemu dengan mata seorang gadis yang sedang berdiri di depan meja di dalam ruangan tersebut.
Aman terkesiap, ketika tatapan mereka saling bertemu. Ia terpukau melihat wajah gadis itu yang begitu teduh saat tersenyum. Iris matanya yang coklat, berbinar di bawah cahaya lampu. Dan meski usianya terlihat sangat muda, namun penampilan gadis itu sangat santun dengan balutan midi dress A line berwarna peach.
Cukup lama mereka saling menatap, hingga akhirnya Aman menyadari kekhilafannya dan segera menundukkan pandangannya.
'Astaghfirullah,' Istighfarnya dalam hati.
Dengan cepat Aman memperbaiki ekspresinya dan berjalan menuju kursi yang berhadapan langsung dengan gadis itu.
Sementara Sahir yang sedari tadi berada di samping Aman, segera memposisikan dirinya di belakang kursi yang berdampingan dengan atasannya.
"Senang berjumpa dengan anda, Tuan Aman Khan. Perkenalkan, saya Sani Amara Wijaya, Wakil Direktur HW Construction." Gadis bernama Sani itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah ke arah Aman.
"Saya juga senang bisa berjumpa dengan anda, Nona Sani. Saya banyak mendengar tentang anda dari Pak Heri." Aman balas menyapa dengan raut wajah tanpa ekspresi. Ia mengangkat kedua tangannya dan menempelkannya di depan dada sebagai balasan untuk uluran tangan Sani.
Melihat hal tersebut, Sani spontan menunduk, malu. Namun ia berusaha bersikap tenang dengan menurunkan tangannya dan mengangkat kepalanya sambil tersenyum pada kedua pria yang berdiri di hadapannya.
"Saya harap Nona Sani tidak tersinggung atas tindakan saya barusan. Saya hanya ingin menjaga marwah anda sebagai seorang wanita," terang Aman dengan wajah datar khasnya, membuat Sahir gemas ingin menggeplak kepalanya.
"Maafkan atasan saya Nona. Dia memang memperlakukan setiap wanita yang menjadi rekan bisnisnya dengan sopan seperti ini," Sahir mencoba menjelaskan dengan halus.
"Tidak apa-apa. Saya mengerti. Justru saya berterima kasih karena anda telah mengingatkan saya," tutur Sani lembut, mencoba mencairkan suasana yang sedikit canggung.
"Bagaimana jika kita makan malam lebih dulu sebelum membahas kontrak?" Lanjutnya.
"Boleh! Saya tidak keberatan."
Setelah mempersilakan keduanya duduk, Sani memanggil pelayan yang masih berdiri di depan pintu. Ia memilihkan menu makanan untuk Aman dan Sahir, usai menanyakan selera dan bahan makanan yang mungkin tidak bisa mereka konsumsi.
Tak ada lagi obrolan di antara mereka begitu sang pelayan pergi. Selagi menunggu pesanan tiba, ketiganya melakukan kesibukan masing-masing.
Sani membuka sebuah map dan membaca tulisan di atas kertas yang ada dalam map tersebut, sementara Sahir membuka iPad-nya dan memeriksa ulang jadwal atasannya untuk seminggu ke depan, berjaga-jaga jika ada perubahan jadwal mendadak.
Hanya Aman yang sibuk memainkan ponsel. Ia sengaja menggeser layar ponselnya untuk menghilangkan rasa bosan.
Jika saja yang datang malam ini Pak Heri, tentu Aman bisa lebih nyaman berbincang, karena partner bisnisnya itu selalu memiliki bahan obrolan yang bisa dibahas bersama. Sayang, yang datang malam ini adalah anak gadisnya. Dan meski telah bekerjasama selama sepuluh tahun, tapi ini pertama kalinya Aman bertemu dengan putri Pak Heri.
Selama ini Sani tumbuh besar dalam asuhan sang Nenek, karena Ibunya telah meninggal dunia sejak ia masih kecil. Setidaknya itu yang Aman ketahui dari mulut Pak Heri ketika ia menceritakan tentang putri semata wayangnya.
"Bagaimana keadaan Ayah anda?" Tiba-tiba saja Aman memutuskan untuk memulai obrolan demi menghilangkan rasa bosannya menunggu pesanan mereka.
Sani dan Sahir yang sama-sama terkejut mendengar pertanyaan Aman, kompak menoleh, memberikan tatapan heran pada Aman yang saat itu tengah mengarahkan pandangannya pada Sani dengan ekspresi datar.
"Sebenarnya Ayah sudah membaik, hanya saja perasaan malu-nya belum hilang dan itu membuat beliau malas beraktifitas. Saya sungguh minta maaf atas kelakuan Ayah saya yang begitu kekanak-kanakan, hingga menyebabkan rencana bisnis kalian jadi berantakan," kata Sani dengan raut penuh sesal.
"Tidak masalah. Siapapun pasti akan terluka jika mendapat pukulan sebesar itu. Saya turut menyesal atas kejadian yang menimpa anda dan Pak Heri. Semoga beliau bisa segera mengatasi kesedihannya dan menerima dengan lapang dada apa yang sudah terjadi. Tidak baik bagi kesehatan beliau jika terus-terusan memendam dendam," lagi-lagi Aman mengatakannya dengan wajah datar, tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.
Refleks Sahir menatap Aman dengan tatapan tajam seraya mencubit pinggangnya. Rasanya ia ingin menusuk mulut bawelnya karena tak pandai membaca situasi.
Bahkan bibir Sahir tak berhenti komat kamit saat Aman melayangkan pandangan heran padanya. Seakan sedang merutuki sang atasan karena telah melontarkan perkataan yang cukup terus terang, tanpa menunjukkan rasa simpati sedikitpun melalui mimik wajahnya.
Untungnya Sani menanggapi ucapan Aman dengan santai sambil tersenyum. "Saya tidak menganggap kejadian itu sebagai pukulan. Justru keputusan pria itu membatalkan pernikahan kami sudah sangat tepat. Saya pun akan melakukan hal yang sama, jika takdir kami ditukar."
Aman dan Sahir yang saat itu saling bertatapan, kompak menoleh ke arah Sani sambil mengerjapkan mata mereka berulang kali.
Namun belum sempat menanyakan maksud ucapan Sani, makanan yang mereka pesan sudah lebih dulu datang dan membuat obrolan mereka terhenti. Kini ketiganya memilih diam dan menikmati pesanan masing-masing tanpa berbicara satu sama lain.
...****************...
Setelah menghabiskan makan malam mereka, ketiganya memulai obrolan yang lebih serius. Mereka fokus membicarakan perihal perjanjian kerjasama yang akan mereka sepakati malam ini.
Di tengah perbincangan mereka, Sahir mengeluarkan sebuah dokumen dari dalam tas kerja yang ia bawa dan menyodorkannya pada Sani.
"Ini adalah surat perjanjian kerjasama untuk proyek pembangunan pabrik dan gedung perkantoran kami di Kalimantan. Point-point yang tercantum dalam perjanjian tersebut, berdasarkan hasil kesepakatan antara saya dan Pak Heri. Silahkan Nona Sani cek terlebih dahulu!"
Sani lalu meraih dokumen yang disodorkan Sahir padanya.
"Sebelumnya saya dan Pak Heri sudah membahas soal proyek ini secara pribadi dan beliau menyanggupi pengerjaannya. Beliau juga telah menyerahkan desain blueprint dan rincian anggaran pembangunan pada saya," Aman menjelaskan dengan raut wajah serius.
Sani mengangguk seraya membaca isi dari perjanjian kerjasama yang diserahkan Sahir dengan seksama. Ia langsung tersenyum puas begitu selesai membaca keseluruhan isinya.
"Jadi saya hanya perlu menandatangani perjanjian kerjasama ini?"
"Iya. Kita akan segera memulai pengerjaan proyek ini, begitu anda selesai menandatanganinya. Tim HW Construction akan diberangkatkan ke Kalimantan tiga hari dari sekarang. Kami juga telah menyiapkan akomodasi untuk mereka. Jika ada yang ingin anda koreksi dari isi kontrak tersebut, kita bisa membahasnya sekarang juga."
"Tidak ada yang perlu dikoreksi. Seluruh point yang tercantum dalam perjanjian ini telah sesuai dengan apa yang Ayah saya sampaikan," jawab Sani sembari mengulas senyum.
Aman dan Sahir kompak menghela nafas lega mendengar jawabannya. Dengan cekatan Sahir memberi sebuah pena kepada Sani, agar ia bisa segera menandatangani perjanjian kerjasama tersebut.
"Dengan begini, kita telah resmi menjadi partner bisnis sekali lagi dan akan bekerjasama dalam beberapa bulan ke depan. Semoga kita bisa sama-sama puas dengan hasil akhirnya!"
"Terima kasih karena anda selalu mempercayakan proyek pembangunan gedung anda pada HW Construction, Tuan Aman Khan," kata Sani dengan senyum sumringah.
Setelah urusan bisnis selesai, mereka pun bersiap-siap untuk meninggalkan Restaurant. Namun baru saja akan beranjak dari ruang pertemuan, tiba-tiba Sani menghentikan langkah Aman dan Sahir.
"Tuan Aman, bisakah saya meminta waktu anda sebentar? Saya ingin berbicara empat mata dengan anda," tanya Sani yang masih duduk di tempatnya.
Aman dan Sahir saling melirik. Namun Sahir hanya mengangkat kedua bahunya karena tak tahu dengan maksud Sani meminta Aman tetap tinggal.
Setelah cukup lama terdiam, Aman pun memberi isyarat pada Sahir untuk kembali ke mobil lebih dulu dan menunggunya di sana.
Begitu Sahir meninggalkan mereka, Aman kembali duduk dan menunggu Sani mengatakan sesuatu.
Untuk beberapa saat, Sani cukup gugup. Ia tak berhenti menautkan jari jemarinya, seolah memikirkan apa yang sebaiknya ia katakan untuk memulai obrolan.
"Apa saya boleh mengajukan pertanyaan pada anda?" tanya Sani memulai obrolan.
"Silakan!" Aman menjawab dengan santai.
"Apa Tuan Aman sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita?"
Pertanyaan yang Sani lontarkan saat itu berhasil membuat Aman terdiam. Beberapa kali ia mengerjapkan matanya dengan alis yang sedikit mengkerut. "Tidak!"
"Apa Tuan Aman tidak berencana menjalin hubungan dengan seorang wanita ke jenjang yang lebih serius?"
Kali ini Aman tersentak kaget mendengar pertanyaan aneh Sani. Matanya bahkan melotot saat menatap Sani, seolah tak percaya gadis itu menanyakan hal yang sangat pribadi. Rasanya ia tak perlu menjawab pertanyaan itu, namun entah mengapa mulutnya tak bisa jika harus diam saja.
"Tidak! Untuk saat ini saya tidak kepikiran tentang hal itu. Lagipula saya tidak memiliki calon untuk dijadikan pendamping hidup."
Mendengar jawaban Aman, Sani pun menyunggingkan senyumnya. "Kalau begitu, apakah saya bisa melamar Tuan menjadi suami saya?"
Pertanyaan yang diajukan Sani selanjutnya benar-benar membuat Aman syok. Dalam sepersekian detik otaknya dibuat bleng, membuatnya tak mampu mencerna kata-kata Sani dengan baik. Dan karena itu, Aman hanya bisa mematung dengan mulut yang sedikit terbuka.
Melihat Aman tak juga menunjukkan reaksi kesal ataupun marah, Sani kembali melontarkan pertanyaan yang justru membuat pria itu semakin tak berkutik.
"Saya ingin meminang anda menjadi suami saya. Jadi, maukah Tuan Aman menikah dengan saya?"
"Saya ingin meminang anda menjadi suami saya! Jadi, maukah Tuan Aman menikah dengan saya?"
...----------------...
Pertanyaan itu benar-benar membuat Aman membisu.
'Apa dia sangat terobsesi dengan pernikahan?!' , pikir Aman.
"Maaf Nona Sani, tapi saya pikir ini sudah terlalu ...."
"Anda tidak perlu memikirkan apapun mengenai persiapan pernikahan. Semua urusan pernikahan akan menjadi tanggung jawab saya. Saya hanya ingin kesediaan anda menjadi suami saya. Jika anda setuju, saya akan memberikan apapun yang anda inginkan."
Aman benar-benar terkejut mendengar ucapan Sani. "Memberikan apapun?!"
"Iya!" Sani menjawab dengan tenang dan percaya diri.
Sementara Aman masih syok akibat pernyataan Sani yang menyerangnya secara bertubi-tubi. Ia menekan keningnya kuat-kuat, mencoba menenangkan pikiran.
"Saya tahu anda tidak memiliki kekurangan apapun untuk bisa saya tawarkan sebagai mahar kepada anda. Tapi saya akan memberikan segala milik saya dan melayani anda dengan baik sebagai seorang istri."
"Termasuk kesucian yang sudah saya jaga selama dua puluh tiga tahun hidup saya!" Sani menunduk malu usai mengucapkan kata-kata terakhirnya.
Aman hanya bisa terdiam mendengar kata-kata frustasi gadis itu. Ia tak tahu harus mengatakan apa padanya.
"Saya hanya ingin menyalurkan hasrat saya dan merasakan pelukan hangat seorang pria yang tidak pernah saya rasakan seumur hidup. Tapi saya tidak ingin jatuh ke lubang dosa perzinahan," kata Sani lirih.
"Alasan mengapa akhirnya saya melamar anda, karena saya sering mendengar Ayah saya memuji anda setiap kali kami membahas soal proyek yang beliau kerjakan untuk anda. Bagaimana anda tidak pernah meninggalkan urusan akhirat, disela-sela kesibukan anda mengurus urusan dunia. Saya pikir akan sangat bahagia jika bisa menjadi istri dari pria seperti anda. Kalaupun nantinya anda memiliki wanita yang anda cintai, saya bersedia melepaskan anda," Sani tersenyum getir.
Ungkapan putus asa yang dilontarkan Sani saat itu berhasil menyentuh relung hati Aman yang terdalam. Ia seakan bisa merasakan keputusasaan gadis itu setelah dicampakkan oleh calon suaminya. Padahal dirinya begitu teguh memegang prinsipnya.
"Apa anda tidak keberatan menikahi pria yang tidak anda cintai dan tidak mencintai anda?" Tiba-tiba saja Aman menanyakan hal yang tidak diduga oleh Sani.
"Bukankah lebih baik seperti itu daripada saya harus berakhir di club malam dan menyerahkan tubuh saya pada pria yang tidak saya kenal?"
Mendadak Aman merasakan kekaguman pada sosok Sani. Wanita yang memiliki pemikiran sepertinya sudah sangat jarang ditemukan di dunia ini. Jadi, apakah dia akan menyambut tawaran gadis itu atau menolaknya dengan alasan perasaan?
"Apa anda tidak keberatan jika menikahi pria yang tidak anda ketahui asal usulnya? Anda mungkin pernah mendengar dari Ayah anda mengenai saya yang orang asing dan menetap di Indonesia tanpa satu pun keluarga. Sementara keluarga anda orang yang cukup terpandang di Indonesia, terutama keluarga anda di Jogja."
Sani mengulas senyum sambil menunduk sebentar saat mendengar pertanyaan Aman.
"Status dan kekayaan tidak akan memberatkan amal kita di akhirat, bukan? Yang saya butuhkan saat ini hanyalah seseorang yang bisa membimbing saya ke jalan yang benar, agar saya tidak salah arah. Dan saya rasa, saya bisa menemukannya jika bersama anda, meski hanya dalam waktu singkat. Setidaknya, saya tidak melakukan dosa jika menyerahkan diri saya ke dalam pernikahan yang sah."
Aman menghela nafas berat sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya pada Sani. "Saya ingin memastikan satu hal pada anda. Apakah alasan anda menawarkan lamaran ini karena ingin mencari pelampiasan setelah batal menikah?"
Sontak mata Sani membulat. Ia menggeleng sambil menggerakkan kedua tangannya, menegaskan bahwa hal itu tidak benar. "Lamaran ini tidak ada kaitannya dengan pembatalan pernikahan saya sebelumnya!"
"Saya sudah menerima keputusan mantan saya dengan lapang dada setelah mengetahui alasan dia dan keluarganya membatalkan pernikahan kami," Sani mencoba menjelaskan.
"Untuk meyakinkan anda bahwa itu tidak benar, saya tidak keberatan jika kita menikah di KUA dengan dihadiri Ayah dan Nenek saya. Saya tidak membutuhkan perayaan besar-besaran. Yang saya butuhkan hanyalah status yang sah secara agama dan negara."
Aman tak juga memberi tanggapan. Ekspresinya yang datar tak dapat dibaca, namun kakinya terus bergerak di balik meja, menandakan jika ia berpikir cukup keras.
"Baiklah! Saya akan mengabulkan permintaan anda. Mari kita menemui Pak Heri dan menikah!" Akhirnya Aman memberi jawaban.
Seketika senyum sumringah mengembang di bibir Sani. Ia segera berdiri dan membungkukkan badannya di hadapan Aman.
"Terima kasih, Tuan Aman. Saya akan berusaha menjadi istri yang baik dan melayani anda sepenuh hati!" Kata Sani penuh semangat. Ia menyerahkan kartu nama miliknya pada Aman, yang langsung diterima dengan senang hati oleh pria itu.
"Hubungi saya jika anda sudah memiliki waktu luang menemui Ayah saya dan menetapkan tanggal pernikahan," ucap Sani girang.
Setelah itu Sani berpamitan dan meninggalkan Aman yang masih duduk di tempatnya sambil tersenyum dalam hati.
'Ternyata dia sangat polos!'
...****************...
Di tengah perjalanan pulang, Aman terus saja membolak-balik kartu nama yang diberikan Sani padanya. Ia masih tak percaya telah mengiyakan ajakan menikah seorang gadis yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya.
'Apa yang kulakukan tadi?! Apa aku luluh dengan wajah polosnya saat dia menjelaskan alasan melamarku? Melamarku.....'
Tanpa sadar Aman tersipu mengingat kejadian di Restaurant tadi. Ia tersenyum malu sambil mengarahkan pandangannya pada jendela mobil.
Sahir yang tak sengaja melihat tindak tanduk Aman yang aneh melalui kaca spion, menatap pria itu penuh curiga. Sahir tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Ini pertama kalinya ia mendapati atasannya tersenyum kegelian sendiri.
'Apa yang sebenarnya mereka bicarakan, sampai-sampai Kak Aman menjadi aneh seperti ini?' Sahir benar-benar penasaran.
"Apa anda baik-baik saja, Tuan?" Tanya Sahir sambil menoleh ke belakang.
Sementara orang yang ditanya langsung salah tingkah, begitu menyadari jika Sahir sedang menatapnya dengan tatapan serius.
"Ti... Tidak! Saya baik-baik saja!" Jawab Aman tegas. Ia berdehem sambil memperbaiki posisi duduknya.
Mendengar sang atasan menjawab sekenanya, Sahir pun tidak bertanya lebih lanjut dan kembali berbalik ke depan. Namun baru saja ia ingin memperbaiki posisi duduknya, Aman tiba-tiba melontarkan pertanyaan padanya.
"Sahir, apa aku boleh bertanya mengenai hal yang bersifat pribadi padamu?"
Sahir yang memang sudah penasaran sejak tadi, tak menyia-nyiakan kesempatan itu.
"Tentu saja boleh, Tuan!" Jawabnya dengan wajah sumringah.
"Apa kau pernah dilamar oleh seorang wanita? Hmmm... Bukan wanita, tapi seorang gadis yang jauh lebih muda darimu?"
Mendengar pertanyaan Aman, Sahir langsung terperanjat. Dengan cepat ia berbalik dan menyandarkan dadanya pada jok mobil. Ia berusaha mengobrol dengan Aman dari jarak yang lebih dekat.
"Apa Nona Sani melamar anda?!" Tebak Sahir dengan suara berbisik.
Seketika wajah Aman merona mendengar tebakan Sahir. Ia pun mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil menelan ludah dengan berat.
Sementara Pak Adi, sang sopir, berusaha menahan batuknya karena terkejut.
"Apa tebakanku benar?" Sahir kembali bertanya karena tak kunjung mendapat jawaban dari Aman.
Aman kembali berdehem, kali ini cukup keras.
"Iya! Dia tiba-tiba melamarku dan mengajak menikah," Aman menjawab tanpa ekspresi.
Spontan mata Sahir membulat sempurna. Ia tertawa penuh kemenangan sembari melompat kegirangan di atas kursi mobil. Rasanya ia ingin meloncat ke depan Aman jika saja tak terhalang oleh kursi mobil.
"Wah, sulit dipercaya! Nona Sani melamar anda?!Nyalinya besar juga! Lalu apa jawaban anda, Tuan?!" Sahir begitu antusias.
"Tadinya aku ingin menolak. Tapi saat mendengar alasannya, aku jadi mempertimbangkan lamarannya. Jadi aku mengiyakan dan berencana menemui Pak Heri."
"Apa?! Yang benar, Tuan?! Anda setuju menikahi Nona Sani?!" Sahir begitu terguncang mendengar pengakuan Aman.
Namun Aman hanya mengangguk dengan ekspresi yang selalu saja konsisten, datar!
"Wah, anda benar-benar dapat durian runtuh! Saya dengar, dia baru lulus kuliah tahun ini dan langsung bekerja di perusahaan Ayahnya. Itu artinya, anda menikahi gadis yang sepuluh tahun lebih muda dari anda! Wah, anda benar-benar sesuatu!" Puji Sahir seraya bertepuk tangan, membuat Aman semakin malu. Namun ia berusaha menutupi ekspresinya dengan merapatkan bibirnya.
"Lalu apa alasan Nona Sani mengajak anda menikah?Jika masalah harta, jelas tidak mungkin! Ayahnya seorang kontraktor terkenal di kalangan para pebisnis. Belum lagi beliau memiliki banyak properti yang disewakan. Dan Nona Sani satu-satunya ahli waris yang akan mewarisi seluruh aset beliau. Jadi tidak mungkin alasan dia melamar anda karena harta."
"Apa Tuan dijadikan penutup malu setelah kejadian pembatalan pernikahan Nona Sani?! Kalau benar begitu, sebaiknya anda menolaknya, Tuan! Tidak baik bagi reputasi anda sebagai pemilik perusahaan Ardhani Group!" Tegas Sahir.
"Bukan karena itu. Dia bahkan tidak keberatan jika kami menikah di KUA tanpa mengadakan pesta pernikahan."
Sahir tak dapat menahan keterkejutannya. Ia tiba-tiba tersedak, seolah ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. Padahal dirinya tidak sedang mengunyah atau meminum apapun.
"Dia mau diajak menikah di KUA?!"
Aman mengangguk. Ia memejamkan mata sembari melipat kedua tangannya di dada, mencoba menghindari tatapan Sahir yang mengarah padanya.
"Kalau begitu, satu-satunya alasan yang tersisa, karena dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan anda!"
Aman mengernyitkan alisnya, namun ia tetap bungkam dan memutuskan untuk tidak menjelaskan alasannya kepada Sahir. Ia ingin membiarkan pemuda itu menebak alasannya sesuka hati.
"Kenapa kau berpikir jika itu alasannya?"
Sahir memperbaiki posisi duduknya sebelum menjawab pertanyaan Aman.
"Ya... Tidak bisa dipungkiri, meski usia anda sudah tiga puluh tiga tahun, tapi anda masih terlihat seperti pemuda berusia dua puluhan. Wajah anda tampan, tubuh anda terawat, penampilan anda berkelas dan harta anda tidak akan habis sampai tujuh turunan. Wanita mana yang tidak akan jatuh cinta pada Tuan?!"
Sahir mendeskripsikan sosok Aman yang ia kenal selama ini dengan bangga sambil tersenyum penuh. Namun detik berikutnya ekspresi pemuda itu mendadak berubah. Ia menatap ke arah sepatunya dengan wajah murung.
"Anda saja yang terlalu menutup diri selama ini. Terkungkung dalam menara istana berlabel perusahaan Ardhani Group. Anda bahkan menjadikan gedung perusahaan sebagai rumah dan membangun ruangan bak apartemen di lantai paling atas."
Sementara Aman tak merespon perkataan Sahir. Ia hanya menghela nafas panjang sambil bersandar pada kursi mobil. Dirinya baru sadar jika sudah sepuluh tahun berlalu sejak kedatangannya ke Indonesia. Dan selama itu pula ia menutup diri dari hingar bingar dunia luar.
Saat memikirkan hal itu, Aman tiba-tiba teringat pada seseorang yang berada jauh di India. Betapa ia merindukan orang itu yang sudah lama tak ia jumpai. Ia pun meraih ponselnya dan menatap foto yang terpajang sebagai wallpaper di layar ponselnya dengan mata yang sedikit berair.
Rapat akhir pekan baru saja selesai, namun pikiran Aman sedang tidak fokus. Ia kembali menatap kartu nama yang diletakkannya di atas meja rapat.
'Apa sebaiknya ku hubungi sekarang?'
Baru saja Aman ingin mengetik nomor telepon Sani ke dalam layar ponselnya, lantunan Adzan Dzuhur dari luar gedung sudah lebih dulu menggema. Ia pun memutuskan untuk memenuhi panggilan Tuhan sebelum menghubungi nomor Sani.
Usai menunaikan Salat Zuhur dan makan siang, Aman mencoba menghubungi nomor Sani. Baru dua kali terdengar bunyi tut... , panggilan teleponnya sudah langsung terhubung. Seakan gadis itu sedang memandangi ponselnya dan menunggu telepon dari Aman.
"Halo, Assalamualaikum, " sapa Sani lebih dulu.
"Wa'alaikum Salam Warahmatullaah... Apa aku mengganggu waktumu?" Untuk pertama kalinya Aman berbicara santai pada seorang wanita.
"Tidak! Aku sudah menunggu teleponmu sejak tadi."
Aman mengatupkan bibirnya, berusaha menahan senyum. Rasanya aneh mendengar Sani berbicara santai layaknya orang seumuran.
"Kamu sudah memutuskan kapan menemui Ayah?" Sani bertanya tanpa basa-basi.
"Apa tidak terlalu terburu-buru kalau kita menemuinya sebentar sore? Kebetulan ini weekend, jadi jadwalku tidak terlalu padat."
Tanpa pikir lama, Sani langsung menjawab. "Tentu saja tidak! Makin cepat makin baik. Karena pengurusan berkas pernikahan dengan WNA cukup memakan waktu."
Aman terkesiap mendengar jawaban Sani yang begitu lugas, namun ia berusaha tak memperlihatkan ekspresi apapun.
"Baiklah! Aku akan menjemputmu di kantor jam empat sore. Kita berangkat sama-sama ke rumah sakit menemui Ayahmu."
"Aku akan menyampaikan kabar kedatangan kita pada Ayah," Sani terdengar kegirangan.
"Oh ya, apa kamu sudah makan siang?" Tanyanya lagi.
"Sudah. Aku baru saja selesai makan siang dan langsung meneleponmu."
"Kalau begitu aku tutup teleponnya, ya. Selamat bekerja, Assalamualaikum," pamit Sani mengakhiri percakapan mereka.
"Wa'alaikum Salam Warahmatullaah."
Sontak bulu kuduk Aman meremang, usai memutuskan sambungan telepon mereka. Seolah ada sesuatu yang menggelitik dadanya.
Ini pertama kalinya seorang wanita menanyakan hal-hal kecil seperti itu padanya. Selama ini hanya ada satu orang yang selalu memberinya perhatian. Dan ia adalah Sahir, asistennya yang seorang pria.
Mendadak Aman merasa sedikit menyesal telah menyia-nyiakan sepuluh tahun hidupnya yang terus merundung diri sendiri atas kejadian di masa lalu yang begitu menyakitkan.
Tapi jika Aman tak mengalami peristiwa itu, tentu dirinya tak akan bertemu dengan Sani. Ia bisa saja sudah menikah dan memiliki anak. Seperti inilah cara Tuhan menentukan takdirnya.
"Sahir, tolong masuk ke ruanganku sekarang!" Panggilnya melalui telepon kantor.
"Baik, Tuan."
Beberapa menit kemudian, Sahir muncul dan berjalan ke arah Aman. "Ada apa, Tuan Aman?"
"Sore ini aku akan pergi menemui Pak Heri. Jika ada sesuatu yang mendesak, tolong kau tangani. Dan minta Pak Adi untuk menyiapkan mobilku."
"Anda ingin membawa mobil sendiri?"
"Iya. Aku harus ke kantor HW Construction menjemput Sani, lalu pergi bersamanya ke rumah sakit menemui Pak Heri."
Tanpa sadar mulut Sahir terbuka saat menatap Aman tak percaya. "Secepat ini anda memutuskan semuanya, Tuan? Apa tidak sebaiknya anda menghubungi Nenek Divya lebih dulu dan memberitahunya tentang hal ini sebelum menemui Pak Heri?"
Aman tertegun mendengar Sahir menyebut nama sang Nenek. "Tidak perlu! Lagipula sudah lama aku tidak bertukar kabar dengan beliau."
"Tetap saja...." Sahir tak melanjutkan ucapannya. Pikirannya tiba-tiba teralihkan oleh hal lain.
"Apa anda tidak akan menceritakan kejadian yang terjadi di keluarga anda pada Nona Sani?" Sahir bertanya dengan tatapan lirih ke Aman.
Aman pun terkejut mendengar pertanyaan Sahir. Ia termangu cukup lama sebelum akhirnya menjawab rasa penasaran asistennya.
"Aku belum sedekat itu untuk menceritakan masa laluku pada Sani. Tapi aku akan mencoba lebih akrab dengannya. Kalau aku sudah merasa nyaman berada di dekatnya, aku pasti akan menceritakan semuanya secara perlahan."
Sahir mengangguk paham. "Baiklah, kalau memang itu keputusan anda. Setidaknya anda sudah berani membuka cangkang anda perlahan-lahan. Semoga saja Nona Sani bisa menerima masa lalu anda dengan baik."
"Terima kasih atas dukunganmu, Sahir. Entah apa yang terjadi padaku jika Ibu tidak membawaku kemari sepuluh tahun lalu."
"Mungkin anda akan berakhir menjadi gelandangan? Atau bisa saja anda menjadi gila dan menyerang orang-orang yang berusaha mendekati anda? Siapa yang tahu," jawab Sahir sambil terkekeh.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Ibu?"
"Jangan tanya lagi! Ibu sangat menikmati hidupnya sebagai wanita pantai. Bisnis resort yang anda siapkan untuk Ibu berhasil membuatnya lupa dengan anaknya sendiri!" Gerutu Sahir.
"Setidaknya Ibu bisa menikmati masa tuanya," Aman begitu senang mendengar kabar Ibu Dina, Ibunya Sahir, meski tetap dengan raut wajah datarnya.
"Setelah menikah, aku akan mengajak Sani menemui beliau."
"Boleh-boleh saja! Tapi anda tidak boleh pergi terlalu lama, karena sudah pasti anda akan melimpahkan semua urusan perusahaan padaku."
"Kalau bukan kau, siapa lagi?!"
Sahir berdecak kesal sambil tersenyum paksa. 'Dasar kak Aman!'
"Oh ya, tolong kau urus dokumen-dokumen yang harus dilengkapi untuk pendaftaran pernikahan. Apa saja syarat yang harus dipenuhi, agar pernikahan kami legal secara hukum."
"Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi mengurusnya sekarang juga."
"Sahir, kau memang yang terbaik!" Puji Aman sambil mengacungkan jempolnya.
"Tak perlu memuji, Tuan. Cukup beri saya bonus sebagai ucapan terima kasih," gurau Sahir sembari mengulurkan tangannya pada Aman. Ia menggerakkan kedua alisnya naik turun dengan senyum penuh, seolah memberi kode pada atasannya itu.
Tapi Aman justru menyipitkan matanya, menatap kesal ke arah Sahir. "Dasar!"
Baru saja Aman ingin melayangkan pukulan di lengan Sahir, namun pemuda itu sudah lebih dulu kabur meninggalkannya.
...****************...
Sore itu, sebuah sedan BMW hitam memasuki area parkir kantor HW Construction.
Di saat yang sama, Sani baru saja keluar dari gedung perkantoran miliknya dan langsung menghampiri sedan yang baru saja terparkir.
Akibat kejadian itu, para karyawan HW Construction yang masih bekerja menjadi heboh. Mereka berbondong-bondong mengintip dari balik jendela kantor.
Tak lama kemudian, seorang pria berkulit putih dengan paras tampan khas Timur Tengah keluar dari dalam mobil.
Para karyawan kompak berdecak kagum melihat perawakan pria itu yang sangat tinggi, dengan postur tubuh yang proporsional. Sang pria berjalan ke sisi kiri mobil dan membuka pintu untuk Sani yang baru saja menghampirinya.
Saat itulah wajah pria itu terekspos dengan jelas. Mereka pun memicingkan mata, berusaha mengamati wajah pria itu dengan seksama.
"Bukannya itu Pak Aman, klien Pak Heri?"
"Tumben dia ke sini? Jemput Bu Sani pula!"
"Apa jangan-jangan mereka ada hubungan?!"
"Hush! Ada-ada saja kalian! Kantor kita kan baru saja menandatangani kontrak dengan Pak Aman. Dan Bu Sani yang mewakili Pak Direktur untuk tanda tangan kontrak."
"Lagian kenapa juga kalau mereka berhubungan? Toh Bu Sani juga sudah batal menikah dengan pria brengsek itu! Bu Sani berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik darinya. Wanita sebaik dia tidak pantas disia-siakan."
"Aku penasaran, kenapa calon suami Bu Sani tiba-tiba membatalkan pernikahan tiba-tiba? Mana kolega Pak Direktur pada datang di acara akad. Untung tidak ada yang membatalkan kontrak hanya karena masalah itu."
"Hanya mereka yang tahu, kita tidak boleh ikut campur urusan atasan!"
Begitulah percakapan antar karyawan mengenai pembatalan pernikahan Sani terjadi, selepas kepergian gadis itu bersama Aman.
...****************...
Sementara itu, di lain tempat...
Sani dan Aman baru saja tiba di salah satu Rumah Sakit swasta terbaik di Jakarta. Mereka segera menuju ruang suite, tempat Pak Heri dirawat.
Namun sesampainya di sana, keduanya justru dikejutkan dengan kehadiran Nenek Hanum, Ibu dari Pak Heri, yang juga berada di sana.
Sani segera menghambur ke pelukan Nenek Hanum, Nenek yang selama ini merawatnya. Sementara Aman berjalan menghampiri Pak Heri dan menyapanya.
"Nenek kok ada di sini?"
"Kamu kan bilang mau mempertemukan calonmu sama Ayahmu. Makanya Nenek datang ke sini!"
"Tadinya kami berencana menemui Nenek di rumah setelah dari sini."
"Sudah terlanjur! Sekalian Nenek ingin melihat kondisi putra Nenek. Kasihan, dia tidak punya istri yang merawatnya di masa tua!" Ledek sang Nenek.
"Ibu bisa saja!" Pak Heri menggaruk kepala belakangnya, malu.
"Bagaimana kabar anda, Pak Heri?" Tanya Aman.
"Baik, Pak Aman."
"Maaf jika kedatangan saya ke sini sangat tiba-tiba." Aman menunduk sesaat, menunjukkan rasa sungkannya.
"Tidak apa-apa, Pak Aman. Anda tidak perlu merasa sungkan," ucap Pak Heri yang kemudian memberi isyarat kepada Sani untuk mendekat.
Sani pun segera menghampiri Aman dan berdiri tepat di sampingnya. Setelah itu, Pak Heri membuka percakapan di antara mereka.
"Sani sudah mengatakan kepada kami maksud kedatangan Pak Aman menemui saya. Tapi sebelum membahas itu, saya ingin memastikan satu hal pada Pak Aman. Apakah anda yakin, ingin menikahi putri saya?" Tanya Pak Heri dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menatap Sani dan Ibunya secara bergantian dengan tatapan sendu.
Sani dan Nenek Hanum balas menatap Pak Heri dengan ekspresi yang sama. Namun Sani segera menggelengkan kepalanya pada sang Ayah, seolah memohon untuk tidak menceritakan apapun pada Aman.
"Anda tahu sendiri, dua minggu lalu pernikahan Sani dibatalkan secara sepihak oleh keluarga mempelai pria karena satu alasan."
"Saya sudah tahu mengenai hal itu. Bagi saya, itu tidak masalah. Keputusan kami menikah tidak ada hubungannya dengan pembatalan pernikahan Sani," jawab Aman dengan tegas.
"Bagaimana jika ternyata putri saya menyimpan rahasia tentang alasan pembatalan pernikahannya yang nantinya akan membuat anda merasa dibohongi?" Tanya Pak Heri dengan suara pelan.
Namun Aman tak langsung menjawab pertanyaan Pak Heri. Ia justru menoleh ke arah Sani, menatap mata gadis itu yang juga sedang menatapnya dengan berlinang air mata.
Meski tatapan Sani saat itu jelas menyiratkan jika yang dikatakan Ayahnya memang benar, namun Aman juga melihat ketulusan dan kesedihan dalam tatapannya.
Untuk itu Aman ingin bertaruh pada alasan tersebut dan mencoba melangkah maju, meski pernikahan mereka tanpa dilandasi oleh cinta. Toh, dirinya sendiri memiliki rahasia yang hanya diketahui oleh Sahir dan Ibunya.
"Hal itu tidak menjadi masalah bagi saya, Pak Heri. Selagi hal itu tidak merusak fisik saya ataupun melanggar hukum, saya akan menerimanya."
Pak Heri menatap Ibunya yang sudah lebih dulu menangis terisak.
"Kalau begitu, kami akan merestui kalian. Tapi dengan satu syarat!" Kali ini Pak Heri menatap Aman dengan penuh permohonan.
"Sani harus berhenti bekerja dan hanya fokus mengurus anda. Pak Aman akan terus berada di sisi Sani dan tidak menyia-nyiakan dia selama sisa hidupnya."
Aman sedikit aneh dengan syarat itu, tapi ia tidak begitu ambil pusing. Karena menurutnya, sudah kodrat seorang wanita mengurus dan melayani suaminya sebaik mungkin. Apalagi bagi sebagian masyarakat India, mengabdikan diri untuk suami merupakan sebuah kewajiban.
"Saya terima syarat anda, Pak Heri!"
Pak Heri dan Nenek Hanum langsung bernafas lega, teramat lega mendengar pernyataan tegas Aman. Nenek Hanum bahkan menghampiri Pak Heri dan memeluknya.
Sani pun ikut menghampiri Ayahnya dan memeluk keduanya dengan erat. Pertemuan mereka berakhir dengan saling berpelukan dan menangis bersama.
Melihat keharuan yang terjadi di antara mereka, Aman hanya bisa terdiam. Sudah lama sejak terakhir kali ia menangis dan sekarang ia kesulitan meneteskan air mata, seolah kantung matanya telah kering. Karena itu ia tak ikut menangis, meski dirinya bisa merasakan keharuan mereka di sore itu.
...****************...
Mobil Aman tiba tepat di depan rumah Sani. Setelah mematikan mesin mobilnya, ia menoleh ke arah gadis itu yang masih saja terisak, lantaran berbagi kesedihan bersama Ayah dan Neneknya selama setengah jam, hingga mengakibatkan matanya sembab.
"Begitu masuk rumah, kamu segera mandi, supaya pikiranmu bisa lebih segar," Aman mengingatkan.
"Terima kasih."
"Kalau begitu aku pamit. Aku akan mengabarimu begitu dokumen-dokumen yang dibutuhkan sudah lengkap."
Sani hanya mengangguk. Ia meraih tissue yang ada di dashboard mobil dan mengelap sisa air matanya.
"Terima kasih karena telah mengiyakan keinginanku. Aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu sampai kapan pun. Kalaupun aku tidak bisa memberikan kebahagiaan, Tuhan akan membalas semua kebaikan yang kamu lakukan untukku," kata Sani lirih.
Iba melihat Sani yang sesenggukan, Aman pun mencoba menghiburnya. Ia meletakkan tangannya di atas kepala Sani dan menepuknya dengan pelan.
"Ke depannya kita akan saling membantu sebagai partner hidup. Jadi tidak ada yang namanya hutang budi. Semoga kamu dan aku bisa menjadi pasangan yang akur selamanya." Aman berusaha tersenyum, meski lagi-lagi senyumannya begitu tipis.
Namun senyuman Aman itu justru menjadi hal yang sangat spesial di hati Sani, karena belum pernah ada pria yang tersenyum seperti itu padanya. Seolah Aman memandangnya dengan rasa hormat, berbeda dari pria kebanyakan yang selama ini berusaha mendekatinya.
"Kalau begitu aku masuk dulu ya, Assalamualaikum."
"Wa'alaikum Salam Warahmatullaah."
Sani membuka pintu mobil dan bergegas ke depan pintu pagar rumahnya. Sebelum masuk, ia sempat berbalik dan melambai pada Aman.
Begitu Sani tak nampak lagi, Aman segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan rumah gadis itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!