Rachel tidak pernah melihat sosok setampan orang ini. Gadis yang baru saja menginjak usia tujuh belas itu bahkan tak mampu untuk mendefinisikan perasaan menggelitik yang merajalela di pikiran dan hatinya.
Rachel berani jamin bahwa pendapatnya ini pastilah diamini oleh teman-teman perempuan di kelasnya.
Padahal Mr. Milo sama sekali bukan jenis laki-laki yang sesuai gambaran selera anak-anak perempuan masa kini: oppa-oppa Korea yang tinggi, putih, berambut lurus nan trendi, cool alias dingin dan keren, serta fashionable.
Mr. Milo memiliki penampilan yang hampir bisa dikatakan bertolak belakang. Tubuhnya sedang saja, tidak tinggi tapi tidak juga pendek. Kulitnya malah cenderung gelap dan ada bulu-bulu kasar yang sedang tumbuh di wajahnya yang mungkin baru dicukur sehari atau dua hari sebelumnya. Rambutnya dipangkas dengan gaya wajar, tetapi masih terlihat tebal serta malah sedikit acak-acakan. Ia juga hanya mengenakan pakaian dengan gaya yang normal, tidak dengan selera fashion yang terlalu tinggi serta menonjol.
Namun, Rachel terpesona mampus dengan raut wajahnya yang tegas dan maskulin, tetapi sangat ramah. Senyum laki-laki itu hampir tak pernah padam menyala di wajahnya.
Manis mungkin bukan kata yang tepat, karena kesan maskulinnya tetap kentara. Rachel kebingunan mencari kata yang paling pas untuk menggambarkan wajah rupawan sang guru. Good looking sudah pasti, tetapi dengan pesona yang sangat berbeda.
Mr. Milo diperkenalkan di sekolahnya sebagai salah seorang dari tiga guru baru.
Rachel saat ini belajar di sebuah sekolah Satuan Pendidikan Kerjasama yang umumnya lebih dikenal sebagai international school, alias sekolah internasional.
Di hall utama sekolah dimana seluruh siswa dan guru berkumpul itulah, pertama kali Rachel menjadi salah satu saksi pesona yang ditebarkan sang guru baru. Mr. Milo yang didaulat menjadi guru history baru di sekolahnya. Gemuruh liar tepuk tangan dan teriakan, siswi khususnya, menggema di dalam ruangan ketika Mr. Milo maju ke depan, menggenggam mic dan mulai bersuara memperkenalkan diri.
"Hi, everyone. My name is Milo Narendra. You can call me Mr. Milo (yang dibaca 'Mailo'). But, okay, easy guys, it's not a brand, it's just not! (ia mengatakan ini sembari tersenyum tipis, membuat Rachel yang sebenarnya duduk lumayan jauh dari pusat galaksi pesona itu saja mencelos hatinya) I'm going to teach Cambridge History for secondary. Thank you for having me here. I'd like to work with you, guys, soon."
Mr. Milo undur diri, menutupnya dengan sebuah senyuman lebar.
Hall serasa ingin meledak karena ini.
Awalnya Rachel curiga ini hanya karena Mr. Milo adalah satu-satunya guru baru semester ini yang bisa dianggap 'menarik'. Mr. Matthew, guru bahasa Inggris dari Australia itu terlihat sudah berumur, sedangkan Miss Nadya, guru PPKn adalah seorang wanita kecil berwajah muram. Rachel sudah membayangkan betapa mengerikannya pelajaran PPKn yang memang sudah tidak disukai kebanyakan siswa sekolah internasional, apalagi kini akan berada di tangan guru perempuan itu.
Sudah lama sekolah ini tidak mendapatkan guru baru yang muda dan semenarik Mr. Milo. Sebelumnya, guru laki-laki paling muda adalah Mr. Fredi, tapi ia menikah setahun kemudian.
Namun, pemikiran Rachel nyatanya salah. Beberapa hari setelah perkenalan guru-guru baru di tahun akademik yang juga baru ini, Rachel baru sadar bahwa Mr. Milo adalah salah satu guru yang mengajar di kelasnya.
Hari ini, sosok itu muncul dari balik pintu. Senyumnya yang lebar nan ramah langsung membuat ruangan kelasnya hening. Ia dan teman-teman akrabnya saling berbagi sinyal melalui pandangan mata. Ia yakin, mereka semua terpesona.
"So, how's life?" ujar sang guru baru. Ia tersenyum tipis, kemudian menggaruk kepalanya, membuat helaian rambut tebalnya sedikit acak-acakan, bahkan ada yang mencuat di bagian belakang.
Rachel menarik nafas panjang. Mengapa ada orang sememesona ini? Pikirnya.
"Not really great, Sir. We're tired, sleepy, and hungry," celetuk Josh, anak laki-laki blasteran Inggris-Skotlandia dan Ponorogo. Cowok bertubuh tinggi dan wajah yang hampir seratus persen bule itu bukan jenis siswa yang menyenangkan. Ia lumayan usil dan kasar. Rachel bahkan curiga anak laki-laki di kelasnya akan tidak menyukai Mr. Milo. Mungkin karena iri guru baru itu mendapatkan banyak perhatian dari murid-murid perempuan, atau karena, well, honestly, history is just not a fun subject.
"Ah, so, you want to go home as soon as possible and take a rest? Meaning that you throw yourself to the bed with your phone and start playing online games?" jawab Mr. Milo sarkastis.
Kini Josh yang menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian mengangkat bahu.
"Ow ow, a flood of facts!" ujar Dwi, sahabat karib Rachel tak bisa menahan diri.
"Alah, you juga do the same kok!" balas siswa laki-laki lainnya, membela Josh.
"Yeah, at least kami nggak mengeluh mau pulang cepat karena capek dan ngantuk. Semua juga capek dan ngantuk," seloroh Dwi kembali.
Kelas langsung riuh karena para siswa saling berbalas serangan.
Mr. Milo tertawa, kemudian mengangkat tangannya.
Bagai seorang wizard, gerakan tangannya adalah sihir tanpa mantra, seluruh kelas terdiam.
Bahkan masih dengan tersenyum, Mr. Milo berkata, "Don't worry, we'll be home soon. But, I don't want you to miss a fun thing. What is it? My class! I bet you haven't experienced the wonder of history, right?"
And the rest is history! Dalam arti sesungguhnya.
Pelajaran sejarah tidak pernah semenarik ini bagi Rachel. Dan ia bersungguh-sungguh. Bahkan pada pertemuan pertama itu, ia sudah suka dengan Mr. Milo.
Sungguh suka!
Anehnya lagi, bahkan anak-anak laki-laki di kelasnya juga tidak bisa lari dari pesona sang guru baru.
Mr. Milo adalah guru yang knowledgeable. Pintar. Ia tidak hanya menguasai materi, tetapi juga mampu membuat kelas terasa menyenangkan dan bermakna. Ia bercerita bagai seorang pendongeng modern yang memberitakan teori konspirasi.
Pertemuan pertama yang hanya berjalan selama enempuluh menit itu sudah membuat Rachel memutuskan bahwa ia sudah jatuh hati dengan seorang Mr. Milo.
Dengan lancangnya Rachel menatap lekat-lekat gerak bibir gurunya tersebut yang boros membuka untuk memberikan senyuman tipis maupun lebar. Rachel harus menahan rahangnya agar tak terbuka ketika sepasang matanya menelusuri lekuk pipi, dahi sampai ke leher Mr. Milo.
Baru kali ini dalam sejarah hidup Rachel, history menjadi mata pelajaran yang bakal menyenangkan. Cara Mr. Milo berkisah, memberikan hubungan antar kejadian di sana-sini, serta bahkan menampilkan kegunaan praktis dari pengetahuan sejarah di kehidupan manusia masa kini tersebut mampu membuka pikiran para siswa. Terutama anak laki-laki. Dan itu, sekali lagi, baru dimulai dalam satu jam pelajaran saja!
Waktu berjalan terlalu cepat bagi Rachel saat itu.
...Rachel Loh...
Rachel Loh bukan siswi tercantik di sekolah internasional ini. Bukan pula yang tercantik di kelas. Ada Silvia Johnson, siswa ekspat blasteran Amerika, Tionghoa Sumatra, dan Manado yang memiliki kecantikan paling menonjol di sekolah. Tubuhnya tinggi ramping dan memiliki wajah dewasa tetapi manis bagai gula-gula di pasar malam. Rambutnya pun pirang alamiah. Ada pula Dwi Jayanti, gadis Jawa salah satu sahabat Rachel yang berkulit kuning langsat dan berambut indah bergelombang. Bahkan, Vivian Joanne pun lebih cantik dibanding Rachel. Sahabatnya yang satu lagi tersebut memiliki tubuh ramping, tinggi semampai dan berwajah kalem. Gadis Tionghoa itu memiliki wajah cenderung seperti tokoh-tokoh gadis Jepang di anime dan manga, meski ia sama sekali menolak untuk dikait-kaitkan dengan apapun yang berhubungan dengan negara matahari terbit tersebut.
Sedangkan Rachel Loh, meski sepertinya tidak ada satupun orang di sekolah ini yang menyangkal kecantikannya, ia bukanlah yang paling menonjol. Kulitnya terlalu putih, cenderung pucat. Tidak jarang ketika sedang kelelahan, sinar matahari dan perubahan emosi menyebabkan kulitnya menjadi kemerahan seperti udang rebus, termasuk wajah dan bibirnya. Ia bertubuh cukup tinggi. Sepasang kakinya jenjang, dan tungkai tangannya panjang. Tetapi ia masih kalah ramping dibanding Vivian, apalagi Silvia. Sepasang pipinya bahkan cenderung tembem berisi sehingga mampu menelan sepasang matanya yang sipit dan hidungnya yang mungil ketika sedang tersenyum lebar atau tertawa.
Rachel paham ini. Ia sadar diri. Meskipun ia tetap merasa cantik dan bangga dengan rambut lurusnya yang panjang, lebat dan berwarna segelap malam.
"Parah sih Mr. Milo. Ganteng amat yak," ujar Dwi. Tinggal menunggu waktu saja sampai geng cewek-cewek ini memulai secara resmi pembahasan mengenai sang guru baru.
"Nggak ah. He's OK tho," celetuk Sophia Chang.
Ketiga anggota geng cewek yang lain langsung menatap ke arah sumber suara itu dengan pandangan risih. Bila dibandingkan dengan Rachel, Vivian dan Dwi, Sophia adalah yang paling terlihat biasa. Sekali lagi, bukan karena tidak cantik, tetapi memang Sophia adalah jenis gadis yang memiliki raut wajah jutek dan cenderung galak. Ia adalah gadis yang paling serius di kelompok mereka. Mengidolakan mata pelajaran matematika, mengenakan kacamata dengan bingkai lebar menutupi sepasang matanya yang tajam dan dingin, mencepol atau menguncir rambut lurusnya dengan ala kadar, serta lebih sering menenteng buku dan membacanya dibanding membuka aplikasi TikTok di hapenya.
Namun, yang paling membuat ketiga sahabat Sophia itu sebal adalah karena ia adalah satu-satunya anggota geng yang malah sudah memiliki pacar. Tidak main-main, pacar Sophia adalah Jordan Weatherspoon, bintang basket sekolah yang jangkung seperti pohon kelapa, warga negara Amerika Serikat yang kemampuan bahasa Indonesianya nol besar.
Hampir tidak ada yang bisa percaya di saat Sophia, dengan raut wajah dinginnya itu, mengumumkan kepada sahabat-sahabatnya bahwa ia baru saja jadian dengan Jordan.
Sekolah gempar seketika. Jordan jelas idola cewek-cewek. Skill basketnya yang memang mumpuni ditambah tampang dengan vibe Adam Lavine muda tanpa facial hair, jelas membuat anak grade 12 itu menjadi pujaan para gadis.
Nyatanya, Jordan sudah jatuh hati dengan si dingin Sophia sedari mereka kelas 10 dahulu. Sudah pernah pacaran dengan Silvia hanya dalam waktu kurang dari empat bulan, Jordan malah jatuh ke dalam pesona Sophia.
Di satu sisi Rachel, Vivian dan Dwi heran sekaligus kesal karena melihat nasib serta karakter aneh Sophia, tetapi di sisi yang lain, mereka juga bangga dengan sahabat mereka yang satu itu. Jordan betah dengan gaya komunikasi Sophia yang mengesalkan dan lebih cocok dengan gadis itu dibanding dengan idola sekolah yang lain, Silvia.
"Iya deh, yang pacarnya idola sekolah. Pacar lo tu mang guanteng, tuinggi, kueren. Puas?" seloroh Rachel sembari mencoba melotot sebisa mungkin, walau gagal karena sepasang matanya memang sipit parah.
"I'm just being honest, OK. Gue nggak bilang dia jelek lho ya," balas Sophia.
"Tetep aja, you tu nggak bisa diikutsertakan dalam pembahasan ini. selera dirimu memang beda, maunya bule, rambut pirang. Beda sama Mr. Milo yang sooo local, sooo hot, just like the weather," ujar Vivian. Ucapannya membuat Rachel dan Dwi yang setuju langsung tertawa girang.
Saat itu pukul 12. 20 siang, mereka baru saja memulai lunch break.
Sekolah internasional Uni-National ini memiliki tiga bangunan utama: kindergarten alias taman kanak-kanak, primary alias sekolah dasar dan secondary alias sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Selain tiga bangunan utama, masih ada kantin, hall utama, lapangan basket dan hall kedua yang terletak sedikit di bagian belakang sekolah.
Keempat siswi sekolah itu sedang bersama menikmati makan siang mereka di sebuah kumpulan bangku dan meja mungil di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang, tepat di halaman samping kantin yang tidak terlalu ramai. Dulu, sulit bagi mereka untuk mendapatkan tempat istimewa yang tenang itu, karena selalu keduluan oleh siswa lainnya. Namun, semenjak Sophia jadian dengan Jordan, geng cewek itu jadi spesial. Kumpulan bangku itu sudah seperti menjadi langganan mereka untuk breakfast, lunch, atau sekadar kumpul-kumpul di masa jeda. Kadang-kadang Jordan datang menghampiri mereka untuk menyapa Sophia. Seringkali pula, cowok jangkung itu menjemput Sophia untuk mengantarnya ke rumah pulang sekolah.
Tawa Rachel mendadak lenyap diganti dengan detak jantungnya yang menggila. Sosok Mr. Milo berjalan dari arah kantin. Tangan kanannya menggenggam gelas kertas berisi kopi hitam panas. Ada uap mengepul dari permukaan kopi.
Guru baru tersebut terus berjalan mendekati arah Rachel, melewati jalan setapak dari bebatuan.
"Hey, guys. Lunch?" sapa Mr. Milo sembari lalu.
Rachel bahkan tak mampu mengangguk, apalagi membalas.
"Ehm, kok siang-siang ngopi, Sir?" celetuk Vivian.
Mr. Milo berhenti, kemudian menoleh ke arah sang penanya. Ia tersenyum.
Rachel berhenti bernafas. Ia sudah setengah mati menahan perasaan yang berkecamuk ketika guru sejarah itu lewat, eh, malah Vivian dengan gampangnya membuat Mr. Milo batal berlalu.
Kini Rachel khawatir wajah dan bibirnya yang memerah akibat pergantian emosi itu akan kentara.
"Iya, saya belum ngopi tadi pagi. Udah kebiasaan," balas Mr. Milo.
Di sekolah internasional ini, bahasa Inggris wajib digunakan di dalam kelas, apalagi karena separuh dari siswa Uni-National ini adalah ekspat, alias warga negara asing. Bahasa Indonesia hanya digunakan di dalam pelajaran Bahasa Indonesia, PPKn dan Agama bagi siswa-siswa Indonesia. Namun, untuk diluar kelas dan pergaulan, switch code alias penggunaan bahasa yang dicampur-campur, memang sudah biasa.
"Wah addiction ya, Sir?" balas Vivian lagi.
Lancang! Pikir Rachel.
"I guess ...," jawab Mr. Milo singkat sembari mengangkat kedua bahunya. Sebuah bahasa tubuh yang sebenarnya sederhana tetapi bagi Rachel adalah hal yang istimewa. Wajahnya serasa terbakar.
Please, jangan tanya-tanya lagi. Biarkan laki-laki mempesona ini beranjak pergi. Aku belum siap. Mau mati rasanya. Mohon Rachel dalam hati.
"Padahal panas-panas gini, Sir."
Sebuah pernyataan yang sama sekali tak penting menurut Rachel. Vivian nampaknya nekat sedang menggoda guru mereka itu.
"Yah, habisnya, memang belum ngopi sih. Dunia jadi kurang bersemangat tanpa kopi hitam."
Mr. Milo kembali tersenyum.
Ih, cukup napa. Jangan senyum-senyum terus. Protes Rachel. Lagi-lagi di dalam hati tentunya.
"Hey. Are you OK? You look ... red. Karena panas ya?" ujar Mr. Milo mendadak ke arah Rachel. Rupanya rona merah wajah gadis itu terlalu menonjol untuk tidak diacuhkan.
Tuh 'kan, ketahuan. Ah, aku mati aja! Jerit Rachel dalam hati untuk kesekian kalinya.
Seorang Rachel Loh yakin ia bakal tidak bisa tidur semalaman. Ia menangkupkan bantal ke wajahnya yang sepertinya masih saja memerah. Mau ditaruh dimana mukanya.
Ia malu luar biasa.
Wajah Mr. Milo yang memandangnya dengan penuh concern alias keprihatinan itu membuatnya salah tingkah. Bukan panas matahari siang yang membuat kulitnya memerah, tetapi jelas karena kehadiran Mr. Milo itu sendiri.
Rachel ingat ketika wajah Mr. Milo mendekat ke arahnya sebagai bentuk rasa perhatian karena kulit wajahnya memerah seperti terbakar. Rachel seperti patung, membatu dan membeku. Ia tak bisa bergerak sama sekali. Di saat yang sama, sepasang matanya berhasil memindai setiap lekuk wajah Mr. Milo.
Garis dagunya yang tegas. Hidungnya yang mancung. Sepasang matanya yang jernih tetapi tajam. Bibirnya ... ya ampun, bibirnya.
Rachel berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya terbenam di balik bantal.
Perasaan macam apa ini? Ia sudah akui berkali-kali bahwa ia memang suka sekali dengan Mr. Milo. Biasa lah, perasaan seorang gadis SMA biasa yang masih naksir sini naksir sana. Kapan lagi ada guru baru yang setampan ini.
Tapi kok, rasa sukanya itu makin hari makin menjadi, ya? Pikir Rachel.
Bahkan dalam keadaan yang memalukan seperti ini, wajah Mr. Milo melekat erat di otaknya.
Saat itu, Rachel hanya bisa menggeleng pelan. Saking pelannya, Rachel tak yakin ia sudah berhasil menggerakkan kepalanya.
"Emang gitu Rachel, Sir. Mungkin kekenyangan," kali ini Dwi yang merespon asal.
Walaupun itu merupkan sebuah lelucon yang tidak lucu sama sekali, Mr. Milo tersenyum. "Kalau sakit atau apa, ikut saya ke medical room."
Baru kemudian Rachel bisa sepenuhnya sadar. Ia menggeleng dengan lebih kuat kali ini.
Mr. Milo akhirnya sungguh beranjak dari tempatnya, meninggalkan Rachel yang lemas, serta teman-teman Rachel yang menatapnya dengan pandangan aneh.
"Lo kenapa sih, Rach. Sok idih, ih," protes Sophia.
Tapi saat itu, sungguh Rachel merasa jiwanya tersedot habis. Ia tak bisa kesal dengan teman-temannya, tetapi tak bisa menutupi rasa malu yang sudah terlanjur menguar dari balik tubuhnya.
Setelah kejadian itu, seharian Rachel hampir berhenti berbicara. Sophia risih karena menganggap Rachel berlebihan. Rachel sendiri antara kesal dan berterimakasih dengan Vivian yang dengan genitnya menyapa Mr. Milo dan bersikukuh mengajaknya berbicara. Akibatnya Mr. Milo mendekati mereka hari itu dan membuat Rachel seperti ini. Namun, di sisi yang lain, kejadian memalukan itu membuat Rachel ingat lekuk wajah tampan sang guru.
Ia mungkin sedang meriang sekarang. Malu luar biasa. Kesal. Namun sekaligus berbunga-bunga. Ada kupu-kupu beterbangan di dalam rongga dadanya. Padahal ia terhitung baru melihat Mr. Milo sebanyak tiga kali. Pertama pada saat perkenalan di hall. Kedua saat Mr. Milo mengajar sejarah di kelasnya. Dan terakhir pada saat kejadian memalukan tersebut. Hanya saja, mengapa senyum dan tawa memesona Mr. Milo melekat di otaknya dengan erat seperti ini?
Sosok Mr. Milo masih terlihat muda, tetapi bukan jenis yang bertampang manis apalagi kekanakan. Kemudaannya mewakili energi dan semangat. Seperti ada positivity yang berarak di atas kepala sang guru laki-laki itu. Rachel belum tahu usia Mr. Milo. Tapi mungkin masih di angka duapuluhan. Entah duapuluh lima atau paling banter duapuluh tujuh.
Mendadak Rachel menghitung usianya sendiri dan jarak antara usianya dan umur Mr. Milo. Bila ia sekarang baru saja tujuhbelas tahun, maka bila Mr. Milo duapuluh lima, mereka berjarak delapan tahun. Cukup jauh, tapi masih wajar untuk pasangan, pikir Rachel.
Membayangkan ini wajah Rachel kembali memerah.
Bisa-bisanya ia membayangkan bahwa ia sedang berpacaran dengan seorang guru laki-laki!
Gawai pintar Rachel berbunyi berkali-kali, menunjukkan nada pesan WhatsApp group yang masuk. The Four Musketeers adalah nama WhatsApp group geng ini, merujuk pada sebuah novel klasik dari seorang penulis Prancis bernama Alexandre Dumas berjudul The Three Musketeers atau Les Trois Musquetaires. Itu adalah satu-satunya novel yang mereka baca sampai habis bersamaan di pelajaran bahasa Inggris di awal-awal persahabatan mereka ketika duduk di bangku kelas 9.
Saat itu Sophia bertepuk tangan gembira karena teman-teman satu kelompoknya di kelas berhasil menyelesaikan membaca novel yang menjadi tugas term kedua itu. Bagi dirinya yang memang sudah menggilai buku, bukanlah hal yang sulit untuk membaca. Maka, sebagai bentuk perayaan keberhasilan atas kesuksesan ini, jadilah mereka menamakan geng mereka dengan The Four Musketeers, memelesetkannya dari tokoh the three musketeers di dalam novel.
"Toh, memang tokoh di dalam novel itu ada empat 'kan? D'Artagnan, Athos, Aramis dan Ponthos," ujar Rachel saat itu berbangga hati karena masih hapal nama-nama tokoh utama di dalam novel klasik itu.
Dengan enggan Rachel meraih hape dan membuka pesan dari sahabat-sahabatnya tersebut.
_Vivi_ : "Woy guys. Mr. Maiiiloo masih jombloo ..."
Dwi Jayanti \0/ : "Woy tau dari mane?"
_Vivi_ : "Ak kepoin IGnya."
Dwi Jayanti\0/ : "Ih ih, mau dong."
_Vivi_ : "Don't be lazy darlin. Tinggal search aja sih. Pake nama lengkap. Milo Narendra."
Dwi Jayanti\0/ : "Kok you bisa tau sih mr milo jomblo?"
_Vivi_ : "Just look at the account babe. Isinya fotografi semua."
Dwi Jayanti\0/ : "Kan bisa aja foto gfnya gak dimasukin di ig."
_Vivi_ : "Just trust me. He's damn single!"
Sophie : "Seriously? You guys masih bahas mr milo?"
Dwi Jayanti\0/ : "Duh ... emang ada hal yang lebih menarik dibahas dibanding beliau? We wont talk about any of your favorite books ya."
_Vivi_ : "Lagian yang udah punya pacar mending shhh aja sih."
Dwi Jayanti\0/ : "Nah tuh."
......................................................................
......................................................................
Rachel tidak memberikan respon apapun terhadap percakapan ini. Lagi-lagi nama Mr. Milo disempalkan ke pikirannya.
Dwi Jayanti\0/ : "Eh rachel mana nih?"
Dwi Jayanti\0/ : "Rach ... rach. You ok?"
Sophie : "Eh rach lo knapa maren? Beneran kena panas?"
Dwi Jayanti\0/ : "Heloow. You gak kenal rachel apa gmna soph?"
Dwi Jayanti\0/ : "Gara-gara vivi tuh ..."
_Vivi_ : "Lah, kok ak?"
Dwi Jayanti\0/ : "Kan you yang nyapa terus ngomong sama mr milo pertama kali."
_Vivi_ : "So?"
Dwi Jayanti \0/ : "Didn't you see she was embarrassed?"
_Vivi_ : "Ih iya. Soorryy girl. Tapi kan masak sampe semalu itu."
......................................................................
......................................................................
Dwi Jayanti \0/ : "Rach ... are you there?"
Rachel sama sekali tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Dwi atau mereson apapun.
Sophie : No waaayy ... are you in love my dear rachel?"
Rachel langsung menekan tombol di gawai pintarnya untuk mematikan layar dan percakapan itu. Ia kembali berbaring dan menutup wajahnya dengan bantal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!